Berburu Takjilan ke Tanjung Uma, Kampung Nelayan tertua di Pulau Batam

Jalan kecil yang menjadi urat nadi kehidupan kampung nelayan tertua di Batam itu tampak menanjak dan merapayi sebuah bukit. Lalu lintas terlihat ramai oleh hilir mudik kendaraan bermotor, baik roda dua maupun roda empat. Saya sudah menduga, bahwa mereka adalah orang-orang yang berburu makanan buka puasa di sepanjang jalan Tanjung Uma.  

Dari ketinggian Bukit Tanjung Uma itulah, nun di bawah sana tampak perairan Batam yang tak kalah sibuknya dengan jalan kecil beraspal tadi. Kapal-kapal besar  seperti tug boat, tongkang, dan sejenisnya tampak seperti nokhta-nokhta yang dicipratkan ke dalam kanvas lukisan. Bertebaran. Sementara itu, di langit Tanjung Uma, matahari masih sepenggalan turun,  sinarnya mulai melembut tak segarang siang tadi.

Tanjung Uma
Pemandangan dari Bukit Tanjung Uma



Jalan kecil itu kemudian menurun hingga masuk ke sebuah lapangan sepakbola lalu bersambung kembali dengan jalan aspal. Beberapa meter kemudian tampak pemandangan khas yang selalu dijumpai di tempat ini saat ramadhan tiba. Sepanjang jalan dari titik tersebut hingga ujung aspal berbagai jajanan buka puasa, lauk -pauk dan berbagai makanan khas lainnya dijajakan dengan penuh antusias oleh pedagang.

Pasar Tanjung Uma Batam
Kesibukan di Tanjung Uma


Pembeli tak kalah antusiasnya. Beriringan, berjalan pelan sambil memperhatikan apa saja yang bisa dibeli. Mereka datang jauh-jauh dari penjuru Batam lainnya hanya untuk larut dalam keseruan berburu menu takjilan seperti ini. Seperti saya dan keluarga saat itu. Rela datang menempuh hampir satu jam perjalanan untuk membeli makanan buka puasa dan kue-kue tradisional Melayu yang banyak dijajakan.


Ikan Bakar
Ikannya besar-besar

Deretan pedagang musiman di pasar Tanjung Uma ini diawali oleh para pedagang ikan bakar. Dengan menggelar meja-meja berisi penuh ikan bakar yang sudah matang  dan kotak ikan yang masih mentah untuk dipilih.  Asap dari pembakaran menyebar menguarkan aroma ikan bercampur bumbu rempah yang melimpah. Menarik siapa saja yang melewatinya. Tak heran pedagang ikan bakarlah yang paling dikerumuni pembeli. 


Ikan Bakar
Ikan bakar digelar

Ikan-ikan berukuran sebesar dua telapak tangan saya berjejer rapi di meja sebelum berpindah tangan ke pembeli. Harganya variatif mulai dari 30 ribu hingga 60 ribu rupiah per ekornya. Tak heran pedagang panen rejeki saat seperti ini. 

Sotong besar seukuran lengan anak-anak pun berjejer dan menumpuk ditusuk seperti sate. Berbagai ikan seperti ikan pari, bawal, bonang, dan kerapu menjadi pemandangan yang berulang-ulang yang ditawarkan oleh para pedagang ikan bakar.


Sate Sotong Tanjung Uma Batam
Sotong mentah

Setelah ikan bakar, deretan pedagang kue-kue tradisional memenuhi sisi kiri dan kanan jalan. Berbagai kue basah seperti dadar gulung, risoles, bakwan, berbagai jenis bika, donat, roti-roti dan lainnya.

Baca juga tulisan tentang mencicipi kue gulung di pulau Seraya Batam. 

Yang menarik perhatian adalah banyaknya kue-kue tradisional melayu seperti kue putu piring, kole kacang, dan tepung gomak. Karena asing di pendengaran, saya berkali-kali mencoba mengulang nama-nama kue tadi. Maklum suka lupa. Agar tidak lupa saya pun meminta Chila dan suami untuk menghafalnya. haha... benar saja saat pulang ke rumah saja sudah lupa. Untung di jalan sempat menuliskannya pada memo tablet. 


Kue Tepung Gomak
Kue tepung gomak

Selain kue-kue tradisonal Melayu ada pula kue khas Banjar seperti kue keraban, sari muka, dan kue selat.  Semua kue dijual per potong seharga 1000 rupiah. Saya yang memang penasaran dengan rasa kue-kue tradisional itu kemudian membeli beberapa potong tiap jenisnya.


Berbagai penganan yang dijual

Deretan kue-kue dan jajanan terus memanjang hingga ke ujung jalan pasar Tanjung Uma. Chila yang sudah capek terlihat sedikit ngambek. Saya dan suami akhirnya memutuskan untuk mengakhiri perburuan ini. Saya pun sudah repot menenteng belanjaan makanan. Semoga dapat dihabiskan . Nggak sadar kalau semua kue-kue ini takkan habis sekali makan  saat buka puasa nanti.  Namanya laper  mata ya begini. Semua ingin dibeli


Otak-Otak
Otak-otak
Sebelum pulang kami membeli laksa goreng seharga 10 ribu rupiah per porsi. Dengan taburan daun seledri penampakan mie yang berbalut bumbu dan cabe  merah itu terlihat menggiurkan. Apalagi bagi yang berpuasa seperti kami. Tak salah lagi setibanya di rumah, saat dimakan laksa goreng ini  rasanya memang top.

Puasa tinggal beberapa hari lagi. Jadi tak ada salahnya selain berburu baju baru, sekalian menyempatkan berburu makanan bukaan puasa di Tanjung Uma. Kemeriahan yang hanya terjadi setahun sekali di tempat ini.


Sirup
Minuman sirup untuk buka puasa





20 komentar :

  1. Kalo kesini, rasanya semua pengen dibeli ya teh... Suka lapar mata :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul Dee, yang ada laper mata bukan laper perut lagi :D

      Hapus
  2. Pesaran sama Kue Tepung Gomak, Wah! banyak bumbu berempah , Saya sukaaa saya Sukaaaa *alameimei

    BalasHapus
    Balasan
    1. enak loh mbak kuenya. Iya bumbu ikannya berasa banget

      Hapus
  3. MasyaAllah, Astagfirullah, *ngucaapngucaaap*
    Sebagai penggemar ikan nomor wahid sejagat raya, aku begitu tergoda ngeliat ikan bakarnya. Dan, aku bisa ngabisin 1 ekor seorang diri hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha...Cek Yan maafkan daku. Ini memang sengaja agar anda tergoda :D

      Hapus
  4. wah itu sotong enyak enyakk buat di bakar

    BalasHapus
  5. akusuk aikan mbak, biasnaay disana ikan sebesar itu dijual berapa?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yang besar biasanya dijual 50 ribu Teh Lidya

      Hapus
  6. Duuuhhh itu ikan n sotongnya....
    Salah nih bewe kemari siang2..lapeeeerrr

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haha...maafkan daku Mbak. Ini memang disengaja. ooops :D

      Hapus
  7. Wah... pengin ke sini nih... kapan ya bisa maujud rencana ekspedisi susuri pulau2 Kepri *tanya pada rumput yang bergoyang :-)

    BalasHapus
  8. gimana rasa kue tepung gomak itu teh ??? tak pernah dengar..heheh

    BalasHapus
  9. Kue tepung gomak itu ketan isi kelapa + gula merah dibalur kacang hijau tumbuk bukan Lin?

    BalasHapus
  10. Muahahaha, ada otak-otak juga, ayuklah bedol desa ke tanjung uma teh, pas buka puasa hari keberapaaa gitu..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haha hampir setahun kemudian komennya baru saya balas. Yuk puasa ini kita ke sana bedol desa.

      Hapus

Halaman ini dimoderasi untuk mengurangi spam yang masuk. Terima kasih sudah meninggalkan komen di sini.

Made with by Lina W. Sasmita