Pendakian Gunung Tambora [Bagian 4]

Pos 4 – Pos 5 Drama tentang Toilet 

Pagi itu, 11 April 2015, tepat 200 tahun kemudian dari peristiwa letusan gunung terdahsyat dalam sejarah kehidupan manusia, "Letusan Gunung Tambora", kami berenam - Saya, Marita, dokter Ayuni, dokter Kiky, Kang Asep, dan Bang Ming - masih berjuang sekuat badan menaiki ketinggian.


Pagi yang remang, perlahan mulai menerang. Mengibarkan sepuhan cahaya putih keemasan. Memancar menyusupkan kehangatan hingga tubuh bergiat diri memproduksi vitamin D dan hormon serotonin. Walau otot pegal linu, jari kaki ngilu-ngilu, dan punggung terasa ditusuk paku, (iiih...lebay banget si Lina) namun badan terasa lebih segar dan suasana hati lebih tenang. Eh kok bisa? Iya yah saya juga heran :D

"Perasaan Lu aja kali, Gue enggak." Celetuk yang lain saat baca ini :D

Kami tetap bergerak perlahan. Saya berjalan lebih dulu. Melenggang membawa kotak P3K dan kompor. Sangat penting membawa obat-obatan P3K ini saat mendaki gunung. Karena hal-hal yang di luar kendali kerap terjadi. Jatuh, kepeleset, mual, pusing, dan muntah karena terkena mountain sickness atau gejala lainnya bisa saja terjadi di gunung ini. Sekedar berjaga-jaga dan tetap saja harus waspada.

Bersyukur perjalanan kali ini saya disertai dua orang dokter. Bisa konsultasi sepuasnya sepanjang jalur pendakian tanpa dipungut biaya sepeser pun hehe. Asal siap-siap ngos-ngosan karena mendaki sambil ngoceh bicara. Yang paling semangat tanya-tanya ternyata malah Marita. Mumpung gratis celetuknya. Ia pun bertanya ini itu hingga terdiam sendiri, barangkali bingung mau nanya apalagi :D

Menapaki Jalur Menanjak

Tim semakin semangat manakala berpapasan dengan pendaki yang turun dan mereka selalu mengatakan Pos 5 sudah dekat. Dari awal pendakian, baru kali ini ada yang bilang sudah dekat. Beda dengan pendaki-pendaki lainnya saat berpapasan sebelum pos 1 dan pos 2. Selalu bilang masih jauh. Masih jauh. Bikin ngedrop hilang semangat.
 

Kenapa sih mereka orangnya jujur banget jadi orang ya? Padahal kalau di gunung lain, pendaki-pendakinya sering bilang "sudah dekat mbak, paling dua belokan lagi." Atau "sudah dekat Mbak di sana ada yang jual gorengan, bakso, dan es campur." Waaah...wah... ngebayanginnya langsung semangat berlipat-lipat walau tau pasti itu bohong belaka :D


Sinar mentari sesekali menembus lebatnya dedaunan yang sama-sama mengeluarkan kesegaran dengan limpahan oksigen. Bau lumut dan tanah basah bercampur dengan bersihnya udara pagi. Berada dalam suasana hutan yang masih asri saya menjadi melow pengen nangis meski pertahanan diri hampir jebol karena menahan keinginan untuk pipis.


Nangis atau pipis? duh ngebet dua-duanya. Bayangkan!!! Eh jangan deh bahaya kalau ngebayangin saya pipis haha. Semenjak dari Pos 2 jam 8 malam hingga keesokan harinya jam 8 pagi, lebih dari 11 jam saya menahan kebelet pipis ini, asli sakitnya tuh di sini. Bukaaan...di sini nih!! Nunjuk perut sektor ginjal.


Mendekati Pos 5, vegetasi perlahan berubah. Di kanan kiri jalur pendakian pepohonan mulai tumbuh jarang-jarang. Ukurannya semakin mengecil seiring ketinggian yang dicapainya. Semakin tinggi, semakin kecil dan pendek tumbuhannya. Dan mulai tampak berlumut.


Tiba di Pos 5, yang lain duduk beristirahat. Saya langsung menuju toilet darurat yang terletak tak jauh dari pos 5. Kebelet banget. Karena takut ada orang yang tiba-tiba masuk, saya mengajak Yuni untuk berjaga-jaga di depan toilet.


"Laah Yuni kok jaganya jauh banget sih." Saya bertanya pada Yuni yang masih berdiri di tebing.
"Nggak enak baunya Kak." Jawab Yuni. Dan ternyata apa yang Yuni cium mulai tercium juga oleh saya yang baru saja membuka sehelai terpal yang menjadi pintu toilet darurat. Namun saya tetap mencoba masuk. Daaaan....jreng..jreng.... langsung 360 derajat balik badan. Lalu menahan dorongan perut yang menggelinjang untuk muntah.

Toiletnya mulai dari Pos 1 hingga Pos 5 sama seperti ini 


Seperti di pos-pos sebelumnya, saya memang rada under estimate mengenai toilet gunung ini. Saat masuk dan menyingkap terpal pintu toilet, saya selalu bergidik jijik. Makjaaaan.....sebentuk ee bergerumul di sana-sini mirip pulau-pulau.


Saya menjerit pelan dan langsung keluar. Megap-megap nahan nafas. Duh biarlah pipisnya saya tampung dulu. Semoga kantung doraemon dalam perut ini bisa melentur dan merenggang walau nantinya sangat sangat beresiko terkena infeksi saluran kencing dan batu ginjal. Habis bagaimana lagi? saya terlalu sungkan untuk buang air kecil dan buang air besar diantara tebaran ranjau darat seperti itu. Pyuuuh...Dan ini gunung, sesuatu yang sakral bagi saya. Sungguh tak tega mengotorinya.
Seandainya para pendaki sedikit berusaha untuk membuat lubang, menggali tanah dengan ranting atau pisaunya untuk mengubur hidup-hidup sisa metabolisme tubuhnya, tentu hal ini takkan terjadi. Namun rupanya rasa malas, kurang paham, tidak mengerti, atau rasa kebelet yang sangat membuat mereka begitu saja membuang kotorannya di permukaan tanah. Parahnya lagi, ada yang BAB di jalur pendakian. Malam tadi, saat memasuki pos 3, tepat di jalur yang saya lewati saya hampir menginjak kotoran manusia. Duh. Mengerikan.


Pengalaman menggunakan toilet bersih, tertutup, dan berlimpah air di Gunung Kinabalu Malaysia, dan Gunung Papandayan Garut Jawa Barat terus saja membayang. Betapa damai dan tenangnya pipis di gunung jika seperti itu. Seandainya semua gunung ada toiletnya seperti di kedua gunung tersebut, maka sedikitnya kebersihan gunung akan terjaga.

Toilet oh...toilet.



22 komentar :

  1. Klo nanjak memang 'toilet' hal yg sang at meprihatinkan, sering muntah2 gegara lihat gituan terserak . P3K penting tapi banyak lupanya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Mbak. Solusi yang win win solution ya bikin toilet betulan seperti di rumah. Dan itu nggak susah. Hampir setiap gunung mempunyai sumber air. Tinggal bagaimana mengalirkannya ke toilet. Jika tidak ada sumber air, maka bisa buat sendiri dengan bak penampung air hujan seperti di pulau-pulau di Kepri sini. Hanya keinginan yang kuat yang harus melatarbelakanginya.

      Hapus
  2. Hiii....aku bisa bayangkan gimana mualnya pas lihat 'pulau2' itu :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dan saya jadi malas makan gara-gara itu Mbak :(

      Hapus
  3. Aihhhh, kalau ke toilet mesti pakai kaca mata hitam kayak tips Zulfa dulu, yaks.... ira

    BalasHapus
    Balasan
    1. wkwkwk....itu toilet di India ya Mbak yang pakai kacamata? qiqiqi bisa jadi masukan kalau nanti-nanti ke gunung plus ditambah pakai buff buat nutupin mukanya sekalian :D

      Hapus
  4. Hehe, toilet oh toilet... sepertinya sosialisasi tentang pentingnya menjaga kebersihan lingkungan melalui 'etika buang hajat di pendakian' perlu digalakkan ya, Mba Lina?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul banget Kak Al. Sudah banyak ide mau sosialisasi dan nulis tentang toilet gunung ini. Tapi masih belum sempat juga.

      Hapus
  5. Duh, asyik banget sih dirimu, Mak, sering banget mendaki gunung, aku jadi iri. Bikin mupeng deh postingan2mu. Pengeeeen!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kak Al, nanti kalau saya ke Bandung kita naik Gunung Manglayang yuk!

      Hapus
  6. Hihihi saya bacanya saja bergidik ngeri Mbak. Untung dulu setiap kali ke Panderman nggak pernah sampe kebelet pup, palingan hanya buang air saja karena suhunya di puncak yang dingin bingiiitt.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau pup saya bisa nahan Mas. Di Semeru tahan nahan pup 3 hari 2 malam :D tapi kalau buang air kecil duuuh...ini yang nggak bisa nahan :(

      Hapus
  7. Toilet oh toileeeet..... :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Seandainya setiap gunung ada toilet kayak di rumah-rumah Dee :(

      Hapus
  8. salut dehh sama perempuan2 tangguh pendaki gunung kayak dirimu mba :)
    karena ku sendiri masih cemen buat nyoba, salah satunya karena takut gak nyaman sama "toilet darurat" itu
    btw salam kenal yaaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai Dita, salam kenal juga. Iya ini tergantung passion masing-masing sebenarnya. Karena saya tidak bisa lepas dari mendaki gunung jadi tetap menjalani hingga keinginan itu pudar dengan sendirinya suatu kelak nanti. Atau hingga passionnya sudah melemah :)

      Hapus
  9. Sambil naik gunung bisa konsultasi dengan dokter gratis ya :). Aku belum pernah naik gunung jadi belum tau kondisi bagainana kalau kebelet. Ga kebayang ya kalau dalam pwejalanan ada kotoran manusia. Semoga saja para pendaki gunung bisa juga ikut menjaga kebersihan. Terima kasih sudsh mampir di blog aku ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak makasih juga sudah mampir di blog saya.

      Hapus
  10. Bergidik saat membaca: menginjak kotoran manusia :(

    Itu p3k memang penting banget

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Neng. Saya menginjaknyaaa. Huhuhu...serem banget.

      Hapus
  11. #bentarmbak,yudipengenketawadulu#

    bukannya ee itu juga bisa jadi pupuk untuk tanaman di gunung kak? (masih geli pengen ketawa)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya tapi pupuknya bukan ditabur Yud. Harusnya dipendam dalam tanah :D

      Hapus

Halaman ini dimoderasi untuk mengurangi spam yang masuk. Terima kasih sudah meninggalkan komen di sini.

Made with by Lina W. Sasmita