Blusukan di Acara Lomba Lintas Bukit Cumfire 2013

Endi, sahabat yang saya kenal semenjak tahun 1999, mengajak saya untuk ikutan acara Lomba Lintas Bukit yang diadakan oleh komunitas Pecinta Alam Cumfire Batam. Dulu kami sering menjadi panitia acara ini. Nah sekarang ketika sudah nggak aktif lagi di komunitas ini rasa-rasanya perlu juga mencoba jadi peserta. Syaratnya hanya membayar uang pendaftaran 60 ribu rupiah per tim dengan anggota tim berjumlah 3 orang. Jadi Endi dan saya pun sibuk mencari siapa orang ketiga yang akan ikut dengan kami.
Endi dan Meri

Syukurnya ada Meri, rekan di tempat kerja saya yang mau bergabung. Dia antusias sekali. Sudah lama anak ini termehek-mehek pengen ikut setiap kali saya kemping atau ada acara outdoor lainnya. Jadi sekali ajak saja dia udah girang minta ampun.

Alhamdulillah suami ngasih izin juga. Rencananya Chila di rumah saja bareng ayahnya. Namun nggak disangka-sangka ternyata suami mendadak harus lembur. Waaah jadi Chila sama siapa dong? Kalau dititip sama si Uwa, yang biasa jaga, kasihan juga. Sementara setiap pagi hari Chila selalu menghitung hari bak Krisdayanti :D
     “Bunda hari ini hari apa? “
     “Senin Nak.”
     “Waah berarti besok Selasa, Rabu, Kamis, Jum'at, Sabtu, daaan Mingguuuu...horeee Bunda libur.”

Hikss...setiap pagi dikala bangun tidur Chila selalu menanyakan ini hari apa. Dan mengulangi ucapan tadi dengan redaksi yang sama. Kasihan banget nih anak. Ketauan kangen banget pengen manja-mnaja di rumah sama bundanya. Jadi ketika tau ayahnya kudu kerja saya hampir ngebatalin rencana ikutan lomba tadi. Tapi pas ngobrol-ngobrol sama Chila ternyata dia juga mau ikut. Horee...!!! Ya sudah deh Chila diajak sekalian. Biar aja kami berempat, toh niatnya bukan untuk menang lomba kok tapi untuk mengenang kembali peristiwa-peristiwa yang biasa saya dan Endi lalui dulu. Ya kami memang lagi kangen hutan.

Chila di Garis Start
Hari Minggu tanggal 10 November 2013 acara Lomba Lintas Bukit yang ke-20 digelar. Seluruh peserta berkumpul di Lapangan Community Centre (CC) Muka Kuning Batam. Walau pagi itu hujan, acara tetap berlangsung meriah. Tak kurang dari 210 tim yang ikut. Berarti ada sekitar 630 peserta dalam event ini. Lumayan ramai. Tapi semasa saya jadi panitia tahun 2002 silam (aaah... sudah lama sekali yaa..) pesertanya hampir seribu orang. itu pun banyak peserta yang mendaftar di hari terakhir ditolak karena panitia sudah kerepotan.

Diantara peserta kami bertemu juga dengan seinior-senior saya Aa Sam dan Aa Rahmat yang sama-sama menjadi peserta. A Sam malah lengkap dengan Istri dan ketiga anaknya. Sedangkan A Rahmat hanya dengan dua naknya. Ninuk istri A Rahmat nggak ikut karena sedang hamil muda.

Keberangkatan peserta diatur per 10 tim tiap 3 menit sekali. Sedangkan kami kena giliran paling akhir. Nyesel juga berangkat belakangan soalnya bawa Chila yang tentu jalannya akan lebih lambat.

Rute dan jalur Lomba Lintas Bukit yang ditempuh memasuki kawasan Hutan Lindung Muka Kuning. Mulai dengan menyusuri jalanan di kawasan Simpang Dam, Perumahan Otorita lalu naik ke Bukit Gundul (begitulah kami menyebutnya :D) lalu baru memasuki hutan. Turun naik bukit berkali-kali. Sementara jalur sangat licin, becek, penuh genangan air serta lumpur. Chila malah enjoy menginjakkan kakinya di lumpur-lumpur hitam sepanjang jalur. Tampaknya dia menikmati sekali berbecek-becek ria. Ah biarkan saja. Sewaktu kecil dulu saya juga sama paling suka sama tempat basah dan becek seperti itu :D Selamat menikmati Chil!

Benar dugaan saya. Kecepatan berjalan kami memang paling lambat di antara seluruh peserta lainnya. Laah terang saja bawa balita. Untungnya sekali-kali saja Chila minta digendong. Kalau lihat jalur becek dia meronta-ronta pengen turun dari gendongan. Lalu menginjakkan sendalnya ke lumpur becek sambil menghentak-hentakkan kakinya. "chila suka deh sama jalan ini" katanya. Tak ayal celana tidur panjang yang dikenakannya sudah berlumuran lumpur sampai ke paha. Hihi...dia emang salah kostum. Gara-gara pagi-pagi sebelum berangkat dia ngambek-ngambek nggak mau pake baju yang lain. Ya sudah daripada nggak jadi pergi, pakaikan aja baju sesuka hati dia. Namanya juga anak-anak.

Selepas Bukit Gundul ternyata banyak peserta yang beristirahat. Chila senangnya minta ampun karena sudah menyusul peserta lain. Dia pun nggak mau beristirahat tetap maju terus. Ayo Chil...semangaaat!

Lama-kelamaan jalur semakin berat. menanjak, menurun, dan licinnya minta ampun. Tak ayal membuat para peserta brak-bruk...gedebak-gedebuk...satu per satu tumbang berjatuhan bagai jatuhnya nangka yang sudah masak di pohon. Setiap ada yang jatuh suasana menjadi riuh rendah, bersahutan saling teriak, tertawa, dan saling mengejek.

Pyuuuh...memang jalurnya luar biasa sodar-sodara. Bikin pinggang terasa fatah-fatah :D saking menantangnya. Hingga satu ketika Chila tampak mulai capek. Namun karena dari awal sudah saya pesan tidak boleh mengeluh dan bilang capek, nih anak benar-benar konsisten memegang janjinya. Tidak sepatah kata pun kata capek keluar dari mulutnya. Karena kasihan saya pun akhirnya bertanya padanya "Chila capek?" lalu dia pun menganggukkan kepalanya ragu-ragu. Duh terharu dan kasihan lihatnya. Saya pun mengajaknya untuk beristirahat sejenak sambil makan camilan coklat dan roti.

Keikutsertaan Chila tak urung mengundang decak kagum peserta lainnya yang hampir semuanya sudah dewasa. Sepanjang perjalanan Chila selalu menjadi objek pembanding bagi mereka yang kelelahan. "Tuh lihat adik kecil aja kuat masa sih kamu nggak kuat." Kata mereka. Alhamdulillah Chila memang luar biasa. Saya awalnya was-was apakah dia bisa atau tidak. Sesekali memang minta gendong namun tetap aja dia juga berjalan berpuluh hingga beratus meter ke depan.

Untungnya sejauh apa pun banyak yang simpati padanya. Seperti seorang Bapak-bapak yang sedari awal sering godain Chila berkali-kali menawarinya untuk digendong. Semula Chila menolak namun setelah saya bujuk-bujuk  akhirnya dia mau juga. Yaiyalaaah... kesempatan saya untuk meringankan beban haha. Alhamdulillah banget beban saya berkurang belasan kilogram :D

Di tanjakan mendekati pos 2 saya dan Chila tengah berdiri sejenak untuk mengatur posisi langkah karena banyak terdapat akar dan ranting yang menghalangi. Tiba-tiba braaak...sebatang kayu jatuh tepat di depan kepala saya dan menyentuh ujung topi yang saya kenakan. Sementara Chila yang berdiri tepat di depan saya mendadak menjerit dan menangis sekencang-kencangnya. Saya syok, kaget. Masya Allah takutnya kayu tadi kena kepala Chila. Saat ditanya Chila bilang kakinya yang kena timpa kayu. Begitu diperiksa kakinya memang berdarah dan Chila tidak bisa berjalan lagi.

Chila pun saya gendong namun ketika hendak menyebrang danau, si Bapak yang tadi menggendong Chila menawari kembali untuk menggendongnya. Melihat jembatan penyebrangan cuma sebatang pohon saja jujur nyali saya langsung ciut. Nggak berani gendong Chila dengan kondisi penyebrangan semacam itu. Dan ketika menyerahkan Chila ke gendongan Bang Ali, nama si Bapak itu, dia tampak gemetaran. Saya semakin panik. Apalagi di danau itu tak ada sedikit pun alat lain sebagai alternatif untuk menyebrang. Duh saya khusuk berdoa. Takut terjadi apa-apa sama Chila. Apalagi ayahnya Chila sudah berpesan "Tanggung jawab ya Bunda kalau kenapa-napa sama Chila." Kalimat itu terus terngiang sepanjang perjalanan membuat saya kurang menikmati karena harus berbagi was-was dengan kekhawatiran akan keselamatan Chila. Beuh...si ayah kenapa harus ngomong begitu jadinya malah berpengaruh sekali sama psikologi bundanya.

Huh, dari semua lintasan cuma penyebrangan di danau ini yang benar-benar membuat saya takut bukan kepalang. Batang yang licin dan lumayan panjang membuat jantung dag dig dug tak karuan. Alhamdulillah Chila berhasil disebrangkan. Duh Bang Ali makasih banyak ya, Saya malah belum berucap terima kasih kepadanya saking khawatirnya.

Ketika mencapai Pos tiga di Pancur Simpang Dam, Chila udah bisa dilepas dari gendongan dan mengobrol dengan panitia sambil lukanya ditetesi betadine. Dia kemudian bertanya apakah lukanya sudah sembuh. Saya jawab sudah, hanya untuk memberinya sugesti supaya dia tidak terlalu kesakitan.Padahal kaki Chila berhari-hari kemudian masih tampak bengkak.

Saat menggendong Chila di penyebrangan terakhir menuju kawasan Simpang Dam, saya sudah tak kuat lagi. Otot-otot paha menegang jari-jari kaki kram luar biasa dan badan hampir roboh.

"Chil boleh nggak Chila jalan, bunda udah nggak kuat lagi nih mau pingsan rasanya." Bujuk saya.
"Iya boleh, bunda-bunda jangan pingsan ya. Bunda harus kuat." Kata Chila sambil turun dari gendongan. Pyuuh...narik nafas lega. Alhamdulillah Chila udah bisa jalan lagi. Walau saya tau sebenarnya kakinya masih berdarah. Makasihya Nak atas pengertiannya.

Sekitar Jam 3 sore kami akhirnya tiba kembali di lapangan CC. Hingar bingar suara music terdengar. Saya dan Chila langsung bersih-bersih dan ganti pakaian.

"Halo, Ayah..ini Chila, Chila udah kembali dengan selamat." Chila antusias menelpon ayahnya yang masih kerja.

Foto-foto menyusul jaringan lemot sekali.


 



Posting Komentar

Halaman ini dimoderasi untuk mengurangi spam yang masuk. Terima kasih sudah meninggalkan komen di sini.

Made with by Lina W. Sasmita