Para Pelintas Jalan di Pulau Sumbawa

Kendaraan kami melintas di Pasar Kadindi, Dompu
Mobil jenis APV dengan merk Suzuki Arena bernomor polisi DR 1576 DC melaju kencang menembus kegelapan malam. Lagu-lagu era tahun 90an mengalun bergerak rancak dari tape mobil yang sedang kami kendarai.

Perjalanan berjam-jam melintasi Kabupaten Sumbawa Barat kemudian Sumbawa Besar telah kami lalui. Kini mobil melaju dengan kecepatan menembus 100 kilometer per jam menyusuri pesisir barat Kabupaten Dompu. Menyusuri tepian Teluk Saleh yang tenang dan indah. Sayang kami melaju pada malam hari yang gelap gulita. Hanya tampak kelap-kelip lampu nelayan di kejauhan.
Di belakang kemudi, Bang Arief dengan rambut terurai panjang sepunggung begitu serius menatap jalan. Segelas kopi yang diteguknya saat kami makan siang di salah satu rumah makan di daerah Masbagik Lombok, bekerja dengan sangat baik. Membuat matanya tetap awas dan terjaga.

Kang Asep yang duduk di samping Bang Arief sudah tertidur pulas. Di jok kiri bagian tengah Bang Ming sudah menyandarkan kepalanya di tepi kaca. Marita yang duduk di tengah-tengah juga sudah tenggelam ke alam mimpi, wajahnya tak terlihat karena tertutup slayer. Sementara saya duduk menelungkup pada kaca sebelah kanan jendela mobil sambil memeluk buku Tambora Sampai ke Kita karya Nunik I. Taufan. (Sebenarnya ada kisah tragis yang menimpa suami penulis buku ini sebelum kami melakukan perjalanan ke Sumbawa. Nanti akan saya ceritakan). 

Duduk di jok paling belakang duo dokter muda Yuni dan Kiky. Keduanya  sudah tak bersuara lagi. Sama-sama pulas tertidur di antara himpitan keril yang berjejalan di bagasi yang tembus dengan jok mereka.

Laju mobil tiba-tiba seperti tertahan karena menggilas sesuatu. ..Ngik...ngik....suara anjing terkaing-kaing semakin jauh, jauh dan menjauh. Saya terbangun kaget.

"Apa tadi itu Bang?"
"Anjing ketabrak." Kata Bang Arief tetap terdengar tenang. Duh kasihan.

Belum genap satu jam, mobil yang kami kendarai terguncang kembali seperti menggilas sebuah batu besar. Saya terkaget-kaget lagi dan saat bertanya kepada Bang Arief, jawabnya sama dengan tadi, ia menabrak anjing lagi. Duuuh. Maafkan kami ya anjing. Mungkin itu pilihan yang tepat yang diambil Bang Arief daripada membanting setir saat mobil meluncur dengan kecepatan tinggi. Tentu akan membahayakan kami para penumpang mobil. 

Para pelintas jalan
Malam itu jalanan mulus sepi seakan milik kami. Hanya sesekali bis antar kota antar provinsi dan iring-iringan truk yang berpapasan. Meskipun sepi, lagi-lagi mobil kerap dibuat berhenti. Direm mendadak karena ada kuda, sapi, kambing yang nyelonong dan kelayapan malam-malam. Para pelintas jalan itu tentu tak pernah mengerti akan keselamatan nyawanya sendiri dan nyawa para pengendara.

Begitupun menjelang pulang, setelah selesai mendaki Gunung Tambora, saya baru jelas melihat suasana jalanan Pulau Sumbawa khususnya Kabupaten Dompu ini. Di kanan kiri hamparan savana luas sejauh mata memandang. Kerbau, sapi, kuda, kambing, merumput dengan damai. Bergerombol, berkelompok, namun semuanya terlihat akur dan berbaur. Rasanya inilah pemandangan sekeping surga bagi saya.

Tanda rambu sapi kerap ditemui di sepanjang jalan di Pulau Sumbawa
Dalam jarak beberapa ratus meter terdapat rambu-rambu yang bergambar sapi di tepi jalan. Menandakan kepada para pengendara untuk lebih berhati-hati karena kerap terdapat sapi dan ternak lainnya yang berkeliaran dan melintas jalan sembarangan.

Entah sudah berapa belas kali, Bang Arief mengerem mendadak laju mobilnya. Segerombolan kerbau dan sapi seringkali menyebrang tanpa permisi. Kami bukannya kesal justru takjub dan menjerit-jerit karena sibuk mau foto-foto sementara kamera dan tablet belum siap di tangan. Sialnya lagi begitu dinyalakan, tablet sudah lowbat dan sekarat. Untung saja Kiky bawa kabel USB yang bisa saya pinjam dan langsung dicolokin ke tape mobil hingga tablet saya bisa dicharge dengan segera.

Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Meskipun siang hari tetap saja saat sapi-sapi yang melintas mendadak harus sangat diwaspadai. Bang Ming bilang, di sini, ayam saja jika ketabrak maka nilai ganti rugi akan dihitung oleh si pemiliknya dengan menghitung berapa telur yang biasa dihasilkan dan kerugian anak-anak ayam yang ditinggalkan oleh emaknya. Wkwkwkwk.

Kalau sapi yang tertabrak? Alamakjaaan....satu ekornya saja seharga 9 jutaan. Kalau 7 ekor yang ketabrak bisa-bisa kami pulang jalan kaki karena mobil ini sudah ganti kepemilikannya :D

Sapi si pelintas jalan

Sapi, kerbau, kuda dan ternak lainnya yang dilihat liar serta hidup bebas di hamparan padang rumput Kabupaten Dompu ini semuanya ada pemiliknya. Jadi tidak liar begitu saja. Hanya kebiasaan masyarakat melepas dan membiarkannya mencari makan sendiri. Jadi jika akan beternak di sini cukup memberi tanda saja pada hewan ternaknya seperti gantungan kalung lalu dilepas.

Padang rumput yang rumputnya tak pernah tinggi

Padang rumput yang terhampar luas di sepanjang perjalanan tampak tak pernah menjadi semak dan tak sempat tumbuh tinggi. Ada pemotong rumput alami yang dengan siap sedia bekerja selama 12 jam sehari tanpa henti. Mesin potong rumput alami bernama kerbau, kuda dan sapi :D

Padang rumput - padang rumpur ini dari jauh maupun dekat tampak seperti hamparan permadani hijau yang menempel di lantai bumi. Bergelombang mengikuti kontur permukaan tanah dan menutupinya dengan indah.

Baca: Menggapai Puncak Tambora

Eksotisme Sumbawa sungguh luar biasa. Semoga suatu saat bisa kembali lagi ke sana.

6 komentar :

  1. Wah, itu sapi - sapi liar gitu ya? Atau ada yang pelihara?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebenarnya ada yang punya Mas/Mbak tapi dilepas begitu saja di alam terbuka. Nah yang punya cukup ngasih tanda saja di leher sapinya

      Hapus
  2. Pas baca judulnya tadi nebak-nebak siapa para pelintas itu, apa para pelancong. Eh ternyata :D
    Jadi pemandangan yang unik juga kalau seperti ini, berasa di kebun raya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya betul. Saya dan teman semobil asyik jerit-jerit karena seru :D

      Hapus
  3. jadi ingat di taman safari kalua lihat hewan-hewan menyebrang jalan seperti itu mbak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya ya? Saya malah belum pernah ke taman safari mbak.

      Hapus

Halaman ini dimoderasi untuk mengurangi spam yang masuk. Terima kasih sudah meninggalkan komen di sini.

Made with by Lina W. Sasmita