Tanjakan Cinta Gunung Semeru antara Mitos dan Keindahan


Tanjakan Cinta Gunung Semeru
Ratusan Tenda dan Tanjakan Cinta


Rute Trekking Gunung Semeru:
 
Desa Ranupani --> Pos I (Landengan Dowo, 2300 mdpl) -->Pos 2 (Watu Rejeng, 2350 mdpl) --> Pos 3 (Ranu Kumbolo, 2400 mdpl) ---> Tanjakan Cinta ---> Savanna Oro-Oro Ombo --> Pos 4 (Cemoro Kandang, 2500 mdpl) ---> Pos 5 (Jambangan, 2600 mdpl) ---> Pos 6 (Kalimati, 2700 mdpl)--> Puncak Mahameru 3676 mdpl.

Hari itu langit biru cerah. Matahari bersinar hangat seiring irama kaki para pendaki yang meniti Tanjakan Cinta. Dari jauh mereka tampak seperti semut-semut pekerja yang sedang memanggul makanan. Begitu kecil dan ringkih jika dibandingkan dengan megahnya alam yang saya saksikan.

Tanjakan Cinta Gunung Semeru
Tanjakan Cinta

Perlahan saya melangkahkan kaki melalui ratusan tenda yang berwarna-warni. Mengikuti jalan setapak yang mengarah ke Tanjakan Cinta. Tanjakan dengan kemiringan hampir 60 derajat, yang kerap membuat seseorang yang melaluinya meminta tolong kepada rekan atau orang yang ditemuinya dengan berpegangan tangan. Hingga tampak seperti orang yang sedang berpacaran. Atau karena saling berpegangan tangan itulah maka diantara keduanya mulai tumbuh benih-benih cinta. Kata suami saya, konon dari situlah Tanjakan Cinta diberi nama.

Tanjakan Cinta di Gunung Semeru mengingatkan saya pada Tanjakan Patah Hati di Gunung Sinabung. Walau saat itu tubuh masih segar-bugar namun ampun-ampun deh tanjakannya bikin nyeri tulang sendi. Kebalikan dari Tanjakan Cinta yang menyemai benih-benih kasih, Tanjakan Patah Hati  justru menuai kesedihan dan patah kaki eh...patah hati :D Kok bisa?

Biasanya yang dilakukan orang-orang di tanjakan ya gitu saling pegang-pegangan tangan dengan pasangan masing-masing. Naah... di Tanjakan Patah Hati yang dipegang ternyata tangan pasangan orang lain. Qiqiqi...gimana nggak patah hati coba kalau pasangan kita pegangan tangan sama cewek lain. Baik itu cewek cakep, atau setengah cakep, atau kurang cakep, atau nggak cakep sama sekali. Yang pasti cewek lain. Iya gak apa-apa kalau pegangan tangannya jeruk sama jeruk, kalau jeruk sama apel? Laaah kan bahaya, bisa dibuat jus sekaligus. Idiih apa coba?

Kalau suami saya pegangan tangan sama cewek lain? Beuuuh jangan harap-harap deh, udah saya lempar keril tuh cewek pakai jurus lempar piring atau dicakar-cakar pakai gagang trangia biar gelindingan sekalian di tanjakan. Haha....jangan macam-macam sama istri galak dan cemburuan.

Tanjakan Cinta Gunung Semeru
Huuup...nggak ada yang buat dipegang

Mitos yang beredar di kalangan pendaki mengenai Tanjakan Cinta ini adalah JANGAN MENENGOK KE BELAKANG karena akan putus cinta. Halaah. Dan saat melangkahkan kaki semakin tinggi di tanjakan ini, hati saya pun mulai terpengaruh. Nengok nggak, nengok nggak? Yaelah mpok pake mikir segala. Saya pun membalikkan badan. Subhanalloh. Saya berdiri mematung. Kemudian hanya suara kamera yang berbicara. Klak-klik klak-klik. Kesian amat itu yang bikin mitos berarti nggak menyaksikan pemandangan Luar biasa  amazing di belakang sana.

Dengan semangat membara saya terus melangkah. 10 menit kemudian sudah nangkring di atas sana. 10 menit yang bikin nafas sesak, jantung berdegup kencang, mata kunang-kunang dan lutut mendadak letoy. Aaah lupa kalau usia sudah di atas kepala 3 puluuuuh.....**** tiiit sensor. Biar tetap dibilang masih muda :D

Ini pemandangan dari Tanjakan Cinta ke Belakang

Saya berangkat sendirian menuju puncak. Porter yang membawa keril saya sudah lama berangkat 1 jam sebelumnya. Chila dan ayahnya tidak ikut  menuju puncak karena ada larangan membawa anak kecil. Lagian kami masih belum yakin dan tidak mau mengambil resiko yang lebih besar lagi. Khawatir Chila kenapa-kenapa. Cukuplah ia sampai Ranu Kumbolo.

Mata saya nanar mencari-cari tempat Chila dan ayahnya main ayunan. Sepertinya di gundukan pohon yang sana yang sebelah kiri. Kelihatan? Itu tuh yang sebelah kiri. Masih belum kelihatan juga? Iya sama :D Saya yakin mereka berdua memperhatikan saya dari jauh. Dan yang mengangetkan, saat pulang ke Batam, Chila mulai menggambar suasana Ranu Kumbolo plus lapangan rumput dengan dua kotak di sebelah kanan yang  menurutnya adalah toilet. Pada kenyataannya toilet tersebut berdinding terpal biru dan joroknya minta ampun. Air pipis dan kotoran manusia tercecer beberapa meter menjelang toilet. Untung saya minum diapet dua kaplet sebelum keberangkatan di Ranupani. Biar tidak kebelet buang air besar saat berada di gunung. Ah sungkan dan berdosa rasanya meninggalkan ranjau dan mengotori alam yang indah ini.

Di gambar itu pun Chila membuat garis lurus ke atas yang katanya itu Tanjakan. Tanjakan Cinta maksudnya. Di dalam tanjakan  dia menggambar orang serupa lidi dengan urek-urekan nggak jelas. Chila bilang itu Bunda. Hehe...iya mirip deh memang saya kurus cungkring.


Tanjakan Cinta di belakang tampak berupa garis di bukit (abaikan model :D)

Saya dibuat termenung, rupanya daya ingatnya masih kuat sehingga gambaran utuh suasana Ranu Kumbolo begitu terasa. Chila pun menggambar bukit-bukit di sekeliling Ranu Kumbolo. Namun yang saya heran dia tidak menggambar rumput dan pepohonan. Dia menggambarkan garis-garis melengkukng seperti ombak. Katanya itu salju. Keukeuh. Ini anak pengen banget ngelihat salju sampai-sampai membayangkan bukit-bukit di Ranu Kumbolo semuanya tertutup salju. Sepertinya terpengaruh film Masya and the Bear yang selalu memperlihatkan musim salju. Hingga Chila sering merajuk.

"Bunda kenapa sih di Indonesia nggak ada salju. Males Chila." Katanya.
"Siapa bilang di Indonesia nggak ada salju? ada kok."
"Dimana? dimana Bunda?" Matanya berbinar-binar
"Di Papua.Di puncak Gunung. Namanya Cartenz Pyramid."
"Waaah mau-mau...Chila mau ke Papua Bunda."

Klop deh. Bunda juga sama Chil pengen ke Papua. Nanti ya kalau ada rejeki. Nyengiir kuda.

Saat saya mencari-cari gambarnya untuk difoto, entahlah ada dimana. Kebiasaan Chila kalau udah menggambar, naruhnya sembarangan. Saya pun lupa untuk menyimpan dan merapikannya.

Posting Komentar

Halaman ini dimoderasi untuk mengurangi spam yang masuk. Terima kasih sudah meninggalkan komen di sini.

Made with by Lina W. Sasmita