Pulau Rano (Ranu) |
Semua
penumpang kapal segera beranjak, melompat dan melonjak gembira saat menyentuh
pantai yang landai. Tak sabar meraih kamera atau beraksi di depan kamera. Satu,
dua, tiga, cekrek! Cekrek! Senyum merekah sumringah dari wajah-wajah yang semula
telah lelah.
Saya turun dari kapal sambil menyeret kasur pelampung berwarna kuning milik Dimas, salah seorang teman dalam rombongan kami. Saya berniat untuk sekedar berfoto di atasnya. Mengabadikan momen tanning sambil merasakan sensasi bersantai mengambang di atas lautan. Tapi sayang, gagal keren. Saya mengambil tempat tepat di samping kapal. Jadi background-nya terkesan tidak natural. Liza yang memfoto saya pun tidak menyerankan agar saya berpindah tempat. Saya sendiri malas untuk mencoba lagi. Sementara rekan yang lainnya tengah bergantian menjajal kasur pelampung warna kuning punya Dimas dengan berlatar laut dan pulau.
Tiba-tiba mata saya tertuju pada
beberapa perahu yang sedang berhenti di tengah laut. Perahu yang beratap rumbia
dengan dua kayuh bersilang di kanan kiri lambung bagian depannya. Perahu ini
dinamakan kajang. Saya mengenali ciri-cirinya karena sudah beberapa kali
bertemu dan berpapasan langsung.
Saat mengamati deretan kajang dan
langsung berteriak gembira. “Itu kapal suku laut.Ya ampuuun…ya ampuuun…” Sungguh suatu kebetulan yang diharapkan.
Sudah lama saya ingin mengetahui kehidupan suku laut lebih dalam lagi. Adat
kebiasaan, cara hidup, sistem kekerabatan, serta berbagai hal yang menyangkut
kehidupan mereka. Intinya saya ingin berinteraksi dengan mereka. Bahkan
dulu pernah berencana untuk mengikuti Suku Laut beberapa hari untuk merasakan
seperti apa dan bagaimana kehidupan mereka terombang-ambing di laut lepas lalu berhenti dari perairan satu pulau ke pulau lainnya seperti sekarang ini. Namun keinginan tersebut tak pernah
terlaksana.
Saya dengan latar Kajang, perahu Suku Laut |
Saya menitipkan kamera kepada Liza,
mengenakan kembali live vest
(pelampung) dan berenang secepat mungkin menuju perahu-perahu suku laut. Entah
berapa puluh meter saya berenang, namun rasanya jauh sekali. Hingga seorang ibu
dari kapal yang paling depan melongokkan kepalanya karena penasaran dengan
suara kecipak air saat saya berenang mendekatinya.
“Bu maaf, boleh tanya-tanya Bu,”
saya menyapanya penuh harap sambil berpegangan ke bibir perahu. “Iya boleh boleh saja,” jawabnya ramah penuh
senyuman. Saya pun memperkenalkan diri dan langsung menanyainya dengan berbagai
macam pertanyaan. Namun karena ledakan kegembiraan bertemu dengan Suku Laut ini
justru saya malah kehilangan beberapa pertanyaan penting yang sebenarnya mudah
untuk ditanyakan. Bahkan saya sampai kebingungan hendak bertanya apalagi kepada
mereka.
Si Ibu memperkenalkan namanya sebagai Bu Ana. Dia dan suaminya berada di perahu paling depan. Sedangkan rombongan perahu lainnya berturut-turut di belakang adalah adik dan saudara lainnya. Mereka berhenti di sana untuk beristirahat dan sekalian mengambil persediaan air bersih di pulau sebrang.
Bu Ana berasal dari Tanjung Biru, di sekitar Pulau Lingga atau Senayang (saya lupa). Anak-anaknya ditinggal di
rumah, tidak diajaknya. Saya sedikit terkejut mendengar bahwa mereka telah
mempunyai rumah di darat. Syukurlah. Meskipun kajang dan lautan tetap menjadi rumah
serta halaman utama mereka, minimal jika berada di daratan anak-anak mungkin dapat bersekolah.
Saat bertanya kepada Bu Ana bagaimana saya dapat
menghubunginya di kemudian hari, dengan sangat mengejutkan ia berkata bisa
menghubunginya via telpon. What? Ternyata mereka sudah lebih maju juga. Ia
mengucapkan sederet angka yang kemudian saya hafal baik-baik. Saya ucapkan
dan ulang-ulang berkali-kali. Sesaat kembali nanti ke pantai Pulau Rano akan saya salin ke
dalam handphone.
Saya berpamitan pada Bu Ana. Lalu kembali berenang kembali menuju Pulau Rano. Renang yang membuat saya mendadak sakit pinggang keesokan harinya. Dari jauh tampak rekan-rekan saya tengah asyik berfoto-foto. Mencoba beberapa spot menarik antara pantai, pohon kelapa dan kasur pelampung.
Lompatan Terakhir |
Saya kembali menyentuh daratan Pulau Rano dan mengambil beberapa foto rombongan Suku Laut dari kejauhan. Hati dan fikiran masih tertuju kepada mereka. Mengingat seperti apa hari-hari yang mereka lalui, sungguh saya bersyukur dengan kehidupan saya sekarang ini. Jauh lebih nyaman jika dibandingkan dengan kehidupan mereka yang sangat keras. Dihantam badai, hujan, dan terik matahari setiap saat setiap waktu. Hanya demi mencari gamat (teripang), menombak ikan dengan tempuling lalu menukarkannya dengan beberapa lembar rupiah. Lantas kembali beriringan melipir pinggiran pulau-pulau untuk menghindari arus dan gelombang kuat. Berkeliling dari satu selat ke selat lainnya. Berpindah-pindah dari perairan satu ke perairan lainnya. Mencari penghidupan dari kekayaan lautan yang tak pernah kehabisan.
Wuih asiknya, pengenlah ke mari 😊
ReplyDeleteYg tiduran itu cakep kali Mbak, hehehe.
wahh keren ya mba. walaupun lelah tapi asyik banget perjalananya
ReplyDeleteakhirnya setiap suku move on ya kak..
ReplyDeletesakit pinggang kenapa Lin ?
ReplyDeleteSudah lama sebenarnya teh Suku Laut punya rumah di darat, tapi kebanyakan mereka gak mau ninggalin.. Takut katanya, soalnya atapnya tinggi, gak kayak atap rumah kajang mereka :) Dulu pernah kujadiin cerpen, rencana mau dibukuin ama Mozaik tapi sampe sekarang belum ada kabarnya :D Aku juga pengen rasanya ikut beberapa hari ama mereka, ngerasain kehidupan Suku Laut
ReplyDeletesuku laut itu jadi orang yang berprofesi di laut ya mba, aku sih baru denger suku laut, jadi anak dan istri mereka juga di ajak ke laut ?
ReplyDeleteAku kira sukunya masih jadul gitu mak ngayal"sebelum liat postnya, ternyata udah maju jg sukunya hehe ^^
ReplyDeleteXoxo,
http://www.leeviahan.com
kehidupan suku laut unik banget ya, rasanya ingin juga ngerasain bermalam disana heheh. kalau di daerah asalku pulau bangka, dulu ada juga sih yang tingal diatas laut begini. tapi sekarang mereka sudah banyak pindah ke daratan.
ReplyDeleteCapai lah mbak, berenang lumayan jauh, tapi asik ya bisa ketemu suku laut gitu.
ReplyDeleteCukup banyak juga suku bangsa Nusantara yang hidup di laut ya, Mbak Lina. Gak nyangka. Kirain Suku Bajo saja :)
ReplyDeleteYa Allah... keren banget yak.
ReplyDeleteKayaknya asik banget gitu.
Keren banget negara gue ini...
ngga kebayang tinggal di laut terus hiks...but thats their lifestyle ya...
ReplyDelete