Pendakian Memperingati 200 Tahun Meletusnya Tambora part 2


Pos 1 Gunung Tambora
Pos 1

Waktu beranjak sore. Dan gerimis yang rintik-rintik mulai menebar galau di hati para pendaki yang sedang beristirahat di Pos 1. Sebagian besar bingung mencari tempat berteduh sementara shelter (pondok perhentian) sudah penuh dengan keril dan orang-orang yang terlebih dahulu tiba di sana. Beruntung saat tiba, kami mengenali dua orang diantara beberapa yang berteduh itu. Bang Man dan Bang Han. Dua orang pendaki dari Kuala Lumpur Malaysia yang kami kenal saat sama-sama menunggu jemputan di Bandara Lombok. 

Pos 1 Jalur Pendakian Dusun Pancasila, Gunung Tambora


Melihat mereka ada di antara deretan keril, saya langsung SKSD. Sok Kenal Sok Dekat. Dan langsung mempraktekkan Bahasa Melayu yang saya pelajari tiap kali nonton Film Upin-Ipin :D Bang Man dengan mudah mengenali kami. Tapi Bang Han yang saat itu sedang duduk agak jauh dari Bang Man belum ngeh juga siapa kami. Hiksss... Bang Han loading-nya lama. Dia menatap saya dan Marita penuh heran. Ooooh come on Bang Han. We are beautiful women from Batam Island.

"Halo Bang Han!" Saya menyapanya penuh senyuman. Bang Han mengerutkan kening. Mencoba mengingat-ingat siapa saya. Dalam hatinya mungkin ia berkata Siapa Lo? Janda bukan perawan bukan. *Plaak. Eh dia kan nggak bisa Bahasa Betawi. Oooh mungkin begini nih kata dia. Macam mane awak kenal ay? Pyuuh...tatapannya itu, sepertinya ingatan dia belum berhasil menarik balik memory kemarin siang. Mungkin harus dikasih Ayam Taliwang dulu nih baru bisa mengingat kami.


"Mana kasutnya? Tak pakai kasutkah?" Saya mencandainya. Mencoba mengingatkan kembali topik obrolan seru saat di Bandara Lombok kemarin. Bang Han yang wajahnya asli oriental ini gayanya memang santai banget. Saya tak menduga sedikit pun ia seorang pendaki gunung. Barang bawaannya hanya sebuah ransel kecil. Pakaian cuma kaos tipis plus celana sedengkul. Kucuk-kucuk datang pakai sendal jepit doang. Ini mau mendaki gunung apa mau main ke pantai? Pertanyaan saya di bandara saat itu benar-benar serius. Kata Bang Ming, dulu saat mendaki Gunung Rinjani pun style-nya emang begitu. Ooooh....mulut saya pun bulat Oooo. 

"Saya yang jumpa Abang di Lombok Airport." Saya menatapnya penuh harap.

"Aaah ya..ya..ya..." Akhirnya Bang Han mengenali kami. Yes...yes..yes...

Sambil mendekat, mata saya jelalatan penuh selidik pada kaki Bang Han. Jiaahaha...dia nyeker, nggak pakai apa-apa. Saya masih penasaran apa dia tadi naik gunungnya pakai sendal apa sepatu sih. Aih, ternyata ia tetap memakai sendal jepit doang. Ajib banget.  Bikin ngeri kuku jari kaki.

Kalau saya justru takut untuk memakai sendal. Takut kesenggol duri jelatang. Tumbuhan semak berduri yang tersebar di sepanjang jalur pendakian Gunung Tambora. Terutama mendekati  Pos 4 hingga Pos 5. Semula saya mendaki akan memakai rok lebar. Tapi tidak jadi karena takut durinya nyangkut di rok terus nanti pindah ke kulit. Waah berabe kalau sudah kena. Bisa berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan hingga dua bulan baru sembuh. Kalau kena jelatang kulit akan terasa sakit, perih, gatal, dan seperti terbakar. Campur aduk nano-nano deh rasanya.

Saya tidak menyoroti Bang Han saja. Sebagian besar pendaki yang saya temui, terutama pendaki lokal sekitar Pulau Sumbawa, rata-rata mereka hanya mengenakan sandal saja. Mungkin ada alasan mengenai hal tersebut. Tapi balik lagi pada prosedur pendakian yang aman. Bahwa kaki adalah anggota badan, aset, yang sangat penting dan harus dijaga kenyamanannya supaya  tidak cedera. Saya perhatikan banyak pendaki yang berpapasan dengan kami saat mereka turun gunung, kakinya  pincang-pincang karena terantuk batu, kayu, dan sejenisnya.

Jadi, bagi saya pribadi saat mendaki gunung, wajib hukumnya memakai sepatu. Kalau nggak punya mending pinjam. Kalau nggak bisa pinjam teman ya sewa. Kalau tidak bisa sewa ya beli dong :D Teman-teman satu tim saya seperti Yuni, Marita, dan Kiki malah lebih safety lagi melindungi kakinya dengan mengenakan gaiter. Yaitu sejenis bahan (pakaian) yang digunakan untuk melindungi dan menutupi pergelangan kaki dan kaki bagian bawah. Selain melindungi kaki juga melindungi celanan bagian bawah dari cipratan air hujan.

Kami pun segera mendekat dan berteduh di shelter Pos 1. Bang Ming mulai berinisiatif untuk memasak. Lumayan hujan-hujan gini bisa menghangatkan perut dengan masakan seadanya. Saya memeriksa persediaan logistik di keril. Ah syukurlah ternyata masih ada mie lidi namun mie punya saya ini masih mentah. Biasanya yang dijual untuk cemilan mie lidinya sudah matang dan langsung dapat dimakan. Lebih praktis dan simpel. Selain mie lidi Bang ming juga memasak mie instan dan mie goreng. Setelah matang kami langsung makan rame-rame. Alhamdulillah nikmat.

Selesai makan kami bersih-bersih di sumber air yang tak jauh dari pos 1. Setelah itu melaksanakan sholat jamak untuk zuhur dan ashar.

Setelah berpamitan kepada Bang Arief yang akan tinggal di pos 1 hingga kami turun kembali,  tim bergerak melanjutkan perjalanan menyusuri jalur setapak yang di kanan kirinya ditumbuhi semak dan pepohonan tinggi. Sesekali tampak pohon Sappan. Pohon yang hampir punah karena eksploitasi perusahaan kayu. 

Jalur menuju Pos 2 yang dilalui masih terbilang datar. Sesekali menanjak dan menurun. Saat jalur  menurun terkadang kami waswas. Loh bukankah kita sedang mendaki? kenapa jalurnya menurun? Hanya bertanya-tanya dalam hati. Namun rasa waswas segera sirna ketika beberapa pendaki mendahului kami dan menyusuri jalur yang sama. Yah setidaknya kalaupun nyasar masih ada grup lain yang nyasar juga haha.

Petang menjelang. Kegelapan mulai merayapi lekuk-lekuk gunung. Menyelimuti rimbun daun-daun, menutupi semak dan rerumputan. Seketika segalanya menjadi senyap. Hanya deru nafas yang memburu dari setiap hela paru-paru dan hidung kami. Setiap langkah menetes peluh yang luruh. Semakin mendekati kata lelah. Ingin segera tiba di perhentian selanjutnya.

Lampu senter dan head lamp mulai dinyalakan. Kami berjalan beriringan. Hanya selisih beberapa meter saja. Kali ini tak ingin terpisah satu sama lain. Ini perjalanan malam. Segala yang tidak mungkin bisa saja menjadi mungkin. Ini bukan rumah kami. Kami hanyalah para pencari. Para pendatang. Para musafir yang haus akan nilai petualangan. Ini bukan rumah kami. Jadi bersama harus terus bersama-sama.

Dua jam setengah hampir mendekati 3 jam perjalanan dari Pos 1, kami tiba di Pos 2. Suasana  sangat ramai oleh para pendaki yang telah membuka tenda. Sebagian lagi tidak kebagian tempat untuk mendirikan tenda karena lokasinya sempit, tepat berada di tepi sungai kecil dan jurang. Namun kami telah memutuskan untuk beristirahat sejenak di  Pos 2 hingga dini hari nanti.

Kami pun menggelar matras. Mencoba menyelip diantara puluhan tenda yang sudah berdiri di sana. Beberapa orang pendaki yang tidak kami kenal, dengan sigap membantu membentangkan fly sheet di atas matras, sehingga kami tidak akan kehujanan.

Setelah makan malam dan rapi-rapi kami pun tertidur pulas. Tidur yang nikmat walau tanpa kasur dan bantal yang empuk. Berkasur matras, berbantal lengan dan berselimut sleeping bag hingga msing-masing terlelap dalam mimpinya.

Baca catatan perjalanan selanjutnya di pendakian Gunung Tambora bagian 3

4 komentar :

  1. seruuu, jadi kangen naik gunung lagi :D

    BalasHapus
  2. Total pendakian berapa hari, Mbak? :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. 3 hari 2 malam Beb. Klo dari Pancasila pagi-pagi bisa 2 hari 1 malam.

      Hapus

Halaman ini dimoderasi untuk mengurangi spam yang masuk. Terima kasih sudah meninggalkan komen di sini.

Made with by Lina W. Sasmita