Kalimati Sebuah Romansa Padang Gersang dan Hutan Cemara

Kalimati Gunung Semeru
Kalimati yang dingin dan Berangin

Dingin mendekap dalam selimut kabut. Pada paruh hari yang tenang, dikala mentari garang mengambang di lautan awan, aku melangkah menuju tanah lapang yang hanya ditumbuhi ilalang kering kerontang. Menapaki jalur para pendaki yang nanar menatap puncak tegak berdiri. Begitu angkuh. Begitu menggetarkan. Begitu memabukkan.

Mahameru. Puncak berbatu yang kerap diidamkan para pecandu ketinggian. Para penggila kedamaian. Para pemburu kesunyian. Dan para pecinta petualangan. Sang pujaan, kini telah jelas dalam penglihatan. Agung dan anggun dalam balutan gaun tipis awan-gemawan.


Canopy Cemara

Mahameru, laksana candu. Menggetarkan, memabukkan, melenakan, lalu mendamaikan.
Dalam debar jantung yang tak beraturan, dalam denyut arteri yang terpompakan, ia akan terus menagih dan menagih untuk kembali. Merayapi jurang-jurangnya, mencumbui pasir-pasirnya. 

Kulihat para penyendiri tegak berdiri. Menatap sunyi pada  puncak yang tertinggi. Mengukur  diri, memupuk pasti. Membenahi ragu yang menyusup ke dalam hati,  saat menanti di savanna kering Kalimati.


Savana Kalimati


Deru sang bayu yang datang dari lembah, bergemuruh laksana badai riuh merambah. Melemparkan ranting cemara ke tenda-tenda. Membuat jeda, memaknai pertanda. Dimana doa-doa mulai melangit. Semoga malam terang berbintang. Semoga badai terlupa untuk datang menerjang. Semoga semesta merestui, pada makhluk-makhluk ringkih yang sedang merayapi. Bergelut dengan ego dan pengharapan. Penuh cemas dan ketidakpastian. Pada puncak yang menjadi tujuan.  

Kerlip bintang malam ini masihlah tetap sama seperti malam-malam kemarin yang dingin dan berangin. Dan kedipan nakal bintang kejora terlalu lama untuk dinantikan. Sejauh waktu yang baru hilang separuh, pekat menggantung di awal sepertiga malam.

Antara Tenda dan Cemara


Wahai pendaki apa yang engkau cari? Kamu bertanya pada dirimu sendiri. Saat jiwamu terlepas dalam halusinasi. Saat ragamu terhempas dalam ekstasi. Saat linglung, saat limbung, saat gunung memintamu untuk bertarung. Saat tipisnya udara mencekik, meremas, melarung alam sadarmu. 

Bangun. Lanjutkan langkahmu. Tempatmu bukan di sini. Tempat ini terlalu suci untuk engkau tiduri. Melangkahlah. Merayaplah walau semili. Merangkaklah walau sesenti. Bergeraklah dengan sebati.

Batas Vegetasi, Jembatan Pasir


Pendaki, apa yang kamu cari? Batinmu bertanya lagi. Aku lelah! Aku hanya ingin tidur dan berserah! Aku menyerah! Aku kalah! Aku akan turun saja! Perang batinmu begitu bergejolak. Laksana kawah aktif yang bergolak. 

Pendaki apa yang kamu cari? Telahkah kautemui arti pada titik triangulasi?


Artikel terkait dengan ini:
1. Savanna Oro-Oro Ombo
2. Tanjakan Cinta
3. Menuju Ranu Kumbolo


18 komentar :

  1. Selalu suka baca-baca kalimat puitis ala pendaki tangguh ini.

    Keren mbak Lina.

    Ohya karena aku bukan pendaki, jadi aku ga bisa jawab pertanyaannya di akhir tulisan wkwkwk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waah sayang sekali. Saya lempar pertanyaannya ke Mbak Zulfa ya Mbak. Tettot (Bel habis :D)

      Hapus
  2. Waktu baca sambil inget inget Semeru. Puitis sekali mbak. itu dapat kata kata darimana. Merangkainya gimana. Bagi ilmu mbak Lina

    Keren!!! Pingin suatu saat nanajak bareng.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Duuuh...Mbak dikau malah yang lebih puitis. Ini dari rasa yang paling dalam nggak darimana-mana :D Hayu nanjak bareng gunung2 yang di Ladakh atau Kashmir saja. Rela aku rela. Bawa aku ke sana Mbak. Culik aku :D

      Hapus
    2. Culik aku juga ke Ladakh.. ke Kashmir... pokokna mah pasrah kalo diculik mbak Zulfa :D

      Hapus
  3. Aih tulisanmu mak, memang bener pakek hati, soaalnya terasa di hati aku juga nih..eeaaa.
    Aaahhhh semeru, setiap kali melihat foto dan membaca ulasan ttg dirimu, membuat hatiku berkata "kapan aku bisa menyentuhmu ?". Hadehhhh..ttup muka ah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semeru menantimu Mak. Segeralah…ke sanalah. Lalu rasailah aroma rindu yang bergelayut di angkasa. Yang berpendar menjadi pijar yang akan engkau pancarkan pada sudut-sudut risaumu yang sunyi.

      Hapus
  4. Aih tulisanmu mak, memang bener pakek hati, soaalnya terasa di hati aku juga nih..eeaaa.
    Aaahhhh semeru, setiap kali melihat foto dan membaca ulasan ttg dirimu, membuat hatiku berkata "kapan aku bisa menyentuhmu ?". Hadehhhh..ttup muka ah.

    BalasHapus
  5. Setiap pendaki gunung, pasti selalu mencari jalan turun teh.. :D :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haha...betul Dee. 100 nilainya. Maaf hadiahnya udah dilempar juga :D

      Hapus
    2. Lempar ke Merliooon... :D

      Hapus
  6. baca ini kok jadi inget film 5cm ?

    BalasHapus
  7. Belum pernah ke Semeru, meski udah baca novel 5cm namun saya tahu diri saya tidak punya kemampuan untuk melakukannya, apalagi seorang diri. Biarlah saya cukup menikmati dari cerita2 para pendaki seperti Mbak Lina.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sayang banget Mas ya, padahal Semeru ada di halaman rumahmu. Tinggal naik angkot dan jeep sekali. Saya yakin semua orang mampu jika benar-benar berminat. Terima kasih sudah mampir.

      Hapus
  8. Wah.. puitis sekali Mbak.. kerasa banget kalo dari hati nulisnya.
    btw, sebenernya pengen juga ke sana, apa daya semesta gak mendukung :D
    anak-anak masih balita, suami gak hobi jugak.. ke Bromo aja dulu pas masih sigle.. *eh kok curhat*

    BalasHapus
    Balasan
    1. Gak papa Mak Curhat tidak dilarang di sini :D Tunggu anak-anak besar aja dulu biar bisa jadi teman jalan kayak saya ini.

      Hapus

Halaman ini dimoderasi untuk mengurangi spam yang masuk. Terima kasih sudah meninggalkan komen di sini.

Made with by Lina W. Sasmita