Situ Cangkuang Leles Garut |
Kampung Pulo merupakan kampung adat yang terletak di sebuah pulau di tengah-tengah Situ (Danau) Cangkuang. Situ ini berada di Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Posisi kampung yang berada di tengah pulau itulah yang kemudian disebut masyarakat sekitar sebagai Kampung Pulo. Jika dalam Bahasa Indonesia, pulo diartikan sebagai pulau.
Menurut tour guide yang mendampingi kami, luas semula Situ Cangkuang adalah 25 hektar. Namun karena terjadi sedimentasi di sisi barat danau, maka area tersebut menjadi dangkal sehingga dijadikan lahan persawahan oleh masyarakat. Melintasi persawahan ini, terdapat jalan kecil yang menghubungkan daratan dengan Kampung Pulo. Luas danau saat ini diperkirakan hanya tinggal sekitar 11 hektar saja. (Luas pengukuran menggunakan measure distance di google map).
Hal yang menarik dari Kampung Pulo adalah terdapatnya sebuah candi Hindu yang diperkirakan berasal dari Kerajaan Galuh Pasundan. Mengikut nama lokasi dimana ditemukannya di kawasan Situ Cangkuang maka candi ini dinamakan Candi Cangkuang.
Kata cangkuang sendiri berasal dari nama pohon cangkuang yang banyak tumbuh di area ini. Cangkuang merupakan tumbuhan sejenis pohon pandan yang digolongkan ke dalam spesies Pandanus furcatus. Daun dari pohon cangkuang dimanfaatkan penduduk untuk membuat tudung saji, tikar, pembungkus gula aren bahkan bisa juga dijadikan totopong atau caping. Sementara itu buahnya jika matang berwarna kuning seperti pisang namun rasanya seperti sirsak yang digunakan sebagai obat antioksidan. Sementara yang mentahnya masih berwarna hijau. Tour guide kami berseloroh bahwa buah cangkuang yang masih berwarna hijau ini berkhasiat sebagai obat anti selingkuh. ”Kalau tidak percaya silahkan dicoba!” Katanya sambil terkekeh. “Caranya, buah tersebut ditimpukkan ke pasangannya hingga kesakitan.” Haha...ada-ada saja.
Kampung Pulo dihuni oleh penduduk yang semuanya mempunyai satu garis keturunan yakni dari keturunan Arif Muhammad. Seorang Panglima Perang Kerajaan Mataram yang kalah perang dan tidak mau kembali ke Jawa. Ia dan pasukan Mataram pernah menyerang Batavia namun gagal. Karena merasa kecewa dan malu ia memilih untuk tidak kembali ke Kerajaan Mataram dan memilih tinggal di sekitar Leles Garut.
Kampung Pulo di Situ Cangkuang dengan segala latar belakang sejarah dan keunikannya membuat saya dan teman-teman tertarik untuk menggali informasi lebih dalam lagi. Maka diantara kepadatan jadwal Writingthon Jelajah Kota Garut, panitia mengagendakan kunjungan ke kawasan ini. Terlebih Situ Cangkuang dengan cagar budaya yang ada di dalamnya, merupakan salah satu destinasi wisata unggulan Kabupaten Garut yang banyak dikunjungi oleh wisatawan.
Menyebrang ke Kampung Pulo di Situ Cangkuang
Matahari pagi itu terasa hangat. Sambil menunggu rombongan lainnya yang masih dalam perjalanan, saya dan beberapa teman sengaja berjemur di bangku-bangku warung yang terdapat di parkiran di sekitar Situ Cangkuang. Menghangatkan punggung di tengah suasana Leles Garut yang cukup dingin.
Jika melakukan perjalanan biasa, para pengunjung dapat mencapai lokasi Situ Cangkuang ini dengan menaiki kereta kuda atau yang disebut dengan delman dari alun-alun Leles.
Setelah rombongan lengkap kami beriringan memasuki gerbang masuk ke Situ cangkuang. Terdapat pos pelayanan tiket masuk yang setiap hari buka dari jam 07.00 - 17.00 WIB. Biaya atau tiket masuk per orang sebesar Rp 5.000 untuk dewasa dan Rp 3.000 untuk anak-anak. Tiket ini tidak termasuk biaya naik rakit untuk menyebrang ke Kampung Pulo.
Baca juga cerita saya mengunjungi Kampung Morten yang dihuni Suku Melayu.
Baca juga cerita saya mengunjungi Kampung Morten yang dihuni Suku Melayu.
Rakit yang digunakan untuk menyebrang ke Kampung Pulo |
Di sebelah kanan pos masuk terdapat bangunan yang berfungsi sebagai Tourist Information Center yang menyediakan pelayanan informasi wisata Kabupaten Garut. Di sana juga menampilkan beberapa souvenir khas Garut serta peta wisata Kabupaten Garut. Ruangannya cukup luas, namun sayang belum dimaksimalkan untuk dijadikan sebagai tempat penyedia informasi wisata.
Setelah menunggu beberapa saat, kami pun menaiki perahu rakit yang terbuat dari susunan bambu-bambu yang cukup besar. Rakit ini bisa memuat 20 orang sekaligus dalam sekali angkut. Meskipun tidak mencapai 40 orang, rombongan kami terbagi menjadi dua rakit agar lebih leluasa.
Dengan adanya rakit-rakit untuk menyebrang, pemandangan Situ Cangkuang menjadi lebih menarik. Bagian tengah rakit mempunyai atap sehingga penumpang bisa duduk dan berteduh dari teriknya matahari atau guyuran hujan saat menyebrang.
Rakit mulai bergerak. Seorang kakek dengan sebatang bambu panjang mulai mengayuh rakit yang kami tumpangi dengan perlahan. Meskipun sudah sepuh, ia tampak cekatan bergerak ke berbagai sisi untuk menyeimbangkan laju rakit. Beliau tampak menarik rombongan kami yang rata-rata membawa kamera untuk dijadikan objek foto.
Pemandangan dari tengah-tengah danau ke sekeliling tampak mempesona. Gunung-gunung seperti Gunung Kaledong, Haruman, Mandalawangi dan Gunung Guntur tampak anggun dan menawan seakan-akan memagari danau. Tak sampai 10 menit, rakit sudah sampai di sebrang.
Dengan didampingi oleh seorang guide, kami mulai menyusuri jalan menuju Kampung Pulo. Beberapa saat kemudian, kami melewati warung-warung yang dikelola masyarakat lokal Kampung Pulo yang menjual berbagai cendera mata dan oleh-oleh khas Garut.
Rumah dan Masyarakat Adat Kampung Pulo
Dengan didampingi oleh seorang guide, kami mulai menyusuri jalan menuju Kampung Pulo. Beberapa saat kemudian, kami melewati warung-warung yang dikelola masyarakat lokal Kampung Pulo yang menjual berbagai cendera mata dan oleh-oleh khas Garut.
Memasuki kawasan Kampung Pulo terdapat 7 bangunan yang sejak abad 17 hingga saat ini jumlahnya tidak boleh lebih tidak boleh kurang. Hal ini menjadi simbol dari keturunan Arief Muhammad, dimana beliau mempunyai 7 orang anak yaitu 1 anak laki-laki yang dilambangkan sebagai 1 buah masjid, dan 6 perempuan yang dilambangkan dengan 6 rumah. Keenam rumah ini posisinya berjejer tiga rumah saling berhadap-hadapan.
Setiap rumah di Kampung Pulo wajib dihuni oleh satu kepala keluarga saja. Jika ada anggota keluarga yang menikah, maksimal dua minggu dari pernikahan harus keluar dari kampung Pulo. Misal dari kepala keluarga tadi ada yang meninggal, maka yang keluar tadi boleh kembali dengan catatan harus keturunan Arif Muhammad yang perempuan. Karena sistem kekerabatan di kampung ini matrilineal.
Rumah adat Kampung Pulo |
Masjid di Kampung Pulo |
Sampai saat ini jumlah penduduk Kampung Pulo hanya berjumlah 23 orang. Kampung ini dipimpin oleh seorang kepala adat yang disebut Pak Kuncen. Dia yang bertanggung jawab untuk merawat dan memelihara adat istiadat di kampung tersebut.
Masyarakat Kampung Pulo dikenal mempunyai 5 pamali atau 5 pantangan yang harus dipatuhi oleh semua penduduk dan juga siapapun yang datang berkunjung ke sana. Kelima pantangan tersebut adalah:
1. Tidak boleh berziarah ke makam yang dikeramatkan di sana pada Hari Rabu. Karena tempo dulu, Hari Rabu merupakan waktu umat Hindu menyembah Arca Siwa di Candi Cangkuang. Ketika datang Arif Muhammad, Hari Rabu diubah menjadi hari untuk menyebarkan ajaran agama Islam. Dan Hari Rabu juga merupakan waktu bagi orang luar datang ke sana untuk menuntu ilmu agama. Menurut perhitungan masyarakat Kampung Pulo pergantian hari di sini terjadi di saat waktu Asar. Jadi Selasa bada Asar sudah masuk ke Hari Rabu begitu juga hari berikutnya, Rabu bada Asar sudah masuk waktu Kamis. Selamanya membuat rumah harus memanjang. Ada dua tipe bangunan rumah di Kampung Pulo yaitu Julang Ngapak dan Gajah Nyusu. Rumah adat dengan bentuk Julang Ngapak terdapat 3 kamar 1 ruang keluarga dan 1 dapur. 1 kamar digunakan untuk ruang tamu dan kedua kamar lainnya digunakan oleh kepala keluarga dan anaknya.
2. Tidak boleh memukul gong besar. Alasannya ketika anak laki-laki Arif Muhammad mau disunat, diarak menggunakan jampana (kuda-kudaan) yang diiringi oleh gamelan. Ketika itu terjadi angin besar sehingga anak Arif Muhammad terjatuh dan meninggal seketika. Oleh sebab itu maka dilarang mengikuti acara atau tradisi seperti ini.
3. Tidak boleh menambah atau mengurangi jumlah bangunan.
4. Tidak boleh berternak hewan besar berkaki empat seperti sapi atau kerbau.
Yang kelima saya lupa hehe...nanti saya cek lagi foto-foto yang mencantumkan larangan ini. 😃
1. Tidak boleh berziarah ke makam yang dikeramatkan di sana pada Hari Rabu. Karena tempo dulu, Hari Rabu merupakan waktu umat Hindu menyembah Arca Siwa di Candi Cangkuang. Ketika datang Arif Muhammad, Hari Rabu diubah menjadi hari untuk menyebarkan ajaran agama Islam. Dan Hari Rabu juga merupakan waktu bagi orang luar datang ke sana untuk menuntu ilmu agama. Menurut perhitungan masyarakat Kampung Pulo pergantian hari di sini terjadi di saat waktu Asar. Jadi Selasa bada Asar sudah masuk ke Hari Rabu begitu juga hari berikutnya, Rabu bada Asar sudah masuk waktu Kamis. Selamanya membuat rumah harus memanjang. Ada dua tipe bangunan rumah di Kampung Pulo yaitu Julang Ngapak dan Gajah Nyusu. Rumah adat dengan bentuk Julang Ngapak terdapat 3 kamar 1 ruang keluarga dan 1 dapur. 1 kamar digunakan untuk ruang tamu dan kedua kamar lainnya digunakan oleh kepala keluarga dan anaknya.
2. Tidak boleh memukul gong besar. Alasannya ketika anak laki-laki Arif Muhammad mau disunat, diarak menggunakan jampana (kuda-kudaan) yang diiringi oleh gamelan. Ketika itu terjadi angin besar sehingga anak Arif Muhammad terjatuh dan meninggal seketika. Oleh sebab itu maka dilarang mengikuti acara atau tradisi seperti ini.
3. Tidak boleh menambah atau mengurangi jumlah bangunan.
4. Tidak boleh berternak hewan besar berkaki empat seperti sapi atau kerbau.
Yang kelima saya lupa hehe...nanti saya cek lagi foto-foto yang mencantumkan larangan ini. 😃
Masyarakat Kampung Pulo juga dilarang untuk bekerja di luar seperti ke Bandung atau Jakarta. Manfaatnya ternyata bisa dirasakan saat ini. Dengan merawat adat dan budaya, masyarakat di sini mampu mendatangkan pekerjaan itu sendiri ke tempat ini, yakni dengan dijadikannya destinasi wisata.
Candi Cangkuang
Candi Cangkuang merupakan peninggalan agama Hindu abad ke-8. Candi ini ditemukan kembali pada 9 Desember 1966 oleh Drs. Uka Candrasasmita. Beliau adalah seorang arkeologi yang menemukan candi ini berdasarkan petunjuk dari buku Belanda yang ia baca. Di dalam buku Belanda tersebut hanya menyebutkan bahwa di Cangkuang terdapat sebuah Lingga Arca Siwa dan Makam Kuno Arif Muhammad. Dari situ beliau mengadakan proses penelitian dan penggalian.
Candi Cangkuang |
Pada proses penelitian di samping makam Arif Muhammad ditemukan pondasi candi. Kemudian puing-puingnya dikumpulkan dan direkonstruksi yang ketika itu hanya mencapai 40% dari bangunan awal. Setelah itu diputuskan untuk dipugar sehingga bentuknya menjadi candi seperti yang sekarang. Dengan ukuran 4,5 x 4,5 meter dan tinggi 8,5 meter. Dan Arca Siwanya disimpan di tengah-tengah candi.
Setelah dipugar, Candi Cangkuang diresmikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu yaitu Professor Syarif Thayib.
Setelah candi direnovasi dan bersebelahan dengan makam, kedua peninggalan ini menjadi harmoni dari Bhineka Tunggal Ika. Dimana lambang agama Hindu dan makam seorang muslim terletak berdampingan.
Setelah dijadikan Objek pariwisata ada beberapa nilai adat budaya yang mulai tergerus. Dulu di Kampung Pulo tidak boleh memakai alas kaki, mengenakan topi atau payung, bahkan bersiul atau meludah pun dilarang. Tapi setelah dijadikan objek wisata, budaya ini mulai menghilang. Namun untuk kebiasaan lainnya masih tetap dipelihara seperti acara Rebo Wekasan dan Peringatan 14 Mulud dimana di waktu tersebut digunakan untuk memandikan benda-benda pusaka.
Pengaruh Pariwisata Bagi Kampung Pulo
Setelah dijadikan Objek pariwisata ada beberapa nilai adat budaya yang mulai tergerus. Dulu di Kampung Pulo tidak boleh memakai alas kaki, mengenakan topi atau payung, bahkan bersiul atau meludah pun dilarang. Tapi setelah dijadikan objek wisata, budaya ini mulai menghilang. Namun untuk kebiasaan lainnya masih tetap dipelihara seperti acara Rebo Wekasan dan Peringatan 14 Mulud dimana di waktu tersebut digunakan untuk memandikan benda-benda pusaka.
Selain mengunjungi candi dan makam Arif Muhammad, wisatawan juga dapat melakukan aktivitas di sawah seperti mencangkul, ngobor (mencari belut), atau melakukan kegiatan seperti yang dilakukan oleh para petani.
Penduduk Kampung Pulo sedikit banyaknya mendapat keuntungan dari dibukanya lokasi kampung mereka sebagai objek wisata. Para penduduknya pun tidak perlu jauh-jauh mencari pekerjaan karena beberapa pekerjaan dari sektor pariwisata terbuka lebar. Diantaranya bisa sebagai pemandu wisata, pengayuh rakit, atau penjual cendera mata dan makanan. Semua ini bisa dilakukan oleh mereka di sana tanpa harus keluar dari desanya.
Baru minggu kemarin orang tua saya main ke candi cangkuang sama teman-temannya, tapi belum dengar ceritanya... Jadi tau dari sini tentang sejarahnya :)
BalasHapuswah jumlah penduduknya sedikit ya. cuma 23 orang. pasti sudah sangat akrab satu sama lain.
BalasHapuskalo di gang aku aja ada 24 rumah. satu rumah isinya antara 3 sampai 6 orang. rame kan :D
Cuma 23 KK, pantas saja keaslian dan keasrian terjaga...gak banyak campurtangan pihak luar..
BalasHapusUnik..jadi terjaga kelestariannya...
Semoga suatu saat bisa mampir kesini...
Masya Allah. Kagum membacanya. Rupanya masih ada lagi kearifan lokal dalam kampung Pulo yang hanya sedikit warganya. Larangan2 yang masih dipatuhi, di satu sisi jadi tatanan kearifan tersendiri pula. Juga melambangkan keharmonisan keberagaman. Keren. BTW, masyarakat kampung ini pake bahasa apa ya, Mbak Lina?
BalasHapuswah, gambar rakitnya bikin ku teringat saat naik rakit dulu..duluuu banget....hehehe rasanya deg deg ser naik rakit ya, karena terbiasa naik perahu.
BalasHapusDan datang ke sini, wisatawan juga dapat melakukan aktivitas di sawah, tentu menambah kenangan yg mahal...
Wah, bisa terjaga ya mbak aturan untuk membatasi jumlah bangunan dan keluarga yang tinggal di sana. Saya sudah sering dengar tentang candi Cangkuang (hanya belum pernah ke sana). Tapi baru tau sekarang soal Kampung Pulo. TFS mbak Lina
BalasHapusMasyarakatnya patuh dan menjunjung tinggi adat ya. Tak banyak lho yang bisa begini.
HapusJadi pengin juga ke Garut dan menelusuri berbagai tempat yang ada di sana, termasuk ke Kampung Pulo dan Candi Cangkuang.
Baca beberapa pantangannya aku ya ngeri mba yang anaknya terjatuh meninggal dunia :( jadi tahu nih seputar kampung Pulo
BalasHapusGede ya mba awalnya 25 hektar, belum pernah nih aku ke sini semoga segera berakhir corona jd bisa keluar dg bebas aamiin
HapusWah, alangkah asiknya kalau tradisi tidak pakai alas kaki dll itu masih dilestarikan ya mba.
BalasHapusIni yg bikin Kampung Pulo jadi makin otentik dan berkesan banget
Menarik sekali ya Mbk. Pastinya menambah wawasan mengenai tempat wisata. Aku jadi penasaran dengan larangan yang diterapkan.
BalasHapusAku paling suka nih baca2 artikel yang ada nilai sejarahnya, sempet pingin ikutan Writingthon tapi lupa, tapi Indonesia memang kaya budaya ya mbak, dan masih ada yang teguh memegang tradisi leluhur seperti masyarakat Kampung Pulo ini.
BalasHapusSedikit sekali jumlah warga di Kampung Pulo ini, 23. Ini ga pada nikah atau gimana ya? Dulu waktu smp atau sma aku pernah maen ke Candi Cangkuang tapi ga mudeng di situ ada pohon Cangkuangnya. Penasaran pengen tau kayak gimana rasanya
BalasHapusDan larangan adat di Kampung Pulo masih terjaga. Keren oeyy.. meskipun sudah ada beberapa yg tergerus zaman setelah menjadi tempat wisata. Tapi salut, Kampung Pulo masih menjadi tempat yg menjunjung tinggi ada istiadatnya.
BalasHapusMengunjungi tempat yang bersejarah kayak gini tuh aku suka. Namun kayak gini emang harus kita rajin rawat dengan baik dan sosialisasikan ya mba :)
BalasHapusAku belom pernah ke Garut kak kayaknya asik banget ya kak main kesana pengen main kesana deh
BalasHapusBersih banget ya Mak kampung Pulo, bisa jadi destinasi liburan mendatang, jauh dari hiruk pikuk keramaian bisa banget buat cari ide sekaligus wisata alam
BalasHapusWah Garut ternyata banyak hidden gemsnya ya. Apalagi kalo bisa keliling agak lamaan. Bisa puas. Sekalian nyobain kulinernya
BalasHapusTernyata ada juga tradisi seperti di Jawa Tengah, Rabo Wekasan dengan menjamas benda pusaka.
BalasHapusAku lihat danaunya terlihat adem tempatnya mbak, naik perahu gitu asik kayaknya
Huhu, aku malu deh dengan tulisan ini. Mbak Lina aja, yang dari jauh, bisa menelusuri sejarah kamupung adat Garut. Lha aku yang lebih deket tapi kudet. Huhu...
BalasHapusWah beneran tu mbak penduduknya tinggal 23 org, kirain td 23 kepala keluarga hehe. Sampai gak boleh nambah dan ngurangin jumlah bangunan gtu ya? Ternyata Garut punya desa wisata yang seunik ini dengan budaya dan kepercayaannya, jd penasaran pengen ke sana :D
BalasHapusTerlihat banget ada akulturasi budaya dan religi ya mbak, mulai dr kepercayaan Hindu sampai Islam di sana, bener2 layak dijadikan desa budaya. Sejarahnya juga kental.
HapusKampung Pulo ini menarik banget, Mbak. Selama ini Garut terkenal dengan dodol dan domba Garut. Eh ini ada satu kampung, penduduknya cuma puluhan dan memegang teguh untuk ga melakukan pantangan-pantangan unik. Eh ya penduduknya berarti berkegiatan di sekitar situ aja atau ada juga yang merantau?
BalasHapusSsetiap desa adat memiliki budaya sendiri yang unik ya mba, kapan ya bisa ke Garut, padahal masih sama samadi Jawa Barat
BalasHapusMasjidnya kecil ya
BalasHapusKalau di tempatku lebih dinamakan langgar atau mushola
Kalau lihat suasananya jadi pengen
aku paling seneng main ke tempat yang ada sejarahnya mbak, semoga pandemi ini segera berakhir jadi bisa travelling lagi sama keluarga ya mbak :(
BalasHapusTerakhir main ke Kampung Pulo dan Candi Cangkuang saat SMP waktu masih sekolah. Bersama teman sering main ke sana. Sejak dulu sampai sekarang kearifan lokal budayanya tetap terjaga ya. Bangga nih Urang Sunda jadinya...
BalasHapusSejuj banget yah kak nampaknya, semoga Indonesia kembali pulih agar kita dapat menikmati keindahan negeri ini lagi. Kapan kapan mau jalan jalan kesana ah, biar bisa njkmati secara langsung tempt bersejarah ini
BalasHapusAku terakhir kesinike Kampung pulo tahun lalu teh, ga sengaja sebelum balik ke Bandung mampir, karena anter temen yang pengen tau.
BalasHapusSuka banget sama suasana di sana yang masih asri, kampung Pulo juga yang masih menjunjung tinggi adat istiadatnya, cuma 6 rumah 1 mesjid, keknya adeeem banget yaak.
Masih asli ya, mbak. Teknologi gimana, mbak? Sudah masuk juga atau penduduk di situ tidak menggunakannya?
BalasHapusBtw, jenis rumah adatnya lucu juga, gajah nyusu. Apa di situ juga ada gajah ya dulunya?
Wah belum pernah eksplor Garut, cuma lewat2 aja seringnya. Kapan2 kalau wabah sudah berlalu harus jalan2 lagi, mampir sini & menjelajahi semua
BalasHapusKampung yang menjaga adat istiadat seperti ini semoga terus ada. Pengen juga ah ke sini
BalasHapusKayaknya nama cangkuang nggak asing, tapi baru dengar nama Galuh Pasundan. Yang pasti baru tau ada pohon namanya cangkuang juga.
BalasHapusSeneng nih bisa main ke destinasi kayak gini. Bisa sekalian belajar sejarah dan ketemu masyarakat lokal
BalasHapusSebenarnya kota tempat tinggal saya dekat sekali dengan Garut, tapi belum sempat aja untuk mengunjungi Candi Cangkuang. Nanti kalau kondisinya sudah membaik mau ke sana, deh! Sekalian ke desa Kampung Pulo juga
BalasHapusSedikit ya penghuni pulau itu, hanya 23 orang. Jika muncul anggota baru dan menikah, harus keluar dari pulau tersebut ya. Ini merupakan kearifan lokal juga ya, memacu semangat orang mudanya untuk merantau, dan yang ada di dalam pulau tetap melestarikan adat.
BalasHapusMasyaAllah senangnya ini to yang lolos menulis itu ya Bund
BalasHapuskeren banget ya di Garut, jadi tahu seluk beluk banyak hal. Pengen juga main ke sini kapan-kapan
makasih mba, aku yang kudet ini jadi tahu info tentang candi cangkuang. ahh jadi pengen traveling deh. pokoknya lepas ini membaik aku mau susun rencana traveling ah
BalasHapusYang ingin aku tanyakan gimana dengan anak-anak mereka sekarang mba? Sekolah atau gimana? Kan gak boleh keluar pulau yah?
BalasHapusTrus untuk prosesi pernikahan, jd yang boleh menikah cuma sesama satu turunan aja alias murni atau boleh campuran?
Duh penasaran banget,
Salut sama peninggalan sejarahnya yang masih diceritakan dengan jelas dari mulut ke mulut, sehingga tidak musnah dan terlupa.
BalasHapusCandi ini usianya brapa tahun, kak Lina?
Unik ya aturannya, warganya nggak boleh kerja di luar kota. Tapi ada bagusnya juga sih, tetep jaga lokalitas di kampungnya
BalasHapusSaya pengen banget jalan lagi mbak apalagi ke Kampung Pulo ini, penasaran dengan rumah adatnya bagus banget dan artistik. Semoga setelah wabah berlalu kita bisa jalan lagi ya mbak.
BalasHapusBaru tahu ada yang namanya tanaman cangkuang .. jadi penasaran sama candi Cangkuang juga.
BalasHapusBagus banget nih, penduduk Kampung Pulo jadi dapat pemasukan tambahan, karena wilayahnya jadi destinasi wisata ye kan.
BalasHapusSemoga setelah badai corona berakhir, masyarakat bisa mengunjungi kawasan ini ya
Pemnadangan Kampung Pulo Garut sangat asri dan terawat, mba.
BalasHapusSemoga semua kearifan lokal yang ada di sana tetap terjaga sekaligus tetap bisa menjadi destinasi wisata menarik.
Kalau mudik suka lewat candi Cangkuang tapi belum pernah kesana. Jadi pengen mbak. Di Tasikmalaya juga ada kampung naga adat budaya sama rumahnya hampir sama dengan kampung Pulo.
BalasHapusAku tahu candi cangkuang ini dari pelajaran sekolah waktu SD tapi kalau ke Garut belum pernah mampir. Dan baru tahu kalau namanya diambil dari nama pohon
BalasHapusKebanyakan kampung adat bisanya memiliki tradisi yang terasa unik ya, tapi biasanya memang bertujuan untuk melestarikan kearifan lokal. Wah, aku belum pernah ke Garut nih mba, pengin euy.
BalasHapusWah..bagus ya Kampung Pulo nya...Apakah kalau mau ke sini harus berombongan mba? Saya ingin juga suatu saat nanti ke sana..
BalasHapusindah banget yah kak. fisana juga tampaknya tentraam banget. Kapan kapanmau kesanaah biar bisa nikmati keseejukan daerahnya secra langsung
BalasHapusAku taunya Kampung Naga di daerah Garut. Apakah ini sama dengan kampung Pulo atau beda ya mba? Penasaran deh jadinya
BalasHapusBaca ini sambil bayangin aku lagi duduk duduk di kampung pulo, kayaknya tenaaaanggg gitu ya mbk. Penasaran naik rakitnya.
BalasHapusIndah banget dan alami ya Garut ini
BalasHapusaku belum pernah ke Garut Bun, semoga kapan-kapan bisa menengok cagar budaya yang kamu kunjungi ini.
very unique and attractive at the same time mbaa..Aku udah kangen eksplorasi lagi, udah ama ngga jalan. jalan nih, terutama ke sekitar kita
BalasHapusSenang deh kalau ada tempat yang marih pakai kaya rakit buat penyeberangan. Jadi danau atau sungainya memang masih terpakai dan bersih. Kalau berkunjung ke daerah lain, wajib banget tahu aturan ya. Jadi ke sana selain Rabu aja
BalasHapuswaaa aku pernah beberapa kali ke garut tapi belum sempet mampir ke lokasi ini nih, jadi penasaran pengen mampir ke candi cangkuag juga deh nanti
BalasHapus