Pengalaman Tersesat di Gunung Cikuray Bagian 2

Bayangan Gunung Cikuray yang jatuh ke Gunung Papandayan. Diambil saat pendakian kedua saya tahun 2005

Baca cerita sebelumnya di tulisan yang berjudul Pengalaman Tersesat di Gunung Cikuray

Di atas gunung, Anom gelisah menanti kedatangan saya, Yuli, dan Yogie. Sendirian di gunung sungguh nano-nano rasanya. Bingung mau ngapain. Masak sudah. Makan sudah. Tidur? Susah. Karena dalam kondisi sendiri seperti itu, suara apa saja berubah menjadi suara yang mencurigakan. Dan malam itu adalah malam yang sangat panjang ia lalui seumur hidupnya. Tertidur, bangun. Tidur lalu bangun lagi. Pagi tak kunjung tiba. Dia selalu merasa ada yang mengawasi dan menemaninya.

Perjalanan Hari Kedua


Hingga keesokan harinya tiba, Saya, Yuli, dan Yogie tak kunjung datang ke tenda. Anom memutuskan untuk menyusul kami ke puncak. Tiba di puncak ia masih berharap kami ada dan tertidur di ruangan tembok dekat pemancar. Namun Anom harus kecewa karena kami bertiga tidak ada di sana.


Anom segera memutuskan untuk turun. Melipat tenda, merapikan barang-barang. Dan menggendong carrier-nya. Namun ia bingung bagaimana cara membawa ketiga carrier lainnya sendirian? Ia pun mencari cara untuk membawa semuanya. Menggendong carrier depan belakang. Satu carrier dijinjingnya, satu lagi digelindingkan ke bawah. Kadang ia harus kerepotan karena carrier menggelinding ke tempat yang salah.  Berjam-jam terus seperti itu tanpa ada yang membantu. Hingga ia bertemu peladang, dan meminta pertolongan mereka untuk membantunya. 

Sunrise Gunung Cikuray. (Diambil tahun 2005 saat ke-2x ke Cikuray)

Anom bersama beberapa orang penduduk kembali mencari kami ke atas. Beruntung tanda di tanah yang dibuat Yogie terbaca oleh mereka sehingga pencarian tidak dilanjutkan. Mereka pun akhirnya segera turun.


Anom lalu menaiki ojek dan pulang langsung ke rumah Uwa di kampung Cireundeu yang bersebelahan dengan kampung orang tua saya. Anom, Yuli, dan Yogie ketika datang dari Jakarta memang sedang bertamu dan menginap di sana. Maka, ketika Anom datang dan bercerita tentang kondisi kami, berita ketiga pendaki hilang langsung menyebar dari kampung ke kampung. Orang tua saya panik dan segera bermusyawarah dengan keluarga besar lainnya. Namun perlu waktu 1 kali 24 jam untuk lapor kepada yang berwajib jika menyatakan seseorang telah hilang.


Ibu saya menangis tak henti-henti. Bapak saya yang selama ini tampak kuat, juga ikut menangis. Saya hilang di Gunung Cikuray merupakan berita duka paling menyedihkan sepanjang hidup mereka. 


Sementara kekhawatiran menyebar dan beredar dari kampung ke kampung, saya, Yuli, dan Yogie sedang beristirahat dengan nyaman di rumah sang penolong kami. Sepasang suami istri yang baik dan ramah sekali.

Mereka bertanya mengenai asal dan kenapa kami tersesat. Ketika mendengar nama kampung saya, keduanya teringat akan tetangga mereka yang juga berasal dari kampung yang sama. Si tuan rumah kemudian memanggil tetangganya tersebut. Saat kami dipertemukan, saya dapat mengenalinya. Seorang bapak-bapak yang di kampung kami dipanggil Mang Ade O’i. Namun sebaliknya Mang Ade O'i tidak mengenali saya. Tapi setelah  menceritakan siapa ibu bapak saya, ia pun langsung menyadari siapa saya.


Dari sana, kami dihantar dengan menaiki ojek dan langsung menuju Kampung Uwa saya, Kampung Cireundeu. Uwa tentu sangat mengkhawatirkan mereka dan tentu saja ia akan merasa bersalah kepada orang tua Yuli dan Yogie jika saja keduanya benar-benar menghilang. Tiba di kampung Cireundeu, kami bertemu Anom yang sudah terlebih dahulu tiba di rumah.


Setelah bercerita panjang lebar, kami kemudian mandi, berganti pakaian, makan, dan beristirahat. Karena kelelahan yang sangat, saya pun tertidur pulas hingga maghrib. Karena sudah tidak memungkinkan untuk pulang ke rumah orang tua, malamnya saya menginap di rumah Uwa. 


Sayang berita kedatangan kami ke kampung Cireundeu tidak sampai menyebar ke kampung-kampung sebelah. Padahal saat berita kami hilang, dalam tempo beberapa jam saja berita menyebar ke berbagai kampung. Berita baik terkadang terhenti sampai di situ saja. Zaman itu di kampung belum ada telpon apalagi handphone. Sehingga kedua orang tua saya sepanjang malam harus begadang menunggu kepulangan saya. Ibu tidak tidur sama sekali dan menangis sepanjang malam. Hiksss. Betapa berdosanya saya membiarkan kedua orang tua menanti dalam kecemasan dan kesedihan.


Keesokan harinya, saya baru pulang. Di sudut tempat tidur tampak ibu sedang terisak-isak. Bapak terduduk di kursi sambil menutup muka menahan tangis. Keduanya begitu tampak kesusahan. Saya baru menyadari hari itu, bahwa kedua orang tua ini sangat menyayangi saya. Keduanya tidak marah, namun Uwa yang lainnya (Kakak dari ibu) memarahi saya dengan penuh kekesalan. Marah karena telah membiarkan kedua orang tua menanti sepanjang malam. 


Uwa bilang   manusia itu leutik ringkang gede bugang. Maknanya manusia tidak bisa dianggap sepele, sebab meskipun ia kecil jika terjadi masalah kepadanya, seperti meninggal atau terkena musibah, maka akan menjadi kesusahan semua orang. Saya hanya mampu terdiam menyesali semua keteledoran saya untuk tidak segera pulang.


Kesimpulan yang dapat dipelajari dari kasus tersesatnya kami ini adalah:

1.  Tidak mengikuti jalur pendakian yang resmi. Umumnya para pendaki mendaki Cikuray melalui jalur Cilawu dan Cikajang. Ada juga dari jalur Bayongbong (Pabrik Teh Pamalayan) namun waktu itu kurang dikenal dan jarang dilalui karena treknya terlalu tajam.

2.  Kurang informasi. Saya dan ketiga saudara  saat itu tidak mengetahui jalur mana yang biasa dilalui oleh para pendaki. 

3.  Tetap ikhtiar dan berusaha jika tersesat di gunung. Tetap waspada dan hati-hati. Fikirkan dengan baik-baik berbagai kemungkinan yang akan terjadi. Jangan panik. Jangan takut. Karena kepanikan dan ketakutan akan membunuhmu. Buat rencana plan A, B, dan C. Sehingga kita masih bisa tetap survive untuk tetap melanjutkan hidup.

4. Kabari kedua orang tua, saudara, atau teman kemana pun kita pergi. Selalu berpamitan karena jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan kepada kita, akan ada orang terakhir yang mengetahui kita dimana dan kemana.

5. Selalu menolong kepada sesama. Terutama kepada siapapun yang berharap dan meminta pertolongan kepada kita. Karena kita tidak tahu Allah SWT akan mengabulkan doa dari sumber yang mana. Saya, hingga saat ini masih berdoa untuk orang-orang yang menolong saya dulu, meskipun tidak bisa membalasnya dengan harta, saya membalasnya dengan do’a. Karena kebaikan akan selalu berbuah kebaikan.


Baca pendakian Gunung Cikuray saya kedua kalinya di postingan berjudul Sunrise yang sempurna di Puncak Gunung Cikuray


Sekian
Salam Pesona Indonesia :D

4 komentar :

  1. pengalaman yang sangat berharga sekali ya, Mbak. Banyak hikmah yang dapat dipetik juga dari tulisan ini, bahwa mengikuti petunjuk dan arahan serta pamit kepada orang tua atau siapaun saat hendak pergi juga sangat penting

    BalasHapus
  2. Nyasar di kota masih ada petunjuk bangunan-bangunan atau bertanya. Nysara di gunung, bertanya ke siapa? agak seram juga ya!

    BalasHapus
  3. Pengalaman yang gak terlupakan itu mah teh.

    BalasHapus
  4. Kapan ke semeru kak. Ditunggu ya kedatangannya di Jawa Timur. Hehehe

    BalasHapus

Halaman ini dimoderasi untuk mengurangi spam yang masuk. Terima kasih sudah meninggalkan komen di sini.

Made with by Lina W. Sasmita