[Cerpen] Memahat Janji di Rinjani

       “Aku hanya ingin bercerita pada rinai hujan yang datang di keremangan, pada kabut yang menelikungi pemandangan, pada kuncup-kuncup cantigi yang merah berseri di Plawangan, juga  pada edelweis yang tersembunyi dibalik jurang-jurang”
 
          Kabut semakin pekat menelikungku dengan kebimbangan yang sangat. Akankah Aku menghentikan langkah ini? Sementara badai semakin kencang bergemuruh menampar-nampar dinding tebing yang terjal. Menggemakan kegalauan ke dalam hati seiring dengan ritme jantung yang semakin berdetak cepat. Peluh pun tak lagi bercucuran karena luruh terserap hawa dingin yangmembekukan.

            Aku menghela nafas panjang. Pyuh…bayang-bayang seseorang selalu datang menghantui. Mengintai menembus alam sadarku. Menguntit mengikuti langkah-langkahku yang semakin meninggi. Berpuluh-puluh helaan nafas panjang telah kulakukan namun semakin lama peristiwa itu semakin berkelebatan muncul dan menyakitkan. Sepanjang perjalanan menuju puncak gunung ini, tubuhku berguncang hebat. Tangisan terhambur pilu, walau air mata sudahlah mengering sejak satu jam yang lalu. Menangis, menangis dan terus menangis. Melepas sedih yang menghimpit ruang-ruang di sanubari. Untung saja aku hanya sendiri melewati jalur curam ini.


            Sebuah email, serangkaian tulisan dari  seseorang yang telah mengakhiri hubungan kasih denganku berkelebatan memenuhi benakku. Email itu dikirim 3 bulan yang lalu namun terus menerorku setiap saat. Aku mencoba berdamai dengan peristiwa itu, melupakannya dengan terus mendaki dan mendaki gunung. Menyalurkan energi kemarahan, kekecewaaan, dan sakit hati dengan melepasnya di ketinggian. Di puncak-puncak gunung yang beku, dingin, namun romantis.
           
            Dear My Savanna,

            Mungkin ini akan menolongmu untuk membuat suatu keputusan.

            Apakah kamu mempunyai pandangan tentang siapa saja yang sangat berarti bagimu?Bahwa ada seorang pria yang mencintai dua wanita pada saat bersamaan tetapi ia tak tahu mana yang lebih  ia cintai. Seseorang memberitahu dia. Tanyakan pada dirimu sendiri pertanyaan ini. Saat kamu sedih, wanita mana yang ingin kamu berbagi kesedihan dengannya? Kalau kamu memikirkan wanita itu pertama kali, maka dialah yang lebih kamu cintai.

            Ada banyak orang dimana kamu dapat berbagi kesenangan yang kamu punya, namun bagaimana pun juga tidak banyak orang yang mau berbagi beban kesedihan hidup denganmu. Pada siapa kamu menceritakan kesedihanmu, maka dia yang akan menjadi seseorang yang dekat dan paling mengerti akan dirimu.

            Tentu saja Aku senang jika ada orang yang mau berbagi kebahagiaan denganku. Dan ketika Aku bersedih, dia tetap berada di sisiku dan menetramkan kesedihanku. Dengan begitu aku dapat percaya bahwa wanita tersebut menempati posisi penting di hatiku. Kalau Kamu sedih siapa yang pertama kali kamu fikirkan?

Kini, Aku memanggilmu teman! Kata yang singkat, terlalu banyak perasaaan di dalamnya. Selama bertahun-tahun jalinan ini terhubung dan sekarang aku hanya ingin mengisinya dengan tali persahabatan.

Di setiap hubungan percintaan tentu akan  menemukan muaranya. Sementara aku hanya ingin bermuara pada satu wanita. Dan kamu adalah delta yang pernah kujumpai sesaat sebelum mencapai muara itu.

            Semoga keputusan ini membuatmu lebih mengerti akan sikapku belakangan ini.

            Salam,

            Ben


            Tak kuasa menahan tangis, mataku mulai mengembun. Email itu seperti menamparku lalu melemparkanku ke sebuah jurang yang curam. Benarkah? Benarkah dia memutuskan hubungan kasih denganku karena wanita lain? Wanita yang tiba-tiba muncul di kehidupannya dan telah menyingkirkan Aku dari hatinya hanya dalam beberapa bulan saja? Wanita yang menurutnya selalu ada di sampingnya saat ia senang dan sedih. Tidak seperti Aku yang jauh di sebrang pulau, terpisah lautan beratus-ratus mil jaraknya, yang tidak melihatnya setiap saat,  dikala ia senang pun dikala ia bersedih.

            Perlahan rasa sakit itu membawa lamunanku melayang pada awal-awal pertemuan dengannya. Di sana, tepat satu tahun yang lalu, di Gunung Kerinci. Di sebuah titik tertinggi Pulau Sumatera, Aku dan dia berjabat tangan saling mengucapkan selamat karena hampir bersamaan menjejakkan kaki di titik ketinggian 3804 meter di atas permukaan laut. Walau tidak mengenal satu sama lain, kami lekas menjadi akrab dan tiba-tiba saja begitu dekat. Berbagi tawa sambil memandang bersama matahari terbit di tepi cakrawala. Menyongsong pagi dengan jepretan kamera, melompat, benyanyi, dan berlari-lari. Bahkan mengikrar janji tahun depan tepat di tanggal pertemuan itu akan mendaki bersama ke Gunung Rinjani di Pulau Lombok.

            Dan di sinilah Aku setahun kemudian. Tersaruk-saruk di kerasnya medan pasir Rinjani. Bukan membawa harapan dan kebahagiaan namun membawa luka dan kepedihan yang sengaja ingin kuadukan kepada pelukan alam. Yang ingin kukalungkan kepada tingginya gunung-gunung dan tebing-tebing yang terjal agar semua kesedihan ini tak lagi menjadi beban yang menggangu masa depanku.

            Jarak pandang semakin menipis hanya kurang dari dua meter. Aku hanya bisa berjalan mendaki perlahan dengan badan condong ke depan. Dua langkah naik, satu langkah turun. Empat langkah naik, dua langkah turun. Dalamnya pasir vulkanik membuat langkah seakan tak pernah berubah. Namun perlahan seiring kabut yang mulai menebal aku tiba di puncak tertingginya.

            “Ini puisi untukmu Vanna, kamu baca di puncak sana saja ya.” Kata Inggit subuh tadi, sambil menunjukkan jemarinya ke arah puncak Rinjani yang hanya tampak siluet.

“Ini bukan puisi karanganku, tapi puisi karya temanku, pas kubaca kayaknya cocok buat kamu yang lagi galau habis!” lanjutnya sambil tersenyum lalu menyelipkan secarik kertas ke dalam kantong daypack-ku. Awalnya, Kami beriringan berjalan, susul menyusul. Namun perlahan terpisah-pisah karena perbedaan kecepatan dan kemampuan beradaptasi dengan terjalnya medan pendakian. 

Secarik kertas yang terselip di daypack kubuka perlahan. Sebuah puisi tanpa judul.

                        Hanya ingin berdiri di sisimu
                        Sampai kurasa pahitnya luka
                        Kerap kucoba bertahan dalam badai dingin
                        Dengan sisa keyakinan yang meletihkan
                        Karena keinginan sederhana selalu mengikuti
                        Mengintai di antara lembah pinus dan misteri kabut

                        Hasrat itu kubisikkan untuk puncak tertinggi
                        Ungkapan sepi seorang pemimpi di musim ini
                        Kutitipkan buku harian pada batu-batu
                        Dengan serakan jiwa yang kujalin menjadi tarian hidup

                        Aku tak ingin terbang sendiri
                        Dalam sebentuk dongeng pengantar tidur,
                        Sebelum syair-syair menjadi usang               
                        Dalam satu keputusasaan yang panjang

            “Inggiiiit…..” Aku berteriak memanggil Inggit. Namun hanya gema yang terulang menembus kepekatan kabut siang. Tangisku pecah seketika. Betapa puisi ini mewakili seluruh kegalauanku saat ini. Seluruh kesedihan-kesedihan yang kututup rapat dari teman-temanku yang lainnya dan hanya kubagi kepada Inggit saja. 

            Beberapa saat kemudian Kris teman satu tim pendakianku datang. Dengan wajah yang sumringah ia segera menyalamiku. Mengucapkan selamat karena kami berdua telah mencapai puncak terlebih dahulu dibanding yang lain. Namun sesaat kemudian kami hanya duduk mematung. Termenung menyimak suara alam yang terasa begitu megah namun sekaligus menakutkan. Deru badai yang menghempas tebing-tebing bagaikan nyanyian alam yang semakin lama semakin mengeras dan mengganas.

            Kris mencuri-curi pandang ke arahku.  Menatap heran kepada wajahku yang masih berderai air mata. Ia lalu mendekat. Mengulurkan slayer merah dengan tangan kanannya.

            “Kamu baik-baik saja kan?” Tanyanya. Aku menggeleng perlahan. Sungguh suasana seperti ini membuat hatiku bertambah pedih dan teriris. Kenangan akan pertemuan dengan Ben di puncak gunung semakin berkelebatan. Dan jujur Aku sedang tidak baik-baik saja.

            “Kalau boleh berbagi, kamu bisa cerita tentang apa saja. Aku rela jadi tong sampah kok.” Canda Kris. Matanya yang bening begitu tajam menatapku. Sial, kenapa hati ini terasa begitu damai melihat sorot matanya itu.

            “Maaf, untuk saat ini Aku belum bisa cerita”. Jawabku pelan sambil menunduk malu.10 menit berselang Rimbas dan Bimo teman satu rombongan pendakian dengan kami datang disusul beberapa kelompok pendaki lainnya. Semua terlihat sangat kelelahan. Medan pasir yang curam serta kabut tebal ternyata cukup ampuh untuk membuat nyali dan semangat para pendaki drop seketika. Namun wajah-wajah mereka terlihat bahagia karena telah menginjakkan kaki di puncak. Setengah jam kemudian barulah Inggit dan Akil  dua orang terakhir dari tim pendakian kami tiba. Tak kuasa menahan haru, Aku segera menyongsong Inggit. Memeluknya dan berbisik untuk berterima kasih atas puisinya.

            Kabut semakin menebal menyelimuti seluruh areal puncak. Sementara kilat mulai menyambar-nyambar begitu dekat. Jarak pandang semakin merapat dan ruang gerak di puncak semakin menyempit. Aku tetap terdiam. Sementara yang lain sudah beranjak menyisir gigiran puncak yang memanjang.

            “Vanna, ayo kamu jalan duluan.” Kris berdiri di hadapanku. Kini ia yang bertugas menjadi sweeper, orang terakhir dari tim kami yang memastikan tidak ada anggota tim yang tertinggal di belakang.

            “Maaf Kris, Aku masih menunggu seseorang di sini. Kalian turun duluan saja.” Jawabku pelan.

            “Apa? Kamu mau nunggu di sini dalam cuaca seperti ini? Gila kamu bisa-bisa kamu gosong terkena petir. Kris melotot menatapku.

            “Aku di sini sampai jam 12 siang saja gak lama cuma 1 jam lagi kok.” Aku ngotot bertahan di puncak.

            “Ya ampun nih cewek bandel amat ya, ya udah deh aku temenin. Ntar kamu kenapa-napa siapa pula yang mau tanggung jawab.” Kris akhirnya mengalah.

            Setengah jam berlalu, tak ada tanda-tanda seorang pendaki pun yang akan datang. Kris menatapku iba. Aku begitu gelisah. Entahlah menurut feeling-ku Ben akan datang ke tempat itu.

            “Kamu sebenarnya lagi nunggu siapa sih, cowok kamu ya?” Tanyanya penasaran. Aku menggeleng.  
            “Mantan.” Jawabku pendek. Kris hanya melongo mulutnya membentuk hurup O.  Kami sedang termenung ketika sebuah gelegar petir terdengar memekakkan telinga.

            “Tiaraaaap,” teriak Kris. Sebuah kilat mendatar menyambar tepat beberapa centi di atas kepalaku. Kaget disertai syok Aku dan Kris langsung tiarap, namun belum hilang kekagetan itu, tiba-tiba hujan es menderas berjatuhan. Mirip gula pasir yang ditaburkan. Bergemeletuk berbenturan dengan bebatuan. Semakin lama hujan semakin lebat. Tidak ada pilihan lain kecuali  kami harus segera cabut meninggalkan tempat itu, kembali ke tenda di bawah sana, di Plawangan Sembalun yang jaraknya sekitar 2-3 jam perjalanan dari puncak Rinjani.   

            Melihat gelagat alam yang kurang bersahabat itu, setengah berlari kami menuruni areal puncak. Walau tetap harus berhati-hati karena di kanan kiri jurang menganga. Belum lagi kabut serta hujan  yang memperpendek jarak pandang.

            Beberapa kelompok pendaki lainnya yang baru saja mendekati puncak terlihat kebingungan. Mereka terhenti di beberapa cerukan batu. Terlihat menunggu hingga hujan reda. Beberapa orang terlihat linglung dengan mata menatap tanpa berkedip. Badan mereka kaku tampak seperti robot.

            “Hei kalian gak turun ya?” Tanyaku pada mereka.

            “Lagi nunggu hujan reda Mbak. Kami tetap akan ke puncak nanti.” Jawab seseorang di antara kerumunan pendaki yang berteduh di cerukan batu yang kami lewati.

            “Puncak bukan segalanya Bung, lihat teman-temanmu sudah hampir hipotermia begitu.” Aku menatap ke arah kerumunan pendaki yang menggigil kedinginan. Huh dasar egois fikirku. Terkadang obsesi seseorang menuju puncak gunung kerapkali mengabaikan faktor-faktor keselamatan nyawa teman-teman pendaki lainnya.

            Seseorang berdiri menyeruak dari kerumunan pendaki yang tadi berteduh di cerukan batu. Wajahnya basah kuyup oleh derasnya air hujan. Aku yang belum awas masih belum mengenalinya. Namun segera tersadar ketika seseorang yang berdiri itu memekik dan memanggil namaku.

            “Savanna, kemana saja dirimu?” Tanyanya ia seperti mengenaliku. Aku mendekatinya perlahan lalu menutup mulut karena hampir saja berteriak kaget.

            “Ben? Kamukah itu?” Aku menatapnya gembira namun tiba-tiba aku tersadar bahwa dia sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi denganku. Rasa  itu harus kubuang jauh-jauh walau tak dapat kupungkiri bayangnya kerap menghantui setiap gerak dan langkahku di gunung ini.

            “Iya, Kamu kemana aja?” Jawab Ben canggung. Matanya yang bulat berkilat-kilat oleh butiran air hujan. Namun belum sempat aku menjawab, sebuah suara memanggilnya untuk kembali.

            “Siapa sih Ben, teman kamu ya?” Tanya seorang perempuan terdengar samar di keriuhan hujan. Ben membalikkan badannya. 

            “Bukan, bukan teman tapi Savanna yang kuceritain tempo hari.” Jawab Ben datar. Sebuah keributan terjadi di cerukan tempat Ben dan kawan-kawannya berteduh.

            “Ben cepat ke sini si Ria pingsan nih.” Sebuah suara memanggil Ben.

            “Vanna, Aku mau bicara. Tapi nggak di sini, situasinya kurang tepat, tunggu Aku nanti sore di Plawangan Sembalun ya.” Cerocos Ben sambil segera berlalu. Aku hanya mengangguk lalu secepat kilat berlalu.

            “Ria ayo bangun Ria!” Kawan-kawan Ben mengguncang-guncangkan tubuh seorang perempuan yang terduduk kaku menyandar ke dinding batu. Matanya terpejam. Ponco yang dikenakannya terlihat kusut dan basah kuyup. Ben segera menghampirinya, ia tak tampak kaget.

            “Segera bawa turun, nanti kalau kenapa-napa kalian bakal nyesel.” Teriak Kris yang datang di belakangku.

            Beberapa orang dari kelompok Ben tampak berdiskusi. Mereka akhirnya memutuskan untuk turun semua dan terpaksa harus bergantian menggendong Ria karena dia belum tersadar juga.

            Rombongan Ben baru tiba di Plawangan Sembalun menjelang sore. Aku dan Inggit yang tiba terlebih dahulu segera menyambut mereka. Walau tidak begitu kenal namun kami merasa perlu menolong satu-satunya perempuan di rombongan itu. Tubuh Ria dibaringkan di tenda. Aku dan Inggit segera mengganti pakaiannya yang basah kuyup. Membaluri perut dan punggungnya dengan minyak kayu putih. Melapisinya dengan pakaian ganti yang kering dan jaket  North Face lalu menyelimutinya dengan sleeping bag dua lapis. Beberapa saat Ria tampak siuman matanya berkaca-kaca.

            “Makasih ya! Sudah menolongku.” Katanya sambil tersenyum.

            “Gak usah difikirkan, sudah kewajiban kita kan saling tolong-menolong. Jawabku sambil menyangga kepalanya ketika meminumkan teh hangat ke mulutnya.

            “Kamu Savanna kan? Semoga kamu mendapatkan lelaki yang lebih baik dari Ben ya.” Ria menatapku lugu. Sudut-sudut matanya tampak  mendanau.
            “Memangnya kamu tau Aku siapanya Ben?” Tanyaku keheranan.

            “Tentu saja tahu. Aku tahu kamu sebaik Ben mengetahui kamu. Dia cerita tentang semuanya. Dari awal bertemu Kamu di Gunung Kerinci hingga memutuskan kamu melalui email.” Jawabnya. Dug… jantungku berdegup kencang. Ada luapan emosi yang mendadak memenuhi ruangan hati ini.

            “Semenjak keluar SMA lima tahun lalu kami sudah saling mencintai. Dan pendakian ke gunung ini adalah hadiah darinya untuk lima tahun kebersamaan kami. Walau di pertengahan tahun ia mulai mengkhianatiku, tapi Aku tidak marah. Aku tetap menunggunya untuk kembali karena Aku terlanjur mencintainya.” Lanjutnya lagi. Mendadak ada yang mengembun di mataku namun sekuat tenaga Aku tahan. Ah, akhirnya Aku tahu perempuan yang telah merebut hati Ben itu.

            “Semoga hubungan kalian berakhir indah, maafkan Aku ya telah beberapa saat mengganggu hubungan kalian.” Jawabku sambil menggenggam tangannya yang sedingin es.

            Melihat kondisinya sudah berangsur membaik Aku dan Inggit berpamitan. Beberapa orang temannya kemudian masuk sambil mengucapkan terima kasih kepada kami.

            Dari kejauhan kulihat Ben dan teman-temannya tengah sibuk memasak mempersiapkan makan malam. Sedangkan teman-teman satu timku tak kalah sibuknya mereka sedang memanaskan kopi susu dicampur jahe di kompor Trangianya Kris.

            “Ini Van, minum dulu.” Kris memberiku secangkir kopi susu yang menguarkan aroma jahe.

            “Cewek tadi udah baikan ya?” Tanya Kris. Aku menggangguk perlahan sambil duduk di mulut tenda. Hancur rasanya mengetahui siapa sesungguhnya yang membuat Ben memutuskanku. Perempuan itu memang cantik, kulitnya putih, matanya bulat, dan berhidung mancung sedangkan Aku? Ah, pantas saja Ben memutuskan Aku demi perempuan itu. Walau kata Inggit masih lebih cantik Aku, tetap aja hatiku menahan rasa cemburu yang luar biasa. Mungkin saja Inggit berkata begitu karena ingin menghiburku. Ada perih yang kian menganga namun Aku yakin seiring berjalannya waktu luka itu akan sembuh dengan sendirinya. Yang kubutuhkan hanyalah berlalunya waktu.

            Malam merayap senyap. Bintang-bintang mulai bermunculan. Aku terduduk di sebongkah batu besar diantara hamparan tenda-tenda yang temaram diterangi lilin, portable lamp dan lampu senter. Hatiku sedikit terhibur dengan cuaca yang mulai bersahabat setelah guyuran hujan tadi  siang hingga sore. Khusuk berdo’a dan berharap semoga cuaca tidak berubah hingga esok saat kami melanjutkan perjalanan menuju Danau Segara Anak.

            “Sendirian saja?” Seseorang menyapa dari arah belakang. Aku membalikkan badan. Ben berdiri tegak. Dug…jantungku seperti tercerabut dari tempatnya. Ada gemuruh yang ingin segera kutumpahkan ke hadapannya.

            “Eh, Iya. Oya Ben, Aku ingin bertanya sesuatu, tolong dijawab. Mengenai email itu….” Kataku terputus di tengah-tengah. Namun belum pun sempat Aku meneruskan ucapanku tiba-tiba sebuah suara memanggil Ben dari tendanya.

            “Ben, kesini sebentar!

            “Duh ganggu aja tuh si Dion.” Gerutu Ben. Aku hanya menghela nafas panjang,  rupanya rasa penasaranku masih akan bertahan hingga entah kapan.

            “Van, tendamu sebelah mana, nanti Aku ke sana?” Ben menatap lekat ke arahku. Sial sorot matanya telah menusuk hingga ke ulu hatiku. Aku mengarahkan telunjuk ke arah utara.

            “Tuh sebelah sana di bawah pohon cemara, tenda doom yang  warnanya  merah.” Jawabku sambil berdiri.Ben segera berlalu. Bayangannya segera menyelinap ke balik tenda-tenda.

            Gelap semakin beranjak pekat, suara gitar dan harmonika berpadu di keheningan malam yang tenang. Lagu 11 Januarinya Gigi  mengalun dari tenda lainnya di ujung Plawangan Sembalun. Seperti mengiringi tidurku yang kurang lelap. Beberapa kali Aku terbangun. Aku yakin tak salah dengar, Ben tadi bilang akan mendatangi tendaku.

            “Ben, kenapa tidak datang?” Bisikku pelan. Hatiku kian resah, bolak-balik keluar masuk tenda. Sedangkan Inggit yang sudah jatuh tertidur beberapa jam lalu tampak lelap dalam sleeping bag-nya. Tak merasa terganggu dengan berisiknya resleting tenda yang terus-terusan kubuka dan kututup.

            “Vanna….tidurlah! Besok kita akan berangkat ke danau pagi-pagi sekali.” Suara Kris dari tenda sebelah. Aku mendadak menghentikan gerak tanganku yang sedang meraih resleting tenda. Terpaksa Aku beringsut ke samping Inggit dan merebahkan badan.

            Pagi telah menjelang. Begitu membuka tenda Aku terlonjak kaget. Nun jauh dibawah sana terbentang Danau Segara Anak yang berwarna hijau tosca. Semenjak datang ke Plawangan danau ini selalu tertutup kabut dan baru tampak jelas di pagi ini. Semua mata memandang takjub. Rimbas, Bimo, dan Inggit bahkan sudah sejak tadi termenung di tepi tebing yang menghadap ke arah danau rupanya sudah tidak sabar ingin segera turun. Kris dan  Akil bahkan sudah selesai melipat tenda. Hanya menyisakan beberapa mangkuk plastik yang berisi sarapan kami.

            “Pagi Vanna! Lelap banget nih tidurnya putri yang nunggu-nunggu pangerannya gak datang-datang.” Canda Kris. Mukaku memerah seketika. Duh kenapa sih Kris ini, selalu awas akan setiap gerak-gerikku. Aku hanya berguman dalam hati sambil merapikan isi tenda.

            “Halo met pagi, Ben sudah bangun?” Kataku kepada seorang yang sedang sibuk menyiapkan sarapannya. Aku ingat dia yang kemarin bergantian dengan Dion membopong Ria dari puncak Rinjani.

            “Ooh belum, belum bangun, ada pesan?”

            “Mmm….gak ada, bilang aja tadi Vanna nyari gitu. Makasih ya” Aku berlalu pergi. Mendadak separuh semangatku menguap entah kemana. Aku berjalan perlahan mengikuti rekan-rekan satu timku yang sudah beranjak pergi menuju Danau Segara Anak. Menunduk memperhatikan Sepatu Gunung yang setia menjadi teman dalam setiap perjalanan mendaki gunung seperti ini. 

            Sore yang sendu di Danau Segara Anak. Kami berenam duduk santai di depan tenda yang menghadap ke tepi danau. Menyaksikan para pendaki lainnya yang hilir mudik beraktifitas. Air danau yang berwarna hijau tosca membuat takjub siapa saja yang berada di sana. Begitu lembut dan membius untuk berlama-lama memandangnya. Gunung Baru jari yang memerah di tepi danau menambah berwarnanya lukisan alam di sini. Tebing-tebing puncak yang mengitari danau tampak kokoh menjaganya.

            Aku memandangi tenda-tenda di sekitar danau. Indah berwarna-warni. Tiba-tiba pandanganku tertuju pada sebuah tenda di ujung sebelah kiri deretan tenda-tenda yang menghadap ke tepi danau. Tak mungkin salah, tenda itu begitu lekat dalam ingatan. Tenda dome berwarna kuning  tepat di bawah pohon pinus diujung camping ground.

Kugamit tangan Inggit, menyeretnya agar ia mengikutiku. Aku mendekati tenda itu dengan degup jantung yang semakin tak beraturan. Lamat-lamat kudengar gelak tawa seorang perempuan dari dalam. Aku dan Inggit sempat menghentikan langkah namun rasa penasaran begitu menggebu-gebu hingga tetap menyeret langkahku untuk terus mendekat.
             
Pintu tenda tidak diresleting, sedikit terbuka dan tergerak-gerak oleh angin yang lumayan kencang. Aku dan Inggit mendoyongkan badan sambil merendahkan kepala ke arah pintu tenda.

            “Halo ada orang ya….“ Teriak Inggit.

            “Cari Siapa?” Suara seorang perempuan menjawab. Inggit melirikku cepat.

            “Yakin ini? Bisik Inggit ke telingaku. Aku mengangguk perlahan.

            “Masuk aja!” Suara serak seorang laki-laki mengagetkanku. Tangan kiriku menyingkap pintu tenda dan…. Aku terhenyak, menahan nafas sambil refleks menutup mulut. Di dalam tenda kuning itu Ben sedang  duduk telanjang dada. Seorang perempuan cantik sedang memijit-mijit punggungnya.

            Aku segera melepas pintu tenda. Berbalik arah dan berlari sekencang-kencangnya. Air mata yang sejak malam tadi tertahan telah tumpah tanpa terbendung lagi. Inggit segera mengikutiku.

            Tak menyangka yang datang adalah Aku, Ben terlihat kaget dan segera keluar tenda. Ia segera mengenakan T-shirtnya lalu berlari menyusulku. Menjejeri langkah kami yang berlari menjauh dari tendanya.

            “Savanna, Savanna, tunggu! Tunggu!”

            “Abang Ben….siapa mereka?” teriak perempuan yang tadi bersama Ben.

            “Bentar ya Din. Abang ada perlu dulu.” Suara Ben terdengar samar.

            “Sudahlah Ben, stop! Stop! Jangan ikuti kami!” Bentak Inggit.

            “Hey, Aku cuma mau bicara sama Vanna, bukan kamu Nggit!

            “Sama saja, Kamu harus berhadapan denganku dulu. Sudahlah mau apalagi? bukankah kamu yang sudah mutusin dia? Sudah cukup Kamu membuat dia menderita. Inggit terlihat garang, lalu menunjuk-nunjuk muka Ben dengan amarah yang luar biasa. Aku terlanjur syok, perempuan itu bukan Ria. Lalu dimana dia sehingga Ben berani-beraninya menghianatinya kembali. Berdua-duaan di dalam tenda bersama perempuan lain.

            “Vanna, dengerin Aku dulu.” Ben berteriak sekencang-kencang. Mengagetkan semua orang yang ada di sekitar danau. Karena takut ia berteriak lagi, Aku mendekatinya.

            “Kalau kamu bertanya perempuan tadi itu siapa, dia itu adikku. Dia memang sudah di sini sejak dua hari yang lalu. Menunggu pulang bareng Aku. Tadi Aku lagi minta dikerokin. Kalau gak percaya ayo ikut Aku ke tenda.” Tanpa menunggu persetujuanku Ben segera menyeret tanganku menuju tendanya.

            “Nih kenalin adik Aku, namanya Indri.”  Kata Ben.

            “Terus Ria bagaimana?” Aku menatap bingung ke arah Ben.

            “Kamu tahu, Ria itu sudah lama ngejar-ngejar Aku, bahkan semenjak SMA. Dia tega nge-hack email Aku dan menghapus seluruh kontak di hapeku. Kalau dia tidak mengancam mau bunuh diri Aku tak kan pernah mau temenan sama dia lagi. Dia juga memaksa ikut mendaki ke Rinjani. Tadi malam dia sudah nge-drop karena overdosis jadi teman-teman melarikannya segera ke Desa Sembalun, di sana dia akan mendapat perawatan. Percayalah Vanna….. Demi bertemu kamu Aku rela tidak jadi berangkat ke Inggris untuk melanjutkan studiku.” Ben panjang lebar menerangkan. Sesekali ia menatap adiknya seperti meminta bantuan untuk meyakinkan Aku. Indri tampak mengangguk-anguk tanda menyetujui setiap perkataan Ben.

            Aku masih terlalu syok dengan berbagai kejadian, namun menatap sorot mata Ben yang bening Aku yakin tidak ada kebohongan di sana

            “Maafkan Aku ya Ben, berarti kamu tidak pernah memutuskan Aku kan?” Aku menatapnya. Ben menggelengkan kepalanya.

            “Bagaimana Aku memutuskanmu Vanna, jika di setiap langkahku selalu terbayang wajah kamu” Ben menatap lekat ke arahku. Aku hanya berurai air mata bahagia.


            “Rinjani, terima kasih.” Ucapku lirih sambil memandang Danau Segara Anak yang beriakriak tertiup angin.

***
Cerpen di atas terbit dan termasuk dalam antologi pilihan di buku berjudul Jatuh di Hatimu yang covernya saya cantumin di atas. Namun hingga saat ini belum satu eksemplar pun bukti terbitnya dikirim penerbit. Entahlah, sudah bosan mengingatkan penyelenggara dan memention penerbitnya di twitter.  

7 komentar :

  1. keren cerpennya mba...saya suka karena seolah2 sedang berada di rinjani sebab deskripsinya jelas...aih kapan ya bisa naik gunung....mba ajak2 donk :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. hihi makasih Uni Ana, ini ada kisah sayanya juga tapi hanya sekian persen saja.

      Hapus
  2. Wah cerpennya bagus mba. Dipanjangin aja jd novel. Itu penerbit benar2 ga ngasih bukti terbit ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Mbak. Nggak tau nih penyelenggaranya juga nggak ngabarin lagi. Terbit pun nggak bilang-bilang. Kayaknya ini yang temannya Nyi PeDe itu deh.

      Hapus
  3. Wah, novel rinjani. Berasa ada disana saya Mbak setelah membaca ^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bukan novel mbak ini buku antologi. Dan tulisanku yang ini nyempil di sana.

      Hapus
  4. baca cerpen ini aku bisa berkhayal sedang ada di Rinjani mbak. Sayang banget ya kalau bukti terbitnya belum ada sampai sekarang padahal isinya bagus begini

    BalasHapus

Halaman ini dimoderasi untuk mengurangi spam yang masuk. Terima kasih sudah meninggalkan komen di sini.

Made with by Lina W. Sasmita