Kampung Naga, Mahakarya Suku Sunda untuk Indonesia

Gunung teu meunang dilebur 
Lebak teu meunang diruksak
Larangan teu meunang dirempak
Buyut teu meunang dirobah  
Lojor teu meunang dipotong
Pondok teu meunang disambung

artinya

Gunung tidak boleh dihancurkan
Lembah tidak boleh dirusak
Larangan tidak boleh dilanggar
Pantangan tidak boleh dirubah
Panjang tidak boleh dipotong
Pendek tidak boleh disambung


Kampung Naga
Kampung Naga

Senja itu 7 Oktober 2014, senja yang indah dan bersahaja manakala saya melangkahkan kaki penuh semangat melewati  gapura bercat putih dan beratap ijuk. Tak ada tulisan apapun yang menjadi petunjuk di atas gapura tersebut. Namun tetap tak mengurungkan niat saya untuk masuk lebih dalam lagi.

Saat memasuki pelataran yang mirip area parkir, suasana tampak lengang dan sepi. Hanya dua unit mobil dan satu  sepeda motor terparkir di salah satu sudutnya. Sebuah tugu berwarna hitam berbentuk kujang, senjata pusaka suku Sunda, berdiri tegak di ujung pelataran. Beberapa warung tampak berjejer di sebrangnya.

Saya mendekati dan menyapa seorang laki-laki paruh baya berperawakan kurus yang memakai pakaian batik dan mengenakan iket. Yaitu penutup kepala yang terbuat dari kain yang dililit melingkari kepala. Biasa dipakai oleh para laki-laki di berbagai wilayah di Indonesia seperti Jawa dan Bali. Laki-laki kurus itu tampak baru saja melepas tamunya pulang. Saya langsung menduga bahwa dia adalah warga Kampung Naga yang biasa menjadi guide bagi tamu yang datang ke sana.

Kampung Naga
Gapura masuk menuju Kampung Naga

Ya, tujuan saya kali ini adalah Kampung Naga. Kampung yang sangat ingin saya kunjungi semenjak lulus SMA. Karena selepas SMA saya merantau dan jarang pulang kampung, maka hampir 15 tahun keinginan tersebut terpendam dalam hati. Padahal jarak menuju Kampung Naga sudahlah dekat. Tidak lebih dari 28 kilometer dari Garut, kampung halaman saya.

Seperti pepatah Sunda di atas, Kampung Naga adalah sebuah kampung yang memegang teguh warisan budaya karuhun (leluhur). Hutan dan lembahnya masih lestari terjaga hingga sekarang. Seperti pepatah itu pula penduduk hanya mengambil keperluan dari alam secukupnya. Tidak lebih tidak kurang. Begitupun dengan larangan dan pantangan, tetap dipegang teguh oleh masyarakatnya. 

“Tiasa ngajajap ka Kampung Naga, Mang?” Saya bertanya menggunakan bahasa Sunda kepada laki-laki kurus tadi. Bertanya apakah ia bersedia mengantarkan saya ke Kampung Naga. Ia mengangguk sambil tersenyum lantas memperkenalkan namanya dengan panggilan Mang Ajen.

Tak lama setelah perkenalan itu, Mang Ajen mengajak saya menyusuri gang berplester semen diantara rumah-rumah panggung berdinding bilik bambu yang sontak mengingatkan saya pada masa kecil. Bangunan rumah-rumah ini mirip dengan bangunan rumah di kampung saya dulu. Namun kini, rumah panggung di kampung tinggal kenangan. Penduduk kampung lebih suka mendirikan rumah tembok permanen yang berdinding batu bata dan berlantai keramik. 

Rumah kedua orang tua saya pun tak luput dari perubahan. Padahal saya sempat meminta kepada keluarga agar tetap mempertahankan rumah panggung yang kami tempati. Biarlah disebut kuno yang penting rumah tersebut tetap berdiri. Namun dengan berbagai pertimbangan  akhirnya rumah panggung kami dirobohkan dan berganti dengan rumah tembok.

Setelah rumah-rumah panggung terlewati, kami melintas kebun, selokan dan kolam-kolam ikan yang di atasnya terdapat pemandian umum. Beberapa orang ibu-ibu tampak sedang asyik mencuci piring dan peralatan masak lainnya.


Kampung Naga
Kampung Naga dilihat dari arah masuk

Dari kolam ikan inilah pemandangan Kampung Naga mulai jelas terlihat. Atap-atap rumah berwarna hitam yang terbuat dari ijuk berjejer rapi menghadap ke satu arah mata angin. Saya menghela nafas panjang. Dalam hati sesak akan rasa syukur dapat menyaksikan dengan mata kepala sendiri sebuah kampung yang masih menyimpan adat  karuhun  Sunda dengan teguh. Tidak seperti kampung saya atau kampung-kampung lainnya di Jawa Barat yang perlahan mulai terkikis, meninggalkan nilai-nilai budaya luhur suku Sunda.

“Kalau mau ambil foto yang bagus dari sebelah sini saja, kalau di situ terhalang pohon.” Kata Mang Ajen sambil berjalan menuju pematang sawah. Betul saja setelah menggeser langkah ke pematang sawah, saya mendapatkan foto Kampung Naga yang utuh tanpa penghalang.

Kami lantas menuruni sengked, tangga yang terbuat dari batu kali yang meliuk-liuk menuju lembah. Tangga ini dibangun swadaya atas bantuan para mahasiswa dari Jogjakarta yang sedang praktek lapangan. Tangga yang menyambung dengan jalan kampung yang tersusun dari batu-batu kali kecil yang terhampar hingga ke batas wilayah Kampung Naga.

Sengked atau tangga menuju Kampung Naga

Menginjak Tanah Kampung Naga

Saat tiba di tepi lembah, pemandangan semakin menyegarkan mata. Hamparan sawah yang menghijau, liukan sungai Ciwulan yang mengalir tenang, pohon kelapa yang tumbuh satu-satu dan deretan rumah-rumah searah di Kampung Naga, semakin mempercepat langkah saya menyusuri jalan berbatu. Hati berdenyar tak sabar ingin segera tiba dan menginjakkan kaki di sana.

Menurut penuturan Mang Ajen, Kampung Naga memilik 113 bangunan yang terdiri dari rumah, mesjid, balai adat, leuit (lumbung padi), dan lisung (tempat menumbuk padi). Sedangkan penduduknya berjumlah 314 jiwa (tahun 2014) dengan 108 kepala keluarga.

Kampung Naga dipimpin oleh seorang ketua adat yang disebut punduh. Dalam menjalankan aktifitas kesehariannya, punduh dibantu oleh dua tetua lainnya yaitu kuncen dan lebe. Kuncen bertanggung jawab dalam menangani masalah adat seperti memimpin upacara hajat sasih sementara lebe bertugas mengurusi admintrasi seperti memimpin upacara pernikahan.

Jalan di antara rumah-rumah

Secara adminsitrasi kampung Naga berada dalam wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Namun secara geografis, letak Kampung Naga justru lebih dekat dengan Kota Garut yang hanya berjarak 28 kilometer dibanding Kota Tasikmalaya yang berjarak 30 kilometer. Benar saja, saya hanya butuh waktu sekitar 15 menit dari Kecamatan Cilawu Garut hingga tiba di gapura, perhentian menuju Kampung Naga.

Tiba di tepi Kampung Naga saya melalui sebuah selokan. Selokan yang merupakan batas kampung dimana tidak boleh lagi dibangun bangunan apa pun di perbatasan ini. Masyarakat Kampung Naga sangat percaya bahwa pada perbatasan-perbatasan tertentu tempat tersebut dikuasai oleh kekuatan-kekuatan gaib. Sebagaimana perbatasan Kampung Naga lainnya seperti leuweung tutupan (hutan larangan) pada bagian atas, sungai Ciwulan di bagian bawah, dan batas dengan pesawahan di kanan kirinya.

Saya sungguh kagum dengan keteguhan penduduk Kampung Naga memegang adat karuhun. Berkat kegigihan mereka inilah kita masih bisa menyaksikan bangunan-bangunan adat yang nilainya tak terkira dengan harta. Sehingga banyak kajian dan penelitian tentang Kampung Naga dilakukan oleh para antropolog dan arsitek yang sangat mengagumi dan menghargai adat istiadat, budaya, dan arsitektur bangunan di Kampung Naga. Menurut Mang Ajen, kerap ada penelitian dari Jepang yang meneliti bangunan di Kampung Naga yang tahan gempa.

Bertambah kekaguman saya ketika mengetahui bahwa anak-anak Kampung Naga diperbolehkan mengeyam pendidikan di bangku sekolah. Bahkan hingga kuliah ke luar negeri. Setelah lulus, anak-anak ini ada yang menduduki beberapa posisi  penting di Kabupaten Tasikmalaya. Namun saat kembali ke Kampung Naga, mereka tetap memegang adat istiadat yang telah tertanam semenjak kecil.

Tingginya pendidikan, tidak lantas merubah adat dan budaya penduduk Kampung Naga yang bersahaja. Tingginya pendidikan tidak menjadikan mereka ingin meniru budaya luar. Kearifan lokal penduduk Kampung Naga dalam tatanan adat, budaya, nilai-nilai luhur yang dijunjung, sikap gotong-royong dalam hal mendirikan rumah dan bangunan lainnya, keramah-tamahan kepada sesama dan juga ramah kepada lingkungan hingga menyatu padu dalam jiwa mereka inilah yang menjadikan Kampung Naga sebuah Mahakarya Indonesia. Persembahan mahakarya suku Sunda untuk Indonesia. 
 
Hawu atau tungku untuk memasak

Kebersahajaan penduduk Kampung Naga  terlihat dalam kehidupan mereka sehari-hari. Salah satunya, penduduk menolak kampungnya dialiri listrik. Menurut Mang Ajen, penolakan terjadi karena mereka khawatir kampungnya  kebakaran. Namun saya melihatnya dari sisi lain. Dengan tidak dialiri listrik, masyarakat Kampung Naga justru tidak akan konsumtif dan tergoda untuk membeli barang-barang elektronik seperti televisi yang justru sedikit demi sedikit akan mengikis nilai-nilai luhur adat dan budaya Kampung Naga itu sendiri. 

Dengan tidak adanya listrik penduduk tetap berkumpul, bergotong-royong dan saling bertegur sapa dengan tetangga. Istilah yang menyebutkan bengkung ngariung, bongkok ngaronyok (bermakna hingga tua tetap berkumpul dan bersama-sama) seakan tetap menggema dan terjaga.

Saya membayangkan jika ada listrik, mungkin anak-anak yang sedang bermain di pematang sawah yang saya lewati tidak akan ada. Jika listrik mengalir, mereka  mungkin saja sedang nongkrong menonton sinetron-sinetron di televisi.


Melihat dan Merasakan dari Dekat

Sesaat setelah menyusuri jalan di antara rumah-rumah panggung di Kampung Naga, Mang Ajen mengajak saya masuk ke salah satu rumah yang kami lewati. Rumah tersebut adalah rumah kakaknya Mang Ajen. Seorang perempuan yang ramah penuh senyuman. Ia segera  menghidangkan makanan khas berupa rengginang, wajit  dan teh pahit. Teh yang mengingatkan saya pada kebiasaan nenek yang kerap menghidangkan penganan yang sama seperti ini jika ada tamu yang berkunjung ke rumahnya.

Mang Ajen dan tetangganya

Di rumah lainnya, saya dijamu dengan kue-kue khas pernikahan. Pemilik rumah baru beberapa hari yang lalu menikahkan anaknya. Saya sumringah karena mengenali kue-kue ini. Kue yang sering muncul saat ada perayaan pernikahan. Lagi-lagi saya kembali terlempar ke masa lalu. Masa yang saya rindui. Masa dimana alam begitu menyatu dan begitu dekat dengan kehidupan kami saat itu. 

Di beberapa golodog (teras) rumah penduduk terlihat berbagai macam kerajinan tangan yang semuanya terbuat dari kayu dan bahan alami lainnya. Kerajinan tangan untuk dijual kepada para tamu yang datang. Ada lonceng, cobek, ulekan, lulumpang (alat penumbuk), asbak rokok, patung burung, sapu, suling dan lain sebagainya.
 
Kerajinan Kayu

Dua orang-ibu-ibu yang baru saja pulang dari jamban (tempat MCK) menyapa saya dengan ramah. Keduanya tak menolak manakala bidikkan kamera jatuh ke arahnya. Kami mengobrol sejenak. Melafalkan kalimat-kalimat dan kosakata dalam bahasa Sunda yang begitu sangat ingin saya ucapkan. Bahasa ibu yang tak pernah saya gunakan lagi di perantauan.

Dua Ibu yang bersedia saya foto


Mesjid Kampung Naga

Di pelataran mesjid, beberapa anak sedang asyik bermain badminton. Meskipun raket dan shuttle cock kadang tak cocok. Raket kemana shuttle cock entah dimana. Namun pertandingan itu tetap saja seru. Ocehan, teriakan, dan hentakan kaki anak-anak ini membuat saya tersenyum-senyum sendiri. Generasi sehat yang bahagia. Yang tak mengenal gadget dan peralatan elektronik lainnya. Generasi yang waktunya begitu luang untuk menjelajah alam sekitaran. Waktu luang yang sungguh sangat berharga. *Untung tidak ada listrik. Saya bergumam dalam hati.



Bermain Badminton

Setelah mengisi buku tamu, saya membeli makanan khas yaitu gula aren yang dibungkus daun kelapa kering seharga dua puluh ribu rupiah untuk oleh-oleh ibu di Garut. Tak lupa juga membeli mainan masak-masakan mini untuk anak perempuan saya di Batam. Setidaknya hanya inilah kontribusi positif atas kedatangan saya ke kampung ini. Dengan uang yang tak seberapa itu sedikitnya memberi kebahagiaan kepada si ibu penjual gula aren di ujung Kampung Naga dan juga memberi kebahagiaan kepada ibu saya di rumah.

Gula Aren

Dengan gontai saya melangkah meninggalkan Kampung Naga. Badan bergerak keluar namun hati tetap tertinggal di sana. Berkunjung ke kampung ini, saya seperti diajak memasuki mesin waktu, Merasakan kembali nuansa tahun 80-90an. Saat menikmati masa kanak-kanak yang indah. Bermain persis seperti anak-anak Kampung Naga yang saya temui. Menjelajah sawah, berenang di sungai, membuat wayang-wayangan dari daun singkong, dan bermain badminton.


Meniriskan cucian piring di halaman

Kesederhanaan, Kebersahajaan, keramahan, keteguhan memegang adat dan budaya leluhur, serta sikap gotong-royong yang masih kental di Kampung Naga ini menjadikan saya senantiasa berkaca pada diri sendiri. Sebagai salah seorang yang dilahirkan dari suku Sunda masihkah saya mempunyai nilai-nilai luhur leluhur seperti yang dimiliki warga Kampung Naga ini? Entahlah. Sepanjang jalan pulang saya terus merenung dan berfikir.

Di tepi kolam atas, saya menatap Kampung Naga untuk terakhir kalinya. Sungguh saya mendambakan kehidupan masa tua kelak begitu tenang dan sederhana seperti kehidupan mereka nun di lembah sana.


Bagaimana cara menuju Kampung Naga?

Dari Bandung (Terminal Cicaheum): Naiklah bis Diana jurusan Bandung - Singaparna
Dari Jakarta: Naiklah bis jurusan Jakarta -Tasikmalaya via Singaparna. 
Dari Garut: Naiklah bis atau elf menuju Singaparna Tasikmalaya.
Dari semua jurusan ini minta diturunkan di Desa neglasari Kecamatan Salawu, tepat di gapura atas yang terletak di sebelah kiri jalan.

25 komentar :

  1. Salut dengan keteguhan masyarakat kampung naga yang masih kuat memegang adat istiadat :)

    BalasHapus
  2. Cerita yang sangat menarik Mbak Lina. Seolah saya ikut berjalan masuk ke Kampung Naga. Dan saya belum pernah ke sana :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Segeralah ke sana Bunda Evie :D dekat aja kok.

      Hapus
  3. Udah lama pengen ke Kampung Naga..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yuk ikut pulkam ke Garut tahun depan Dee :D kita ke Kampung Naga sama Pondok Saladah

      Hapus
  4. Indah banget mba kampungnya, masih pakai peralatan tradsisional banget yaa. Dirimu ngga nginep disana ya mba?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nggak Mbak, soalnya nggak niat menginap. Nggak persiapan. Katanya juga nggak boleh sembarangan menerima orang untuk menginap di sana.

      Hapus
  5. Mbak Lina, dulu gedeh (nenek)ku masaknya juga pake tungku seperti itu :) jadi inget beliau.
    Kampung Naganya kayak perkampungan di Bali ya *belom pernah ke Bali, cuma lihat di foto aja hihi
    Suka lihat suasananya, kayaknya adem gitu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya dulu nenek saya pun menggunakan tungku seperti ini. Iya ya sekilas mirip dengan Bali tapi tidak untuk rumah-rumahnya.

      Hapus
  6. Tulisannya baguuus kak Lina. Foto-fotonya juga bagus. good luck ya kak lina untuk lombanya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aihh makasih Kak Eqi :D pijakan mana pijakan :D

      Hapus
  7. Membaca semua ini melemparkan saya ke masa smp-sma (sktr 25 thn yg lalu). Dua kali saya ke sana, semuanya masih sama seperti yang dulu. Pemandangannya, rumah-rumahnya, nuansanya. Seingat saya, saya pernah berfoto di depan mesjid kampung naga tersebut. Jika sekiranya saya menemukan foto lama itu pastinya ada rasa gimanaa.. gitu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul Ceceu Oci, ini bikin kita terlempar ke masa lalu. Pulang dari sana saya jadi melow. Ingat masa lalu juga :(

      Hapus
  8. satu hal yang paling yudi sukai kalo main ke kampung2 kayak gini.. malamnya itu sunyiiii banget kan mbak? nggak ada deru mesin.. nggak ada lampu2 yang menggila.. semuanya cuma ada bulan dan bintang :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul Yud, kembali ke alam itu benar-benar berasa

      Hapus
  9. main ke kampung naga gak usah khawatir roaming bahasa ya :)

    BalasHapus
  10. mbak sya sering baca cerita2 yg mbk tulis, apalagi yg rencana kunjungi 100 pulau kecil yg ada di kepri.
    kira2 msi ngadain lg ga ya ? hehe
    kebetulan sya tinggal diBatam, biar tw nih pulau2 yg ada disini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya masih ngadain. Jalan bareng teman-teman Batam Traveler. Hendra ada facebook kan? Join ke grup Batam traveler saja. Nanti kalau sudah masuk mention saya karena ada grup khusus di WhatsApp untuk jelajah pulau-pulau nama grupnya Anak Pulau.

      Hapus
  11. Suasananya ayem dan tentrem ya mba, pengen banget berkunjung kesana....benar2 masih menjaga adat istiadat

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul Mbak. Kalau berkunjung ke sana enakan pas bulan haji atau zulhijjah gitu pas ada upacara-upacara adat.

      Hapus
  12. Gw suka banget memandang kampung naga dari atas tangga2 yg menurun itu ... terasa damai diantara sawah2 dan masyarakat yg santun :-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama Kak Cumi, aku juga suka banget lihatin dari atasnya. apalagi kalau ada kabut lewat. Kesannya mistis gitu.

      Hapus

Halaman ini dimoderasi untuk mengurangi spam yang masuk. Terima kasih sudah meninggalkan komen di sini.

Made with by Lina W. Sasmita