Kawah Jonggring Saloka di puncak Mahameru Mengepulkan Asap |
Dengan tergopoh-gopoh, setengah menahan
kantuk dan dingin yang menusuk, saya segera berkemas. Namun apa daya jari-jari
tangan terasa kebas.
Untuk sekadar meresletingkan jaket dan mengenakan kembali
sarung tangan saja perlu waktu bermenit-menit. Sungguh rasanya tidak ada darah yang mengalir ke jari-jari ini sehingga pergerakkannya sangat lambat.
Baca cerita sebelumnya di artikel Ranu Kumbolo.
Alhasil saat keluar tenda, rombongan yang akan menuju Puncak Mahameru sudah bergerak
naik. Dan saya sudah ditinggal. Dengan setengah berlari saya mulai mengejar
Iwan yang malam itu mengantarkan rombongan pendaki dari Kota Balikpapan. Mas
Yanto hanya mengantarkan sampai batas area camping Kalimati saja. Ia tidak ikut
naik, namun menitipkan saya pada Iwan.
Semula, kami fikir rombongan kamilah yang paling awal berangkat yakni jam sepuluh malam. Tapi ternyata sudah ada beberapa nyala senter yang berkedap-kedip di atas sana. Membias di udara malam, berkelap-kelip laksana bintang.
Deru angin menghempas pasir-pasir. Masker dan penutup wajah adalah hal wajib yang harus dikenakan saat seperti itu. Pasir yang beterbangan kerap masuk ke saluran pernafasan dan membuat dada sesak.
Saya menikmati setiap langkah dan lelah yang membuncah dengan pasrah. Berbagai rasa membaur dalam dada. Bergumul menjadi bongkahan-bongkahan syukur dan do'a. Tidak semua
orang dapat berada di ketinggian seperti ini. Tidak semua orang punya
kesempatan langka ini. Tidak semua orang menikmati suasana sehening ini. Tidak semua orang seberuntung kamu ini. Maka tetaplah, lantunkanlah syukur dalam hening dan diammu.
5 jam terlewati namun puncak masih misteri. Berapa lama lagikah kami akan tiba di sana? Suara hati membisiki. Apakah puncak adalah tujuanmu setiap kali mendaki? Apakah perjalanan menanjak ini tidak memberimu arti sama sekali? Sebuah tanya dari sisi jiwa mulai mengemuka. Apa arti mendaki gunung bagimu? untuk apa sebenarnya pendakian ini menurutmu? Hobby atau obsesi? Empati? Harga diri? Jati diri? Mencintai? Entahlah. Hanya Yang di Atas sana yang mengerti maksud hati.
Pendakian dalam waktu 6 jam terlampaui. Dan 7 jam semakin mendekati. Teriakan gembira mulai gempita. Langkah menuju puncak sebentar lagi tiba. Hingga sujud tersungkur penuh bahagia menjadi ritual pertama. Puncak Mahameru. Titik tertinggi tanah Jawa. Di sinilah saya berada.
Saya mengeluarkan sekepal batu kecil berwarna keputihan. Batu kecil yang saya bawa 10 tahun yang lalu dari Gunung Kinabalu. Sebagai hadiah kecil untuk Semeru. Sebagai salam pertemuan dan pertemanan dari Kinabalu. Seperti kerikil Gunung Kerinci yang saya larung di Segara Anak Gunung Rinjani. Seperti satu kerikil Rinjani yang saya simpan di puncak Kinabalu, dan kini tibalah saatnya, setelah 10 tahun lamanya, batu Kinabalu menemui tempat peristirahatannya.
Semburat Cahaya Pagi di Puncak Mahameru |
Perlahan saya mulai menyusul. Menyamakan ritme berjalan
dengan kecepatan Iwan di depan. Seorang bapak-bapak dalam rombongan mengeluh
bahwa kami terlalu cepat. Hahaha… padahal menurut saya pergerakan kami sudah
sangat santai dan pelan-pelan. Mungkin karena Iwan dan saya terlalu
bersemangat.
Kecepatan berjalan kaki pun kami kurangi agar sesuai dengan ritme si Bapak yang komplain tadi. Bahkan kami memintanya untuk berjalan lebih dulu, saya di tengah-tengah dan Iwan paling belakang.
Kecepatan berjalan kaki pun kami kurangi agar sesuai dengan ritme si Bapak yang komplain tadi. Bahkan kami memintanya untuk berjalan lebih dulu, saya di tengah-tengah dan Iwan paling belakang.
Aku dan Plakat 3676 mdpl |
Semula, kami fikir rombongan kamilah yang paling awal berangkat yakni jam sepuluh malam. Tapi ternyata sudah ada beberapa nyala senter yang berkedap-kedip di atas sana. Membias di udara malam, berkelap-kelip laksana bintang.
Deru angin menghempas pasir-pasir. Masker dan penutup wajah adalah hal wajib yang harus dikenakan saat seperti itu. Pasir yang beterbangan kerap masuk ke saluran pernafasan dan membuat dada sesak.
Mentari Mulai Meninggi |
Satu jam, dua jam, tiga jam terlalui. Sungguh makin ke atas,
langkah semakin berat. Dan puncak belum setitik pun terlihat.
Pyuuuh…berkali-kali menarik nafas panjang. Setiap kali berhenti, serangan udara
dingin kembali menerjang. Menelusup ke sela-sela pakaian yang berangkap-rangkap
dikenakan. Membekukan peluh yang baru saja merembas.
Medan yang dilalui semakin curam dan terjal. Merangkak, merayap adalah cara terbaik untuk mengimbangi gerak langkah di jalur yang miring. Pijakan yang berupa pasir labil yang mudah longsor membuat langkah selalu melorot turun kembali. Dua langkah naik, satu langkah turun. Empat langkah naik, dua langkah turun. Begitu seterusnya. Membuat frustasi sebagian pendaki.
Medan yang dilalui semakin curam dan terjal. Merangkak, merayap adalah cara terbaik untuk mengimbangi gerak langkah di jalur yang miring. Pijakan yang berupa pasir labil yang mudah longsor membuat langkah selalu melorot turun kembali. Dua langkah naik, satu langkah turun. Empat langkah naik, dua langkah turun. Begitu seterusnya. Membuat frustasi sebagian pendaki.
Dalam beku malam, diam-diam ada tangis yang
tertahan, ada doa yang dilantunkan, ada sesal yang diucapkan, ada syukur yang
dibisikkan. Beratus-ratus pendaki memaknai perjalanan menuju puncak ini dengan
beragam sikap dan perilaku.
Para Pendaki di Puncak Mahameru |
Sudah empat jam perjalanan namun bayangan puncak masih jauh dalam kegelapan. Hanya kerlip cahaya senter yang digunakan oleh para pendaki lainnya yang menjadi harapan. Harapan agar mereka yang di atas sana segera tiba lalu mengabarkan dengar teriakan puncaaaak...puncaaaak. Kabar yang akan membakar dan menyalakan lagi semangat yang mulai redup karena tempaan tanjakan yang tiada habisnya.
Kiri: Batu Gunung Kinabalu, Kanan: Batu Gunung Semeru |
Saya mengeluarkan sekepal batu kecil berwarna keputihan. Batu kecil yang saya bawa 10 tahun yang lalu dari Gunung Kinabalu. Sebagai hadiah kecil untuk Semeru. Sebagai salam pertemuan dan pertemanan dari Kinabalu. Seperti kerikil Gunung Kerinci yang saya larung di Segara Anak Gunung Rinjani. Seperti satu kerikil Rinjani yang saya simpan di puncak Kinabalu, dan kini tibalah saatnya, setelah 10 tahun lamanya, batu Kinabalu menemui tempat peristirahatannya.
Jalur turun yang licin dan curam |
Bermula dari Kerinci, kemudian ke Rinjani, selanjutnya ke Kinabalu, lalu ke Semeru. Kasih dan salam telah disampaikan. Selesailah sebagian pengharapan. Mengikat cinta di empat tujuan, di empat ketinggian. Tinggal menyusun langkah semakin ke timur. Ke negeri dimana matahari selalu terbit lebih awal. Dimana salju abadi masih terbentang di sebagian puncak tertingginya.
ayo mba semangat ke Cartenz....
BalasHapusAlhamdulillah Kerinci dan Semeru juga sudah pernah kurasakan dua puluh tahun yg lalu hihihiiii...tua amat yak diriku. Itu menyandingkan batu2nya keren loh, aq ga pernah kepikiran utk begitu. Keep walking mba....
20 tahun lalu? Huaaa….ternyata dikau senior saya mak. Sungkem. Iya masih mimpi bisa ke Cartenz. Doain ya Mak.
HapusWah belum pernah naik gunung, jadi pengen nyoba untuk bisa naik gunung, semoga tercapai. Amin
BalasHapusAmiiin, semoga tercapai Mbak.
HapusWaaaak kereeeeen....
BalasHapusMakasih, lempar koin :D
HapusWow, keren banget pendakianmu, Mak. Larut aku di dalam ceritamu ini. Lupa akan usia, ingin sekali mencoba lagi. Satu-satunya gunung yang baru pernah kudaki, hanya Gunung Sibayak yang menjulang di Brastagi. Hiks, di usia kini, mampu ga ya, mencoba lagi? Hihi.
BalasHapusAih, caramu menyampaikan salam pertemanan antar pegunungan itu, indah sekali, Mak! Keren ih!
Sukses selalu yaaaa!
Kak Al....apa kabar? Wah sudah pernah ke Sibayak juga ya? gpp itu juga udah lumayan. Insya Allah masih kuatlah. Ayo ke Gunung Burangrang atau Malabar. Yang dekat-dekat Bandung aja
HapusJadi pingin Nanjak. Padahal kepikiran pensiun karena faktor U. Tapi semeru selalu membawa kerinduan untuk dijejaki. Semoga Rinjani .......Amin. Asyik ceritanya Mbak. Kalau sudah diujung lupa segala peluh dan upaya.
BalasHapusYa ampun mak keren banget dirimu...daku cuma dua kali nyoba naik gunung hihi itu pun serasa mau pengsaan...
BalasHapus