Pendakian Gunung Tambora Bagian 3

Pos 2 - Pos 4 Jalur Pancasila, Gunung Tambora

Di depan shelter Pos 2 Gunung Tambora

Sebelum tidur kami berenam sepakat akan bangun jam satu tengah malam. Apalah daya rasa lelah dan capek membuat kami terlelap hingga jam setengah dua. Katanya udah pada pasang alarm tapi entahlah nggak bunyi-bunyi. Alarmnya kecapekan barangkali. Ikut bobo manis bersama kami.

Bangun jam setengah dua itu pun karena tiba-tiba saya terbangun dan menanyakan jam berapa pada Marita. Gue gitu loh bangunnya emang tepat waktu. #Plaaak. Sombong banget.

"Bang Miiing, jadi nggak kita berangkaat?" Tanya saya pada Bang Ming yang nyempil tidur di teras tenda orang lain. Untung yang punya tenda sedang muncak ke atas sana. Jadi Bang Ming nggak perlu khawatir terinjak-injak penghuni tenda :D

Bang Ming dan dapur daruratnya di Pos 2 :D  Foto diambil keesokan harinya

“Iyaaaa...” Sahut  Bang Ming samar di balik kegelapan. Dari arahnya mulai terdengar suara prang...pring...prung... nesting, kompor, sendok, dan kawan-kawannya mulai bekerja. Bang Ming sigap langsung memasak. Ah ya, Bang Ming ini contoh pendaki teladan. Lihatlah kami masih sibuk dengan iler dan belek, dia sudah siap menghidangkan teh dan es te em je.

Sementara itu, rekan-rekan yang lain satu per satu mulai terbangun. Untung saja suasana gelap. Kalau terang, pasti kelihatan tuh belek dan iler masih menempel di mata dan pipi masing-masing. Haha. Karena itulah bangun tidur saya langsung sibuk  kucek-kucek mata, usap-usap mulut an pipi pakai ujung kerudung. Iiih...jooroook.

Setelah menghangatkan perut dengan minuman buatan Bang Ming, kami mulai mengemas barang-barang yang akan dibawa ke puncak. Hanya membawa yang penting-penting saja ke dalam daypack. Obat-obatan, air minum, mie instan, kompor dan nesting, coklat, snack, head lamp, mukena, dan rain coat.

Pukul 2 kurang beberapa menit, kami berenam telah beriringan meninggalkan Pos 2. Keril, tenda yang tidak sempat dipakai, matrass, dan barang lainnya kami tinggal di sana. Pak Midun, porter kami sengaja tidak ikut ke atas. Ia ditugaskan untuk menjaga barang-barang tersebut.

 
Para pendaki, gelimpangan di Pos 3
Kurang dari 2,5 jam perjalanan dari Pos 2, kami sudah tiba di Pos 3. Puluhan tenda memenuhi pemandangan sepanjang jalur Pos 3. Karena Pos ini sangat penuh sesak, beberapa orang tertidur di luar, hanya mengenakan sleeping bag dan sarung saja. Duh kasihan banget anak-anak orang ini. Jauh-jauh naik gunung tidurnya gelimpangan di luar begitu saja. Laah, kan Eloe juga sama begitu, nggak kebagian diriin tenda? Oh iya yah. *Sedikit amnesia.

Saya, Yuni, Marita dan Kiki langsung ambruk tertidur di tepi batang  pohon yang melintang di tengah jalur. Untung nggak ada yang lewat lagi. 15 menit lumayan dapat memejamkan mata. Tiba-tiba Kang Asep membangunkan dan menyuruh kami pindah menuju sebuah tenda. Di sana Bang Ming terlihat sedang mengobrol dengan seorang pendaki. Galih asal Makasar. Kata Bang Ming Galih mengaku lulusan PeSantRen. Pengangguran Santai tapi Keren. Jiaaah. Dan lagi katanya masih jomblo. Nah Rita, cocok nih! Saya langsung mencandai Marita.  

Galih menjamu kami dengan nutrijel buatannya yang masih hangat. Alhamdulillah nikmat di perut yang keroncongan. Setelah itu di dekat tendanya, kami menumpang sholat subuh, wudhunya bertayamum karena tidak ada sumber air bersih.
 
Menghangatkan diri di Pos 3, di tenda pendaki asal Makasar

Jam 5. 25 kami mulai berangkat menuju pos 4. Remang subuh mulai membayang. Jalur masih tetap sama seperti sebelumnya. Di kanan kiri hanya pepohonan tinggi dan semak belukar. Rapat, rimbun, dengan canopy yang tinggi menghalangi pemandangan langit.

Jalur yang terlewati sesekali diselingi batang-batang  tumbang yang menghalangi jalur pendakian. Kadang melompat, kadang kami merayap di bawahnya.

Di beberapa tempat terdapat tumbuhan jelatang. Namun untung saja sudah ditebas, tidak terlalu rapat ke jalur pendakian sehingga kami tidak terkena oleh duri-durinya yang menyebabkan sakit dan panas hingga berminggu-minggu.

Pos 4. Foto dulu sebelum berangkat

Sepanjang jalur menuju Pos 4, kami tidak banyak beristirahat sehingga hanya butuh waktu 1,5 jam saja saat tiba di sebuah dataran yang cukup luas. Kosong tak berpenghuni. Tak ada tenda, tak ada pendaki satu pun. Pos 4 lengang. Hanya pepohonan besar dengan daun yang saling bertautan.

Kami beristirahat sejenak. Sarapan seadanya dengan snack dan cemilan lainnya. Tak lupa mengabadikan momen kebersamaan di Pos 4 sambil foto-foto sunrise yang muncul dibalik pepohonan.


Tinggal 1 pos lagi  sebelum tiba di bibir kaldera luas, puncak Gunung Tambora. Dan aroma puncak pun telah membayang-bayang di benak.

29 komentar :

  1. Kok aku bacanya deg-degan ya, Mbak.. Ngga biasa ndaki sih.. Hihihi :P

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya lebih degdegan lagi Beb. Ketemu puncak pujaan hati. Puncak Gunung :D

      Hapus
  2. Balasan
    1. Ayo Mom Muna, kita daki bareng. Ajak Chila dan Nadya. Kita ke Rinjani yuk!

      Hapus
  3. Baca blog e sampeyan ITU piliranku langsung ke zaman dulu, masa dimana kaki menikmati menjejaki lekuk bumi. :)))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hanya tinggal mengenang kenangan ya Mbak. Ayo daki bareng saya aja. Tunggu saya ke India dulu :D

      Hapus
  4. tampilannya feminin, tapi tangguh euy. Mendaki gunung.... salut. *aku nunggu di kakinya aja deh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bund Donna, aku pengen tampil lebih feminim soalnya berjilbab. Pengen dekat-dekat syar'i gitu. Meskipun daki gunung. Tapi pas menuju puncak nggak pakai rok takut kena tumbuhan jelatang yang berduri. Takut nyangkut-nyangkut.

      Hapus
  5. <<<<< bukan anak pendaki banget hks, kena dingin langsung down.
    tapi mau belajar sih, seru banget kak!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya kalau daki gunung kudu kuat dingin mbak. Rata-rata suhu di bawah 20 derajat. Mendekati puncak di bawah 10 derajat

      Hapus
  6. Pingin banget bisa begini Mak :)

    BalasHapus
  7. Asyiknya...dari dulu saya cuma berandai-andai bisa naik gunung. Cuma naik bukit di belakang kampus saya dulu aja udah ngos ngosan...hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Belum terbiasa mungkin mbak. Kalau dibiasakan nafas jadi stabil tidak ngos-ngosan lagi.

      Hapus
  8. Seru seruu! masih ada lanjutan ceritanya kan? pengen nyediain waktu ke tambora deh jadinya :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Masih dong Kak Fahmi. Tapi nanti kalau ke sana pakai jalur Doropeti aja ya. View-nya lebih terbuka tidak rimbun. Cepet nyampe lagi.

      Hapus
  9. Mbak Lina walau mendaki tetep pakai gamis ya? saluutt.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ini pakai rok Mas. Cuma pas turun aja setelah tahu kondisi jalur. Pas naik pakai celana panjang, takut tersangkut tumbuhan jelatang. Eh taunya sudah dibabat oleh penduduk sekitar. Mungkin untuk kenyamanan para pendaki.

      Hapus
    2. fery ngaco10 Mei, 2015

      Mbak kapan ke tambora lg ???

      Hapus
    3. fery ngaco10 Mei, 2015

      Mbak. Kapan ke tambora lg ??

      Hapus
    4. Belum tau Fery. Kamu tinggal di Sumbawa ya? Pengen ke sana lagi.Tapi melalui jalur Doropeti lah.

      Hapus
  10. Keren banget mbaaa..sudah banyak gunung yang dirimu daki yaa...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Belum banyak banget sih Mbak. Baru beberapa saja. paling banyak setahun 4 kali. Rata-rata setahun sekali.

      Hapus
  11. dingin kan? nggak deh kak. saya duduk di bawah aja. nungguin kk pulang bawa foto puncak :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya. Eh tapi tergantung ketinggiannya sih. Kalau ketinggian di bawah 3000an masih aman buat orang tropis macam kita :D

      Hapus
  12. Luar biasa Mbak untuk pendakiannya! Ditunggu lanjutnnya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih sudah bersedia mampir Mas. Kelanjutannya sudah ada di sini: http://www.linasasmita.com/2015/05/pendakian-gunung-tambora-bagian-4.html

      Hapus

Halaman ini dimoderasi untuk mengurangi spam yang masuk. Terima kasih sudah meninggalkan komen di sini.

Made with by Lina W. Sasmita