Tujuan utama saya berkunjung ke Filipina Desember 2019 lalu adalah untuk mendaki Gunung Pinatubo. Gunung ini terletak di Pulau Luzon atau sekitar 90 km Barat Laut ibukota Filipina, Manila. Gunung ini berada di perbatasan 3 provinsi yakni Provinsi Tarlac, Pampanga dan Zambales. Perjalanan yang paling umum adalah melalui Kotamadya Capas di Provinsi Tarlac.
Gunung Pinatubo pernah meletus sangat dahsyat pada tahun 1991. Tahun segitu saya masih Sekolah Dasar. Dan pernah menonton beritanya sekilas di TVRI di acara Dunia Dalam Berita. Mungkin teman-teman yang baca tulisan ini, saat itu ada yang belum lahir ya? Haha saya jadi merasa tua banget.
Danau Kawah di Kawasan Puncak Gunung Pinatubo |
Sebelum meletus, ketinggian Gunung Pinatubo mencapai 1.745 meter di atas permukaan laut (mdpl). Karena letusan yang sangat dahsyat itu, ketinggiannya berubah drastis menjadi 1.486 mdpl. Ini berarti Pinatubo telah kehilangan ketinggian hingga 259 meter, dimana tanah dan bebatuan yang membentuknya sebagian terbawa ke udara dan sebagian besar lainnya tergerus menjadi longsoran.
Letusan Gunung Pinatubo disebut-sebut sebagai letusan gunung paling dahsyat di abad 20 dengan letusan sebesar 6 skala VEI (Volcanic Explosivity Index). Walaupun letusannya masih di bawah letusan Gunung Tambora di Sumbawa Indonesia dengan 7 VEI yang terkenal sebagai letusan gunung paling dahsyat sepanjang sejarah hidup manusia, tetap saja letusan Gunung Pinatubo menjadi bencana paling mematikan bagi makhluk hidup yang berada di sekitarnya.
Beberapa tahun lalu ketika tak sengaja menonton liputan National Geographic (NG), saya menyaksikan film dokumenter tentang peristiwa meletusnya Gunung Pinatubo. Bersyukurnya bahwa di tahun tersebut, teknologi sudah hadir sehingga mampu merekam detik-detik meletusnya gunung dengan sangat jelas dan karena teknologi pula pemerintah di sana mampu melakukan evakuasi secepatnya sehingga meminimalisir tingkat kematian penduduk. Di tayangan NG tersebut, ternyata ada beberapa orang dari penduduk pedalaman yang tidak ikut serta dievakuasi karena jauh di atas gunung. Ajaibnya mereka selamat karena bersembunyi di dalam gua-gua. Saat letusan terjadi, cairan lava dan gelombang piroklastik meluncur mengarah keluar gunung sehingga ada beberapa bagian gunung yang tidak terkena gelombang mematikan tersebut.
Letusan Pinatubo menghasilkan kolom abu dan asap setinggi lebih dari 30 km ke udara dengan puing-puing batu yang ikut terpental dan meluncur ke berbagai arah. Letusan ini juga mengeluarkan sekitar sepuluh miliar ton magma ke lingkungan sekitarnya dan jutaan ton gas sulfur dioksida ke atmosfer, menyebarkan awan abu ke sebagian besar belahan bumi dan menyebabkan perubahan cuaca di beberapa negara.
Bencana letusan Pinatubo mengakibatkan sekitar 100.000 orang kehilangan tempat tinggal (di artikel lain disebutkan hingga 200.000 orang) dan memaksa ribuan orang lainnya dievakuasi untuk meninggalkan kawasan sekitar gunung. Letusan ini juga menyebabkan 350 orang tewas. Namun karena berbagai penyakit yang kemudian menyerang kamp-kamp pengungsi terlebih aliran lumpur yang terus-menerus berlanjut, korban tewas naik menjadi 722 orang. Tahun berikutnya, Pinatubo meletus kembali pada akhir Agustus 1992 dan menewaskan lebih dari 72 orang.
Letusan Gunung Pinatubo juga menyebabkan ditutupnya Pangkalan Angkatan Udara Clark di Provinsi Pampanga yang berjarak sekitar 16 km timur Pinatubo yang disewa Amerika Serikat. Sebagaimana sejarah mencatat bahwa sejak Amerika Serikat mengalahkan Spanyol pada tahun 1898, Amerika Serikat lantas menguasai Filipina dan bahkan setelah kemerdekaan Filipina hingga sekarang pun militer Amerika Serikat tetap eksis bercokol di sana.
Perjalanan Menuju Gunung Pinatubo
Tepat jam 3 pagi alarm berbunyi. Dengan kepala masih mengantuk, perlahan saya beranjak ke kamar mandi untuk cuci muka. Sambil berganti pakaian, saya membangunkan Reny yang masih terlelap di tempat tidur sebelah. Sesuai itinerary yang diberikan pihak tour & travel kami akan dijemput di lobby hotel jam 03.15 dini hari waktu Manila.
Dalam waktu 12 menit kami sudah berpakaian rapi. Menggemblok backpack yang diisi perbekalan yang akan kami gunakan selama seharian penuh. Ada pakaian ganti, handuk kecil, topi, penutup wajah (buff), mukena, 2 liter air putih, makanan ringan, jeruk dan sunblock. Semua perbekalan ini merupakan barang-barang yang akan kami bawa dalam pendakian ke Gunung Pinatubo hari itu.
Pukul 03.14 ketika kami baru saja tiba di lobby, seorang pemuda tampak masuk dan hendak menanyakan sesuatu kepada resepsionis. Namun karena dilihatnya kami datang, ia seketika menghentikan langkah dan mengalihkan pandangan ke arah kami. Saya langsung menanyakan kepadanya apakah ia guide yang menjemput kami, ia pun mengangguk dan langsung mengajak kami untuk segera menuju mobil jemputan yang diparkir di halaman hotel. Sedihnya saya kok lupa nama guide ini. Ketika menanyakan ke Reny beberapa hari yang lalu, sama saja dia juga sudah lupa. Hiksss.
Alhamdulillah kami tepat waktu. Nggak malu-maluin Indonesia haha. Sejak sebelum tidur saya sudah berazzam kalau tidak boleh telat karena ini pasti bawa-bawa nama Indonesia. Kami nggak mau dikenang oleh orang Filipina sebagai orang yang ngaret. Yang ujung-ujungnya mencemari nama baik negara. Wkwkwk. Jangan sampai kejadian sewaktu di Maya Bay Thailand bareng Reny terulang kembali. Kejadian yang bikin malu. baca ceritanya di sini: Berenang-renang Cantik dan Bermain Pasir di Maya Bay.
Pagi masih teramat gelap. Mobil yang kami tumpangi melaju dengan kecepatan 60-80 km per jam mengarah ke utara Manila. Setelah berbasa-basi meminta izin kepada guide, saya dan Reny melanjutkan tidur kembali di dalam mobil. Lumayan perjalanan 2 jam yang akan kami tempuh hingga tiba di pos pendakian Santa Juliana di Capas bisa kami gunakan untuk beristirahat.
Dalam tidur-tidur ayam antara sadar dan nggak, mobil yang kami tumpangi perlahan melambat. Dua orang berpakaian tentara mencegat kendaraan kami di depan sebuah gerbang masuk. Sebentar kemudian kami sudah melaju kembali di sebuah jalan yang lebar dan mulus. Beda dengan jalan yang kami lewati sebelumnya.
Seketika saya tersadar dan mulai menanyakan ini itu kepada guide. Ternyata kami baru saja melewati Basis Militer Amerika Serikat yang memang ditempatkan di sekitar Gunung Pinatubo. Pantas saja jalan yang kami lalui lebar dan mulus karena digunakan untuk kepentingan hilir mudik tentara Amerika Serikat.
Sekitar jam 5 subuh kami sudah sampai di pos pendaftaran di Santa Juliana, Kotamadya Capas, Provinsi Tarlac. Kendaraan kami berhenti tepat di depan toilet umum yang berjejer. Saya kemudian mengambil wudhu di sana dan segera mencari lokasi yang nyaman untuk melakukan salat subuh. Alhamdulillah tak jauh dari sana ada sebuah pohon dengan tanah di sekitarnya yang cukup lapang dan terlindungi oleh mobil-mobil yang parkir. Cukup untuk saya menggelar sajadah.
Setelah selesai salat, kami menuju pos pendaftaran. Di Pos telah ramai oleh wisatawan yang hendak mendaki Pinatubo. Kami antri untuk mengisi formulir pendaftaran, membuat surat pernyataan kemudian diukur tensi darah oleh petugas jaga. Setelah itu kami diperbolehkan untuk mendaki.
Karena berada di kawasan militer maka pendaftaran dan pendakian ke Gunung Pinatubo dibatasi hanya sampai jam 10 pagi. Setelah itu tidak ada lagi penerimaan dan tidak diperbolehkan mendaki di atas jam 10 pagi. Menurut guide kami, di luar jam itu akan ada banyak latihan militer yang dilakukan pihak tentara Amerika Serikat.
Dari desa ini, semua pengunjung diwajibkan menaiki kendaraan jeep 4wd guna menghemat perjalanan hingga titik dimana jalur tidak bisa lagi dilalui oleh kendaraan ini. Selain itu kami juga diwajibkan ditemani oleh seorang guide lokal yang akan menemani sepanjang pendakian. Untuk guide lokal ini kami masih mengingatnya karena namanya cukup unik. Dia bernama Troy.
Sekitar jam 6 pagi waktu Santa Juliana Capas, mobil jeep yang kami tumpangi meluncur membelah hamparan pasir yang luas. Saya merasa seperti sedang melintasi Pasir Berbisik di Gunung Bromo. Bedanya di sini tidak terlalu dingin menusuk seperti di Bromo.
Perjalanan melintasi lautan pasir ini tidaklah mulus, beberapa kali kami harus melintasi sungai kecil yang mengalir di sana-sini. Aliran air kerap mengubah posisi jalan sehingga jalur yang dilalui merupakan jalur baru. Jadi, tidak ada jalan yang permanen karena setiap kali satu kendaraan melintasi hamparan pasir, esok atau lusa jalur tersebut sudah berubah menjadi sungai kecil. Aliran air akan mengubah bentuk jalur menjadi tidak beraturan lagi. Maka sangat diperlukan keterampilan para supir jeep dalam mengenali medan.
Kenapa jalur selalu berubah? Ya karena jalur yang kami lalui sejatinya adalah sebuah sungai besar. Yup, kami menuju badan Gunung Pinatubo ini dengan menyusuri bekas aliran sebuah sungai. Sebelum letusan, sungai ini dipenuhi oleh aliran air yang melimpah, bersih dan jernih. Guide kami bilang sungai ini merupakan sungai yang lebar dan indah dengan pepohonan yang rimbun dan tinggi. Kini di sepanjang sungai itu hanyalah hamparan pasir, kerikil, bebatuan serta jeram-jeram kecil dari aliran sungai. Pun di kanan kiri sungai yang mnegering ini yang tampak hanyalah tebing-tebing dengan ilalang yang tidak terlalu tinggi. Sementara pepohonan tinggi nyaris tidak terlihat. Letusan tahun 1991 itu telah menghancurkan segala yang dilaluinya. Pepohonan dan hewan-hewan.
Kini setelah hampir 30 tahun pasca letusan, alam di sini tampak sedang berbenah. Pepohonan mulai tumbuh satu per satu. Menyembul diantara ilalang-ilalang yang memenuhi permukaan gunung. Sementara hewan-hewan besar belum lagi tampak. Sepertinya perlu waktu hingga 100 tahun untuk mengembalikan ekosistem seperti semula. Saya jadi teringat sewaktu mendaki Gunung Tambora tahun 2015 silam, meskipun sudah 100 tahun pasca letusan, tumbuhan di sana cenderung masih homogen. Dan hewan-hewan besar belum banyak berkeliaran.
Matahari mulai menampakkan sinarnya. terasa hangat menembus hingga ke dalam jeep. 25 menit setelah meninggalkan pos pendaftaran, kami tiba di sebuah hamparan dimana terdapat puluhan sapi, kerbau dan kambing yang sedang merumput. Sungguh pemandangan yang menyegarkan mata.
Saya kemudian meminta berhenti untuk melihat-lihat dan tentu saja untuk berfoto. Setelah puas, kami melanjutkan perjalanan untuk melalui belasan kilometer berikutnya.
Karena tulisannya cukup panjang jadi saya lanjutkan saja di part berikutnya ya di tulisan ini: Mendaki Gunung Pinatubo Sambil Belajar Bahasa dan Budaya Filipina.
Dalam waktu 12 menit kami sudah berpakaian rapi. Menggemblok backpack yang diisi perbekalan yang akan kami gunakan selama seharian penuh. Ada pakaian ganti, handuk kecil, topi, penutup wajah (buff), mukena, 2 liter air putih, makanan ringan, jeruk dan sunblock. Semua perbekalan ini merupakan barang-barang yang akan kami bawa dalam pendakian ke Gunung Pinatubo hari itu.
Pukul 03.14 ketika kami baru saja tiba di lobby, seorang pemuda tampak masuk dan hendak menanyakan sesuatu kepada resepsionis. Namun karena dilihatnya kami datang, ia seketika menghentikan langkah dan mengalihkan pandangan ke arah kami. Saya langsung menanyakan kepadanya apakah ia guide yang menjemput kami, ia pun mengangguk dan langsung mengajak kami untuk segera menuju mobil jemputan yang diparkir di halaman hotel. Sedihnya saya kok lupa nama guide ini. Ketika menanyakan ke Reny beberapa hari yang lalu, sama saja dia juga sudah lupa. Hiksss.
Alhamdulillah kami tepat waktu. Nggak malu-maluin Indonesia haha. Sejak sebelum tidur saya sudah berazzam kalau tidak boleh telat karena ini pasti bawa-bawa nama Indonesia. Kami nggak mau dikenang oleh orang Filipina sebagai orang yang ngaret. Yang ujung-ujungnya mencemari nama baik negara. Wkwkwk. Jangan sampai kejadian sewaktu di Maya Bay Thailand bareng Reny terulang kembali. Kejadian yang bikin malu. baca ceritanya di sini: Berenang-renang Cantik dan Bermain Pasir di Maya Bay.
Pagi masih teramat gelap. Mobil yang kami tumpangi melaju dengan kecepatan 60-80 km per jam mengarah ke utara Manila. Setelah berbasa-basi meminta izin kepada guide, saya dan Reny melanjutkan tidur kembali di dalam mobil. Lumayan perjalanan 2 jam yang akan kami tempuh hingga tiba di pos pendakian Santa Juliana di Capas bisa kami gunakan untuk beristirahat.
Dalam tidur-tidur ayam antara sadar dan nggak, mobil yang kami tumpangi perlahan melambat. Dua orang berpakaian tentara mencegat kendaraan kami di depan sebuah gerbang masuk. Sebentar kemudian kami sudah melaju kembali di sebuah jalan yang lebar dan mulus. Beda dengan jalan yang kami lewati sebelumnya.
Seketika saya tersadar dan mulai menanyakan ini itu kepada guide. Ternyata kami baru saja melewati Basis Militer Amerika Serikat yang memang ditempatkan di sekitar Gunung Pinatubo. Pantas saja jalan yang kami lalui lebar dan mulus karena digunakan untuk kepentingan hilir mudik tentara Amerika Serikat.
Sekitar jam 5 subuh kami sudah sampai di pos pendaftaran di Santa Juliana, Kotamadya Capas, Provinsi Tarlac. Kendaraan kami berhenti tepat di depan toilet umum yang berjejer. Saya kemudian mengambil wudhu di sana dan segera mencari lokasi yang nyaman untuk melakukan salat subuh. Alhamdulillah tak jauh dari sana ada sebuah pohon dengan tanah di sekitarnya yang cukup lapang dan terlindungi oleh mobil-mobil yang parkir. Cukup untuk saya menggelar sajadah.
Setelah selesai salat, kami menuju pos pendaftaran. Di Pos telah ramai oleh wisatawan yang hendak mendaki Pinatubo. Kami antri untuk mengisi formulir pendaftaran, membuat surat pernyataan kemudian diukur tensi darah oleh petugas jaga. Setelah itu kami diperbolehkan untuk mendaki.
Karena berada di kawasan militer maka pendaftaran dan pendakian ke Gunung Pinatubo dibatasi hanya sampai jam 10 pagi. Setelah itu tidak ada lagi penerimaan dan tidak diperbolehkan mendaki di atas jam 10 pagi. Menurut guide kami, di luar jam itu akan ada banyak latihan militer yang dilakukan pihak tentara Amerika Serikat.
Pos Pendafataran di Santa Juliana, Capas. |
Reny sedang diukur tensi |
Dari desa ini, semua pengunjung diwajibkan menaiki kendaraan jeep 4wd guna menghemat perjalanan hingga titik dimana jalur tidak bisa lagi dilalui oleh kendaraan ini. Selain itu kami juga diwajibkan ditemani oleh seorang guide lokal yang akan menemani sepanjang pendakian. Untuk guide lokal ini kami masih mengingatnya karena namanya cukup unik. Dia bernama Troy.
Sekitar jam 6 pagi waktu Santa Juliana Capas, mobil jeep yang kami tumpangi meluncur membelah hamparan pasir yang luas. Saya merasa seperti sedang melintasi Pasir Berbisik di Gunung Bromo. Bedanya di sini tidak terlalu dingin menusuk seperti di Bromo.
Jeep yang akan kami naiki |
Perjalanan melintasi lautan pasir ini tidaklah mulus, beberapa kali kami harus melintasi sungai kecil yang mengalir di sana-sini. Aliran air kerap mengubah posisi jalan sehingga jalur yang dilalui merupakan jalur baru. Jadi, tidak ada jalan yang permanen karena setiap kali satu kendaraan melintasi hamparan pasir, esok atau lusa jalur tersebut sudah berubah menjadi sungai kecil. Aliran air akan mengubah bentuk jalur menjadi tidak beraturan lagi. Maka sangat diperlukan keterampilan para supir jeep dalam mengenali medan.
Kenapa jalur selalu berubah? Ya karena jalur yang kami lalui sejatinya adalah sebuah sungai besar. Yup, kami menuju badan Gunung Pinatubo ini dengan menyusuri bekas aliran sebuah sungai. Sebelum letusan, sungai ini dipenuhi oleh aliran air yang melimpah, bersih dan jernih. Guide kami bilang sungai ini merupakan sungai yang lebar dan indah dengan pepohonan yang rimbun dan tinggi. Kini di sepanjang sungai itu hanyalah hamparan pasir, kerikil, bebatuan serta jeram-jeram kecil dari aliran sungai. Pun di kanan kiri sungai yang mnegering ini yang tampak hanyalah tebing-tebing dengan ilalang yang tidak terlalu tinggi. Sementara pepohonan tinggi nyaris tidak terlihat. Letusan tahun 1991 itu telah menghancurkan segala yang dilaluinya. Pepohonan dan hewan-hewan.
Saya, guide dari tour & travel, guide lokal (Troy) dan driver jeep. |
Kini setelah hampir 30 tahun pasca letusan, alam di sini tampak sedang berbenah. Pepohonan mulai tumbuh satu per satu. Menyembul diantara ilalang-ilalang yang memenuhi permukaan gunung. Sementara hewan-hewan besar belum lagi tampak. Sepertinya perlu waktu hingga 100 tahun untuk mengembalikan ekosistem seperti semula. Saya jadi teringat sewaktu mendaki Gunung Tambora tahun 2015 silam, meskipun sudah 100 tahun pasca letusan, tumbuhan di sana cenderung masih homogen. Dan hewan-hewan besar belum banyak berkeliaran.
Matahari mulai menampakkan sinarnya. terasa hangat menembus hingga ke dalam jeep. 25 menit setelah meninggalkan pos pendaftaran, kami tiba di sebuah hamparan dimana terdapat puluhan sapi, kerbau dan kambing yang sedang merumput. Sungguh pemandangan yang menyegarkan mata.
Kerbau dan sapi sedang merumput |
Kehangatan pagi yang mulai terlihat dari mobil jeep. |
Lautan pasir yang kami lewati |
Saya kemudian meminta berhenti untuk melihat-lihat dan tentu saja untuk berfoto. Setelah puas, kami melanjutkan perjalanan untuk melalui belasan kilometer berikutnya.
Karena tulisannya cukup panjang jadi saya lanjutkan saja di part berikutnya ya di tulisan ini: Mendaki Gunung Pinatubo Sambil Belajar Bahasa dan Budaya Filipina.
Referensi:
1. https://en.wikipedia.org/wiki/Mount_Pinatubo
2. https://www.britannica.com/place/Mount-Pinatubo
3. https://www.nytimes.com/2012/11/28/travel/mount-pinatubo-20-years-after-the-blast.html
4. https://www.lakwatsero.com/destinations/mt-pinatubo/
Waw indah sekali pemandangannya ya, Kak. Begitu hijau dan asri
BalasHapusIndah sekali ya kak. Sayangnya jauh karena di filipina tapi di indonesia juga ada yang mirip loh kak, yaitu gunung rinjani dan danau segara anaknya
BalasHapusWah pasti seru kak ya mendaki gunung, apalagi ditambah dengan keindahan danaunya membuat rasanya tak ingin cepat pulang
BalasHapusTerlihat menarik ya kak. Tapi ngomong ngomong di malang juga ada lautan pasir yang tak kalah menarik loh kak di Bromo tepatnya
BalasHapusJalur sungai yang dilalui bagus sekali loh kak, terlihat indah dan menyejukkan mata
BalasHapusKalau liat gambar padang pasirnya kenapa langsung kebayang bromo ya. Hahah. Baru tahu Filiphina punya tempat wisata pendakian yang eksotik seperti ini
BalasHapusTahun 91 aku sudah SMA *duh ketahuan umur :D
BalasHapusMelewati lautan pasir, serasa di Bromo ya mbak. Cakep juga pemandangan di hamparan pasirnya, tapi paling indah menurutku pemandangan danau kawah di puncak gunungnya itu (foto 1).
Oh Pinatubo ini di Filipina ya. Tadi awalnya aku sangka di Indonesia. Nggak nyangka karena pernah meletus sampai gunung ini kehilangan ketinggiannya ya. Aduh semoga virus corona ini cepet hilang ya, biar bisa jalan-jalan lagi kita
BalasHapusKeren mbak Lina, tetap yang dicari gunung ya di Filipina. Aku malah lupa soal letusan gunung Pinatubo ini tahun 1991 kayanya aku juga udah SD ini, ketauan gak nonton berita hehehe. TErnyata kalau naik gunung juga bisa pakai pihal tour & travel ya mbak
BalasHapusAku kok juga ga ingat ya, padahal tahun 91 itu udah SMA. Dampaknya ternyata luar biasa sampe ke negara-negara tetangga ya karena letusannya sampai tinggi sekali gitu awannya.
HapusTenang ada temen yang lebih tua, tahun 91 aku udah smp kls 3 bhuahaha diperbuas.
BalasHapusBtw seru banget perjalannya, tepat waktu ga malu2in sebagai WNI yak.Perjalanan yang ga gampang tapi menikmati yang indah2 ujungnya bikin wow pisan ini.
Bakalan butuh waktu yang lama ya mba untuk alam di sekitar daerah erupsi. Isinya jadi bentangan pasir gitu, tumbuhan baru sedikit yang muncul.
BalasHapusNggak sabar nih mba nungguin kelanjutannya. Aku nunggu summit attacknya ya mbaaa...
Jangan ngaret mbak, saya menunggu kisah selanjutnya.
BalasHapusEh tahun 1991 itu saya sudah masuk SMP. Ketahuan deh sekarang umurnya berapa
waaa ini pemandanganya bagus baget, bener bener cantik yaaa, ku jadi pengen kesana jugaa deh, kebetulan ada saudaraku yang tinggal disana karna nikah sama org sana hihi
BalasHapusSaya suka baca sejarah dan suka nonton film petualangan walau belum pernah naik gunung. Hihi. Thanks tulisannya Mbak, keren, informatif dan membacanya kaya baca novel, pengen tahu lanjutannya.. Penasaran eui. Ditunggu yaaa
BalasHapusDengar nama pinatubo langsung ingat sama letusan dahsyatnya.
BalasHapusWaktu itu saya udah SMP, mbak. Hihi...lebih tua lagi deh.
Saya baca soal pangkalan militer ini kok sebel, ya. Secara itu negara siapa, dia tentara siapa. Hhhh....
wow mantap kak, itu semacam di bromo ya pada saat ada padang pasir, naluri pendakian aku naik lagi nih, senyata terakhir mendaki gunung saat SMU sekitar 8 tahun lalu hahahaha
BalasHapusNggak sabar nih buat baca kelanjutan ceritanya... >,<
BalasHapusbtw, saya juga pingin nih main ke Filipina, tapi kapan ya...? hehe
Mba lina nih hiker sejati euy...
BalasHapusBahkan ke Manila buat Enjoy tracking
Eh tp worth it banget ya pemandangan di puncaknya
Mba lina stamina ya bagus banget sih mbaa
Wah ada basis militer AS disana ya. Jalan yang dilalui dan jeepnya ngingetin sama film2 cowboy hollywoid
BalasHapusduh, jadi kangen naik gunung.. tapi kayaknya raga udah gak setangguh dulu lagi.. haha
BalasHapustrek awalnya mirip-mirip gunung papandayan yang di garut yaa, kalo trek berpasirnya mirip-mirip bromo.. hehehe
saya salfok sama jalur sungai nya euy, indah banget apalagi liat airnya biru banget, bersih lagi :)
BalasHapusTiap liat cerita ttg gunung itu hatiku bergetar, dulu begitu mudah naik gunung karena masih bebas waktu, ongkos jg ada sponsor kini waktu begitu mahal
BalasHapusWow, aku penasaran dg pendakian ini. Apakah pendakiannya sulit / tidak ya? Ok mba..kutunggu tulisan berikutnya ya..
BalasHapusAku tahun 1991 juga masih SD, Mbak Lina. Jangan-jangan seumuran nih hehe. Sayangnya aku malah ga ngikutin berita ledakan Gunung PInatubo. Jujur malah baru tahu dari tulisan mbak sekarang. Salut deh berani mendaki gunung karena aku aja belum pernah sama sekali. Naik bukti aja dah ngos-ngosan hihi. Apalagi di luar negeri begitu, travel blogger sejati deh Mbak Lina ini. Pasirnya mirip Bromo beneran ya Mbak, ditunggu lanjutan ceritanya. Barangkali sempat nyasar ke pangkalan militer AS hehe
BalasHapusDari pos menuju titik pendakian yg tidak bisa di lewati kendaraan, benar2 aliran sungai yg ditutupi pasir dan bebatuan bekas letusan ya, tapi kalau ngelihat di foto-foto ini seperti hamparan pasir yang berpadu dengan keindahan alam alami.
BalasHapusCerita rute pendakian berikutnya sepertinya semakin menarik.
HapusKalau dilihat dari antrian di loket masuk, jalur pendakiannya ramah untuk yang sehat dan berminat melakukannya ya, mba.
Itu lautan pasirnya serasa di gurun :)
BalasHapusBtw, tahun 1991 itu saya kelas 1 SD
Banyak juga yang ingin mendaki ya mba. Aku baru ngeh kalau ini masuk zone militer juga. Tapi memang pengalaman yang mengesankan pasti ya
BalasHapusTmepat ini bagus banget mbak apalagi gunung Pinatubo ini dan saya sekali-kalinya mendaki gunung di Berastagi mbak itu pun yang sekarang lagi meletus yaitu Gunung Sinabung. Memang menyenangkan banget bisa mendaki dan melihat pemandangan indah ya mbak.
BalasHapusWah, serem banget ya ketika Gunung Pinatubo ini meletus! Kolom asapnya tinggi sekali hingga mencapai 30 km ck..ck...ck.. :D Efeknya langsung gawat ke beberapa negara nih kudu hati2. Ini sekilas kayak lagi di Bromo ya hihihii ada jip dan gurun2nya :) Iya ya tahun 1991 aku juga masih SD hahaha toss ah!
BalasHapusKalau sudah hobi mendaki dari lahir, kalau ke negara orang pasti yang dicari ada gunung yang bisa didaki gak ya? Hahahaha
BalasHapusTapi cakep, sih mbak! Jadi mupeng :)
Memang mirip sama Bromo ya yang foto-foto terakhir itu. Apalagi ada jeepnya juga :D
BalasHapusseru banget petualangannya ya kak, kalau dilihat sekilas mirip gunung Semeru hehehe tapi sepertinya keseruan pendakian Gunung Pinatubo ini berbeda ya kak.Pemandangannya indah banget, pasti seger banget udaranya apalagi pepohonanya juga baru tumbug setelah letusan
BalasHapusBAnyak pula cerita seru seputar gunung ini, aihhh bikin penasaran
uwah keren banget mbak lina! saya asli ngiri, sudah lama pengen ke filipina, meski tidak untuk ke gunungnya karena saya lebih tertarik dengan kehidupan kota serta beberapa pantainya :D
BalasHapusSeru banget perjalanannya. Berasa ikut mengalami aku pas bacanya. Pemandangan di Gunung Pinatubo juga bagus banget ya. Dan saat lihat padang pasirnya, aku kok jadi teringat padang pasir yang ada di Bromo.
BalasHapusPemandangannya memang tak tergantikan, sih. Pantas saja dijadikan destinasi saat berada di filipina
BalasHapusMasyaallah, bisa berubah gitu ya, dari sungai jadi bener-bener hamparan pasir. Beneran gak ada bekas tanda-tanda sungainya loh. Memang kalau Allah sudah "Kun" semua bisa terjadi. Tapi setelah menajdi hamparan pasir juga tetap memiliki daya tarik. Buat orang-orang yang gak tau asal muasalnya juga tetap terlihat amazing.
BalasHapusBtw, baca cerita pendakian ini jadi seperti nostalgia sepuluh tahun silam ketika masih suka mendaki. Kalau sekarang tahapnya sedang persiapan lagi karena sudah plan mau ngajari anak-anak mendaki juga, hehe. Dimulai dari gunung-gunung ramah family traveler aja dah.
HapusKalo liat postingan tentang para pendaki itu rasanya.. ingin ikutan, tapi aku merasa fisik aku kurang nih untuk bisa mendaki gunung huhu mba mungkin punya tipsnya mbak supaya agar fisik prima saat mendaki hehe jadi curcol nih aku
BalasHapusSekilas mirip Bromo ya mbak, seru banget ini perjalanannya. Kebayang ini kalau berada disana aku pun pasti sudah foto-foto sambil menikmati pemandangan sekitarnya.
BalasHapusMasha Allah, keren banget mbak perjalanannya. Ngak bosan-bosa lihat foto-fotonya, cantik banget.
BalasHapusSaya juga ingin nih ke Filipina sudah pernah ngobrol2 sih soal ke Filipina ke soulmate traveling aku tapi entah kapan yak xixixi
BalasHapusMba, mantab sudah mendaki di filipina saja btw aku deg2an pas baca dicegat tentara rasanya kayak gimana gitu hahahaa mantab mba
BalasHapusYa Allah ini masuk sebagai letusan terdahsyat ya mba. Semoga kita terlindungi dari keadaan yang seperti itu. Tapi sekarang jadi pemandangan yang menakjubkan ya
BalasHapusMasyaallah indah banget, jadi pengen adventure ke sana juga mba. Semoga wabah ini segera pergi. Wah meletus tahun 91, saya juga baru masuk SD hehehe.
BalasHapusSaya jadi ingat Bromo saat melihat hamparan lautan pasirnya. Meski mungkin gak sama persis, abis saya juga belum pernah ke Bromo hanya sering lihat liputan maupun ulasan teman-teman Blogger. Asyik banget membaca kisah petualangan mba Lina yang menjelajah dari satu gunung ke gunung. Btw, mba Lina punya tulisan gak asal mula kok sampai suka dengan gunung? Mau dong baca.
BalasHapusPemandangannya ya mba masyaAlloh sungguh indah sekali, mba keren banget dah daki gunung di Filipina, aku daki gunung Indonesia aja belum pernah hahaha
BalasHapusKalau gak dibilang Filipina mungkin juga ngiranya itu di Indonesia krn orgnya mirip2 dan juga nuansa alamnya hampir sama ya mbak. Wah ternyata di sana pernah ada bencana gunung berapi juga ya mbak. Wow banget butuh waktu 100 tahun, cukup lama ya mbak alam kembali ke kondisinya semula :(
BalasHapusSeru banget yaa, ka Linaa...
BalasHapusBtw,
OOTD ke gunung pakai rok, amankah, kak Lina?
Ini persis Bromo yaa...hehehe...ada hamparan pasir, harus pakai tour-guide lokal hingga naik jeep.
Penduduk sekitar Pinatubo juga masih kental dengan adat istiadatnya ga, kak Lina?
HapusPenasaran sama kuliner saat hiking.
Tahun 1991 aku belum lahir, Mbak. Hahahaha. Eitu lihat penampakan Danau Kawah di Kawasan Puncak Gunung Pinatubo kok inget sama danau 3 warna di negeri kita tercinta ini, ya, Mbak. Apik banget.
BalasHapusMak Lina tahun 1991 masih sekolah dasar, saya sudah kuliah :))
BalasHapusDirimu keren ini, seusiamu masih kuat dan senang mendaki gunung.
Jadinya cerita-cerita tentang pendakian selalu menarik dibaca.
Filipina dan Indonesia hampir sama yah, termasuk alam nya ini. Awalnya liat foto saya kita ini Indonesia loh mbak. Seneng yah mbak lina sudah bisa menikmati langit dan alam Filipina.
BalasHapusMenggelitik banget kata2 engga malu2 in Indonesia..betul ya kalau saat di LN ini serasa selalu membawa nama negara kita..hehe..
BalasHapusTahun 91 aku sudah SMA....lebih tua aku berarti hihi
BalasHapusIni keren banget, mendaki beneran mendaki atau naik jeep terus sampai atas seperti di Bromo ya..Jadi penasaran dengan lanjutannya
Waauu aku senang bacacerita tentang letusannya. Menarik banget. Btw, orang2 filipina mirip banget ya ama orang indonesia, setipe gt.
BalasHapusDanau Kawahnya luas dan biru, menyenangkan banget bisa melakukan perjalanan dan mendaki gunung ya mbak. Alamnya pasti indah dan juga asri, apalagi kalau sudah sampai di Puncak Gunung pasti menyanangkan banget.
BalasHapusBravooo mantab jiwa Mak Lina!
BalasHapusKeren sangaaatt dirimu euy
aku juga pengin ikuti jejakmu
Bagus banget ya pemandangan ini di Filipina walaupun deket gini aku belom pernah kesana dan semoga wabah ini segera selesai
BalasHapusCakep juga ya mba pemandangannya. Tapi kupikir ini di Indonesia, ternyata Filipina.
BalasHapusTernyata masih bersambung ya mbak, aku penasaran dengan jalur pendakian yang harus jalan kaki.
BalasHapusAku udah mulai kerja tuh tahun 1991, ya Allah ketahuan deh usianya. Aku ingat dengan beritanya waktu itu, bahkan sampai penutupan Pangkalan Udara USA.
Menanti lanjutannya apalagi pemandangannya kece banget, Masya Allah
Ini agak mirip-mirip gunung di Indonesia ga ya secara sepintas ? maklum ga pernah naik gunung, pernah deng pas masih zaman sekolah dulu. Mba Lina keren nih, bener-bener petualang sejati
BalasHapusWhaaw tahun 1991 aku juga SD, jangan-jangan kita seangkatan. Tapi pas SD itu aku nggak nontonin berita tentang meletusnya gunung Pinatubo Mba, lagi asyik main sama teman-teman kayaknya wkwkwkwk. Dahsyat juga yaa akibat letusannya sampai kehilangan 259 meter. Aku sama sekali loh belum pernah mendaki gunung. Suka iri sama teman-teman yang suka pergi mendaki. Huhuhu.
BalasHapusWadidaw serunya. Aku jadi kangen filipina. Sayang banget kemarin aku ga sempat kemana2 karena cuaca jelek. Malah ga sempat ke Tagaytay. Tapi aku lebih ke anak pantai daripada gunung, pengen ke boracay n palawannyaaa
BalasHapusKeren pemandangannya ya, dan padang pasirnya mirip yg di Bromo. Pasti seru banget bisa berpetualang seperti ini
BalasHapusSelalu betah kalau baca tulisan jalan jalan begini.
BalasHapusSaya payahnya malah baru tahu tentang Gunung Pinatubo yang meletus tahun 1991 ini. Danau Kawahnya cantik sekali. Awalnya kalau nggak perhatiin baik baik judulnya, kukira ini di Indonesia, ternyata Filipina ya.
Wah mbak suka naik gunung ya? Klo gunung di indonesia, mana saja yg sudah di daki mbak?
BalasHapusPantes saya kok pernah denger tentang gunung Pinatubo, ternyata tahun 1991 itu saya sudah SMP, hehehe. Cuma memang waktu itu gak terlalu ngerti. Tahu beritanya, tapi gak tau kalau sedahsyat itu meletusnya.
BalasHapusPhilipina keren juga ya, jadi pengen ke sana juga nih.
Kakak suka naik gunung ya? bahkan sampe Gunung di Filipina dijabanin hehe. Pemandangan di Gunung Pinatubo bagus banget ya. Untuk para pendaki juga bagus banget diatur dengan baik, sampe ada pemeriksaan kesehatan juga.
BalasHapusMenyenangkannya bisa naik gunung di Filipina, aku di Indonesia saja baru dua. Pengalamannya pasti menyenangkan ya apalagi karena tidak di negeri sendiri, pensaran ke cerita selanjutnya kak :D
BalasHapusYa Allahh Mbak, bahasanya beneran enak nih dibaca. Ngalir gitu. Deskripsinya bikin Nagih bacanya loh. Asli. Semoga tetap diberi kesehatan supaya bisa menjelajah pegunungan terus ya mbak
BalasHapusBtw th 91 aku belum lahir mbak 😆
Sekilas terlihat kayak bromo suasananya... btw jauh juga ke filipinan ngejar gunung ya kak..salut
BalasHapusYa ampun kerennya Mbak Lina, mendaki gunung sdh sampai di Filipina. Pengalaman yg pasti sgt berkesan sekali. Baca ceritamya di atas membuat aku jg ingin menjelajah mancanegara dg mendaki.
BalasHapusTripnya amazing, mbaknya juga keren banget travellingnya pergi hiking. Jadi kayak acara my trip my adventure ya mba. Kukira bakal sepi, tapi ternyata rame juga ya mba yang mau pendakian ke gunung pinatubo
BalasHapusTahun 1991 ya...?
BalasHapusHmmm, let me think?
Aha, aku masih kuliah kayaknya, itu, mba
Aku tahu beritanya juga lewat TV.
Pas aku cari literasi, letusan gunung Pinatubo termasuk ke 5 dari 7 letusan terdahsyat gunung berapi di dunia.
Pemandangan gunung itu memang gaada duanya lah. Saya suka banget kalau sudah melihat gunung, rasanya jadi sejuk sendiri wkwkwkwk. BTW kisah perjalanan pendakian ke gunung pinatubonya asik banget, buat yang baca jadi pengen langsung ndaki wkwkwkwk.
BalasHapusDari letusan sebuah gunung ternyata bisa menjadi tempat eisata
BalasHapusDari letusan sebuah gunung ternyata bisa menjadi tempat wisata yah mba. Baca perjalanannya di gunung Filipina serasa ikut menjelajah juga, tp q agak sensi tuh sama tentara Amerika.
BalasHapusMasyaallah pemandangannya indah bener dan aku kayaknya butuh latihan fisik lagi buat ngebolang ke gunung
BalasHapusTravelling sampai ke Gunung Pinatubo, daku belum sanggup sepertinya. Lanjut terus mbakku,daku menikmati keindahannya melalui tulisan
BalasHapusteh Lina keren bangettt aku ngeganfs! jujur di Filipina ada gunung itu aku baru tau lho teh, duh indah juga ya pemandangannya dan banyak juga turis yg mau kesini
BalasHapusSuamiku juga suka mengajak aku dan anak-anak trekking ke gunung. Si sulung sampai Puncà k Gunung Salak saat usia 3 tahun. Kalo adiknya cuma sampai Puncak Sekunir, sedangkan bundanya biasanya hanya nunggu di tenda di pos sebelum puncak. Hihihi..
BalasHapuskalau boleh tau berapa harga paket manila-pinatubo mbak?
BalasHapusSekitar 14.998 Peso berdua Mbak atau kalau dirupiahkan sekitar 4.121.300 rupiah berarti per orang kena 2.060.650 rupiah. Standar hampir sama dengan paket-paket wisata ke Bromo atau Semeru.
Hapus