Setelah
mengamati dan melihat-lihat kerbau, sapi dan kambing yang sedang merumput di
kawasan Crow Valley - sebuah dataran lembah pasir yang sangat luas di Sungai
O'Donnell, sungai yang mengering yang menjadi jalur pendakian menuju Gunung
Pinatubo via Pos Santa Juliana Capas - kami pun melanjutkan perjalanan
kembali.
Perhentian Jeep |
Yang belum membaca cerita sebelumnya bisa diklik di tulisan ini: Catatan Pendakian Gunung Pinatubo Filipina.
Belajar Bahasa Filipina (Tagalog) di dalam Jeep
Sambil mengamati kerbau yang sedang merumput di ujung lembah sana, iseng saya bertanya dalam Bahasa Inggris apa Bahasa Filipinanya buffalo (kerbau). Guide kami, Ryan menjawab "kalabaw." What? Saya memasang pendengaran baik-baik. "Kalabaw." Ia mengulanginya sekali lagi. Saya dan Reny menganga keheranan. "Kenapa bunyinya mirip banget dengan kerbau ya?" Kami pun saling berpandangan. "Kamu tahu nggak, dalam Bahasa Indonesia buffalo itu namanya kerbau?" Tanya saya kepada Ryan. "Really?" Ryan mendadak bengong tak percaya. Ia pun terdengar memberi tahu kedua orang Filipina lainnya yang ada dalam jeep. Mereka tampak berbicara satu sama lain. Sama halnya dengan kami, ternyata mereka juga langsung terkaget-kaget. Akhirnya kami pun tergelak bersama. Selanjutnya sudah bisa ditebak, kami saling mengeksplor kata-kata dan mencari padanan satu sama lain mencari persamaan diantara bahasa Indonesia dan Filipina.
"Terus apa Bahasa Filipinannya sheep (kambing)?" tanya saya. "Kambing" jawab Ryan. What? Mulut dan mata saya membulat. Ya ampuuun benar ternyata menurut sejarah ya kalau nenek moyang kita sama. Banyak kata dan istilah yang memang mirip banget. Wkwkwk. "Kalau babi?" Saya pun melanjutkan pertanyaan. "Baboy." Jawab kedua guide kami kompak. Ya Allah, saya dan Reny nggak berhenti tertawa. "Waaah, Lina mulai sekarang kalau aku lagi ngambek aku manggil Si Abang, Baboy aja lah ya?" Kata Reny mendadak punya ide gila untuk memanggil pasangannya yang di Tangerang dengan sebutan Baboy. Hahaha kurang ajar.
"Ya sudah kita belajar bahasa masing-masing yuk! Saya sebutkan angka dalam Bahasa Indonesia kamu dalam Bahasa Filipina. Setuju?" Kata saya kepada Ryan dan Troy. Ok baik. Mulai! Satu - isa, dua - dalawa, tiga - tatlo, empat - apat (pas menyebut ini, Ryan terdengarnya seperti berkata opat (Uniknya Bahasa Sunda dan Bahasa Batak juga menyebut angka empat dengan opat), lima - limang, enam - anim, tujuh - pito (pelafalannya terdengar seperti pitu, nah pitu itu Bahasa Jawa untuk angka tujuh), delapan - walo (terdengar seperti wolu dalam Bahasa Jawa), Sembilan - siyam, sepuluh - sampu. Sahut-menyahut angka pun selesai. Masya Allah, kami terus saja ngakak tertawa. Duuh jadi penasaran dengan nenek moyang kami seperti apa ya? :D
Bertemu Anak-Anak Gimbal dari Suku Pedalaman Gunung
Jeep terus melaju melalui jalur berpasir dan berbatu. Beberapa menit kemudian kami tiba di kawasan tebing yang dinamakan Toblerone Hill. Tempat ini dinamakan demikian karena terdapat tebing dengan formasi mirip coklat toblerone. Di sekitar sana, saya melihat anak-anak berambut gimbal sedang bermain boneka barbie. Anak-anak ini sungguh menarik perhatian hingga saya meminta driver menghentikan laju mobilnya agar kami dapat bertegur sapa dengan mereka.
Perjalananyang mengarah ke matahari |
Kami pun menyapa mereka. Dengan senyum malu-malu anak-anak ini membalas sapaan dengan bahasa yang tidak kami mengerti. Mereka berbicara bahasa daerah sendiri. Meskipun kami menggunakan bahasa yang tidak mereka mengerti, tak membuat anak-anak ini menjauh. Mereka tampak senang sekali bahkan sangat antusias saat diajak untuk berfoto.
Dengan rambut keriting cenderung gimbal, kulit sawo matang, kelopak mata lebar dengan bola mata yang hitam mengkilat, saya sungguh merasa familiar dengan wajah anak-anak ini. Mereka persis sama dengan wajah-wajah penduduk Indonesia Bagian Timur. Wajar saja karena mereka memang satu garis keturunan dari nenek moyang yang sama. Ribuan tahun lalu Ras Melanesia menyebar melalui Filipina dan menyebrang ke wilayah-wilayah timur Indonesia seperti Sulawesi, Maluku, Flores dan Papua.
Tak jauh dari tempat anak-anak bermain, terdapat beberapa gubuk warga yang mereka jadikan warung untuk berjualan. Gubuk sederhana dengan dinding dari jerami dan atap daun pisang ini menjual beberapa hasil bumi warga seperti buah-buahan dan umbi-umbian. Mereka juga menjual hasil palawija seperti jahe, kunyit dan kencur.
Sementara saya bermain dengan anak-anak, Reny mampir untuk membeli pisang rebus. Di pagi hari yang masih dingin itu, makan pisang rebus yang masih hangat sungguh suatu kenikmatan yang tiada tara. Tak ingin makan sendiri, Reny pun menawari semua anak-anak yang ada di sana untuk ikut makan pisang rebus. Dia memborong semuanya. Dengan sumringah anak-anak langsung berlari menyongsong pisang rebus.
Rasa keheranan saya tentang siapa sebenarnya anak-anak ini terjawab ketika Ryan menerangkan bahwa di atas tebing-tebing yang kami lewati ini terdapat kampung-kampung yang dihuni oleh penduduk asli. "Dahulu mereka tidak punya agama, tapi sekarang sudah dikristenkan. Dulu mereka tinggal di lembah-lembah, namun karena ada ancaman banjir dan badai, mereka disarankan untuk menempati wilayah-wilayah tinggi di lereng gunung. Di kampung di atas sana sudah ada sekolah, gereja dan klinik kesehatan." Sambungnya.
Setelah sekitar 15 menit bermain dengan anak-anak dan menyudahi sarapan pisang rebus, kami melanjutkan perjalanan. Kali ini medan yang dilalui cukup sulit karena terus-menerus melintasi aliran air. Terkadang kami juga melintasi aliran air yang cukup lebar dengan bebatuan besar yang harus disingkirkan. Untung saja driver kami sudah lihai dan terlatih.
Tidak hanya kami saja yang melaju saat itu. Jeep-jeep lain yang kebanyakan terisi oleh wajah-wajah bule dan oriental datang susul-menyusul. Iring-iringan kendaraan ini membantu kendaraan di belakangnya untuk mengikuti jalur yang sama sehingga tidak perlu melintasi jalur yang berbeda yang belum tentu mudah untuk dilewati.
Jam 7.50 kami tiba di perhentian terakhir dimana jeep-jeep ini diparkir dan beristirahat. Dari sana, kami harus melanjutkan pendakian menuju puncak selama dua jam dengan berjalan kaki. Bismillah, semoga saja tidak ada halangan apapun. Semoga saja badan kami fit. Sudah hampir dua tahun saya tidak mendaki gunung. Rasanya sungguh nano-nano. Seperti mau bertemu dengan kekasih yang sudah lama tidak bertemu. Ada haru dan buncahan rindu.
Perjalanan melintasi jalur pendakian yang merupakan bagian dari badan Sungai O’Donnell ini sangat menarik untuk diamati. Di kanan kiri hanyalah tebing dengan alur garis tanah yang berbeda-beda. Yang dapat menunjukkan berapa ketinggian endapan dan banjir lahar yang pernah terjadi di sini. Hal yang cukup menantang dari perjalanan ini adalah kami harus terus-terusan menyebrangi aliran air yang cukup deras dengan ketinggian bervariasi antara semata kaki hingga sebetis. Dengan dibantu Troy yang cekatan, Reny dan saya cukup tertolong saat menyebrang. Guide lokal dari Desa Santa Juliana ini seringkali terlihat sedang memindah-mindahkan batu besar untuk kami loncati agar tidak menginjak air.
40 menit kemudian, kami bertemu lagi dengan sekumpulan anak-anak berambut gimbal yang sedang bermain karet. Rupanya jalur ini juga menjadi wilayah tempat main anak-anak kampung yang ada di atas tebing sana. Karena menarik, iseng saya pun mencoba untuk ikut bermain-main bersama mereka. Duuh, jadi ingat masa kecil dulu. Duuh kenapa persis ya permainan anak-anak di sini dengan masa kecil saya di kampung?
Kawasan tempat anak-anak bermain karet ini, ternyata sudah tidak berada di Provinsi Tarlac tempat kami memulai perjalanan. Kini kami memasuki kawasan Provinsi Zambales. Penduduk di sini pun berbicara dengan bahasa daerah mereka yang disebut Bahasa Sambal. Selain Bahasa Sambal, penduduk asli Zambales berbicara Bahasa Tagalog, Ilocano, Kapampangan dan Pangasinan. Baru dengar kan ya ada bahasa-bahasa tersebut? Sama saya juga, hehe.
Sampai di Provinsi Zambales |
Setelah sekitar 1,5 jam perjalanan dari Perhentian Jeep atau di awal perjalanan berjalan kaki, kami tiba di rest station. Di sana terdapat pondokan atau shelter untuk berteduh dan ke toilet. Sebuah papan petunjuk memberitahukan bahwa jarak tempuh dari tempat tersebut hingga ke kawah di puncak tinggal 15 menit lagi bagi anak-anak muda, 18 menit lagi bagi dewasa dan 20 menit lagi bagi orang tua. Where do you belong? Pertanyaan di papan menohok kami. Haha. Sepertinya kami tidak dalam ketiganya. Apalagi saya sebentar-sebentar berhenti untuk memotret. Baiklah kita coba akan selesai dalam berapa menit.
Where do we belong? |
Karena tulisannya lebih dari 1000 kata maka saya lanjutkan di tulisan berikutnya.
Wow, makin penasaran... Ditunggu lanjutannya ya Mbak. Ternyata banyak bahasa yang mirip juga ya Mbak.
BalasHapusMbaaak Lina, dirimu keren sekali, aku suka kagum deh mbak sama wanita yang hobby naik gunung, entah kenapa aku tipikal yang kalau naik gunung gampang capek dan mikir belum sampai udh mau nyerah duluan. Padahal ketika sampai puncak banyak kebahagiaan yang membayar semua lelahnya.
BalasHapusMemang banyak kosa kata B Indonesia yang mirip dengan bahasa Tagalog yah, aku pernah nonton cuplikan videonya hehe.
BalasHapusBerpetualang seperti itu terasa membuka wawasan banget yah mbak, apalagi kalau menyempatkan diri berinteraksi dengan warga sekitar
Mirip-mirip di Indonesia ya Mba :)
BalasHapuskeren banget bisa mendaki gunung sambil belajar bahasa dan budaya.
Nama bahasanya lucu tuh Mba, jangankan di sana ya, di Indonesia saja kadang agak lucu kalau dengar nama daerah dan nama bahasa daerahnya :)
Wah anak-anak disana masih memainkan permainan tradisional ya, belum terkena perkembangan jaman seperti disini ya
BalasHapusiyaah ya Mbak, natural banget malah ya. permainan tradisional masih lestari disana.
Hapusnoted ini kosakatanya, jadi belajar juga kita nih :)
hahahaa lucu ya papan petunjuknya ada kira2 jarak tempuh berdasarkan usia :) bikin kita mikir, termasuk yang kategori mana
BalasHapusFilipina mirip dengan Manado atau kota lain di Sulawesi gak sih mba? seru sekali ini perjalanannya
BalasHapusAku ngakak pas di bagian Babooy Linaaaa, hadooooh.. kuwalat loh itu temenmu hihihihiii
BalasHapusmenakjubkan deh baca cerita ini, jadi pengen halan halan juga
Wah seru juga melakukan perjalanan sekalian sambil belajar bahasa dan budaya Filipina. Banyak juga kata-kata yang mirip2 dengan di Indonesia ya ternyata.
BalasHapusSarapan pisang rebus enaaak.
Hahhaaaa, bahasa emang unik yaa, empat jadi opat kbawa bawa sundanessenya.
BalasHapusBtw aku jadi kabita pisang rebus huhuu, apalagi dinikmati selagi hangat dengan bajiguur huhuy.
Pokonya seru banget lah Mba Lina perjalannnya.
Mendaki aja udah keren ehh ini mendaki sambil belajar bahasa asing. Seru banget deh kak. Bahasanya keren emang kak yah. Semoga sehat selalu yah kak. Semoga pandemi ini juga segera berlalu yah. Amin
BalasHapusSeruuuu ya, kkirain cuma pake bahasa Tagalog aja ternyata ada bahasa lainnya. Pas baca tentang kalabaw ini, aku mulai ngira faktor rumpun bahasa. Ternyata seru maen ke Filipina ini. Aku inget Filipina ingetnya Christian Bautista dan Lea Salonga. Mereka penyanyi yang keren. Malah Christian Bautista punya kasetnya. Ada lagu berbahasa Tagalog juga. Ga ngerti tapi enak aja dengerinnya hihihi
BalasHapusmenjadi pendaki sekaligus menjelajah banyak budaya itu menarik dan keren ya mbak... membaca tulisan ini serasa ikut perjalanan mbak Lina. Mantap. Eh jadi tahu bahwa bahasa Tagalog banyak miripnya dengan bahasa kita
BalasHapusIya bahasa Filipina banyak yg mirip bahasa Indonesia. Wajah wajahnya juga mirip kita kan. Seru baca ceritanya.
BalasHapusEnak ya Mbak dapat kesempatan ngobrol dan ketemu sama anak-anak suku pribumi di negara lain. Penah nonton film Filipina kayaknya ada yang sama sih emang kosakata kita. Kayak mirip tapi ga tahu artinya pas film hehe. Pas banget aku habis nulis tentang bahasa daerah, bahasa Ilocano itu kayak apa? Coba direkam, haha, bakal menarik. Makin penasaran Mbak sama petualangan berikutnya. Selalu menarik dapat inspirasi perjalanan di negara lain.
BalasHapusYa ampun Mbaaa, saya selalu sukaaaakk dgn style traveling kamuuuu
BalasHapusSelain menikmati alam yg indah, juga interaksi dgn penduduk yaa
Seru ya mbak belajar bahasa kepada orang aslinya. Jadi ikuta ketawa tawa sendiri ini, kebayang banget serunya belajar bahasa di dalam Jeep itu. Riu kali yaa.
BalasHapusSayangnya jualannya hanya ada pisang rebus yaa, kak Lina.
BalasHapusKalau di Indonesia, uda ada kacang rebus, jasuke bahkan obral baju khas sablonan nama daerah wisatanya. Hehhee...
Seru sekali belajar bahasa asing yang ternyata mirip-mirip. Jadi punya oleh-oleh dan kenangan manis.
Orang tua atau anak anak kalau mendaki kondisi gini kayaknya emang butuh waktu ya mba. Aku belum pernah nih dan berharap bisa ke sini
BalasHapusYa ampun, Teh Lina, seru pisan petualangannya, sering bertualang melintasi negara dan budaya ternyata menemukan budaya yang mirip yah dengan budaya bangsa sendiri, termasuk bahasa
BalasHapusLuar biasa mb Lina ini, naik gunung bukan hny mendekatkan diri dengan alam dan Tuhan tapi jg masyarakat sekitar
BalasHapusaih seru...
BalasHapusaku pernah liat video di fb tentang persamaan bahasa. lucu liat reaksi kaget pas katanya sama. pasti kayak gitu juga yaa yg dialami mba lina :)
Dari mulai bahasa, budaya, bentuk daerahnya hingga masyarakatnya mirip dengan Indonesia ya, Mbak. Ya, karena kita memang satu rumpun ya...
BalasHapusWah sama aja ya kambiing haha agak gimana ya kalo beda negara tapi bahasanya sama atau mirip. Pemandangannya asyik ya..kereb sampe hiking kesana
BalasHapusPetualang sejati ini mbak. Suka banget sama ceritanya. Apalagi dengan pengalaman baru pastinya seru ya mbak bisa berkunjung ke negara lain dan bisa berinteraksi dengan penduduk asli sana. Jadi penasaran dengan cerita selanjutnya nih....
BalasHapusSepintas wajah Filipina mirip banget sama orang Indonesia ya mbak, btw saya juga pernah komunikasi dengan teman dari Filipina dan itu lumayan susah bahasa aslinya hehe
BalasHapusWah seru banget ceritanya bisa sampe Pinatubo. Aku dulu ngerti gunung ini dr buku RPUL
BalasHapusthose local kids pretty much look like us. That's the beauty of traveling ya mbaaa..bisa selalu belajar dan membuka wawasan baru tentang budaya lain
BalasHapusSeruuu ya Mbak, perjalanannya jadi gak terasa karena sambil belajar bahasa juga, saling tukar bahasa. Bakalan jadi berharga banget tuh buat Ryan dan temannya nanti kalau guide turis Indonesia lagi mereka udah bisa berhitung dan sebut binatang juga, heheheh.
BalasHapusItu anak-anak dan yang jualan pisang macam orang Indonesia aja ya mereka, mungkin karena masih satu garis keturunan itu ya Mbak? :)
Nama bahasanya lucu juga yah bahasa sambal hehehe aku kok mikirnya ya sambal buat makan sma lalapan wkwk yeay ditunggu kelanjutannya mba
BalasHapusWah senang banget baca kisah perjalanan gini mbak. Jadi banyak tau juga tentang keadaan di sana. Menyenangkan banget bisa traveling sambil belajar budaya mereka, ya.
BalasHapusmantap kak, mendaki gunung hingga negeri tetangga, selain itu bisa belajar bahasa negara mereka pula. jiwa mendakiku jadi muncul, aku ingat terakhir mendaki gunung saat SMU hahaha
BalasHapusAku ke Filipina baru sampe Manila doang. Asyik banget ya, bisa ketemu warga lokal yang bukan di kotanya kalo kita datang ke suatu negara.
BalasHapusSaya juga kalau mendaki gak bisa cepat-cepat. Selain gak kuat, juga banyakan motretnya hahaha
BalasHapusSeru cerita perjalanannya. Dan masih bersambung lagi. Baiklah, saya masih setia menunggu sambungannya.
BalasHapusMakan pisang rebus hangat di pagi hari memang nikmat ya mbak, apalagi kalau makannya rame-rame
Menikmati alam dan menyatu bersamanya tentu sangat menyenangkan. melihat setiap ciptaannya dan terus bersyukur kalau alamnya masih indah.
BalasHapusBerkenalan dengan banyak orang lokal, memahami budayanya dan mencoba belajar bahasanya. Sungguh menyenangkan sekali pastinya
Wah bahasanya mirip ya mungkin karena serumpun ya..seru banget jalan-jalannya ngga mainstream..
BalasHapusWaahh serunyaaa... asyik nih mengikuti perjalananmu ini mba. Bener banget, kalik nenek moyang kita asalnya sama ya, kok bisa banyak kosa kata yang mirip, bahkan sama gitu.
BalasHapusNungguin lanjutannya ya mba.
Wah seruuu. ini lanjutan cerita yang kemarin kan mbak? Dulu sempet nonton dramanya filipina juga sadar kok ada beberapa kata yg mirip ya. Apa mungkin karena masa kejayaan kerajaan dulu wilayahnya juga sampai filipina ini?
BalasHapusWah keren banget, Mbak, sudah mendaki gunung di luar negeri. Di gunung Pinatubo ada yang jual gorengan sama buah semangka kayak di gunung Semeru nggak, Mbak?
BalasHapusMba, kalau total untuk ambil trip ini jika ke filiphina perkiraan menghabiskan berapa banyak uang mba? Menarik pengalamaannyaa
BalasHapusNah loh,,,kokk langsung nyangkut diotakku Baboy dan kalabaw ya...wkwkkwkw semoga mulut ini tetap terjaga saat lagi emosi utk tidak mengeluarkan dua kata tersebut.....
BalasHapusSalfok sama anak-anak main karet jadi ingat zaman saya dulu kecil suka main karet..beda jauh dengan anak di kota ya sdh ga tau permainan itu...
BalasHapusAda beberapa kata yang sma memang yah, kalabaw dan pelafalan bahasa mereka pun hampir sama ya dengan bahasa kita. Duh ku jadi ingin ke Pinoy juga
BalasHapusHayuuuk mba kita barengan hehehe... mau ke sana lihat kalabaw :)
HapusMungkin memang karena serumpun, bisa jadi nenek moyang kita sama ya dengan yang di Filipina.
Bagus banget ya mbak ini pemandangan nya aku udah lama gak pergi jalan jalan kangen ya rasanya semoga bisa pergi lagi
BalasHapusSerba bisa travellingnya ya. Naik gunung pisan di luar negeri. Jadi kangen ya mba travelling lagi gini ke filipina
BalasHapusWah ternyata bahasa tagalog ada beberapa yang hampir sama penyebutannya dengan bahasa jawa. seperti penyebutan angka-angka, hampir sama. jadi inget sejarah, wilayah kekuasaan kerajaan majapahit kan dulu sampai ke filipina juga
BalasHapusJalan-jalan ke Filipina serasa lihat negeri sendiri gak, Mbak? Secara banyak kesamaannya.
BalasHapusFilifina ini miriplah saa Indonesia ya Mba, atau bahkan di kita lebih banyak yang menarik untuk dieksplore sih. Tapi perlu juga melihat ke luar agar bisa nembah wawasan kita dan makin bersyukur
BalasHapusMbak aku kok jd ingat tayangan video yg lewat di timeline FB pas ada org Indonesia dan Filipina saling nyebutin bbrp kosakata dan emang bbrp di antaranya mirip hhe
BalasHapusAku udah baca postingan sebelum ini, ternyata ini ya lanjutannya. Keren banget Kak. Ga cuma mendaki gunung aja, juga bisa belajar tagalog sambil main ke suku pedalamannya juga.
BalasHapusSeru ya..
BalasHapusTak hanya menikmati keindahan alam, tetapi juga bisa belajar bahasa..jadi wisata budaya juga ni
Jadi ada anak2 berambut gimbal ya di pinatubo, kayak anak berambut gimbal di Dieng. Penasaran baca kisah perjalanannya
BalasHapusSeru banget ya Teh, ternyata banyaj kosa kata kita yang mirip dengan bahasa Tagalog, Filipina, anak-anak gimbal ya juga gemesin sih
BalasHapusMemang mba lina keren banget! ini udah perjalanan ke filipina yang lebih detail selain jalan ke perkotaannya. keren!!!!
BalasHapusJadi mupeng lho belajar bahasa Tagalog secara singkat ketika lagi di Jeep jadi gak berasa perjalanannya hihi... Kapan ya bisa ke Filipina..
BalasHapuswaaa serunya, bahasa kita hampir sama pelafalannya dg mereka ya. saya bengong, di sana jg bilangnya kambing. mantep banget, mbing. kalau babi kan masih baboy. wkwkw
BalasHapusDuuuluu, aku pernah dengar bahasa tagalog emang mirip2 dikit sama bahasa Indonesia. Tapi baru kali ini aku lihat suku asli mereka, ternyata mirip dengan saudara kita di Indonesia timur
BalasHapusternyata bahasanya mirip-mirip ya mbak, aksen membacanya kayak gimana tuh mbak kalau bahasa tagalog?
BalasHapusAsyik banget di perjalanan sambil belajar bahasa yang ternyata hampir samaan, jadi seru gitu dan memang masih serumpun ya jadi mirip2 :D
BalasHapusSuka sekali aku dgn cerita perjalanan filipina ini. Org jalan2 ke malay, singa, eropa, jepang udag biasa. Tp kalo ke filipina jarang2 terdengar. Btw, itu angka2nya beberapa juga seperti pelafalan batak lho mbak. Walu, pitu..haha
BalasHapusSeru banget bisa mendaki gunung di negara orang, aku negara sendiri aja belum pernah sekalipun mendaki gunung hehe. Suka mupeng sama kegiatan yg kayak gini. Tp nyadar diri sama kekuatan fisik hehehe.
BalasHapusBahasa daerah penduduk Provinsi Zambales banyak sekali ya, dan unik. Bahasa sambal diambil dari nama provinsi kali yak, zambales disingkat sambal.
BalasHapus