Menyepi di Taman Buru Masigit Kareumbi



Rumah Pohon di Taman Buru Masigit Kareumbi
Bis Primajasa jurusan bandara Sukarno Hatta – Bandung perlahan memasuki kawasan Batu Nunggal. Kawasan yang semenjak Mei 2012 silam, menjadi lokasi untuk menurunkan dan menaikkan penumpang dari dan ke Bandara Sukarno Hatta. Meskipun Bandung sudah mempunyai bandara sendiri, tetap saja jumlah calon penumpang pesawat dari Bandung menuju Jakarta sangat tinggi. Begitu pun arah sebaliknya, yang menuju Bandung dari bandara Sukarno Hatta tak kalah banyak. Ini bisa dilihat dari interval keberangkatan bis Primajasa setiap setengah jam sekali yang selalu penuh dengan penumpang.

Sms dari Bapak yang sudah menunggu di depan Kompleks Batu Nunggal berkali-kali datang. Beliau menanyakan posisi saya dimana. Katanya tidak bisa masuk ke dalam karena jalannya cukup jauh. Ia akan menunggu mobil yang akan saya carter yang sebentar lagi datang.

Peta menuju Masigit Kareumbi. Foto diambil dari website Masigit Kareumbi

Bis berhenti di  Pool Primajasa. Penumpang berhamburan turun. Chila yang sedari tadi rewel dan suntuk terlihat tertidur pulas di bangku bis. Saya membisikinya bahwa kami telah sampai di Bandung, lalu menggendongnya pelan-pelan. Dalam gendongan Chila terbangun. Ia tampak senang karena bis sudah berhenti.

Waktu menunjukkan pukul 7 malam lewat beberapa menit. Saya segera menuju mushola untuk sholat maghrib. Chila dan ayahnya menunggu di depan halaman parkir bis. Gantian menjaga barang – barang lenong yang kami bawa. Hehe. Iya barang bawaan ini kayak mau ngelenong saking banyaknya. Bukan banyak bawa oleh-oleh tapi banyak oleh peralatan dan perlengkapan mendaki gunung. Ini mau pulang kampung apa mau naik gunung sih? Dua-duanya. Sambil menyelam minum air. Sambil pulang kampung ya sambil naik gunung dong :D
Pintu Masuk Kawasan Masigit Kareumbi

Mobil carteran sudah datang, kami pun bergegas menaikinya. Di dalam sudah ada Bapak, Rouf adik saya,  dan  Tian, teman sepupu saya yang menyetir mobil. Sepertinya mereka janjian untuk bertemu di depan kompleks.

Chila yang sedari awal kangen dengan kakeknya sedikit malu-malu saat Bapak menyapa dan memeluknya. Maklum terakhir bertemu dengan kakeknya ini ketika ia usia  2 tahun. Namun sungguh mengharukan hingga usia 5 tahun ini, Chila masih dapat mengingat secara baik saat-saat pertemuan perdana dengan kakeknya 3 tahun yang silam. Saat digendong maupun saat bermain dengan ayam-ayam peliharaan kakeknya. Beberapa saat Chila pun anteng dalam pelukan sang kakek. Uuuh... so sweet. Saya jadi sedih karena saya sendiri belum pernah punya pengalaman memeluk kakek sendiri. Keduanya meninggal saat saya masih bayi.

Mobil pun melaju menuju Garut. Tian, yang menyetir, memacu mobil dengan kecepatan  60 hingga 80 km/jam. Ia tampak tenang dan pendiam. Tausiyah dari radio MQ FM mengiringi perjalanan kami malam itu.
Mobil Jeep dengan Lambang Masigit Kareumbi

“Ke arah curug Cinulang ya A,” kata saya kepada Tian. Ia hanya diam dan tetap fokus pada jalan yang akan dilalui. Saya fikir ia mendengar jadi ya sudahlah waktunya istirahat. Urusan jalan serahkan pada ahlinya. Dari Batam kami tidak akan pulang langsung ke Garut melainkan mampir dan menginap di Kawasan Konservasi Taman Buru Masigit Kareumbi yang terletak di daerah Cicalengka, Bandung. Kawasan hutan konservasi ini tepat berada di wilayah perbatasan antara Bandung - Garut. Beberapa menit kemudian  semua penghuni mobil tertidur pulas kecuali Tian. Laah kalau dia tidur juga bisa-bisa kami semua tidur seterusnya dong.


Mobil terus melaju. Di sebuah turunan yang cukup curam, saya terbangun. Ya, rasa-rasanya saya hafal dengan daerah ini. Ya ampuuuun ternyata sudah sampai Nagreg. Berarti belokan ke Curug Cinulang di Cicalengka sudah terlewat. Bapak dan suami saya mulai bersuara membahas apa yang terjadi.
Jalan menuju desa-desa lain di sekitar Kawasan
Saat berada di Cicalengka, jalan yang kami lalui seharusnya belok kiri menuju Curug Cinulang. Dan tiba di Curug Cinulang terus saja lurus hingga melewati Desa Tanjungwangi. Dari sana masih terus lanjut beberapa ratus meter hingga tiba di Masigit Kareumbi. Begitu petunjuk yang saya baca di internet.

Berhubung sudah malam dan jauh dari Cicalengka, Bapak dan Bang Ical menyarankan untuk reschedule lagi. Lebih baik lanjut ke Garut daripada balik lagi ke Cicalengka. Kali ini saya tidak mau menurut. Gimana ya rencana sudah jauh-jauh hari masa gagal cuma gara-gara ketiduran. Saya tetap bersikukuh juga ngotot untuk tetap pergi ke Kareumbi malam itu juga. Dasar gurat batu. Begitulah keluarga di Garut menyebut saya. Istilah buat orang yang kalau sudah begitu ya harus begitu. Akhirnya semua mengalah demi si gurat batu ini. Dan mobil pun putar balik ke arah Cicalengka. Horeeeee....

Setelah bolak-balik, nyasar kesana kemari, jam 11 malam kami baru tiba di Taman Buru Masigit Kareumbi. Pepohonan tinggi dan rindang tampak membayang dalam gelap malam. Sebuah Pendopo yang berdiri di tepi jalan masuk langsung saya kenali karena sudah sering saya lihat foto-fotonya melalui internet.

Gonggongan anjing menyambut kedatangan kami. Namun gimana pun juga kami harus segera beristirahat. Akhirnya kami semua keluar mobil. Bapak, Rouf, dan Tian, langsung menuju mesjid untuk sholat Isya. Saya dan Bang Ical segera menuju sebuah rumah yang sepertinya menjadi tempat penerima tamu di lokasi ini.
Bercengkrama di Rumah Pohon
Setelah diketuk berkali-kali tidak ada yang menyahut juga. Akhirnya pintu saya dorong. Di dalam tampak beberapa orang sedang tidur pulas dalam sleeping bag. Berkali-kali saya uluk salam mereka tidak menyahut juga. Yaiyalah orang lagi tidur.

Setelah mengulang hingga belasan kali, satu orang dari mereka terbangun dengan kaget. Seorang laki-laki yang masih terbilang remaja. Setelah saya ceritakan perihal maksud kedatangan kami, ia segera mencari kunci kamar pendopo untuk kami menginap. Karena kunci tidak ditemukan, sementara waktu terus beranjak tengah malam, akhirnya kami ditempatkan di sebuah ruangan lain. Di ruangan tersebut kami disediakan sleeping bag banyak sekali. Sebagian dijadikan selimut sebagian lagi kami jadikan alas tidur. Namun tetap saja hawa dingin hutan membuat kami menggigil kedinginan.

Malam itu tidur kami tidak pulas karena terganggu suara burung yang terus –terusan berbunyi tanpa henti di sangkar yang digantung di langit-langit ruangan. Duh itu burung dikasih makan apa ya. strong banget nggak tidur-tidur. Bahkan hingga subuh lewat pun dia bercicit, bersiul, dan bersuit-suit terus. Tidur yang setengah-setengah. Suara burung yang  berisik keluar masuk dalam mimpi antara sadar dan tidak. Bukan saya saja ternyata Bapak dan Bang Ical pun merasakan hal yang sama. Namun Chila, Rouf dan Tian sepertinya tidak sama sekali terganggu.
Rusa-Rusa di Penangkaran

Keesokan paginya kami berjalan-jalan di sekitar kawasan hutan. Melihat penang karan rusa yang sedang dikembangbiakkan di sini. Setelah besar nanti beberapa rusa dilepas ke hutan. Seorang polisi hutan yang sedang bertugas sempat kami temui di rumah penangkaran rusa. Ia bercerita bahwa ia dan timnya setiap hari berkeliling mengitari kawasan hutan. Mendata dan mencatat aneka satwa dan fauna yang hidup di kawasan hutan ini.

Setelah menyaksikan rusa dari dekat, kami melanjutkan jalan pagi menuju rumah pohon. Melintasi lapangan rumput yang sering dijadikan lokasi kemping lalu menyebrangi beberapa sungai kecil dan tibalah di sebuah lokasi dimana terdapat sekitar 5 rumah pohon. 2 rumah pohon lagi sedang dibangun. Terlihat dari kayu-kayu yang menumpuk di pekarangan.

Rumah pohon saling berhadapan mengitari sebuah halaman dimana terdapat tempat-tempat duduk dan perapian untuk membuat api unggun. Seperti rumah-rumah peri saja. Rumah pohon ini sangat unik dan menarik. Dan inilah yang menjadi icon Masigit Kareumbi. Saya sendiri tertarik karena melihat rumah-rumah pohon ini di internet. Dan surprise begitu mengetahui bahwa letaknya berada di jalur menuju Garut, kampung halaman saya.

Chila, Kakek, dan Omnya
Kawasan Taman Buru Masigit Kareumbi luasnya 12.420,72 hektar dan terletak di wilayah perbatasan Bandung Sumedang Garut. Dinamakan Masigit karena terdapat Gunung Masigit di sebelah barat kawasan, sedangkan Kareumbi diambil dari tanaman Kareumbi (Homalanthus populneus) yang dulu banyak terdapat di wilayah ini. Wilayah ini dijadikan Taman Buru melalui SK Menteri Pertanian tanggal 15 mei 1976. Karena hingga periode tahun 2007 kawasan ini terbengkalai maka Wanadri menyatakan minat untuk mengelola kawasan ini. Dari situlah pengembangan kawasan konservasi dimulai.

Program awal yang dilakukan adalah program Konservasi Wali Pohon. Dimana setiap orang atau perusahaan dapat mengadopsi pohon dan menanamnya di kawasan hutan Masigit Kareumbi. Sayang saat kami ke sini orang yang bertanggung jawab untuk program wali pohon sedang tidak ada di tempat. Padahal ingin mengajak dan mengajari Chila bagaimana menanam pohon.

Menjelang pukul 10 pagi itu, kami sepakat untuk mengakhiri kunjungan. Dan menanyakan berapa biaya kami menginap di sana. Namun sungguh tak terduga, si akang yang bertugas menjawab gratis. Saya bengong saja dan merasa tidak enak hati. Ya sudah saya paksa dia menerima sejumlah uang yang menurut kami pantas. Hitung-hitung uang masuk kawasan.
Jiaaah... Chila gak mau pulang malah asyik nyapu :D

Untuk biaya sewa rumah pohon saya lupa menanyakan, jadi tidak tahu pasti berapa namun dari artikel yang pernah saya baca sekitar 200 hingga 500 ribu rupiah per rumah. Jika ramai-ramai tentu bisa sharing cost dengan teman-teman seperjalanan.

Menurut saya Kawasan Konservasi Masigit Kareumbi sangat cocok bagi mereka yang ingin get lost, menyingkir sejenak dari kebisingan dan hiruk-pikuk kehidupan kota. Terlebih di sini tidak ada sinyal hand phone sama sekali.



30 komentar :

  1. wakz,asik banget ya mbk tempatnya...asri banget,kebayang gimana dinginya ^^

    BalasHapus
  2. asiiikk, dapet info jalan-jalan baru. Masukin ke daftar jalan-jalan, ah. Kali aja suatu saat bisa ke sana :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga kesampaian bisa ke sananya mbak Keke :)

      Hapus
  3. Anakku suka banget rumaah pohoon.Waah.....jd pengin kesana niih..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya seperti anak saya, malah nggak mau pulang.

      Hapus
  4. Catet...catet...
    Suatu saat harus nhajak nadia kesini :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sip, Nadia harus nyoba rumah peri ke sini :D

      Hapus
  5. Makasih Mak udah sharing. List jalan2 nambah lagi nih kalo mudik nanti. ^_^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau mudik ke Garut Tasik Ciamis, atau Cilacap, Jalan masuk ke tempat ini kelewatan loh Mak.

      Hapus
  6. Aaakkkkseruuu.......pengennn juga kesana *noted

    BalasHapus
  7. maks, ini kawasan masih sedaerah sama aku. aku, pernah kesana pas kegiatan ekskul gitu. kalau aku gak berani malah nginep disana, hihi... soalnya disana sepi banget ya? trus daerah sana kalau dulu sering jadi tempat pelatihan anak-anak ekskul setahu aku.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihi..buat kami yang hidup di keramaian justru sepi gini yang dicari Teh Santi

      Hapus
  8. Keren banget keluarga yg satu ini, jalan-jalan ke alam terus :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mbak kalau pulkam ke Garut ajak Salim ke sini, pasti dia senang

      Hapus
  9. Mau donk, deket nih dari rumah..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waaah apalagi kalau deket gitu. Enak bisa sering-sering main ke sini

      Hapus
  10. wah saya br tau ada tempat ky gini di cicalengka... kpn2 ajak keluarga ke sini ah...
    makasih informasinya mak :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya ini tempatnya emang belum setenar kawasan Wisata lainnya Mak. Apalagi lumayan jauh masuk ke dalam sekitar 1 jaman (dengan nyasar-nyasar :D)

      Hapus
  11. jadi inget buku cerita jaman keciil, rumah pohoon..mauu...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya karena mirip banget dengan cerita di dongeng-dongeng, anak saya langsung betah di sini. Buat anak-anak emang cocok banget

      Hapus
  12. wah enak banget tempatnya tuh,, buat acara back to the nature sama keluarga enak tuh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, kalau ke sini harus ramai-ramai biar nggak iseng soalnya gak bisa main gadget :D

      Hapus
  13. Asik tuh tempatnya, tradisionalis banget :)

    BalasHapus
  14. Aku ke Masigit Kareumbi tahun 2011. Suka banget suasananya yang sepi dan tenang. Udara segar. Penganan tradisiopnal yg dihidangkan pihak pengelola enak banget. Sempat main kano juga di sana.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya ke sana tuh pengen main canoe sama sepedaan, tapi ternyata orang yang bertanggung jawab mengenai itu lagi gak ada di tempat Mbak Rien.

      Hapus

Halaman ini dimoderasi untuk mengurangi spam yang masuk. Terima kasih sudah meninggalkan komen di sini.

Made with by Lina W. Sasmita