Pendakian Gunung Daik, Pulau Lingga, Kepri


Gunung Daik  Pulau Lingga
Pegunungan di Pulau Lingga

Pantun yang Melegenda tentang Gunung Daik Lingga



  Pulau Pandan jauh di tengah,

  Gunung Daik bercabang tiga
  Hancur badan dikandung tanah,
  Budi baik dikenang  juga

       Pantun melayu di atas tidak semata pantun yang berima dengan larik menarik dan bersajak. Secara tekstual dan faktual, sampiran pada larik pertama dan kedua pantun tersebut adalah benar adanya. Bahwa nun jauh di pedalaman perairan Kepulauan Riau, di Bumi Segantang Lada, terdapat Pulau Pandan dan Gunung Daik yang puncaknya bercabang tiga.


       Tak heran, masyarakat suku Melayu terutama yang bermukim di Malaysia, Singapura, dan Brunei banyak yang tertarik untuk membuktikan sendiri kebenaran pantun yang melegenda ini. Terlebih lagi Pulau Lingga, pulau penyangga dimana Gunung Daik bertahta, adalah tanah leluhur suku Melayu yang patut diziarahi. Sebab itu pula Pulau Lingga dijuluki sebagai Tanah Bunda Melayu. Julukan yang pantas disandang karena Daik Lingga pernah menjadi pusat Kerajaan Riau Lingga selama kurang lebih 120 tahun.


       Keterikatan akan masa lampau, persamaan akar budaya dan adat resam bangsa Melayu Nusantara, ternyata tak lekang oleh perceraian politik dalam sekat teritori dan batas lintas negara. Di tanah ini, para wisatawan negeri jiran begitu takzim menelusuri dan menyimak sisa-sisa kejayaan kerajaan yang masih melekat pada bukti sejarah berupa benda-benda cagar budaya seperti istana, makam raja-raja, perkakas, dan naskah-naskah kuno yang secara turun-temurun telah diwariskan dari generasi ke generasi.


       Walau tidak begitu dikenal oleh kalangan pendaki gunung di Indonesia laiknya Gunung Semeru atau Rinjani, Gunung Daik dengan ketinggiannya yang hanya 1.165 meter di atas permukaan laut (mdpl) justru banyak dikunjungi oleh para pendaki dari negeri-negeri jiran. Terkenalnya pantun tentang Gunung Daik tadi rupanya menjadi pemicu utama rombongan para pendaki untuk tetap datang bertandang.

Musium Linggam Cahaya

       Saya dan rekan-rekan yang bermukin di Pulau Batam pun tak mau ketinggalan untuk menjejakkan kaki di tanah leluhur suku Melayu ini. Sepertinya teramat merugi jika kami yang dekat dan berhampiran saja belum pernah berkunjung ke sana, sementara para pendaki luar negeri berdatangan silih berganti. Namun tentu  bukan itu alasan satu-satunya bagi kami mendaki Gunung Daik ini. Setitik asa terbetik di lubuk hati bahwa dengan mengenal lebih dekat wajah Daik Lingga sesungguhnya, maka kami akan semakin mengenal khazanah kekayaan alam dan budaya negeri,  semakin memupuk kecintaan kami kepada negara kepulauan bernama yang Republik Indonesia ini.

Perjalanan Laut Menuju Daik - Lingga


Mampir Pulau Singkep untuk ganti kapal

     Saya, Erni, Melan, dan Ipung dengan gaya masing-masing adalah paduan pertemanan yang unik bin aneh. Berantem terus tapi saling merindukan. Berdebat terus tapi saling mengiyakan. Memiliki kebiasaan, cara berpakaian dan gaya traveling masing-masing. Saya dan Melan cenderung casual, Ipung yang sangat tomboy, dan Erni lebih feminim alim dengan jilbab segi empat lebar. Namun semua itu tetap menyatukan kami dalam bingkai perjalanan menuju Gunung Daik. 



      Dengan menaiki kapal ferry dari Pelabuhan Telaga Punggur Batam, kami menuju ke Kota Tanjung Pinang di Pulau Bintan. Dari Batam, akses menuju Gunung Daik hanya dapat dicapai melalui kota ini dengan menaiki kapal cepat (speed boat) menuju Pulau Lingga. Dan itu pun tidak setiap saat ada. Kapal menuju Pulau Lingga dan sekitarnya hanya beroperasi pagi hingga siang hari saja. Begitu pun arah sebaliknya.


     Perjalanan menuju Pulau Lingga ditempuh  sekitar 4 jam dengan menggunakan speed boat.  Meskipun guncangan ombak agak kuat namun mata kami tak bosan-bosannya menatap ke arah luar. Mata kami selalu dimanjakan oleh pemandangan indah khas pesisir. Gerumbul gugusan pulau-pulau di kejauhan, pantai-pantai yang berpasir putih, hutan-hutan bakau yang rimbun, rumah-rumah khas penduduk, serta lambaian nyiur yang tertiup angin.

        Ada haru yang membuncah ketika pertama kali menginjakkan kaki di Tanah Bunda Melayu ini. Mata terus saja jelalatan mencari menerka-nerka dimanakah Gunung Daik berada. Namun pemandangan di sekitaran membuat semakin penasaran. Gunung-gunung tegap berdiri seperti saling melindungi. Merambatkan getar-getar aneh yang menegakkan bulu roma. Sementara kabut perlahan menutupi puncak-puncaknya, seakan tak ingin menyingkap tabir kisah yang ada di dalamnya.


Pelabuhan Tanjung Buton, Pulau Lingga

       Tiba di Pelabuhan Tanjung Buton, Daik, kami disambut oleh beberapa kenalan yang akan memandu kami menuju Gunung Daik. Namun sebelum mendaki mereka menyempatkan mengajak kami untuk mengunjungi musium Linggam Cahaya dimana di sana terdapat benda-benda bersejarah peninggalan kerajaan Riau Lingga. 

       Diantara semua koleksi musium, yang paling menarik hati saya adalah kerangka Gajah Mina yang panjangnya mencapai belasan meter dengan kepingan tulang-tulang pipih yang masih utuh.

       Tak hanya mengunjungi musium, saya dan rekan-rekan disambut baik oleh salah seorang tokoh masyarakat Daik, Pakcik Sulaiman. Kami pun duduk bersama di teras rumahnya menyimak dan memperhatikan beliau mengajari murid-muridnya bermain kompang.

       Pendakian Menuju Gunung Daik


Gunung Daik
Titik Pendakian


       Setelah beristirahat dan belanja logistik di pasar terdekat, saya dan rekan-rekan berangkat menuju titik pendakian. Saat tiba di sebuah gapura bertuliskan  “Objek Wisata Pendakian Gunung Daik” semangat kami seakan membuncah. Adrenalin mendadak terpompa dan menyebar ke seluruh penjuru tubuh. Mengalirkan energi yang meletup-letup. Yup, saatnya memulai pendakian. Langkah pertama pun kami iringi dengan doa bersama. Semoga saja perjalanan ini dilindungi oleh Yang Maha Kuasa.

       Jalur yang dilalui berupa jalan setapak di antara pepohonan tinggi yang rimbun dengan canopy hutan yang lebat. Sesekali melewati sungai kecil yang mengalirkan air jernih nan tenang diselingi batu-batu besar di sana-sini. Di satu sungai, kami menjumpai sebuah kolam mandi yang dinamakan Lubuk Fatimah. Konon tempat ini adalah lokasi untuk mandinya para permasyuri dan putri-putri raja dahulu kala.

       Selang 3 jam perjalanan, kami beristirahat. Lalu mempersiapkan makan dan mendirikan tenda di tepian sungai yang bertaburan batu-batu raksasa. Hingga malam menjelang kami melanjutkan kegiatan dengan berburu ikan dan udang yang bersembunyi di balik batu. Ya, ungkapan “ada udang dibalik batu”  ternyata tidak sekedar peribahasa saja. Kami memburu udang-udang di balik batu itu untuk disantap makan malam :D


Gunung Daik Lingga
Pepohonan menjelang Kandang Babi
       
       Sebagian binatang lainnya mulai  banyak yang tertarik dengan sorotan lampu senter yang kami gunakan untuk berburu. Namun ternyata ada satu binatang yang luput dari penglihatan kami semua. Pacet! Saya dikagetkan oleh darah yang menodai baju salah seorang rekan. Namun tak lama kemudian sayalah yang berdarah-darah. Karena takut dan syok kami segera mengakhiri perburuan udang. Kami pun memilih beristirahat untuk persiapan pendakian esok hari.

       Pukul 4 subuh kami bersiap untuk mendaki kembali. Dengan lampu senter kami menyusuri lebatnya hutan yang lembab sisa hujan semalam. Jalur pun mulai menanjak dengan kemiringan 30 hingga 45 derajat. Di antara remang fajar, kami bergantian mendirikan sholat subuh di jalur yang agak datar. Hawa sejuk dan segar mulai menguar mengisi ruang penciuman kami. Ya pagi telah menjelang. Embun pun perlahan berkilauan lalu berjatuhan, meneteskan sebening kelembutan pada lumut yang menutupi tanah dan bebatang pepohonan.

Gunung Daik Lingga
Puncak yang samar oleh kabut

       Kami berniat menyambut mentari pagi di ketinggian. Menyaksikan fajar menyingsing di batas cakrawala, di antara langit dan laut. Namun pagi itu langit seakan terus bermuram dengan berselimut kabut. Alhasil sepanjang perjalanan kami tidak dapat menyaksikan sang surya beranjak meninggi. Namun meskipun begitu pemandangan ke arah kanan kiri gigiran gunung mulai jelas terlihat. Jurang-jurang yang curam ditumbuhi pepohonan yang lebat menjadi pemandangan yang menggetarkan dan mengasyikan.

       Saya dan rekan-rekan tiba di sebuah area yang oleh guide kami disebut sebagai Kandang Babi. Tepat di hadapan berdiri tegak sebuah tebing puncak dengan kemiringan vertikal hampir 90 derajat. Tak mungkin dapat kami panjat. Terlebih kabut semakin pekat kian menyelubungi kawasan puncak. Rupanya hanya sampai di situ saja titik tertinggi yang bisa kami gapai. 


      

Meskipun ada setitik kecewa, kami tetap berlapang dada. Diperlukan peralatan panjat yang lengkap serta waktu lebih lama lagi untuk mencapai puncak tertinggi Gunung Daik. Biarlah esok lusa kami kan kembali. Puncak bukanlah segalanya. Kami cukup berpuas hati telah menggapai tempat ini. Berdiri di salah satu titik ketinggian di tanah Bunda Melayu.

       Tak sampai satu jam kami berada di gigiran tebing (Kandang Babi). Hujan yang mulai rintik-rintik memaksa kami segera turun ke bawah. Tepat satu jam 30 menit kami telah tiba kembali tenda. Menyeduh teh, kopi, dan merebus mie instan. Setelah itu berisitrahat sejenak lalu mengepak barang bawaan untuk segera turun gunung, pulang.


Gunung Daik
Sunset yang jatuh di gunung Daik

       Sore itu suasana cerah. Lembayung membias di puncak Gunung Daik yang serupa gigi naga. Menyiratkan warna jingga keemasan. Memantulkan warna kemerahan pada awan-awan yang beriringan. Di sebuah bumi perkemahan yang dialiri sungai berair jernih, kami menyaksikan keindahan ini, merekam  dengan mengabadikannya melalui jepretan kamera sebelum esok kembali pulang ke Kota Batam.

***

Pengalaman yang  sama pernah dikisahkan di Adira FOI

17 komentar :

  1. Jilbab Segi empat selalu Jadi andalan dimanapun berada. Aku suka yang design polos. :)
    Tiap kali lihat blog e sampeyan, jadi pingin nanjak, huhuhu pensiun pensiun :)))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jangan dulu pensiun mbak, temenin daki gunung yang di Ladakh. Huhuhu...mimpi

      Hapus
  2. Teman mbak Lina yang bernama Erni pasti yang berjilbab putih, yang pernah aku sebut sekilas mirip mbak Dee An, benar ga mbak? :D

    Semoga lain kali bisa mendaki puncak tertinggi Gunung Daik ya mbak :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, mbak Rien.. Erni tuh yang tinggi, yang pake jilbab putih...
      *langsung ambil kaca dibilang mirip Erni :)

      Hapus
    2. Betul Mbak Rien. Ke puncak Daik susah banget harus memanjat tebing dan butuh alat panjat yang kuat. Amiiin semoga saya bisa nyampe puncak Daik

      Hapus
  3. Sebuah cerita perjalanan yang seru :) dan jadi tahu juga, selain film, buku, dan blog ternyata pantun pun juga bisa membuat suatu tempat terkenal :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Begitulah, pantun ini menuntun orang untuk mendaki gunung :D

      Hapus
  4. puncak seulawah kapan mbak? :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maunya ke Gunung Leuseur sama Bandahara. Punya kontak/teman yang pernah ke sana yang bisa dihubungi nggak?

      Hapus
  5. zahra kalau mendaki atau main di laut lebih sering bergaya casual. punya cita-cita pgn pake jilbab lebar kalau mendaki plus rok juga

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya rasa pencapaiannya beda klo pakai rok di puncak gunung itu Neng :) semoga terlaksana.

      Hapus
  6. cewek2 yg hobi naik gunung itu keren (y)

    BalasHapus
  7. Bagus artikel nya..insyaallah akan ke tanah bonda melayu ini satu hari nanti

    BalasHapus
  8. eahh jadi pengen medaki ke gn daik, ngisi tahun br ini. gak ad temen tp, yg mau ksana ajak2 ya, ini no sy 085777132030 dedi

    BalasHapus
  9. Lagi cari info gunung daik, punya teh lina yang muncul di page one

    BalasHapus

Halaman ini dimoderasi untuk mengurangi spam yang masuk. Terima kasih sudah meninggalkan komen di sini.

Made with by Lina W. Sasmita