Gerbang itu Bernama Nikah


19 April 2006
Salinan Tulisan dari Blog Multiply




Kenapa tak pernah kautambatkan
perahumu di satu dermaga?
Padahal kulihat, bukan hanya satu
pelabuhan tenang yang mau menerima kehadiran kapalmu


Kalau dulu memang pernah ada
satu pelabuhan kecil, yang kemudian harus kaulupakan,
mengapa tak kau cari pelabuhan lain,
yang akan memberikan rasa damai yang lebih


Seandainya kaumau,
buka tirai di sanubarimu, dan kau akan tahu,
pelabuhan mana yang ingin kausinggahi untuk selamanya
hingga pelabuhan itu jadi rumahmu,
rumah dan pelabuhan hatimu.



Puisi di atas berjudul “Pelabuhan” karya Tias Tatanka (istri dari Gola Gong).


Hmmm…. Saya mulai tersenyum sendiri, ah ternyata saya pun bagai pelabuhan-pelabuhan yang diceritakan puisi tadi, berharap dan menanti datangnya Sang Nakhoda kapal yang akan berlabuh di hati.


Lalu saya mulai membuka-buka peta perjalanan hidup saya ke depan yang telah lama terlipat di benak saya. 20, 23, 25, dan sekarang usia saya 26 lebih menjelang 27 tahun. Ada satu lingkaran kecil dimana angka 27 itu tertandai. Di bawahnya tertera sebuah kata yang lugas. “Menikah”. Ya di usia 27 itu saya ingin atau akan menikah. Namun lagi-lagi saya tersenyum sendiri. Siapakah nakhoda kapal yang akan berlabuh itu? Allah, hanya Engkaulah yang Maha Tahu jawabnya.


Saya jadi teringat pertanyaan suami Diana, salah satu sahabat terbaik saya (semoga Allah SWT senantiasa memberikan berkah kepada keluarga mereka) ketika keduanya berkunjung ke tempat tinggal saya.

“Memangnya pengen nikah di usia berapa?” kata suami Diana sambil tersenyum-senyum.
“Dua tujuh,” kata saya jujur.
“Sekarang usianya berapa?” Tanyanya lagi.
“Dua enam,” jawab saya singkat.
“Insya Allah setahun lagi,” kata suami Diana yakin.
“Mudah-mudahan do’ain aja ya,” saya terheran-heran. Kok bisa yakin gitu ya si Mas ini.


Obrolan itu telah lewat berbulan-bulan yang lalu, namun entah kenapa masih terus terngiang-ngiang di telinga. Usia dua puluh tujuh sebentar lagi menjelang. Tapi … seandainya saat itu pun tiba, saya dengan segala keinginan saya itu rasanya masih belum siap menghadapinya. Dan konon katanya hampir semua orang yang menjalani proses pernikahan memang tidak pernah ada yang merasa siap.


Diana salah satunya. Ketika suara hatinya memutuskan untuk menikah sesungguhnya ia dalam keadaan tidak siap. Hanya rahmat Allah sajalah yang membawa Diana menjalani proses pernikahan itu.


Saya teringat betul ketika ia dengan gugup dan panik menghubungi saya meminta pertimbangan dan saran saya mengenai keputusannya. Memberi ruang kepada saya untuk ikut andil mengambil keputusan dalam hidupnya. Hmmm, masalah mensikapi cowok mungkin saya sedikit tahu tapi merekomendasikannya untuk cepat-cepat menikah membuat fikiran saya buntu. Yang ada malah saya terkesan mempengaruhinya untuk tidak cepat-cepat menikah. Alasannya nanti siapa lagi yang akan menemani saya naik gunung kalau dia sudah nikah. Apalagi kami sepakat beberapa bulan ke depan akan mendaki gunung-gunung di Pulau Sumatera.


Akhirnya Diana pun menikah. Dan saya tidak sempat menghadirinya. Karena bertepatan dengan itu saya sedang mendaki gunung-gunung di Sumatera.


Ada perasaan sedih dan bahagia menyusup bergantian ke dalam hati. Sedih karena mungkin ke depan kebersamaan kami tak sesering dulu lagi. Bahagia karena mempunyai teman yang teguh pendiriannya. Betapa tidak, ia memilih menikah daripada pacaran. Ia memilih menyempurnakan setengah Dien (agamanya) daripada mendekatkan diri kepada zina. Ia memilih damai dan ketenangan dalam berumah tangga daripada kegelisahan dan kegundahan masa melajang. Ia memilih pahala sebanyak-banyaknya dengan menjadi istri dan calon ibu bagi anak-anaknya kelak daripada bersenang-senang mengikuti keinginan mendaki gunung.


Sebuah pilihan yang berani. Saya katakan demikian karena sesungguhnya ia tak begitu mengenal calon suaminya. Hanya dalam waktu seminggu pertimbangan nikah diambil dan beberapa bulan kemudian menikah. Sungguh ia tak mengetahui masa lalu calon suaminya. Jalan bareng saja tidak, apalagi pacaran. Ya dia tidak pernah pacaran. Komitmennya untuk yang satu ini memang harus dapat acungan jempol. Say No To Pacaran. Mmmm….. dulu saya pun memang pernah seperti itu. Say no untuk pacaran. Tapi seiring waktu ketika sisi iman melemah dan ketika hati merasa begitu hampa, akhirnya saya pun mulai menjalani yang namanya pacaran. Tapi dengan satu syarat “Harus Berjauhan” paling tidak beda pulau dan dipisahkan laut. He..he..he.. kadang saya sering tersenyum sendiri, kok bisa-bisanya menerapkan aturan begitu kepada diri sendiri. Padahal jujur ajalah mungkin ingin seperti orang kebanyakan yang berpacaran. Iya apa iya?


Tentu keputusan semua itu pun saya jaga untuk tetap bisa menyendiri sebelum menikah. Ingin rasanya selalu menyibukkan diri yang sendiri ini untuk Allah. Namun betapa manusia hanyalah makhluk yang lemah, betapa sisi kehidupan yang dijalani selalu membuat saya ingin didengar, diperhatikan, dan dikasihi oleh orang lain (baca: seseorang).


Kembali lagi ke cerita Diana tadi. Setahun kemudian kami bertemu. (Walau ada di satu daerah, sungguh betapa susahnya menjaga tali silaturahim dengan sahabat). Dia tampak ceria sekali. Wajahnya berseri bahagia dan berat badannya pun kian bertambah. Dari awal saya menyimpan kekhawatiran kepada pernikahannya. Ia pernah bilang kalau ia sama sekali tidak mengenal kata cinta atau bahkan sayang. Dan menikahi laki-laki itu tentu bukan karena cinta atau sayang namun karena Allah dan Rasul-Nya saja yang telah membuatnya melakukan pilihan menikah.


Ada satu pertanyaan yang ingin sekali saya utarakan padanya. “Kamu bahagia?” akhirnya pertanyaaan itu pun keluar dari mulut saya. “Iya,” katanya menjawab sambil tersenyum. Tetap bahagia. Alhamdulillah. Bibit cinta pun tampak di wajahnya. Ya itu hadiah dari Allah untuk orang yang taat dengan aturannya. Cinta bisa datang belakangan. Yang penting ada niat menyucikan dan menjaga diri melalui pernikahan.


Dan tulisan ini saya akhiri dengan sebuah lagu indah dari “Java Jive” yang berjudul “Menikah”. Jauh sebelum saya mengenal teman lelaki dan jauh sebelum saya merasa niatan menikah hadir di lubuk hati. Saya tergila-gila dengan lagu ini.


Apakah kau tak pernah tahu
Betapa indahnya dirimu
Biarkan rambut yang tergerai
Jatuh dalam pelukanku


...........................
Tatap matamu harapan
………………….


Ohh… menikahlah denganku
Bahagialah hati ini


Ohh…menikahlah denganku
Biarlah dunia berlalu

Menikahlah denganku
……………

Maaf, syairnya sudah lupa karena lagu ini lagu jaman saya masih ABG.


Itu saja, dan menikah tentu saja bukanlah hal yang menakutkan. Ingatlah seandainya kita berlama-lama menujunya, sesungguhnya kita sedang terkena tipu daya setan. Bagaimana setan tidak melakukan tipu daya kalau setiap saat, setiap perbuatan, setiap ucapan baik suami kepada istri, dalam ruh pernikahan semuanya adalah pahala yang besar.


Kepada yang tergerak hatinya untuk menikah. Percayalah Allah pasti menolong memudahkannya. Dan kepada yang belum tergerak, saya ingin mengingatkan sebuah Hadist Rasulullah SAW bahwa “Sejek-jelek kematian adalah kematian orang yang membujang.” Semoga kematian tidak segera menjemput kita di gunung, di rumah, di kota, atau di desa, sedangkan kita masih dalam keadaan membujang.

Wallahualam.



Posting Komentar

Halaman ini dimoderasi untuk mengurangi spam yang masuk. Terima kasih sudah meninggalkan komen di sini.

Made with by Lina W. Sasmita