My First Love, My Everlasting Love!


Gadis kecil mungil itu terduduk di tepi kebun yang berbatasan dengan sawah. Kakinya yang terjuntai lemah, terpantul-pantul ke tanah. Walau marah meluncur dari bibir seseorang di dalam kebun Sang Ayah, ia sudah mengalah tak mau menghiraukannya. Kini ia punya keasyikan tersendiri “Merenung dan melamun” di tepi kebun.

Ia selalu memikirkan mengapa langit itu biru, mengapa awan-awan terus berjalan, Mengapa bintang-bintang bertaburan, mengapa bulan terkadang bulat terkadang juga sabit menyempit? Mengapa angin tidak kelihatan, mengapa terjadi siang dan mengapa harus ada malam? Semua belum tuntas terjawab. Pertanyaan-pertanyaan itu, sejuta tanya “mengapa” itu masih berkelindan bermain-main dalam fikirannya.

Mata Gadis itu menerawang jauh ke depan. Namun pandangannya tiba-tiba tertumbuk pada sesosok wajah yang begitu rupawan. Berdiri tegap, tepat di hadapan. Tinggi dan kokoh. Dalam diamnya sosok itu begitu menggetarkan. Menyemai benih-benih rasa yang selama ini belum pernah ia rasakan. Menelusupkan rasa cinta yang selama ini  belum pernah ia lukiskan dalam lembar khayalan.

Si Gadis begitu terpesona. Ini bukan cinta pada pandangan pertama, karena sebelumnya ia pun pernah melihat sosoknya. Entah mengapa saat itu, dikala sepi menyendiri mengisi pergantian hari, dikala senja senyap merayap menuju gelap, dikala ia menatapnya lekat-lekat, dikala sosok itu berdiri dengan tegak, sebongkah asa dan rindu berpadu di dalam kalbu.
 
Matanya masih awas memandangi sosok itu. Seperti sedang mengukur berapa tingginya, ia menyapukan pandangan ke arah lekuk-lekuk yang membentuk indah wujud kokohnya. Lekukan yang membayang oleh sinar mentari yang tak ganas lagi. Terkadang ada terang di wajahnya, terkadang jua meredup tertutup kabut. Ah kabut semoga saja cepat berlalu.
         
          “Pernahkah Kau sibak sendiri kabut di wajahmu itu, Ciinta?”

Seperti monolog tentang rasa, dia hanya terdiam tanpa kata tanpa bahasa. Padahal gemuruh dalam dada sang pemuja begitu menggelora. Bagaimana? Bagaimana mengatakannya? Dengan cara apa dia mengungkapkannya?

Wahai alam berpihaklah kepadanya, biarkan kemegahannya, keteguhannya mengalirkan rasa yang berbalas! Sejenak saja melalui mimpi-mimpinya.

 Namun bagaimana rasa itu tersampaikan jika menulis saja si Gadis belum lancar. Jika keluar rumah saja harus selalu ada yang menemani. Jika ke kebun untuk menyiram sayuran dan pohon-pohon jeruknya harus bersama saudara-saudaranya?

“Ayo Pulang, sudah hampir maghrib!” Suara itu mengenyahkan keasyikannya. Si Gadis terperanjat, lalu berdiri.

          “Esok, Aku akan kembali menatapmu di sini.”

Ia berlari mengejar kedua kakaknya  yang telah jauh pergi. Hanya sebuah asa yang terus-terusan ia pelihara, berharap dewi fortuna akan memihaknya di lain masa.

          “Tunggulah saatnya Aku dewasa! Jika kelak tiba waktunya, Aku akan ke sana . Tidak semata menatapmu, namun mencumbui hutan-hutanmu, menapaki curam jurang-jurangmu. Aku akan menari dalam deras hujan, berlari-lari di lereng bebatuan, menyanyikan syair-syair kerinduan dalam pelukan alam.”

Bukan sesuatu yang mustahil sementara kisah perjalanan jauh itu selalu tersampaikan dikala menjelang isya. Ketika nenek bercerita. Mengalur mengikuti isu zaman. Alkisah dari negeri para ambiya. Seperti kisah Musa sang pendaki pertama. Tegar merayapi bebatuan demi bertemu Tuhan seru sekalian alam di satu puncak tertinggi sebuah negeri.

Tersebutlah berulang-ulang dalam Al Qur’an. Semenjak Dia Sang pencipta menancapkannya sebagai pasak hingga kelak melayang beterbangan bagai debu yang tertiup bayu. Membaca itu Si Gadis makin terharu, betapa rasa cinta itu semakin bertambah besar dan liar.

Gadis kecil tumbuh menjadi Aku, yang tergetar jika melihat sosoknya yang mengagumkan. Megah tiada terbantah, agung tanpa terbendung, menjulang menembus batas-batas tingginya awan.

Aku Yang tercerahkan hari-harinya jika senantiasa dapat bermain-main dalam pelukannya. Dalam barisan pinus dan cemaranya, di rerimbunan cantigi dan hamparan edelweis. Menyesap hawa sejuk yang menghembuskan segala kepenatan jiwa.

Dan kini walau hidup di kelilingi oleh lautan namun sosok itu senantiasa datang, merayapi mimpi-mimpi, seakan memanggil-manggil diri ini untuk segera kembali.

Bilakah waktu memanggilku pada dekapanmu? Aku bertanya! Tolong jawablah agar rasa ini tetap bermuara pada tempatnya.


Memory di Kebun Jeruk (Bukan di Jakarta tapi di kebun jeruk betulan :D)
Kampung Papandayan Sukaresmi  Garut, 1986 atau 1987 entahlah sudah lupa!


17 komentar :

  1. Kyaaa,, Mbak,, Foto2nya keren,,
    hmm,, kpn ya dian bsa menjejek kan kaki di puncak tertingi ?? (ngayal tngkat tinggi) hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dalam mimpi juga sudah boleh kok Mbak Dian :) Mimpi yang tinggiiii....

      Hapus
  2. Dulu aku juga suka naik ke atas genteng buat liat langit dan pmandangan kalo lagi galau. Lalu pingin banget jadi penjelajh atau pendaki gunung. Sayang ku penyakitan. Senang deh membaca cintamu tidak bertepuk sebelah tangan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mbak pencarian kita sama ya! Saya naik ke pohon jambu batu. Kadang tahan berjam-jam di atas sana. Pernah terjatuh tapi gak kapok, lagi dan lagi. Rasanya tenang banget kalau galau menyingkir ke tempat sepi sambil menatap gunung, awan, sawah-sawah, dan anak sungai.

      Hapus
  3. subhanallah...fotonya bagus2, sepertinya kita punya rasa cinta yang sama :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih Mbak Vanda, cintanya sama ya? Hohoho ada temen satu aliran nih. #SalamanPelukan :D

      Hapus
  4. Dulu aku juga suka naik ke atas genteng buat liat langit dan pmandangan kalo lagi galau. Lalu pingin banget jadi penjelajh atau pendaki gunung. Sayang ku penyakitan. Senang deh membaca cintamu tidak bertepuk sebelah tangan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Rasanya plong dan nikmat banget ya Mbak kalau lihatin langit sm pemandangan itu. Galaunya mendadak hilang. Ih perasaan tadi mlm sdh balas komennya deh kok ngilang ya. *Ini bikin baru :)

      Hapus
  5. Dulu aku juga suka naik ke atas genteng buat liat langit dan pmandangan kalo lagi galau. Lalu pingin banget jadi penjelajh atau pendaki gunung. Sayang ku penyakitan. Senang deh membaca cintamu tidak bertepuk sebelah tangan

    BalasHapus
  6. hmmm...menakjubkan ya...
    pintar membuat sudut pandang, pintar mengolah kata, pintar mendeskripsikan...
    sukaaaa....sekaliiiii....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waaaah makasih Mbak Imma, Haduh jadi malu, ini mah tulisan geje Saya :)

      Hapus
  7. wowww!!!!!keren bangettttttttttttt mbk :D
    seru banget ya berpetualang naik gunung..indahhhh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihihi...makasiiiih. Dipuji tetangga. Eh btw Mbak Hanna ngajar di sekolahan mana? *Kepo

      Hapus
  8. cinta pertama kita berlabuh pada sosok yang sama ya teh... *halahh..!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya ampuuun udah setahun sy baru baca komennya Dee :D gimana biar komen di blog ada notifikasinya?

      Hapus

Halaman ini dimoderasi untuk mengurangi spam yang masuk. Terima kasih sudah meninggalkan komen di sini.

Made with by Lina W. Sasmita