Perjalanan Menemukan Hostel di Singapura

Insiden di Kapal Ferry

Kapal Ferry Wave Master  jurusan Batam - Singapura yang kami tumpangi tiba-tiba saja berhenti di tengah laut. Saya, suami, dan penumpang lainnya saling berpandangan. Tentu saja bukan pandangan saling naksir melainkan pandangan karena keheranan. Chila, anak saya, langsung memberondong dengan bermacam pertanyaan.

Yang mau nyebrang ke Singapur sila catat nomor ini baik-baik :D

“Bunda, Bunda, kenapa sih kapalnya berhenti? Ia menatap heran.

 “Apa kita sudah sampai? Kok berhenti di laut?” Tanyanya lagi penuh penasaran.

 “ Bunda juga nggak tahu Nak”. Jawab saya sambil melongokkan pandangan ke arah jendela.

 “Kenapa Bunda gak tau? Harusnya bunda taulah!” Chila merengutkan wajahnya tanda tak puas dengan 
jawaban saya. 

Oh My God, tidak semua hal di dunia ini bunda ketahui Nak. Mengertilah!            

Saya masih terdiam ketika di luar tampak sebuah kapal speed boat berbendera Singapura sedang mengarah ke kapal kami. Semakin dekat semakin jelas terlihat. Pada dinding speed boat tertulis Police Coast Guard. Itu berarti kami sedang disambangi oleh kapal polisi penjaga perbatasan Singapura.

Membaca tulisan di dinding speed boat, para penumpang kembali saling pandang. Ada apa gerangan? Mungkinkah di kapal kami terdapat penyelundup narkoba atau teroris yang sedang diburu? Akankah terjadi adegan tembak-menembak antara kami dengan polisi? Kami hanya bisa menduga-duga disertai rasa cemas dan waswas.
         
Suasana kapal semakin terasa tegang. Hanya langkah kaki para kru saja yang terdengar hilir mudik di geladak kapal. Tidak terdengarnya percakapan antara kru kapal dengan polisi membuat suasana semakin horor.  Hwaaa…jadi parno sendiri lalu membayangkan hal yang tidak-tidak terjadi pada kami. Saya segera memindahkan Chila yang semula duduk di kursi samping ke dalam pangkuan. Kalau ada apa-apa, saya tidak akan khawatir lagi karena ia sudah aman dalam pelukan.
         
Seorang Polisi Singapura kemudian mengulurkan serokan bergagang panjang ke arah kru kapal. Serokan itu disambut kru dengan memasukkan beberapa lembar kertas ke dalamnya. Si polisi menarik kembali serokannya lalu memberikan lembaran kertas kepada salah seorang rekannya. Pyuuuh itu saja rupanya, kirain kenapa-napa. Dalam hati ngikik ketawa, di jaman canggih begini ternyata polisinya masih juga menggunakan alat tradisional seperti itu. “Serokan ikan”.

Kapal Patroli Singapura

Beberapa saat jeda, kami menarik nafas lega. Namun tiba-tiba saja “Braaak…” terdengar suara benturan keras disertai goncangan hebat pada kapal yang kami tumpangi. Wuaah apa lagi ini? Kami semua terlonjak kaget. Waduh, kapal polisi Singapura itu ternyata menabrak (atau tidak sengaja menabrak) kapal kami saat akan memutar balik haluan. Duh, apa maksudnya coba? Entahlah, lupakan saja. Para kru kapal juga kelihatannya diam-diam saja dengan kejadian itu. Yang jelas mesin kapal kami mulai bersuara lagi dan perlahan melaju ke arah Pelabuhan Harbour Front. Singapore…here we come!

Semenjak di Pelabuhan Batam Center saya baru teringat bahwa pergi tidak membawa kartu kredit. Padahal booking hostel untuk tempat kami menginap menggunakan kartu tersebut. Sementara di peraturan hostel yang saya baca di internet menyebutkan bahwa pada saat check in harus memperlihatkan kartu kreditnya. Jika tidak maka proses booking akan dibatalkan sehingga pihak hostel berhak mengalihkan kamar ke orang lain. Alhasil sepanjang perjalanan saya menjadi gelisah. Membayangkan kami akan terdampar di negeri orang karena tidak mendapatkan tempat menginap.

Mencari hostel lain sepertinya tidak memungkinkan karena rata-rata full booked. Sedangkan menginap di hotel yang lebih mahal tentu mikirnya tujuh keliling karena uang cash yang kami bawa tidaklah mencukupi. Opsi terakhir yang ada dalam bayangan hanyalah  pulang kembali ke Batam pada hari yang sama. Duh jangan sampai deh.

Tidak ada yang bisa saya lakukan setelah itu kecuali berdo'a. Hanya itu jurus pamungkas yang saya bisa untuk mengusir kegundahan hati.


Kena Cekal di Imigrasi?

Antrian di imigrasi Harbour Front semakin mengular. Para penumpang kapal ferry dari berbagai lokasi di Kepulauan Riau seperti Batam dan Tanjung Pinang terus berdatangan dan semakin menambah panjang antrian.

Ada sekitar sembilan orang petugas imigrasi yang sedang berjaga melayani pendatang berpaspor foreigner seperti kami. Dua orang diantaranya mondar-mandir mengawasi jalur antrian. Salah satunya kemudian memanggil seorang nenek-nenek untuk keluar dari barisan. Si Nenek cepat-cepat mendekat dan langsung diarahkan petugas menuju bagian pengecekan paspor. Tok..tok..tok...tanpa banyak tanya paspor si nenek sudah distempel imigrasi Singapura. Melihat itu saya mendadak  iri padanya. Enak sekali si nenek ini, sementara yang lain pegal-pegal karena berdiri antri, dia sudah melenggang santai keluar dari segala kesuntukan antrian. Rupanya begitulah perlakuan Negeri Singa kepada kaum lanjut usia. Sungguh perbuatan yang menghormati dan memuliakan para orang tua. Kesan tentang perlakuan ini membuat hati saya meleleh.

Jembatan Penyebrangannya bersih dan tertutup

Saya mulai mendekati garis kuning tanda batas berdiri sebelum menuju petugas imigrasi. Tinggal beberapa orang lagi antri di depan. Suami saya sudah sedari tadi berhadapan dengan seorang petugas. Satu orang, dua orang, tiga orang, empat orang, hingga saya selesai melewati petugas imigrasi, suami masih tetap berdiri di sana. Ditanya ini itu dan segala hal. Alamak, bahaya ini. Jangan-jangan? Saya mulai mengatur ritme jantung yang mulai deg-degan. Chila terlihat mondar-mandir antara saya dan suami sambil merengek-rengek bertanya kenapa ayahnya lama sekali.

Selang 15 menit kemudian, akhirnya suami saya lolos dari pengecekan imigrasi. Syukurlah ia tidak ditahan seperti kekhawatiran saya sedari tadi.

“Nah Yah, mungkin nama Ayah itu berbau-bau teroris, makanya petugas curiga. Sudahlah ganti saja namanya. Hahaha...” Saya tertawa puas meledek suami. Ia hanya misuh-misuh sambil menggendong ranselnya. Padahal dua minggu sebelumnya, saat pengambilan foto di Kantor Imigrasi Batam, ia sendiri yang berpesan agar saya berpakaian dan berkerudung rapi agar nanti di fotonya tidak mirip TKI.

“Memangnya kenapa?” tanya saya waktu itu.

“Ya nanti Bunda disangka TKI yang mau cari kerja di sana”. Suami mulai menjelaskan. Saya hanya memeletkan lidah padanya. Ya mau gimana lagi Yah emang tampangku tampang TKI kok. Biar didandanin bagaimana pun juga.

“Hahaha…” saya tertawa lagi. Menyeringai dan meledeki suami tak henti-henti. Saya ingat betul sebelum berangkat ia sudah mencukur rambut, janggut, juga membersihkan wajahnya dari jambang dan kumis. Tak lupa ia pun menyuruh saya dandan yang cantik. Tapi hasilnya tetap saja petugas curiganya kepada dia bukan kepada saya :D

Menuju Hostel

Dari Harbour Front kami menyebrang jembatan layang menuju salah satu halte (Bus Stop) di Jalan Telok Belangah. Untung saja ada seorang bapak-bapak yang berbaik hati memberitahukan rute bis menuju Jalan Besar tempat dimana hostel yang akan kami inapi berada. Menurut petunjuknya kami harus menaiki bis nomor 57 dan berhenti di halte sebelum Sim Lim Tower di Jalan Rochor Canal. Dari Rochor Canal kemudian berjalan kaki karena tidak ada bis yang mengarah ke Jalan Besar dari jalan tersebut.

Gedung Harbour Front
Kurang dari 15 menit kemudian kami sudah berhenti tepat di halte yang dimaksud. Setelah membuka peta kami mengira-ngira bahwa Jalan Besar adalah yang berada tepat di hadapan kami. Dan, dari sini dimulailah perjalanan episode nyasar-nyasar. Entah karena kepedean terlalu menganggap mudah petunjuk yang ada, ataukah sudah nasib kami harus kesasar, bukannya mendekati Jalan Besar kami malah melambung jauh menyusuri Jalan Bencoleen yang berada di arah berlawanan.

Baru tersadar nyasar setelah hampir 10 menit lamanya berjalan kaki ketika kami membaca papan nama “Bencoleen Road”. Akhirnya kami berbelok kanan memutar searah jarum jam memasuki Jalan Middle lalu Jalan Selegie dan kembali bertemu dengan Jalan Rochor Canal.

Dari Jalan Rochor Canal selanjutnya menyebrang menyusuri Jalan Serangoon berbelok kanan ke Jalan Kichener hingga tiba di Jalan Besar. Begitu melihat jam ternyata sudah hampir jam 6 sore waktu Singapura. Hwaaa...badan baru terasa  patah-patah. Pantas Chila mulai merengek-rengek karena capek. Duh kasihan.

Meskipun sudah mencapai Jalan Besar tidaklah mudah mencapai hostel kami yang bernomor 134. Saat itu bangunan di Jalan Besar yang kami temui bernomor 227. Itu berarti kami masih harus berjalan menyusuri lebih kurang 100 bangunan lagi demi sampai ke hostel. Ya ampuuun…cape deh. Membayangkan seandainya saja ada ojek. Kasihan melihat Chila yang mulai mengeluh karena kelelahan meskipun secara bergantian saya dan suami menggendongnya. Ah boro-boro anak kecil saya dan suami saja tampak amat kelelahan. Sebenarnya dari sini bisa saja kami naik bis menuju hostel namun rasanya terlanjur dan nanggung, ya sudah jalan kaki saja.

Di sepanjang perjalanan nyasar-nyasar itu saya mendadak teringat bahwa selain kartu kredit ada satu lagi barang yang tertinggal di rumah yaitu diaper. Padahal Chila kalau tidur masih suka ngompol. Duh, padahal sudah disiapkan jauh-jauh hari namun rupanya penyakit pikun mulai menjangkiti fikiran saya. Alhasil setiap melewati mini market di jalan-jalan yang kami lewati, sebentar-sebentar mampir untuk  menanyakan diapers. Namun hingga hostel berhasil ditemukan, diapers belum juga didapat.

Hostel yang dicari-cari

Begitu tiba di depan resepsionis yang ramah dan murah senyum, kami langsung menumpahkan segala keluh kesah. Mulai dari kartu kredit yang tertinggal juga episode nyasar-nyasar yang melelahkan. Resepsionis hanya berkata bahwa itu tidak masalah, kami hanya diminta paspor untuk difotocopy olehnya. Aih senangnya. Hilanglah satu kekhawatiran.

Karena minggu-minggu itu merupakan peak season dan libur nasional di tiga negara Indonesia, Singapura, dan Malaysia, kami mendapatkan kamar di lantai 4 dan harus turun naik tangga. Kamar bertipe shared room atau dormitory dengan 16 tempat tidur berbentuk bunker. Masing-masing tempat tidur sisi-sisinya tertutup oleh dinding kayu yang dipernis mengkilat dan hanya menyisakan satu bagian saja untuk keluar masuk. Itupun kebanyakan ditutup oleh selimut yang dibuat gorden. Persis seperti rumah-rumahan saya jaman kecil dulu. 

Chila yang baru pertama kali memasuki kamar hostel terlihat sangat senang. Terang saja anak-anak pasti suka dengan ruang kecil tertutup seperti itu. Kalau diperhatikan tempat tidur kami mirip balok-balok memanjang. Yang disusun dua tingkat.

Di dalam kamar rupanya telah banyak penghuninya.  Kami berkenalan dengan seorang warga Colombia berwajah bule yang bernama Andreas. Saya cukup kaget karena selama ini mengira bahwa orang Colombia itu berkulit hispanik layaknya orang Brazil dan Argentina. Ternyata ada banyak orang Eropanya.

Andreas bilang kalau tempat tidur di samping kami sudah ditempati oleh rombongan yang sangat berisik. Namun saat itu mereka sedang keluar. Mendengar itu saya jadi nggak enak hati, takut kalau Chila juga nanti berisik. Saya meminta maaf  padanya sedari awal jika nanti mengganggunya.

Mengingat Chila mulai mengantuk sementara diapers belum dibeli, dengan terpaksa malam itu kami keluar untuk membelinya. Di dekat Restoran Mc.Donald tepatnya di lantai basement, terdapat sebuah mini market yang buka 24 jam. Kami mampir dan mencari-cari diapers. Waduh harganya ternyata mahal-mahal. Rata-rata 16 dollar untuk setengah lusin.

b88 hostel









Badan Chila terasa panas. Ia mulai demam. Karena panik saya segera kembali ke hostel tanpa menunggu suami yang masih sibuk memilih diapers. Setibanya di hostel saya membujuk Chila untuk minum air putih sebanyak mungkin. Syukurlah ia menurut.
            
Beberapa saat kemudian suami datang dan membawa diapers. Namun ketika saya buka saya terkejut bukan kepalang. Oh My  God, Si Ayah malah membeli diapers untuk kaum lanjut usia. Mana muat untuk Chila. Pantas saja harganya mahal, yang pakai kan kakek-kakek sama nenek-nenek.Wkwkwk…saya ngakak tertawa-tawa. Chila hanya bengong dan bertanya kenapa. Setelah dijelaskan ia langsung memarahi ayahnya. 

“Ayaaah kenapa sih Chila dibeliin pampers nenek-nenek, memangnya Chila ini nenek-nenek apa?” Jerit Chila sambil menatap ayahnya tajam. Mulutnya maju beberapa centi. Ayahnya kaget lalu memeriksa bungkusan diapers yang dibelinya. Ia tampak merasa bersalah lalu memeluk dan membujuk Chila.

“Maafin ayah ya Nak, tadi ayah nggak tahu, gak apa-apa ya pakai yang ini dulu.” Jawab ayahnya sambil mengelus-elus rambut Chila.

“Nggak mauuu…huhu..huhu...” Chila ngambek lalu membantingkan diri ke kasur. Bruuk... hwaaaa... Chila langsung nangis. Namun karena kantuk berat mulai menyerangnya, ia menyerah dan membiarkan diapers gombrang untuk nenek-nenek saya lipat-lipat di pinggangnya.


Insiden Tengah Malam

Malam semakin merambat pekat. Suasana hostel yang semula riuh oleh para traveler asing kini mendadak sepi. Di luar masih terdengar satu dua kendaraan yang lewat. Saya sesekali terbangun dan memeriksa kondisi Chila yang tertidur pulas. Walau badannya masih demam ia tidak terbangun sama sekali. Begitu juga dengan ayahnya yang sudah tertidur pulas di tempat tidur bagian atas.

Saya satu tempat tidur dengan Chila. Beruntung pihak hostel tidak begitu mempermasalahkan anak kecil. Di sini, anak-anak tidak diharuskan menggunakan extra bed dan boleh satu tempat tidur dengan orang tuanya. Pertimbangan awal menginap di sini pun justru karena hal ini juga. Pihak hostel tidak mengenakan biaya apapun bagi anak-anak di bawah 7 tahun. Selama tempat tidurnya muat maka masih diperbolehkan tidur dengan orang tuanya.

Saya kembali terlelap. Tiba-tiba saja terdengar suara aneh yang membangunkan seisi kamar. “Bruuuk...” diiringi tangisan seorang anak. Saya meraba-raba. Ah Chila masih ada di samping saya. Lalu siapa yang menangis tadi? Perlahan saya merayap keluar dari tempat tidur. Karena lampu kamar sengaja dimatikan maka suasana yang terlihat hanya remang-remang minim akan pencahayaan.

Lamat-lamat terdengar seorang perempuan membujuk dan meredakan tangisan anak itu. Lalu terdengar pula suara bapak-bapak yang ngoceh marah-marah.
          
Kan udah Papa bilang Ma dia tidurnya suruh di bawah. Coba Mama nurut apa yang Papa bilang, bandel sih gak mau nurut apa kata Papa”. Omelnya dari atas tempat tidur. Di lantai kamar, seorang anak laki-laki gemuk berusia sekitar 11 tahun sedang tertelungkup sambil menangis. Ibunya tampak bersimpuh menenangkan sambil memijit-mijit punggungnya. Si Bapak terus saja nyerocos memarahi istrinya.

Waduh, ternyata anak itu jatuh dari tempat tidur tingkat. Tempat tidurnya tepat di samping tempat tidur Ayah Chila. Sungguh kasihan melihatnya kesakitan namun tak urung saya menahan tawa sendiri dalam hati.

Si ibu berhasil membujuk anaknya lalu menuntunnya ke tempat tidur bawah. Kamar pun sepi kembali. Semua orang yang terbangun dan menonton dari ujung tempat tidur kembali bergelung dengan selimutnya masing-masing.

Keesokan paginya saya penasaran dan menanyakan kondisi anak lelaki yang jatuh pada ibunya. Syukurlah tidak ada luka serius. Lemak yang menutupi tubuh anak itu rupanya menjadi bantalan yang efektif sehingga ia terhindar dari patah tulang. Padahal ia jatuh dari ketinggian kurang lebih dua meter. Haduh kalau saya yang jatuh mungkin sudah retak-retak.           

Ketika bertemu Andreas di hostel pantry untuk sarapan, kami terbahak-bahak membahas kejadian lucu semalam. Duh bukan maksud menertawakan penderitaan orang lain namun tetap saja mengingat hal itu kami tetap tak bisa menahan tawa. (idih sama saja). Hei, anak kecil maafkan kami ya!

Selepas sarapan seluruh penghuni hostel keluar dan beredar menuju tempat tujuan masing-masing. Terkadang hingga larut malam baru kembali. Bahkan ada juga yang pulang pagi. Beruntungnya kami satu kamar dengan orang-orang yang saling menghormati privasi. Semua tampak saling mengerti dan menjaga untuk tidak berisik saat berada dalam kamar.

Baca juga saat saya menjadi Tour Guide Keluarga ke Singapura.

***
            
Karena saya membawa serta anak kecil, ada sedikit tips untuk teman-teman agar acara jalan-jalannya terasa aman dan nyaman.


  1. Ingat kekuatan anak-anak itu tidak sama dengan kita orang dewasa. Jangan memaksakan kehendak pada mereka. Jika anak capek maka beristirahatlah. Jangan terburu-buru ingin sampai di tujuan. Yang ada anak-anak malah bete dan bisa-bisa mendadak sakit.
  2. Bawa mainan yang dapat mengalihkan perhatiannya kalau lagi bete. Bisa boneka, mobil-mobilan  atau lainnya.
  3. Jangan lupa bawa kebutuhan dasar anak seperti susu dan diapers. Idih gak banget deh kalau harus nyari diapers berkilo-kilo meter seperti kami kemarin.
  4. Di hostel jangan sampai ngasih tempat tidur tingkat buat anak-anak. Bahaya bisa jatuh guling-guling seperti kasus di atas. Ujung-ujungnya bukan menikmati liburan tapi malah sial karena anak kecelakaan.

Ini cerita lainnya saat bertemu teman lama saya di rumahnya di Kawasan Khatib: Khatib Mengunjungi Sisi Lain Singapura.

7 komentar :

  1. wah ternyata saat cek in hostel harus menunjukkan kartu kreditnya ya mbak, aku baru tahu,maklum lah gak oernah jalan-jalan :) ASyik juga ya jalan-jalan bareng keluarga

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya kalau bookingnya pakai kartu kredit Teh. Tapi formalitas aja rata2. Kenyataannya jarang diperiksa.

      Hapus
  2. Horeeee ada Giwe Away berhadiah Tiket pesawat......

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haha...salah kamar nih mbak komennya. Iya Alhamdulillah dapat sponsor nih :D

      Hapus
  3. Aku belum pernah nyebrang ke Singapore pakai Ferry melalui Batam, pingin banget... membelah lautan menuju suatu lokasi. Tapi kok harga pesawat ebih murah, hehehe.

    Wah, chila masih ngompol....Ditulis Mbak, biar diapernya nggak ketinggalan, bahaya ngompol di hotel

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sekarang sih udah nggak mbak. Waktu ke hostel ini pun udah nggak ngompol tapi ya itu takut aja soalnya malu kan sama orang2 sekamar klo dia ngompol :D

      Hapus
  4. Waduh bawa anak-anak kecil itu memang perjuangan ya di perjalanan. Tapi tanpa mereka juga perjalanan jadi garing hehe

    BalasHapus

Halaman ini dimoderasi untuk mengurangi spam yang masuk. Terima kasih sudah meninggalkan komen di sini.

Made with by Lina W. Sasmita