Pengalaman Tersesat di Gunung Cikuray

Gunung Cikuray
Gunung Cikuray dilihat dari Kampung saya

Sejak sekolah dasar, saya memimpikan untuk mendaki Gunung Cikuray. Saat itu saya kerap kali duduk di pematang sawah sambil memandang ke kejauhan dimana Gunung Cikuray tegak berdiri dengan gagahnya. Mata tak henti mengamati lekuk lerengnya yang curam, jalan antar kampung yang menanjak tajam, serta lembah-lembah hijau yang dalam, membuat hati semakin terpincut untuk segera berada di atas sana.  Saya memang lahir dan menikmati masa kecil yang bahagia di sebuah kampung di sekitar kaki Gunung Cikuray. Gunung yang berada di Kabupaten Garut ini merupakan gunung tertinggi keempat di Jawa Barat setelah Gunung Ciremai, Gunung Pangrango, dan Gunung Gede.

Ketika udara cerah, pada puncak Cikuray terlihat satu garis lurus tegak ke atas seperti sebuah pensil yang diberdirikan. Kata Kakak saya, garis tersebut adalah pemancar televisi. Mendengar hal itu saya semakin penasaran, bagaimana cara orang-orang mengangkut besi, semen, batu bata dan peralatan lainnya ke puncak gunung? Saya harus tahu dan mencari tahu! 

10 tahun kemudian, tepatnya Bulan Maret Tahun 1999 keinginan itu seakan menemukan titik terang. Terlebih 3 orang saudara dari Jakarta datang berkunjung dan mengutarakan niatnya untuk mendaki Cikuray. Tak menyia-nyiakan kesempatan, saya segera meminta izin kepada orang tua untuk bergabung dengan mereka.

Karena menganggap saya yang paling tahu lokasi, maka ketiga saudara ini mempercayakan saya untuk memutuskan mulai mendaki dari mana dan menyusun rencana perjalanan. Sementara saya dengan sotoynya menganggap bahwa Gunung Cikuray itu mudah didaki dari mana saja. Apalagi hampir separuh badan gunung sudah menjadi pemukiman penduduk dan ladang-ladang sayur. Jadi menurut saya, puncak Cikuray bisa diakses dari kecamatan mana saja. Seperti Kecamatan Cilawu, Bayongbong, Cisurupan, dan Cikajang.

Saya dan ketiga saudara jauh dari Jakarta, yaitu Anom, Yuli dan Yogie sengaja berangkat siang karena berniat untuk bermalam di kampung terakhir menuju jalur pendakian. Kami menaiki angkutan pedesaan dari Pasar Simpang Bayongbong menuju Cisurupan. Namun belum sampai Cisurupan, di sebuah persimpangan kami turun. Saya sudah tidak ingat lagi nama desa atau kampung di persimpangan itu. Dari sana kami terus melewati kampung demi kampung sambil bertanya arah yang benar menuju puncak Cikuray. Hari menjelang maghrib, kami tiba di sebuah kampung yang diberi nama Kampung Olan.
 
Gunung Cikuray
Gunung Cikuray dilihat dari  Jalan Samarang - Bayongbong (Pasar Andir)

Memulai Pendakian dari Kampung Olan

 

Saya mendadak jatuh hati kepada Kampung Olan. Tipe kampung idaman saya banget. Kampung yang ada dalam bayangan jika menghabiskan hidup di masa tua nanti. Kampung ini berada di lereng Gunung Cikuray. Suasananya tenang dan damai. Pemandangannya indah dengan pepohonan dan tanaman-tanaman hijau di kanan kiri jalan serta pekarangan warga. Di jalan setapak antara rumah dengan rumah lainnya terdapat kolam-kolam ikan berair bening hingga ke dasar yang banyak ditumbuhi selada, lili air, dan teratai. Sedangkan pekarangan rumah warga banyak ditanami markisa, pepaya, bogenvile, krisan, mawar merah, sedap malam, serta tumbuhan apotik hidup.

Sebagian warga juga memelihara sapi. Sapi-sapi di sini memproduksi susu dengan baik. Setiap hari warga memerah susu, menghangatkannya di atas tungku lalu keesokan pagi mengantarkan susu segar ke koperasi Unit Desa di Bayongbong. 

Di Kampung Olan, kami disambut oleh sebuah keluarga. Mereka menghidangkan susu segar dan membuatkan makan malam. Menjelang tidur kami pindah dan menginap di sebuah rumah panggung yang cantik seperti sebuah bungalow. Rumah panggung ini berdinding kayu dengan cat dan pelitur berwarna coklat.

Di samping rumah, terdapat kamar mandi dan toilet dengan air pancuran bening yang mengalir terus-menerus selama 24 jam tanpa henti. Air yang berasal dari mata air Gunung Cikuray yang segar dan dingin. Teras rumah cukup luas dengan pemandangan langsung menghadap ke Gunung Guntur. Dari ketinggian Kampung Olan, Gunung Guntur terlihat sangat jelas dan tampak lebih dekat. Begitu juga gunung-gunung lainnya seperti Gunung Putri, dan Gunung Puntang.

Sejak saat itu, saya berazzam dalam hati, suatu hari nanti, di masa tua saya, ingin mempunyai rumah seperti ini. Rumah panggung yang hangat dengan kolam ikan yang ditanami bunga lili air dan teratai, berteras luas dengan pemandangan gunung-gunung di sekeliling. Kabulkan Ya Allah. *Mendadak khusuk berdoa.
 
Selepas sholat subuh, dalam keremangan fajar, kami memulai pendakian. Masing-masing memegang senter untuk menerangi jalur yang masih gelap. Jalur yang kami lalui adalah jalur di perkebunan warga yang banyak ditanami sayuran seperti kol, tomat, dan wortel. Sesekali kami harus masuk ke tengah kebun karena jalur yang putus dan tidak jelas.

Matahari mulai meninggi, sementara kami masih berkutat dari satu punggungan gunung ke punggungan lainnya. Lalu turun ke  lembah dan naik punggungan berkali-kali untuk pindah jalur. Lama kelamaan tenaga terkuras dan kelelahan. Berkali-kali juga kami berhenti untuk beristirahat dan ngemil makanan ringan. Semula saya menduga bahwa dari Kampung Olan, jarak tempuh menuju puncak Cikuray bisa dicapai dalam waktu 5 jam. Kenyataannya hingga pukul 12 siang, atau 7 jam perjalanan, kami masih di batas antara perkebunan dan hutan.

Memasuki hutan yang cukup rapat kami sedikit tegang.  Jalur sudah benar-benar menghilang sementara untuk turun atau mundur, sudah tidak mungkin lagi. Anom dan Yogie mulai merintis jalur dengan merebah-rebahkan ranting dan semak yang menghalangi. Karena kemiringan jalur makin curam kami melangkah sangat hati-hati dan perlahan. Apalagi di kanan kiri jurang menganga. Meleng sedikit bisa bahaya.

Waktu telah menunjukkan sore hari. Tiba-tiba Anom menemukan jalur yang jelas menuju puncak. Alhamdulillah. Kami segera mengikuti jalur dengan perasaan gembira. Karena tidak tahu seberapa jauh lagi menuju puncak, Anom dan Yuli mengusulkan agar kami nge-camp saja di jalur yang agak landai. Setuju dengan usul mereka, kami pun segera  mendirikan tenda dan memasak. 

Setelah makan siang yang telat, Anom menyarankan agar saya, Yuli, dan Yogie, berangkat saja ke puncak saat itu. Karena jika sudah dekat kami bisa berkemah di tempat yang cukup ramai oleh pendaki. Tanpa rasa takut dan tanpa perhitungan yang matang, saya, Yuli, dan Yogie pun berangkat menuju puncak dengan berbekal sebotol minum dan senter. Minus makanan. 

Ketika mulai mendaki puncak, jalur sangat jelas terlihat. Di beberapa lokasi, jalur tampak bercabang. Namun karena arah puncak terbaca dengan mudah maka kami pun dengan gampang mengenali jalur mana yang harus dilalui untuk lebih mendekati puncak. Pemancar puncak Cikuray yang dahulu sejak kecil saya pandangi, mulai samar-samar terlihat. Ada rasa bergemuruh dalam dada. Luapan emosi yang mencuat begitu saja. Antara haru, sedih, dan bahagia. Sukar dilukiskan oleh kata-kata. Betapa impian masa kecil itu akan terwujud sebentar lagi. 

Puncak Cikuray

Kabut mulai menyelimuti puncak Cikuray. Beberapa ekor burung hinggap lalu terbang menghilang ditelan kabut. Ketika kami tiba di puncak, di sana terlihat 3 orang laki-laki paruh baya yang sedang duduk khidmat sambil merapal doa. Di depan mereka tersaji cerutu dan tembakau. Saya sedikit mengernyitkan dahi. Sedang berdoa kepada siapakah mereka kok menghidangkan sesajen segala?


Selain kami dan ketiga laki-laki itu, tidak ada seorang pun pendaki di puncak Cikuray saat itu. Dan ini sedikit menakutkan buat saya. Namun segera setelah mereka selesai berdoa saya pun memberanikan diri menyapanya dengan bahasa Sunda. Salah seorang diantara bapak-bapak itu bercerita bahwa mereka datang ke Gunung Cikuray untuk berziarah. Saya jadi terbengong-bengong. 


"Memangnya ada makam di sini Pak?"  Tanya saya.

"Ada, itu sebelah sana!" Jawab Si Bapak kalem sambil menunjuk ke sebuah batu yang menonjol di arah jalur yang bekas kami lewati. 

Si Bapak pun bercerita bahwa makam itu adalah makam Embah Krincing Emas. Dan sebelum dari Cikuray mereka baru saja ziarah dari Gunung Cakrabuana. 


Di sela-sela obrolan ia menerangkan beberapa khasiat tumbuh-tumbuhan di sekitar puncak. Salah satunya khasiat air kantung semar. Menurutnya air dari kantung semar bisa menyembuhkan sakit mata atau membersihkan mata. Ia pun menyuruh saya dan Yuli untuk menengadahkan kepala sementara ia meneteskan beberapa tetes air kantung semar ke mata kami. Tidak tahu khasiatnya benar atau tidak, namun karena memang mata kami kelelahan lalu ditetesi air dingin dari puncak gunung, tentu saja mata menjadi segar kembali. 


Sementara kami berisitirahat, ketiga orang bapak-bapak itu berpamitan turun karena takut kemalaman di jalan. 10 menit kemudian, kami pun turun. Senja semakin meremang, lampu senter mulai dinyalakan. Saya, Yogie, dan Yuli turun beriringan. Semula saya yang di depan. namun di satu persimpangan saya mendadak bingung. Apakah harus berbelok ke sebelah kiri atau kanan karena kedua jalur ini sama-sama jelas. Menurut Yogie kami harusnya berbelok ke kanan. Dan Yogie pun memimpin dengan berjalan paling depan.

Tersesat

Suara adzan maghrib dari perkampungan di bawah gunung samar terdengar. Sudah lebih dari 2 jam turun, kami bertiga hanya berputar-putar saja dari jalur ke jalur. Turun dan naik tidak jelas arah. Dan kami mulai panik karena baru menyadari kalau sudah salah jalur. 


Sadar telah tersesat, kami berhenti sejenak untuk berdiskusi. Saya mulai mengingat-ingat dan melihat-lihat ke arah bawah. Namun di tengah hutan yang rapat, tentu saja orientasi sangat susah dilakukan. Satu hal yang saya yakini bahwa posisi kami berada di sisi gunung yang berhadapan dengan Gunung Guntur berarti di bawah adalah kecamatan Bayongbong, Cisurupan, atau Cikajang. Sehingga jika kami terus turun, maka kami akan sampai di salah satu kecamatan tersebut. Dan Insya Allah saya sudah hafal daerah-daerah tersebut. Namun jika tidak turun dan melambung ke kanan lagi, maka kami akan sampai di Kecamatan Cilawu arah Tasikmalaya, dan saya tidak tahu sama sekali dengan daerah ini.


Keputusan diambil, kami akan terus turun hingga tiba di ladang penduduk dan meminta bantuan. Namun sebelumnya, kami harus memberitahu Anom bahwa kami sudah turun. Yogie dan Yuli membuat tanda di atas tanah memberitahukan bahwa kami sudah turun. 


Dengan bersusah payah kami turun menembus hutan yang sangat rapat. Kerap kali kami mentok karena berhadapan dengan jurang. Terpaksa kembali ke belakang dan menyisir tebing. Karena turunan yang curam, kadang kami terjatuh dan meluncur tiba-tiba lalu bertiga saling menumpuk bertindihan. Dalam keadaan sulit seperti itu pun ada saja hal yang membuat kami tertawa ngakak. Setelah tertawa lalu terdiam mengingat kondisi kami yang semakin memprihatinkan. Dingin, lapar, haus, letih, bercampur jadi satu. 


Di antara gerimis yang rintik-rintik turun, Yogie yang berjalan paling belakang tiba-tiba berkata, "Sudah sana, jangan ikuti kami, Jagain teman kami saja!"  Ditimpali oleh Yuli "Iya sana," mendengar itu, tengkuk saya mendadak merinding. Duh, apa kami diikuti makhlus halus? Saya yang sedari awal sudah berdoa, makin berdoa sungguh-sungguh. Jangan sampai deh saya melihat makhluk-makhluk tak kasat mata di tempat seperti ini. Karena situasi tidak memungkinkan, saya pun tidak berani bertanya macam-macam. Saya cukup meyakinkan diri bahwa harus turun dengan selamat. 


Pukul 1 tengah malam, kami mendengar suara gonggongan anjing. Saya bilang ke Yuli dan Yogie itu pertanda bagus, biasanya para peladang memelihara anjing untuk mengusir babi hutan. Ini berarti kami sudah dekat dengan ladang. Kami pun makin semangat turun. Selain suara anjing, kami pun melihat sinar senter dari bawah. Kami pun membalas dengan memain-mainkan sinar senter ke arah langit dan ladang, berharap si peladang sadar bahwa ada manusia yang tersesat di atas gunung.



Tiba di ladang, kami bertemu dengan seorang bapak tua yang sedang menunggui ladangnya. Kami pun disuruh masuk ke rumah kecil tempat berisitirahat yang biasa disebut saung. Di dalam saung ada istri si Bapak tua yang dengan sigap menyiapkan nasi dan lauk untuk kami makan. 


Karena kondisi saung yang tidak memungkinkan untuk kami inapi, maka kami disarankan untuk turun lagi dan menginap di rumah warga di kampung di bawah ladang. Meskipun sangat lelah kami terpaksa turun lagi dan menyusuri jalan kampung yang cukup lebar. 


Setelah 1 jam berjalan, kira-kira pukul 3 subuh, dan lelah makin tak terperi lagi, saya memberanikan diri mengetuk sebuah rumah yang lampunya masih menyala. Seorang ibu-ibu muda dan cantik membukakan pintu. Setelah kami ceritakan kondisi kami dengan kaget ia mempersilahkan masuk dan membuatkan kami susu hangat. Setelah bersih-bersih, Saya dan Yuli pun diberi pakaian ganti  milik si ibu dan beristirahat dengan nyaman di kasur dengan selimut yang tebal. Alhamdulillah tidur menjelang subuh dalam keadaan nyaman. Sementara Yogie tidur di kamar lainnya.


Bagaimana kondisi Anom di atas gunung yang sendirian? Apakah dia selamat?

Baca di cerita selanjutnya di Bagian Dua




14 komentar :

  1. Wishhhh tersesat di spot yang menarik mbak, nice dehhh


    O iya, salken ya dari #DuniaFaisol

    BalasHapus
  2. Waduh gak kebayang betapa panik saat tersesat plus ujan rintik pula. Alhamdullilah selamat

    BalasHapus
  3. Duh serem ya tersesat di gunung, temanku juga pernah lho, jalannya seperti muter-muter terus, itu lagi itu lagi. Syukurlah, bisa turun dengan selamat ya.

    BalasHapus
  4. mbak size tulisannya emang dibuat ada yang gede ada yang kecil kah? :3
    btw aku baru pertama kali baca tentang kampung olan, penasaran jadinya :(

    BalasHapus
  5. Aku deg-degan bacanya. Ga kebayang pasti panik ya tersesat gitu. Alhamdulillah sudah selamat. Aku nunggu kisah kelanjutan Anon-nya ya, Mbak

    BalasHapus
  6. Aah seruu bangeeet, untung selamat ya,mb. Jadi inget sekitar tahun 2000 temen hilamg di Semeru karena memutuskan istirahat, kecapean,jelang senja gitu. Yang disuruh jalan,karena sudah terbiasa ya...ditinggal biar istirahat sebentar. Sebulan dicari,akhirnya dinyatakan hilang. Baca kisah ini, terharu ya..baik banget diketuk pukul 3 dibukain,disuguhin susu,dikasih inap

    BalasHapus
  7. Garut emang ngademin, pas di kota nya aja udah berasa hawa gunungnya. aaaak jadi baper kan pengen ke Garut lagi, huhu

    BalasHapus
  8. Si teteh hebat...
    Saya jadi punya cerita juga teh terkait cikuray ini. Waktu SMP saya kan tinggal di Perbatasan Garut Tasik. Tenjowaringin Cilawu.
    Kakek saya yg di Salawu (Tasik) suka bawa tamu dari kota. Diantaranya ke Cikuray juga.
    Kakek suka cerita banyak kisah horor, mistis, dlsb di Cikuray.saya penasaran pengen banget ke pemancar yang melegenda itu. Tapi kakek gak pernah izinkan...

    Sepupu saya lain lagi. Dia mudik dari Singaparna dan nekat naik Cikuray. Eh dia kesasar dan muter aja di jalur itu1. Dalam pikirnya jalan jauh. Padahal ketika dilihat jejaknya dia cuma muterin sekitar 200m persegi aja. Muter2 gitu sampai kakek datang menjemput.

    Itu dulu tahun 90 an. Masih leuweung pamujaan. Sekarang sih jalur Cikuray udah jelas. Banyak mitos yang terbantahkan.

    Makanya saya bilang si teteh keren. Nyasar tapi salamet :)

    BalasHapus
  9. Mba Lina, membacanya saja sudah membuat aku membayangkan betapa paniknya jika tersesat. Syukurlah mba Lina sehat selamat ya mba. Hati hati mba, semoga selalu dilindungi Allah. Amin

    BalasHapus
  10. Hyaaahh seru2nya baca bersambung hehe
    Btw mbak itu dari tempatku blognya tulisannya ada yang kecil dan besar knp ya? Mungkin saat dipindahkan dari draftnya kali ya?

    BalasHapus
  11. Suka baca pengalaman tentang para pendaki, tapi kalau diajakin ndaki masih berat.. Hehehe

    BalasHapus
  12. Wah betapa paniknya kalau tersesat....

    BalasHapus

Halaman ini dimoderasi untuk mengurangi spam yang masuk. Terima kasih sudah meninggalkan komen di sini.

Made with by Lina W. Sasmita