Patak Banteng adalah sebuah desa di dataran tinggi Dieng
Jawa Tengah yang dianugerahi pemandangan gunung, bukit-bukit dan hamparan sawah
serta kebun yang sangat indah. Dengan jalur pintas yang pendek menuju Gunung Prau
yang ditempuh tidak lebih dari 3 jam, pendakian melalui desa ini selalu ramai dan sangat
diminati oleh pendaki dari berbagai daerah di Indonesia.
Begitu pun saya bertiga dengan suami dan putri kami yang
turut mencoba mendaki melalui jalur ini. Semula, kami hendak mendaki Gunung
Merbabu, namun suami yang sudah pernah ke sana
mengatakan bahwa jalur Merbabu sangat panjang. Kami khawatir Chila akan
kecapekan, bosan dan suntuk. Hingga akhirnya kami banting stir memutuskan untuk
mendaki Gunung Prau saja yang lebih pendek. Hitung-hitung fun
hiking atau kemping ceria saja
meskipun kami sudah mafhum pendakian kali ini akan sangat luar biasa ramai
karena bertepatan dengan libur 17 agustusan. Pendakian Gunung Prau termasuk
yang paling diminati di negeri ini, menurut penduduk Patak Banteng pada
festival Dieng tahun lalu saja ada sekitar
8 ribu orang yang melalui jalur ini, sedangkan dua jalur lainnya yakni
jalur Dieng dan Temangung belum termasuk hitungan.
Setelah menempuh perjalanan turun naik bis dari Yogyakarta - Magelang – Wonosobo – Patak Banteng Dieng
selama kurang lebih 5 jam kami tiba di desa yang indah itu. Tepatnya jam 2.30
siang, kami baru tiba di Patak Banteng. Menyaksikan gerombolan pendaki yang beriringan
di jalan-jalan desa membuat hati semakin tak sabar ingin segera ikut larut
dalam pendakian kali ini.
Perhentian Bis Pendaki di Patak Banteng |
Tinggal Nyebrang dari Sini |
Saat turun dari bis seorang bapak-bapak menyongsong dan
menanyakan apakah butuh porter atau tidak. Saya langsung mengiyakan karena
memang sudah berencana akan menggunakan jasa porter agar kami lebih konsentrasi
menjaga Chila selama pendakian.
Setelah membeli air mineral dan nasi serta lauk untuk makan
malam, kami melapor ke pos pendakian dan membayar tiket masuk sebesar Rp.10.000 per
orang. Setelah itu naik ojek menuju pos I, melintasi rumah penduduk serta
ladang. Ongkos ojek hanya Rp.10.000 padahal jalur yang ditempuh lumayan jauh
dan curam.
Rombongan Pendaki |
Dari Pos I kami berjalan kaki menuju pos 2. Jalur berupa
jalan setapak yang sangat berdebu. Namun manakala membalikkan badan ke
belakang, pemandangan di bawah sana
sungguh menyegarkan mata. Meskipun senja telah menyapa, namun panorama tampak
jelas dari ketinggian. Baru saja memulai pendakian, kami sudah beristirahat di
sebuah warung di tepi kebun.
Foto Keluarga dulu :D |
Jalan di Desa Patak Banteng |
Namanya ngajak anak kecil jadi harus ekstra hati-hati, penuh
kesabaran, dan perhatian. Salah-salah dikit bisa berabe. Seperti sore di warung
itu. Chila mendadak mengeluh sakit perut. Saya menduga karena ia telat makan.
Jam makan di sekolahnya adalah jam 10.15 dan jam makan di rumah jam 2 siang.
Namun hari itu dari jam 9.30 hingga jam 2.30 sore kami berada dalam kendaraan. Beli nasi pun saat sudah sampai di Wonosobo
dan makan dalam perjalanan menuju Patak Banteng. Sementara Chila saat ditawari
makan malah menolak meski sudah dirayu dengan berbagai cara. Mungkin karena tidak
terbiasa makan dalam kendaraan. Padahal sarapan pun hanya susu murni dan sereal
saja. Duuuh, gawat.
Chila saat melintasi jalur di perkebunan penduduk |
Semakin lama warung semakin ramai oleh pendaki yang
beristirahat. Bangku-bangku kayu di tepi warung pun sudah penuh. Chila masih
mengerang kesakitan. Ayahnya mengelus-elus perutnya menggunakan minyak kayu
putih, sementara saya terus menjejali mulutnya dengan nasi dan telur.
Warung |
“Turun ajalah. Nggak usah jadi naik gunungnya!” Kata Chila. Waaaksss?
Saya dan suami saling berpandangan. Duuuh…kalah sebelum bertempur nih. Kami
mendadak bingung. Untung perlahan sakit perut Chila mulai mereda seiring
banyaknya nasi yang masuk ke perutnya. 15 menit berlalu dan ia telah pulih
seperti semula. Ceria tanpa bekas. Ah…si manja memang bikin khawatir saja.
Chila kemudian digendong oleh ayahnya dan langsung diajak naik.
Pemandangan ke Bawah |
Karena antrian cukup padat, saya kesusahan mengejar
keduanya. Cukup lama setelah melewati ratusan pendaki, baru terlihat Chila dan
ayahnya sedang bergerak naik, namun kali ini Chila tidak digendong, dia berjalan
dituntun dan ngoceh-ngoceh penuh
semangat. Wohooo….Alhamdulillah.
Adzan maghrib sudah berlalu semenjak di warung tadi. Gelap
mulai merayapi setiap sudut gunung. Lampu
senter dan head lamp mulai dinyalakan. Debu jalur pendakian tampak berhambur
ke udara di terangnya cahaya. Membuat sesak pernafasan. Setiap satu pendaki
melangkahkan kakinya, debu langsung mengepul ke atas. Meskipun saya mengenakan
masker namun tetap saja abunya membuat sesak di hidung dan perih di mata.
Sunset |
Pos 2 dan 3 terlewati. Chila masih tetap semangat. Terlebih
beberapa pendaki yang bertemu dengannya menyapa dan memuji-mujinya. Seperti
doping, pujian itu semakin memacunya tambah semangat dan terus melangkah naik.
Lupa sudah kalau tadi maghrib pernah sakit perut sampai-sampai menyerah minta
turun.
Suara adzan isya berkumandang. Terangnya lampu-lampu tenda
membuat kami mendadak bahagia luar biasa. Alhamdulillah sudah tiba di kawasan camping ground di sekitar puncak Gunung
Prau. Dan saya terkejut luar biasa. Ternyata kami termasuk Chila hanya butuh
waktu sekitar 2 jam untuk sampai di
kawasan puncak. Alhamdulillah.
Kami segera mencari-cari lokasi yang pas untuk mendirikan
tenda. Lumayan susah karena dimana-mana sudah penuh. Namun akhirnya nyempil
dekat cerukan. Lumayan tidak terlalu terpapar oleh angin karena terhalang
kontur gunung yang berbukit.
Rumah sementara kami :D |
Setelah tenda berdiri rapi, Chila pun tidur dengan nyaman
berlapiskan jaket dan rompi serta dua sleeping bag. Karena hangat ia sama sekali tak terbangun meskipun di luar angin dingin begitu kencang menerpa. Padahal kami khawatir ia terbangun-bangun dan rewel seperti saat bermalam di Ranu Kumbolo Gunung Semeru.
Alhamdulillah, bearti jaket dan rompinya cocok sehingga menjaga suhu tubuhnya tetap hangat.
Rincian Biaya:
Bis Yogyakarta - Magelang : Rp.20.000
Bis Magelang - Wonosobo: Rp 25.000
Bis Wonosobo - Patak Banteng: Rp 20.000
Tiket masuk jalur pendakian: Rp.10.000
Sewa Porter per hari : Rp. 150.000
Baca juga tentang semangat kemerdekaan para pendaki Gunung Prau.
Bener-bener pendaki tulen neh. Selamat.
BalasHapusMakasih Kang Ali. Huhu lupa jawab komen di postingan ini
HapusChila keren banget looohh... tante aja blm pernah nih ke Gunung Prau :)
BalasHapusAlhamdulillah Mbak Niek, dia ternyata kuat
HapusAlhamdullilah sudah ke Prau, saya belum bisa sampe sekarang mbak Lina. Kemarin diajak teman teman, tapi kok tanggalnya nggak cocok. trus ini diajak tg5, tapi kok aku sudah balik ke India. hiks
BalasHapusMbak kalau mau ke Indo lagi kabarin daku, pengen naik bareng
HapusPengalaman hebat buat anak hebat. Semoga kelak sehebat ayah ibu ya Chila :)
BalasHapusAmiin, makasih Mbak Rien :)* kecup-kecup
HapusPas ngeklik foto pertama dan jadi besar ukurannya aku jadi makin naksir Prau ini. Indahnyaaaaaaaaaa
BalasHapusEmbeeer Yan. Semoga dapat orang Wonosobo atau Dieng jadi bisa main ke sini haha
Hapusternyata beli makanan dulu untukmakan malam ya mbak, kirain masak gitu hehehe maklum yang aku inget kemping waktu pramuka mbak
BalasHapusIya sebenarnya bisa masak juga sih Mbak tapi biar cepat nyampe cepat makan wkwk... *pendaki malas
Hapusini keren. Keluarga pendaki.
BalasHapusijin reshare artikelnya y mbak :)
Silahkan Mas Edy, dengan senang hati :D *Maaf baru balas komennya
Hapuspingin ke prauuu... next, minta ikut mba lina yaaa...
BalasHapus