Judul:
Touching The Void
Penulis: Joe
Simpson
Penerbit: Kepustakaan
Populer Gramedia
Tebal: 254
halaman
Terbit:
Oktober 2006
Buku Touching the Void. Sumber: goodreads |
“19 Mei 1985. Kemah induk. Embun beku turun lebat
tadi malam. Langit cerah pagi ini. Aku
masih berusaha menyesuaikan diri di sini. Tempat ini sungguh terpencil,
tapi sekaligus menggairahkan; jauh lebih menggairahkan daripada di Alpen – tak
ada rombongan pendaki, tak ada helikopter, tak ada regu penyelamat – Cuma kami
dan gunung-gunung itu…. Hidup terasa lebih jauh bersahaja dan lebih nyata di
sini. Mudah rasanya membiarkan pelbagai peristiwa dan perasaan lewat begitu
saja…” halaman 5.
Buku Touching
the void menceritakan sebuah kisah pendakian gunung yang epik namun mencekam
dan memilukan. Kisah tentang bagaimana bertahan hidup di gunung bersalju yang
nir kehidupan. Dengan bahasa yang penuh sentuhan sastra buku ini berhasil
memenangi Boardman Tasker Award, sebuah penghargaan bergengsi untuk buku-buku pendakian gunung yang bernilai sastra, pada tahun 1988.
Adalah Joe
Simpson dan Simon Yates pada tahun 1985 mereka berdua mendaki Gunung Siula Grande di pegunungan Andes, Peru yang
mempunyai ketinggian 6.344 meter, Di ibukota Peru, Lima, mereka bertemu Richard
seorang petualang yang kemudian tertarik untuk bergabung ikut mendaki namun
hanya sebatas ketinggian yang ia mampu daki saja. Joe dan Simon mengajak Richard
dengan iming-iming melihat pegunungan Andes
dari jarak dekat.
Sisi Barat Gunung Siula Grande. Sumber: Wikimedia |
Gunung Siula Grande
pertama kali dipanjat oleh dua pendaki asal Jerman, Erwin Schneider dan Arnold
Awerzger pada Tanggal 28 Juli tahun 1936 melalui punggung utara. Dan hanya ada sedikit
pemanjatan setelah itu. Tantangan utama gunung ini adalah dinding barat setinggi 1.350 meter yang menciutkan nyali,
dan hingga saat itu mampu mematahkan seluruh upaya pendakian.
Perjalanan mendaki Siula
Grande mereka mulakan dengan cara menaiki bis dalam perjalanan naik turun
lembah sejauh 130 kilometer. Di sepanjang jalan, mereka melihat begitu banyak
nisan untuk mengenang para sopir dan penumpang yang tewas.
Dari perhentian bis,
mereka bertiga berjalan selama dua hari hingga tiba di sebuah lembah. Richard
yang mulai kelelahan menyuruh Simon dan Joe berangkat melanjutkan perjalanan
dan dia akan menyusul semampunya. Dengan tertatih-tatih Richard mendaki morain,
sejenis tumpukan batu, karang, dan kerikil di bagian bawah gunung yang muncul
ketika gundukan es dan salju mencair. Namun karena Richard kelelahan dia turun
dan menginap di kandang babi di sebelah pondok yang dihuni dua gadis dan
sejumlah balita. Dua gadis itu memberi Richard beberapa kentang rebus dan keju
untuk makan malam, serta setumpuk kulit domba yang penuh lubang ngengat untuk
selimut.
Dari kemah utama, Simon
dan Joe melakukan penjajakan pendakian dengan mendaki beberapa punggungan
gunung. Rosario Norte, Punggungan Selatan Cerro Yantauri, dan Seria Norte.
Hingga tiba pada
pemanjatan, mereka dikarunia hari yang cerah. Dengan mengenakan kapak es dan
crampon (sejenis lempengan besi untuk mencengkram es yang dipasang di bawah
sepatu) mereka memanjat dan terus memanjat hingga lewat tengah hari. Di sebuah padang es yang berlereng
terjal mereka berhenti untuk beristirahat dan makan siang. Setelah itu mereka
melanjutkan pemanjatan, namun agak melenceng ke sebelah kanan dimana
jurai-jurai es dan tonjolan salju di atas mereka menjorok keluar sejauh 12 meter. Membuat keberadaan mereka di
bawahnya sangat berbahaya. Karena longsoran salju bisa turun kapan saja.
Setelah 15 jam penuh
pendakian, mereka mendirikan bivak,
semacam tempat berteduh sementara dari terpaan cuaca buruk atau binatang
buas. Mereka menemukan dollop, yakni gundukan salju menyerupai bola golf
raksasa. Beruntung mereka tidak perlu menggali karena bagian bola salju
tersebut sudah bolong/kopong menyisakan ruang untuk mereka berlindung.
Keesokan harinya mereka
melakukan pemanjatan lagi dan menemukan medan
yang sulit berupa jurai-jurai es. Joe berniat menghancurkan jurai es itu untuk
mendapatkan pijakan yang kuat. Dan pada saat ia mengayunkan palunya ia
mendongakkan kepala untuk melihat hasilnya. Sialnya gumpalan es seberat 100 kilogram menghantam
kepala dan pundaknya lalu menghantam Simon yang berada tepat di bawahnya.
Karena insiden itu bibir Joe sobek dan giginya patah.
Tak berhenti di situ
mereka terus memanjat dan harus bergelut melewati galur-galur salju pupur yang
tebal dan rapuh di lereng hingga hampir
jam sebelas malam. Mereka lantas tiba di sebuah celah dan membuat bivak untuk
beristirahat. Suhu yang anjlok hingga minus 20 derajat serta angin yang bertiup
di lereng menyebabkan suhu anjlok lebih
drastis lagi hingga minus 40 derajat celcius. Hal ini membuat
kelingking Joe terkena radang beku atau frosbite.
Keesokan harinya, di hari
ketiga pemanjatan dari kemah induk menuju puncak, Simon dan Joe melakukan
pemanjatan dengan susah payah melalui jurai es dan tebing karang yang ternyata mereka telah lebih dekat dengan puncak. Untuk mengurangi beban, mereka meninggalkan
ransel di sebuah pelana menjelang puncak dan melanjutkan pemanjatan yang hanya
beberapa puluh meter saja jaraknya dari pelana.
Simon tiba di puncak terlebih
dahulu. Jika dilihat dari bawah, puncak tampak seperti jamur raksasa. Tiba di
puncak Joe dan Simon mengabadikan beberapa gambar seperti pendaki pada umumnya.
Namun saat berada di puncak, Simon melihat ada gumpalan awan tebal
bergulung-gulung di Punggung Utara. Karena khawatir hal itu akan memicu badai, mereka
segera turun dan mengambil ransel mereka.
“Kami mengabadikan sejumlah ganbar yang umum dibuat
oleh para pendaki sesampainya di puncak gunung dan makan beberapa potong
coklat. Muncul perasaan antiklimaks yang biasa kualami. Apalagi sekarang? Itu
merupakan lingkaran setan. Jika kau berhasil meraih salah satu impianmu, maka
kau kembali ke titik awal dan tak lama berselang kau akan mengejar impian yang
lain yang sedikit lebih sulit, sedikit lebih ambisius – dan sedikit lebih
berbahaya lagi. Aku tak suka pemikiran macam itu mengarahkan hidupku.” Halaman 46
Setengah jam kemudian,
awan mengurung mereka hingga terperangkap dalam kabut putih. Simon dan Joe
bergerak dengan tersambung tali satu sama lain. Simon bergerak terlebih dahulu di
depan Joe. Dengan jarak pandang yang hanya satu setengah meter, Joe tidak bisa
menyaksikan dengan jelas pergerakan Simon hingga tiba-tiba suara gemuruh datang
menhentak tali yang sedang dipegang Joe. Simon ternyata terperosok dan
menggantung bebas di dinding sisi barat. Setelah sadar ia merayap naik kembali
dan berhasil menemukan jalur punggungan.
Keduanya terus turun
hingga malam tiba. Lantas membuat gua untuk beristirahat. Keesokan harinya
mereka menuruni lereng dan tebing namun hal tak terduga tiba-tiba terjadi. Joe
terperosok jatuh ke jurang dan terbentur dinding hingga kakinya patah.
Lalu setelah itu mereka
bergerak turun dan Simon berkali-kali mencoba menurunkan Joe dengan tali. Pada percobaan terakhir Joe menggantung di
sebuah tebing dan menjadikan beban berat bagi Simon yang lebih dari satu jam
bertahan menahan beban Joe yang melayang di udara dan tidak bisa melakukan hal
apa pun. Keputusan tersulit pun harus diambil, Simon memotong tali, dan
membiarkan Joe terjatuh ke dalam ceruk es yang dalam.
Lantas apakah keduanya
bisa selamat? Sementara Simon pun sama menderitanya. Jari-jemarinya menghitam
dan terkena serangan radang beku. Ia harus berjuang sendirian melewati
gletser, menghindari ceruk-ceruk es dan jurai es yang menonjol keluar
menggantung di bibir tebing.
Lalu bagaimana dengan nasib Joe yang
terjatuh ke dalam ceruk dengan kondisi kaki yang patah apakah akan mampu keluar
dari ceruk tersebut dan apakah akan selamat? Buku ini membuat saya ingin terus
melahap dan menghabiskan hingga tuntas.
Peristiwa yang runut
dengan alur maju, membuat rasa penasaran dengan apa yang akan terjadi
selanjutnya semakin bertambah besar sehingga saya tetap tak berpaling untuk
menyelesaikan buku ini hingga tuntas.
Buku Touching The Void diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan
judul Menyentuh yang Niskala dan diterjemahkan oleh Adiseno.
Buku ini pun telah
diangkat ke layar lebar pada tahun 2003 dengan judul yang sama disutradarai
oleh Kevin Mcdonald, seorang sutradara pemenang piala Oscar.
waaahh semogaa segera difilmkan.. penasaraann...
BalasHapusseru mba bacanyaa...
BalasHapuspengen cari filmnya, sepertinya lebih asik divisualkan, hehe...
Jadi ini film jadul ya mbak, udah 2003 diangkat ke layar lebarnya :' penasaran deh nih :D bukunya kayaknya jugaaa menarik abis :D
BalasHapusTeh Linaaa.. Baca bukunya aja tentang gunung2. Benar-benar gunung addict
BalasHapus