Pada
kondisi tertentu, terkadang rasa nasionalisme ke-Indonesia-an dalam diri
masing-masing kerap hadir tanpa kita duga sebelumnya. Getar yang emosional tak
pelak mengundang cucuran air mata yang tanpa disengaja meng-anak sungai.
Seperti pagi itu, saat semua mata memandang ke arah timur, menanti dengan sabar
detik-detik munculnya sang surya dari ufuk.
Ufuk Timur |
Detik-Detik Kemunculannya, Diiringi Lagu Kebangsaan Indonesia Raya |
Dan saat
bulatannya perlahan merayapi horizon, meniti pasti lazuardi, tatkala itulah
tanpa diduga, dari kerumunan pendaki di belakang saya, lagu kebangsaan Indonesia Raya
disuarakan dengan lantang. Awalnya hanya beberapa orang saja, perlahan yang
lain mengikuti, menciptakan suasana syahdu mengharu biru. Bibir saya hanya
mampu berkomat-kamit. Tak ada suara yang keluar, hanya mata mendadak
berkaca-kaca dan siap menumpahkan air mata.
Kibaran
bendera merah putih yang dipegang oleh para pendaki terayun-ayun ke kiri dan ke
kanan mengikuti ritme lagu. Suara berisik sejenak terhenti, seakan semua orang
tersihir dengan mantra-mantra. Saya lantas menyeka air mata. Pekikan
kemerdekaan dan teriakan Dirgahayu Indonesia menggema.
Entahlah, saat itu sungguh menjadi momen yang emosional bagi saya. Terlebih
saya hanya seorang diri, tak satu pun pendaki yang saya kenal.
Dari
semenjak kedatangan kami ke kaki Gunung Sikunir kemarin sore, kami sudah
sepakat bahwa suami dan anak saya tidak akan mendaki Sikunir. Namun mereka
tetap mengizinkan saya untuk naik bersama ratusan atau mungkin ribuan orang
lainnya sementara mereka berdua tetap menunggu di tenda di tepi Danau Cebong.
Harus ada foto sendiri dong biar nggak hoax :D |
Subuh
itu, jam 4 lewat 3 menit dengan mengenakan jaket yang hangat, saya keluar dari tenda. Udara dingin mampu terhalau sehingga tak begitu mengganggu. Setelah membeli sarung tangan dan masker di warung dekat parkiran, saya sarapan nasi goreng di warung sebelahnya. Setengah jam kemudian baru memulai pendakian dengan berjalan beriringan bersama para pendaki lainnya. Tanpa dikomandoi, semua sepakat ingin menyaksikan sunrise yang pagi itu muncul bertepatan dengan tanggal 17 Agustus 2015, yang merupakan puncak perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia yang ke-70.
Antrian saat turun |
Jalur
yang menanjak menuju Sikunir itu teramat sesak. Sesak oleh pendaki pun sesak
oleh debu yang mengepul. Meski subuh hari, tetap saja debu-debu itu beterbangan
saat diinjak. “20 menit saja sudah sampai.”
Kata si ibu penjual nasi goreng tadi saat saya tanya berapa lama jarak tempuh
menuju puncak Sikunir.
Dari
kemarin-kemarin saya agak terkejut, masa sih naik gunung cuma 20 menit.
Palingan ini mah bukit. Iya betul bukit jika dilihat dari Desa Sembungan. Namun jika mengetahui ketinggiannya yang mencapai
2.350 mdpl tentu tak diragukan lagi bahwa bukit ini adalah sebuah gunung. Secara teori definisi gunung adalah gundukan
tanah di atas ketinggian 500 mdpl. Ah sudahlah.
Baru
beberapa menit mendaki, eh ya ampuuun macet. Benar-benar macet. Iring-iringan
pendaki begitu rapat hampir tak berjarak. Saya menghitung langkah kira-kira 1
langkah 1 detik. Dan setiap satu langkah langsung terisi oleh orang di
belakang. Berarti hitung-hitung jika waktu pendakian 20 menit (1.200 detik) maka
bisa dipastikan saat itu pada waktu bersamaan yang mendaki gunung Sikunir
sekurang-kurangnya adalah 1200 orang. Itu pun jika dihitung satu baris,
sementara saat itu kami berjalan berjajar berdua kadang ada juga yang bertiga.
Sesuai
perkiraan si ibu penjual nasi goreng, saya tiba di puncak tepat 20 menit meski
dalam keadaan antri dan macet. Ini berarti pendakian ke puncak Sikunir bisa
ditempuh 10 menit saja jika kondisi jalur kosong melompong.
Dan
begitulah setelah bertayamum dan menunaikan sholat subuh di antara kerumunan pendaki,
saat detik-detik kemunculan sang surya dari ufuk timur, lagu kebangsaan itu
diperdengarkan. Penuh getar dan emosional.
Dirgahayu
Indonesia !
wah seru ya mbak menyanyikan lagu Indonesia raya di gunung.
BalasHapusFoto-fotonya cetar membahana. Pakai kamera apa?
BalasHapus