![]() |
Pelabuhan Pandan Bahari, Tanjung Uncang, Batam |
Pulau Gara merupakan sebuah pulau yang terletak 3 km sebelah barat Pulau Batam. Secara administratif pulau ini merupakan bagian dari Kelurahan Kasu, Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau.
Sejak tahun 1994, Pulau Gara dijadikan pemerintah Kota Batam sebagai lokasi pemukiman Suku Laut dengan membangunkan mereka sekitar 48 unit rumah yang didirikan di tepi laut Pulau Gara. Jumlah penduduk Pulau Gara sebanyak 280 jiwa (2016) yang terdiri dari 68 KK. Sebagian besar mata pencaharian penduduknya adalah nelayan.¹
![]() |
Rumah dan jalan di Pulau Gara |
Sudah lama saya mendengar nama tentang Pulau Gara ini dari surat kabar ketika pemerintah berencana merumahkan Suku Laut yang tersebar di perairan Batam ke pulau tersebut. Membaca berita tersebut antara senang dan bingung. Senang karena pemerintah ambil bagian dalam usaha mensejahterakan masyarakat asli Suku Laut, namun saya juga bingung dan bertanya-tanya bagaimana dengan budaya Suku Laut yang nomaden dimana sejak mereka lahir, kemudian tumbuh besar hingga meninggal semuanya berada di laut.
Dengan merumahkan mereka, berarti pemerintah akan mengubah cara hidup mereka dengan menetap di satu tempat. Sementara ruh dan jiwa mereka adalah sebagai penjelajah lautan. Dimana ombak dan badai adalah teman akrab dalam pengembaraan mereka.
Apakah dengan merumahkan Suku Laut ini merupakan keputusan yang bijak sepihak dan akankan menjadi solusi untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan Suku Laut di masa mendatang? Apakah jalan hidup seperti orang daratan yang dianggap normal dan wajar oleh orang daratan itu sendiri akan dipaksakan menjadi jalan hidup bagi orang-orang Suku Laut? Dan apakah hal itu juga diinginkan oleh mereka? Padahal Suku Laut adalah para penjelajah lautan yang sangat asing dengan cara-cara hidup daratan.
Berbagai pertanyaan itu menumpuk bertahun-tahun lamanya hingga beberapa waktu lalu tiba-tiba saja saya berkesempatan mengunjungi pulau tersebut. Sayang waktu berkunjung sangat singkat sehingga tidak sempat bertamu dan mengobrol dengan Suku Laut di pulau tersebut.
Berbagai pertanyaan itu menumpuk bertahun-tahun lamanya hingga beberapa waktu lalu tiba-tiba saja saya berkesempatan mengunjungi pulau tersebut. Sayang waktu berkunjung sangat singkat sehingga tidak sempat bertamu dan mengobrol dengan Suku Laut di pulau tersebut.
Walaupun tidak mencicipi pelajaran antropologi, saya sangat menyukai pengetahuan tentang suku-suku pedalaman yang ada di Indonesia. Ketika pindah ke Batam dan mendapati ada banyak kelompok Suku Laut yang sehari-hari menjelajah perairan Batam, Bintan dan Lingga, saya seakan tersulut untuk terus mempelajari bagaimana suku ini bisa bertahan di lautan. Mengetahui bagaimana mereka menghabiskan waktu hampir seluruh hidupnya di lautan, membuat saya yang sangat takut akan laut dan ombak, berfikir ulang untuk melawan rasa takut itu. Hingga pada titik dimana saya yang bahkan tidak bisa berenang ini, tidak takut lagi jika menghadapi ombak atau gelombang besar di laut.
Dulu, saya pernah beberapa kali berencana untuk mengunjungi Suku Laut dan ikut menjelajah laut bersama mereka, namun hanya sebatas keinginan saja bahkan hingga saat ini keinginan itu masih saja belum terwujud.
Secara fisik, Suku Laut berbeda dengan Suku Melayu. Yang paling kentara adalah rambut mereka ikal atau keriting. Kulit legam karena matahari, hidung mancung dengan bibir sedikit lebih tebal seperti orang-orang timur.
Menurut seorang jurnalis Antara yang sempat traveling dengan saya ke Anambas, dia bercerita bahwa sebenarnya Suku Laut adalah suku pribumi di perairan Kepri. Merekalah sesungguhnya penduduk asli wilayah ini. Dan menurut literatur yang ia baca, dikatakan bahwa Suku Melayu merupakan suku pendatang.
Perjalanan Menuju Pulau Gara
Awalnya saya diberi tahu suami kalau ia dan teman-temannya dari Forum Silaturahmi Warga Jakarta (Fosiwaja) yang ada di Kota Batam akan mengunjungi Pulau Gara untuk menyerahkan bantuan pembangunan madrasah ke ustadz yang ada di pulau tersebut. Salah seorang anggota dari Fosiwaja adalah Ustad Syamsuddin yang telah lama merantau dari Jakarta dan bermukim di Pulau Gara untuk berdakwah. Beliau dan istrinya bersama-sama mendidik anak-anak dan ibu-ibu Suku Laut untuk mengaji. Oleh karena itu dibutuhkan ruangan yang cukup memadai untuk ibu-ibu dan anak-anak Pulau Gara belajar agama.
![]() |
Beberapa keluarga dari Fosiwaja yang akan menyebrang ke Pulau Gara |
Bagaimana Caranya Menuju Pulau Gara?
Pulau Gara dapat dicapai dengan menaiki pompong dari Pelabuhan Pandan Bahari, Tanjung Uncang Batam. Tidak ada angkutan resmi menuju Pulau Gara dan pulau-pulau sekitar, jadi para tamu atau calon penumpang harus menunggu pompong warga pulau-pulau datang sehingga bisa menumpang.
Teman-teman dari Fosiwaja kemudian menyewa dua buah perahu motor atau kami menyebutnya pompong untuk menuju Pulau Gara. Kami membayar Rp 20.000 per orang sekali jalan untuk angkutan tersebut.
Setibanya di Pulau Gara, pemandangan yang paling mengesankan saya adalah menyaksikan anak-anak Pulau Gara yang sedang mandi-mandi air laut. Mereka melompat, berenang, menyelam, bercanda dan tertawa-tawa bahagia. Sungguh masa kanak-kanak yang menyenangkan. Mereka anak-anak yang ditempa langsung oleh alam sehingga bisa jadi kelak menjadi pelaut-pelaut kuat dan ulung.
![]() |
Anak-anak membawa gabus untuk pelampung |
![]() |
Anak-anak Pulau Gara sedang melompat ke laut. |
![]() |
Anak-anak Pulau Gara bermain di laut |
Rombongan kami kemudian menuju Masjid Annur, satu-satunya masjid yang terdapat di Pulau Gara. Di sana kami menyerahkan bantuan kepada Ustadz Syamsudin kemudian bersama-sama menuju lokasi pembangunan madrasah yang letaknya tepat di samping Masjid Annur. Rencananya madrasah ini akan digunakan ibu-ibu penduduk Pulau Gara untuk mengaji. Selama ini pengajian dilakukan di masjid, jadi ketika ada ibu-ibu yang sedang haid atau halangan, mereka tidak dapat datang dan masuk ke masjid untuk belajar.
![]() |
Masjid Pulau Gara |
Di halaman masjid yang lapang, tampak hamparan ikan asin dan ikan teri yang sedang dijemur. Iseng kami pun bertanya apa mereka bisa langsung menjualnya di situ, dan ternyata kami dibolehkan membeli langsung. Kami membeli ikan teri ini Rp 60.000 per kilogramnya, padahal di Batam yang hanya jarak 3 km saja harga jauh berbeda, 100% lebih tinggi. Di warung dekat rumah saya, harganya sudah mencapai Rp 120.000.
Selepas melihat pembangunan madrasah, kami langsung menuju rumah Ustadz Syamsudin untuk bersilaturahim dengan keluarganya. Kebetulan Ummi (Panggilan orang pulau kepada istri Ustadz Syamsudin) mempersiapkan hidangan makan siang untuk kami. Pantang menolak, rombongan kami pun akhirnya makan di rumah Ustadz. Tambah antusias manakala hidangan yang dihadirkan adalah sotong dan ikan goreng yang kering.
Sambil mengobrol kami duduk-duduk di teras rumah yang langsung menghadap ke laut. Duh bahagia rasanya punya rumah langsung menghadap ke laut seperti ini. Angin semilir sepoi-sepoi membuat kantuk menyerang. Terlebih perut sudah kenyang.
Menjelang waktu Asar, kami pamitan untuk pulang. Alhamdulillah cuaca masih baik sehingga ombak tidak begitu kuat.
![]() |
Lampu jalan di Pulau Gara sudah menggunakan panel surya |
![]() |
Ustadz Syamsudin |
wisatanya nggak kalah dengan bali, marketingnya harus lebih digalakkan lagi ya mbak.
BalasHapusenak lihat anak anak berenang
betul. juga hasil pengolahan ikan laut yg perlu diperbaiki penjualannya agar bs sejahterakan warganya
HapusWah padahal sebenarnya kalau dipikirkan alternatif lain selain "merumahkan" mungkin daerah yang didiami SUku Laut ini bisa jd semacam daya tarik wisata kali ya mbak? Namanya juga "laut" mestinya jangan dijauhkan dr laut #imho
BalasHapusSemoga madrasahnya segera jadi dan bisa dimanfaatkan utk anak2 dan yang butuh ilmu utk menimba ilmu ya :D
Menuju ke Pulang Gara ini memakai pompong untuk, cukup bersahabat harganya Rp 20k per orang sekali jalan tapi dapet pemandangan yang wow pisan, biru laut yang memanjakan mata dan aktivitas anak2 itu loh yang ngegemesin..
BalasHapusmelihat kegiatan warga kampung nelayan itu mengasyikan ya. bagus pemandangannya di pulai gara :)
BalasHapusMbak, indah banget perjalanan di Pulau Gara nya. Pengalaman berkesan dan pemandangan anak-anak main di laut ini udah jarang banget aku lihat. Semoga keindahannya tetap terjaga, dan pembangunan madrasahnya segera selesai ya.
BalasHapusNunggu kelanjutan cerita Pulau Gara ini aaahh... masih banyak kayaknya kan ya mba kisah berikutnya?
BalasHapusAku pun tak bisa membayangkan gimana Suku Laut yang biasa nomaden harus tinggal secara permanen gitu. Semoga saja dengan diberikan lahan khusus ini bisa meningkatkan taraf hidup mereka.
Seru, ceritanya menarik banget mbak... Pengen deh nyobain nginep di rumah-rumah itu, ngadep laut :D
BalasHapusBaru tahu ada suku2 laut d Batam mba...asik nih buat destinasi wisata
BalasHapusSuka seru kalau melihat tingkah laku anak-anak pantai. Kalau mereka kayaknya udah bukan kolam renang lagi. Mainannya udah laut dan asik aja gitu bermain airnya
BalasHapusinikalo kita ga inget waktu dan punya rumah sendiri, pasti dah ga mau nalik kota lagi yaaa Lina, semua serba biru dan indaaaah sekali
BalasHapusMasyaAllah..... karena memang habitatnya di laut, jadi sejak precil-precil mereka jago banget renang yaaaa
BalasHapusSepertinya bisa diberdayakan untuk jadi atlet renang/selam, atau mengajari anak2 kota untuk les renang
waaahhhhhh... aku sepertinya senang sekali ini lihat foto-fotomu di Pulau Gara, kebayangnya ini kalau hunting foto pas sunset disana.
BalasHapusMasya Allah, bahagia banget ya masa kecil anak-anak Pulau Gara dekat dengan alam, jadi pengen tinggal di sana beberapa waktu, bergaul dengan warga terus bikin novel, ahhhh mauuu
BalasHapusKeren , lampu jalan di Pulau Gara sudah menggunakan panel surya...ya ampun murah banget ikan terinya , dan ini biruu dan indah sekali laut dan langitnya
BalasHapusSemoga pembangunan madrasah di Pulau Gara dimudahkan dan dialncarkan-Nya
Ini suku asli Di Batam ya mbak, jadi memang orang melayu yang kemudian jadi mayoritas adalah pendatang, tapi mereka memang terbiasa hidup dari Laut seperti nama sukunya Suku Laut. Mungkin desa atau perkampungan seperti ini bisa disulap menjadi kawasan wisata edukasi, selain bisa melihat kehidupan suku laut dari dekat sekaligus bisa meningkatkan perekonomian mereka, apalagi suku ini kelihatan cukup resposif dengan pendatang.
BalasHapusMasya Allah, pemadangannya luar biasa. Air lautnya juga masih jernih. Dan saya takjub akan kegiatan masyarakat suku 'Laut' tersebut.
BalasHapusMungkin akan ada pro dan kontranya ya, Mbak, terkait rencana pemerintah untuk 'merumahkan' mereka. Semoga saja ada solusi yang paling tepat. Karena dari pandangan saya secara pribadi, hidup nomaden memang kurang baik. Memang perlu menetap agar lebih mudah untuk ditata, entah itu masyarakatnya atau tempatnya. Tapi di sisi lain juga perlu diperhatikan tentang budaya, adat istiadat setempat dan lainnya.
Benar-benar 'PR' besar bagi pemerintah dan masyarakat Suku Laut untuk menuju yang lebih baik.
Indah sekali ya mbak pemandangan Pula Gara, apalagi lampu jalannya udah pakai panel surya. Jadi pengen kesana ih, tapi kapan 😅 soalnya kan jauh kalau dari Jogja.
BalasHapusEyaampun Mbak, aku salfok dengan alam lautnya yang indah. Sejauh mata memandang biruuuu. Huhuhu... kujadi kangen mantai deh. Udah lama gak ihat pantai :D
BalasHapusBegitu buka blog Mbak Lina saya langsung tertegun dengan gambar pertama. Indah bangeet, pemandangannya. Setelah membaca petualangan mengunjungi suku laut d Pulau Gara, saya terpesona lagi dengan gambar terakhir. Luar biasa indahnya ya, Mbak
BalasHapusFoto-foto nya keren euyy. As always. Aku pas ke Batam pengen main ke sini tapi belum kesampaian
BalasHapusPulau Gara ya, tadi kirain typo mau nulis Pulau Garam. Hahahah sok tahu bener saya inih. BTW, tertarik euy baca tentang suku laut, karena ya itu benar-benar baru dengar tentang suku ini.
BalasHapusMenarik nih, aku malah baru tau ada suku laut. Beneran mereka hidup di laut gitu ya? untuk kebutuhan air minum bagaimana?
BalasHapusBaca cerita Teteh, aku jadi ingat dengan film Moana yang punya kehidupan nomaden dari satu pulau ke pulai lain. Well, moga diberikan yang terbaik untuk semua pihak saja dan budaya Indonesia tetap lestari
BalasHapusEnak ya bisa menjelajah bagian-bagian Indonesia yang indah.
BalasHapusAir lautnya bening banget. Kayak di pulau Gili.
Eh, nama pulaunya Gara ya. Saya kok ingat film Naruto. Hehehe
Pemandangannya kok luar biasa indah banget ya. Beruntung banget Mbak Lina bisa ke sana sekalian misi sosial. Semoga bantuannya berkah ya agar masyarakat Suku Laut bisa hidup dengan lebih baik.
BalasHapusLautnya cantik, terlebih dengan adanya Suku Laut di Pulau Gara. Agaknya bisa jadi destinasi wisata budaya, tapi mungkin jika itu dibuka untuk wisata, mereka bisa terusik kali ya
BalasHapusmasyaallah indahnyaaa. jadi inget dulu sering naik pompong, tapi airnya cokelat. hehe
BalasHapusLihat foto-fotonya bagus banget. Jernih banget hasilnya. Seneng lihat birunya langit dan laut. Saya baru tahu kalau di Batam ada pulau Gara. Seneng deh baca postingan ini.
BalasHapusKasihan amat kalau SUKU Laut dirumahkan :( Ibaratnya kalau kita mah jadi stres ya mb Lina hehehe. Itu madrasahnya dipakai ibu2 penduduk sekitar untuk mengaji dll berarti kehidupan beragama di sana cukup religius ya. Ternyata Pulau Gara menyimpan pesona keindahan alam laut yang indah. Cuma kurang diworo2 nih..iklannya kurang hehehe :)
BalasHapusFoto-fotonya cakep, mbak. Bisa mengabadikan anak-anak Suku Laut yang melompat ke laut! Mudah-mudahan kalo memang mereka harus menetap, mereka tetap sehat jiwa raga ya dan nggak meninggalkan hubungan baiknya dengan laut.
BalasHapusBerkesan banget kunjungan ke Suku Laut ya Teh Lina, mereka beradaptasi dengan baik dan tetap dekat dengan laut ya, ternyata mereka malah pribumi di sini ya bukan Melayu..
BalasHapusApakah suku laut laut ini masih ada hubungannya sama Suku Bajo ya? Gaya hidupnya sama.
BalasHapusYa Allah, asyik banget neh bisa tinggal di sini. Etapi, ini emang di tengah laut pisan Teh? Anak-anak gimana sekolahnya? Seandainya bisa menginap di sana barang beberapa waktu ...
BalasHapus