Love Journey, Cintaku Tertaut di Gunung

Gunung Kerinci, Maret 2001 

Bermilyar-milyar bintang berkelap-kelip di langit gelap. Gelap yang sempurna sehingga sekecil apapun bintangnya begitu jelas menampakkan keberadaannya. Bergugusan membentuk apa pun yang kita imajikan.

Di sini di hamparan batu-batu cadas yang membeku Aku terbaring terpaku. Menatap kilatan-kilatan bintang jatuh yang kian melaju. Tak perduli pada hembusan angin yang menderu-deru mataku menatap ke langit gelap sambil membisikkan do'a-do'a dan harapan. Make a wish.

"Ya Allah, hadirkanlah ia di hidupku, seseorang yang mencintai gunung, mencintaiku, juga mencintai-Mu. Entah siapa, entah dimana. Mungkin di sebrang sana ia juga sedang menatap langit yang sama dan merasakan kehampaan yang sama. Jika pun tidak sekarang, mungkin esok atau lusa. Hadirkanlah ia ya Rabb, hadirkanlah di sisiku." Batinku berbisik.

"Minta Krisdayanti dooong!" Teriak beberapa pendaki di luar tenda bagian ujung. Meniru adegan iklan produk rokok di televisi ketika ada bintang jatuh melintas. Halaah... suasana romantis pun berubah jadi humoris. Aku jadi tertawa sendiri lalu membungkus tubuh dengan jaket berlapis-lapis dan sleeping bag.

Brrr....angin berhembus lagi semakin kencang, mengalirkan hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Aku tetap bertahan begadang hingga pagi men jelang, terlentang di luar tenda sambil menatap kerlap-kerlip bintang. Subhanallah alangkah nikmatnya. Tak henti-henti kuucap syukur atas semuanya.

Jelas sudah, betapa aku mencintai perjalanan ke gunung ini. Gunung Kerinci. Gunung berapi tertinggi di negri ini. Dalam liku jalan setapak, rimbunnya semak-semak, di jalur menanjak, akar-akar  yang melingkar, pepohonan yang tinggi menjulang hingga menggapai awan yang berarak-arak. Dan pada cantigi yang semakin merah berseri.  Semua, Semuanya menyatu membungkus hatiku dalam kesyahduan perjalanan. Menyemaikan benih-benih syukur  dalam lantunan do'a di sholat subuhku saat itu di puncak Kerinci.


Gunung Rinjani, Desember 2002

Hujan angin yang menampar-nampar membuat perjalanan melewati tanjakan bukit Sembilan terasa makin memberatkan. ingin rasanya berhenti dan berteduh, namun dimana? sedangkan satu depa saja tak ada tanah untuk sekedar meluruskan kaki. Adapun satu dua pohon cemara yang ditemui telah penuh oleh para pendaki yang berteduh lebih dahulu.

Akhirnya, aku berjalan bersama hujan. Meresapi tiap tetes yang menyejukkan, yang membasuh keringat hingga dingin menelusup menembus tulang. Aku menyatukan nafas dalam deru angin yang menghempaskan, yang melipir melingkari jurang-jurang.

Tubuhku mencoba menyatu dengan alam. Mengimbangi dingin angin menyamai rintik hujan. Merayapi pelan tanjakan demi tanjakan hingga berjam-jam tanpa henti hingga Plawangan Sembalun.

Mataku berkaca-kaca, melihat ratusan tenda menyambutku dengan meriah. Dengan warna-warni yang cerah dalam balutan kabut di senja itu. Ingin rasanya berteriak bahwa aku telah di sini, di sini, di pelukan damai gunung Rinjani.

Kabut perlahan memudar menyingkap tabir yang menghalangi pemandangan ke Danau Segara Anakan. Aku berkemul dalam tenda, merenungi arti perjalanan yang menguras banyak energi. Betapa kesabaran teruji hingga di sini.

Rinjani, batin ini bergemuruh dengan rasa cinta. Cinta kepada romansa yang tercipta di panjangnya perjalanan ini. Ribuan mil telah kutempuh, melewati tiga lautan yang berbeda, melalui empat daratan yang berbeda pula. Dari jauh aku telah merindukanmu siang dan malam. Dan aku sangat mencintai, mencintai perjalanan menujumu. Setiap langkah, setiap depa. Setiap jarak yang tercipta. Maka sambutlah Aku dalam dekapmu, wahai Rinjani.


Gunung Ciremai, Maret 2004

Aku melaju pelan bersama seseorang secara kebetulan. Seseorang yang kutemui dalam perjalanan. Kami berjalan menyusuri jalur setapak menuju puncak. Berbagi tanya, berbagi canda, menceritakan berbagai hal tentang perjalanan. Tentang harapan dan keinginan.

Ah, entah kenapa dia begitu mempesona. Butiran tasbih di tangannya semakin meyakinkan hati untuk memilih. Hatiku lirih berkata iya, walau masih menyisakan ribuan tanya di dada, diakah sesungguhnya? Dialah yang membuat perjalanan kini begitu berbeda. Menjadi lebih berwarna. Sepertinya setiap pohon-pohon di jalur linggar jati yang terlewati mendadak mekar berbunga. Diakah Ya Allah? Hanya waktu yang akan menjawabnya.

Seperti kabut yang menyelimuti kawah Ciremai, teka-teki ini begitu penuh misteri. Perjalanan kali ini menyisakan tanya begitu lama. Menanti tanpa pasti sebuah harapan. Apakah sesungguhnya dia juga merasakan hal yang sama?


Gunung Pangrango, Juli 2007

Tiba di suatu hari, akhirnya semua terjawab sudah. Dia memilihku menjadi pendampingnya. Untuk mengarungi hidup bersama dalam bahtera rumah tangga. Menjadi teman dalam susah dan senangnya. Bersama berjalan menapaki masa depan menapaki jalur-jalur kehidupan, dan… bersama berjalan di suatu pagi yang dingin di hutan Pangrango.


Kami, Aku dan dia berjalan bersusulan. Menyusuri jalur setapak menuju puncak Pangrango. Hati bahagia penuh dengan rasa syukur. Kini dia menjadi bagian dalam hidupku. Seseorang itu, kini telah datang dan mengisi hari-hariku. Do'aku di Kerinci telah terkabulkan. Salah satu bintang yang melaju itu, kini hadir di sisiku.

Dan seperti perjalanan ke tempat lainnya. Kali ini Aku lebih merasakan cinta yang lebih besar. Energi itu mengalir kepada setiap apa pun yang kutemui. Terutama kepada dia, teman seperjalananku. Menatap bersama hutan Pangrango yang rimbun, menapaki jalur menanjak yang curam, hingga kami tiba di lembah kasih lembah Mandalawangi. Lalu tertegun di hamparan bunga edelweis yang bermekaran.

Mandalawangi – Pangrango


Senja ini, ketika matahari turun kedalam jurang-jurangmu
Aku datang kembali
Kedalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmu

Walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna
Aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
Dan aku terima kau dalam keberadaanmu
Seperti kau terima daku

Aku cinta padamu Pangrango yang dingin dan sepi
Sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
Hutanmu adalah misteri segala
Cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta

Malam itu ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Mandalawangi
Kau datang kembali
Dan bicara padaku tentang kehampaan semua
Hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya
Tanpa kita mengerti, tanpa kita bisa menawar
"Terimalah dan hadapilah."
Dan antara ransel-ransel kosong dan api unggun yang membara
Aku terima itu semua
Melampaui batas-batas hutanmu, melampaui batas-batas jurangmu
Aku cinta padamu Pangrango
Karena aku cinta pada keberanian hidup


    Di lembah Mandalawangi, Hatiku hanyut dalam puisi-puisinya Soe Hok Gie. Membayangkan sepercik debu jasadnya yang ditabur di lembah ini. Seperti Soe Hok Gie dalam puisinya itu, Aku juga cinta padamu Pangrango. Karena aku cinta pada perjalanan hidup. Perjalanan saat menuju ke dalam dekapan damai hutan-hutanmu. Ke dalam belaian lembut padang edelweismu.

Batam, 22 Mei 2012


    Masih terngiang puisi Soe Hok Gie lainnya, yang sama menyisakan sebuah tanya. Untukku, untuk hari-hariku ke depan dan seterusnya.

    “Akhirnya semua akan tiba pada pada suatu hari yang biasa, pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui. Apakah kau masih berbicara selembut dahulu, memintaku minum susu dan tidur yang lelap? Sambil membenarkan letak leher kemejaku.
    Kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah Mandalawangi. Kau dan aku tegak berdiri melihat hutan-hutan yang menjadi suram. Meresapi belaian angin yang menjadi dingin.
    Apakah kau masih membelaiku selembut dahulu? Ketika kudekap kau dekaplah lebih mesra, lebih dekat. Apakah kau masih akan berkata kudengar detak jantungmu? kita begitu berbeda dalam semua kecuali dalam cinta.”

    Aku menatapnya dalam tidur lelap. Seperti itu, seperti tanya itu yang berkelindan dalam fikiranku. Lagi, batinku hanya sanggup berkata

"Aku hanya ingin mencintaimu dengan sederhana, seperti hujan kepada awan, seperti daun kepada ranting, seperti ombak kepada lautan, dan…seperti pohon kepada hutan."

Tulisan di atas pernah menang di Lomba Love Journey yang diselenggarakan Blogger-blogger Multiply dan Alhamdulillah telah dibukukan.




Posting Komentar

Halaman ini dimoderasi untuk mengurangi spam yang masuk. Terima kasih sudah meninggalkan komen di sini.

Made with by Lina W. Sasmita