Cerita ini pernah
di-posting di Milis High Camp bulan Juli 2005. Namun gak ada salahnya
deh bila saya tulis ulang di sini.
Catatan Perjalanan Gunung Kinabalu Bagian Pertama
Juni 2005 Saya mengunjungi Gunung Kinabalu yang berada di Sabah Malaysia. Gunung dengan ketinggian 4095 meter di atas permukaan laut ini merupakan satu-satunya gunung berketinggian di atas 4000 meter di Asia Tenggara di luar rangkaian pegunungan jaya Wijaya di Papua Indonesia. Sebagian pendaki-pendaki Luar Negri yang tidak mengetahui Indonesia terutama Papua, malah menganggap Gunung Kinabalu sebagai Gunung tertinggi di Asia Tenggara.Untuk menuju ke Sabah, alternatif jalur transportasi yang saya tempuh adalah melalui Johor di Semenanjung Malaysia. Karena jarak dan jalur transportasinya yang dekat dengan Batam, tempat dimana saya tinggal. Dari Johor selanjutnya Saya menggunakan pesawat terbang tujuan Kota Kinabalu (KK) ibukota Sabah yang terletak tepat di tepi Laut Cina Selatan. Kotanya tidak terlalu luas namun terlihat cantik. Cantik karena begitu bersih dan tertib.
Kota ini berkembang pesat setelah kehancuran yang meluluhlantahkan seluruh kota pada perang dunia kedua. Tidak terlalu banyak peninggalan sejarah di kota ini. Walaupun begitu banyak tempat yang sangat menarik di sini. Salah satunya adalah “Atkinson Clock Tower” sebuah menara peninggalan Kolonial Inggris yang dibangun pada tahun 1905. Dinamai berdasarkan nama seorang kepala wilayah kota pertama yaitu FG Atkinson. Letaknya di sebuah bukit kecil tidak jauh dari Kantor Polisi Sabah (Balai Polis).
Tempat lainnya adalah Museum sabah yang menyimpan berbagai benda peninggalan sejarah suku-suku di Sabah. Sedangkan jika ingin berbelanja maka tak syah rasanya jika tidak mengunjungi Filipino Market. Sebuah pasar yang menjual barang-barang kerajinan dengan harga yang murah. Umumnya barang kerajinan tersebut berasal dari Filipina. Tempat ini sangat menarik karena terletak di sebuah perkampungan yang terbentang di sepanjang tepi laut sehingga tampak mengapung di atas permukaan air. Itulah sebabnya perkampungan ini di sebut kampung air.
Malam telah menyelimuti KK saat saya tiba di sana. Tampak sepi hampir di semua sudut-sudut kota. Tidak seriuh Batam yang keramaiannya 24 jam. KK adalah kota yang tenang dan damai. Malam itu saya menginap di Backpacker Lodge sebuah homestay milik Nyonya Lucy seorang warga keturunan Cina yang pandai berbahasa melayu. Saya mendapati alamat penginapan ini dari peta dan brosur-brosur yang tersedia di sudut ruang kedatangan Bandara. Dengan menaiki taksi bandara, saya minta diantar ke penginapan tersebut. Sengaja memilih tempat ini karena dekat dengan terminal bis yang akan menuju Taman Nasional Kinabalu.
Harga menginap per malam di Backpacker Lodge adalah 18 Ringgit atau setara dengan Rp 45.000. Harga yang tergolong murah bila dibandingkan dengan penginapan lainnya di Kota ini. Tak heran pada saat saya datang saja tempat ini sudah penuh dan ramai oleh para backpacker dari berbagai negara. Ada yang dari Italia, Inggris, Amerika Serikat, dan lainnya.
Dari backpacker Lodge ke terminal bis hanya memerlukan waktu kurang lebih 5 menit dengan berjalan kaki. Di sana terdapat bis-bis besar jurusan luar kota termasuk bis arah Taman Nasional Kinabalu. Untuk sampai ke Taman Nasional kita harus menaiki bis jurusan Sandakan.
Sandakan ialah sebuah kota yang berjarak sekitar 335 km arah timur Kota Kinabalu. Semua kendaraan jurusan ke sana akan melewati Taman Nasional ini. Tentunya dengan suguhan pemandangan hutan tropis yang alami sepanjang perjalanan.
Catatan Perjalanan Gunung Kinabalu Bagian Kedua
25 Juni 2005
Kota Kinabalu – Taman Nasional Kinabalu
Taman Nasional Kinabalu terletak 88 km arah timur Kota Kinabalu, Ibukota Sabah. Taman Nasional ini didirikan pada tahun 1964 dengan tujuan untuk melindungi gunung Kinabalu beserta kehidupan hewan dan tumbuhannya. Dan pada tahun 2000 dinyatakan UNESCO sebagai salah satu dari Tapak Warisan Dunia (World Heritage Site). Taman Nasional ini terbentang seluas 75.370 hektar atau sekitar 753 km persegi dengan Gunung Kinabalu sebagai titik tertingginya. Yaitu 4095 meter di atas permukaan laut. Orang bilang gunung Kinabalu adalah salah satu gunung yang paling mudah untuk didaki di dunia. Walaupun ketinggiannya melebihi 4000 meter, namun akses jalan kesana sangat terpelihara dengan baik sehingga dapat dijangkau oleh berbagai golongan usia.
Pukul 09 lewat 27 menit Saya sudah sampai di persimpangan jalan menuju ke pintu gerbang Taman Nasional Kinabalu. Sopir bis dengan sendirinya menghentikan laju mobil di simpang ini. Ia pun tahu kalau dalam bis ada beberapa orang yang hendak turun di tempat tersebut.
Jalan masuk menuju Kinabalu Park |
Pintu masuk Taman Negara (Kinabalu Park) |
Sebuah papan pengumuman besar (billboard) bergambarkan bunga Bangkai (Raflesia Arnoldi) dan kantung semar (pitcher plant) dengan bertuliskan "Kinabalu Park World Heritage Site" terpampang di persimpangan, sebagai ucapan selamat datang bagi para pengunjung Taman nasional. Mungkin kedua tumbuhan tersebut merupakan icon dari Taman Nasional Kinabalu. " Saya pun sedikit bertanya-tanya bukankah Raflesia Arnoldi itu bunga khas dari Bengkulu?
Saat itu ada 4 orang yang turun dari bis tersebut. Saya, Sarah daanada dan sepasang suami istri dari Inggris. Sarah dan Saya sepakat untuk naik bareng besok paginya. Dia pun bilang kalau ada 2 orang lagi temannya yang akan gabung. Membuat satu tim pendakian memang umum dilakukan terutama untuk meringankan biaya sewa guide. Semakin banyak orang dalam tim maka akan semakin murah biaya yang kita tanggung.
Canada dan sepasang suami istri dari Inggris. Sarah dan Saya sepakat untuk naik bareng besok paginya. Dia pun bilang kalau ada 2 orang lagi temannya yang akan gabung. Membuat satu tim pendakian memang umum dilakukan terutama untuk meringankan biaya sewa guide. Semakin banyak orang dalam tim maka akan semakin murah biaya yang kita tanggung. Dari billboard ke pintu masuk Taman Nasional hanya 3 menit saja.Ongkos masuk 3 Ringgit (Rp 7500). Setelah itu Saya dan Sarah pun mengurus perijinan mendaki. Tempat pertama yang harus dituju adalah bagian resepsionis Sutera Sanctuary Lodges atau sering disingkat SSL. SSL adalah pihak yang berkuasa penuh atas akomodasi di Taman nasional. Baik akomodasi di lokasi kaki gunung maupun yang ada di atas Gunung. Tanpa ada rekomendasi dari SSL maka pendakian pun akan terancam batal karena pihak Taman nasional tidak akan mengeluarkan izin pendakian jika kita belum mendapatkan kepastian menginap di atas gunung nanti.
Billboard tentang Raflesia Arnoldi |
Setelah urusan di resepsionis selesai kita tinggal menunjukkan surat keterangan dari SSL ke petugas Taman nasional yang letaknya masih dalam satu ruangan dengan resepsionis. Di loket petugas, kita harus membayar sejumlah biaya yaitu izin mendaki sebesar 100 Ringgit (250 ribu rupiah), asuransi sebesar 3,5 Ringgit (8750 rupiah) dan biaya sewa guide sebesar 70 Ringgit (175 ribu rupiah). Jumlah total sekitar 173.5 Ringgit. Ooopsss… Saya pun kaget.
"Mmmmm….. Pak boleh tak saya nak gabung dengan pendaki lainnya?" kata Saya dengan bahasa yang campur-campur. "Ooh..boleh..boleh." Kata petugas itu sambil menghitung ulang biaya yang harus Saya bayar saat itu kemudian memperlihatkan kalkulatornya ke arah Saya.
Hostel/Lodge di dalam Kinabalu park |
Totalnya 103,5 Ringgit. Sewa guidenya akan dibayar besok pagi saat tim pendakian sudah terbentuk. Syukurlah, petugasnya kok baik banget ya? Padahal kalaupun mau, dia bisa saja bilang tidak bisa dan Saya harus bayar saat itu juga.
Setelah puas berputar-putar di kawasan Taman Nasional Saya pun menuju penginapan yang lumayan agak jauh dari bangunan resepsionis. Di kawasan ini terdapat sekitar 30 unit penginapan dengan berbagai ukuran. Namun yang paling umum digunakan untuk para pendaki adalah Medang Hostel yang mempunyai 38 tempat tidur dan Menggilan Hostel yang mempunyai 54 tempat tidur. Sedangkan penginapan lainnya biasanya digunakan untuk pengunjung yang membawa keluarganya berlibur. Penginapan-penginapan tersebut jaraknya berdekatan satu sama lain.
Saya ditempatkan di Medang hostel. Harga sewa per malamnya sebesar 12 Ringgit atau sekitar 30 ribu rupiah. Lumayan murah bila dibandingkan dengan unit-unit lainnya. Sedangkan untuk penginapan di gunungnya besok hari, pihak SSL telah menempatkan Saya di Gunting Lagadan Hut atau Pondok Gunting Lagadan yang mencapai ketinggian 3353 meter di atas permukaan laut, sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan penginapan yang umum digunakan yaitu Laban Rata Resthouse yang mencapai ketinggian 3270 mdpl.
Saya sekamar dengan Tasman dan Alaina dari Australia, 3 orang perempuan dan 1 laki-laki dari Thailand yang namanya susah banget dihapal. Sasithip, Jinaphon, Toonsak, dan satu lagi temannya yang tidak sempat memperkenalkan diri. Tasman dan Alaina berencana mendaki besok pagi sama sepertiku sehingga kami pun sepakat untuk bergabung dalam satu tim. Sedangkan Toonsak serta ketiga temannya baru saja turun dari mendaki Kinabalu tadi pagi.
Tasman, Alaina, Toonsak serta Jinaphon menanyai saya cukup banyak tentang gunung-gunung di Indonesia. Mereka antusias sekali menyimak keterangan saya walaupun bahasa inggrisnya rada aa…iii…uuu…ee..ooo perhatian mereka tak bergeming. Sesekali mereka berkata "wow… it's great","wow…I've never heard about it" dan lain-lain yang intinya mah mereka pengen banget ke Indonesia. Malahan Toonsak yang ilmuwan lingkungan di Bangkok itu minta data-data gunung dari ujung barat hingga timur Indonesia. Dan dengan senang hati pula mereka mengundang saya ke Thailand. Aduh…. mau banget tapi bagaimana mungkin ke sononya itu kan gak gratis. Walaupun disananya mereka sudah bilang gratis kemana pun diantar keliling-keliling tetap saja ongkos berangkat dan pulangnya itu. Begitu juga sama Tasman dan Alaina sembari bercanda, "Jadi kapan kamu ke Sidney, Aku akan ajak kamu keliling-keliling ke mana pun kamu mau" huh… memangnya ongkos ke sana gratis gitu?
Malam semakin larut kami pun tertidur pulas ketika tiba-tiba saja jam sebelas lewat tiga puluh menit terdengar suara yang mengagetkan semua penghuni kamar. Cekakak cekikik kayak suara… hiyyyy… brakk… suara gak karuan terdengar dari kamar sebelah. Tasman terbangun lalu pergi ke luar kamar. Terdengar suaranya yang ngomel-ngomel ke tetangga sebelah kamar. Ah rupanya tetangga sedang berantem sambil main lompat-lompatan, pukul-pukulan dan ketawa-ketawa maklum yang berantem cowok sama cewek.
Akhirnya kami pun dapat tidur pulas lagi setelah omelan Tasman yang mujarab. Si tetangga langsung gak bersuara lagi hingga keesokan pagi menjelang. Pagi dengan rasa dingin yang gak karuan. Brrrrrrr……Selimut tebal pun masih saja berasa dingin.
Catatan Perjalanan Gunung Kinabalu Bagian Ketiga
26 Juni 2005
Headquarters – Power Station (Timpohon Gate) – Laban Rata
Di halaman parkir kami bertemu dengan Bart dan Florian. Ternyata sejak dari Kota Kinabalu mereka telah janjian dengan Tasman untuk pergi mendaki sama-sama. Waktu di KK Bart dan Florian juga ternyata satu penginapan dengan kami sewaktu Di Backpacker Lodge Nyonya Lucy.
Karena harga makanan di dalam lebih mahal bila dibandingkan dengan di luar Taman Nasional maka kami pun memilih untuk sarapan di luar. Jadi harus berjalan dulu ke luar pintu masuk dan menyebrang jalan raya. Tepat di sebrang jalan persimpangan ke Taman Nasional tempat perhentian bis terdapat sebuah warung makan yang menjual berbagai macam makanan siap saji.
Ketika masuk ke warung semua mata menatap Saya, Sontak saja Saya keheranan sendiri. Ooopsss…ada apa ya? Mungkin mereka heran melihat Saya cewek berkerudung sendiri bareng bule-bule. Ihh..geer deh. Tapi swear orang-orang di situ terus-terusan menatap Saya. Iyaa percaya....percaya..:D
Tim kami terdiri dari delapan orang. Tasman, Alaina, dan Glenn dari Australia, Bart dari Belgia, Florian dari Swiss, Sarah dari Kanada, Steve dari Inggris, dan Saya sendiri dari …. orang Sabah bilang "orang Indon". Please dech Aku sebel mereka bilang begitu. Saya ini orang Indonesia bukan indon. Gak tahu kayaknya dibilang indon perasaannya gimanaaaaa gitu. Masih mending dibilang Indo daripada indon. Ee..eh….. emangnya keturunan bule? Maunya!
Setelah semua kumpul, Bart kebagian mengkordinir keuangan untuk sewa guide. Masing-masing kami kena 10 Ringgit. Ya Syukurlah, gak kebayang kalo harus bayar sendiri. Pihak Taman Nasional sendiri telah menetapkan harga yang tetap untuk sewa guide. 1- 3 orang sebesar 70 Ringgit, 4-6 orang 74 Ringgit dan 7-8 orang 80 Ringgit. Biaya lainnya yang harus dibayar saat itu adalah biaya transportasi dari Lapangan parkir depan kantor Taman Nasional(Parks Headquarters (HQ)) ke Power Station (Timpohon gate) pulang pergi sebesar 5 Ringgit.
Pagi itu Kami duduk-duduk di halaman parkir sambil menunggu selesainya pendaftaran yang sedang diproses di ruang guide yang letaknya masih dalam satu atap dengan kantor Taman nasional atau Headquarters (HQ) dan Resepsionis (Sutera Sanctuary Lodges). Mungkin mereka menerapkan sistem pelayanan satu atap sehingga pelayanannya pun terbilang bagus. Rapi, teratur, dan cepat.
Di halaman parkir ternyata ramai sekali. Orang-orang hilir mudik ke sana kemari. Dari wajah dan postur tubuhnya mereka kebanyakan orang Eropa. Selain dari mereka tampak juga guide, porter, dan beberapa pendaki dari Semenanjung Malaysia. Beberapa pendaki sibuk membenahi barang bawaan mereka. Sebagian lagi sedang menimbang keril dan daypack di ruang guide. Mungkin sedang mengira-ngira berapa berat beban yang akan dibawa. Ada juga yang sedang luluran suncream, gosok gigi, bahkan menyaring air mentah seperti yang dilakukan Tasman. Ia pun kemudian memperlihatkan botol kecil yang berisi endapan berwarna kuning yang masih beecampur air. "It's iodine". Katanya sambil menerangkan lagi bahwa endapan itu adalah hasil selama dua tahun ia menyaring air. "Bayangkan kalau kita minum ini kita bisa mati " Lanjutnya lagi sambil mengangkat bahunya.
Guide yang bertugas menemani pendakian kami adalah Pak Gampat. Ia tampaknya sudah berusia di atas 40 tahunan. Perawakannya kurus tapi kelihatan kuat. Tidak semua guide mahir berbahasa Inggris. Salah satunya guide kami ini. Sehingga saya pun mendadak bertugas jadi penerjemahnya. Ketika Pakcik Gampat menerangkan tentang aturan dan tata tertib pendakian, semua teman-teman tim malah memandang saya penuh tanda tanya.
Saya bangun pagi-pagi sekali. Setelah mandi kemudian sholat subuh di ruang tengah. Semula agak-agak risih juga karena di tempat tersebut telah ada Jinaphon dan Sasithip yang lagi beres-beres. Namun setelah minta izin pada mereka, saya pun melaksanakan sholat Subuh. Begitu kembali ke kamar, Tasman dan Alaina langsung menanyai "Apa kamu sudah sembahyang Lina?" "Oh..sudah" jawab saya kaget. Rupanya mereka tahu kalau saya harus sholat subuh. "Good," Kata Tasman lagi.
Setelah membereskan semua barang-barang dan juga pamitan kepada yang lainnya, saya, Tasman, dan Alaina segera meninggalkan Medang Hostel. Kami berencana untuk sarapan dulu sebelum nantinya bergabung dengan pendaki lain untuk membentuk satu tim pendakian dan menyewa guide.
Hostel, Lodge, Hut adalah setali tiga uang. Ya tempat nginap-nginap juga. Istilahnya saja yang beda-beda padahal fungsi dan bentuk ruangnya sama. Yakni bangunan dengan beberapa buah kamar, dapur, toilet, dan ruang tengah. Di setiap kamar rata-rata terdapat sekitar 6 atau 8 buah tempat tidur yang dilengkapi pula dengan selimut. Di dapur telah tersedia peralatan masak dan kompor gas. Kalau mau masak silahkan masak apa saja yang jelas alat-alat dapur harus kembali bersih.
Sebelum sarapan saya menitipkan barang-barang bawaan di resepsionis karena tidak ingin membawa beban yang sia-sia ke atas gunung. Pihak SSL menyediakan sebuah ruangan khusus sebagai tempat penitipan barang. Tentu saja tidak gratis. Kita harus bayar sebesar 5 Ringgit atau sekitar 12.500 rupiah per malamnya. Sedangkan di backpack saya hanya tersisa baju hangat, raincoat, mukenah, sarung tangan, senter, kaos kaki tebal, kupluk, kerudung, pakaian ganti, tiga buah apel, sebungkus roti lapis legit, satu botol aqua sedang, sebuah batu vulkanik berukuran kecil dari Gunung Rinjani, dan tidak lupa ketinggalan sahabat kecilku Si Pinky.
Para Guide dan porter Gunung Kinabalu |
Di halaman parkir kami bertemu dengan Bart dan Florian. Ternyata sejak dari Kota Kinabalu mereka telah janjian dengan Tasman untuk pergi mendaki sama-sama. Waktu di KK Bart dan Florian juga ternyata satu penginapan dengan kami sewaktu Di Backpacker Lodge Nyonya Lucy.
Karena harga makanan di dalam lebih mahal bila dibandingkan dengan di luar Taman Nasional maka kami pun memilih untuk sarapan di luar. Jadi harus berjalan dulu ke luar pintu masuk dan menyebrang jalan raya. Tepat di sebrang jalan persimpangan ke Taman Nasional tempat perhentian bis terdapat sebuah warung makan yang menjual berbagai macam makanan siap saji.
Ketika masuk ke warung semua mata menatap Saya, Sontak saja Saya keheranan sendiri. Ooopsss…ada apa ya? Mungkin mereka heran melihat Saya cewek berkerudung sendiri bareng bule-bule. Ihh..geer deh. Tapi swear orang-orang di situ terus-terusan menatap Saya. Iyaa percaya....percaya..:D
Tim kami terdiri dari delapan orang. Tasman, Alaina, dan Glenn dari Australia, Bart dari Belgia, Florian dari Swiss, Sarah dari Kanada, Steve dari Inggris, dan Saya sendiri dari …. orang Sabah bilang "orang Indon". Please dech Aku sebel mereka bilang begitu. Saya ini orang Indonesia bukan indon. Gak tahu kayaknya dibilang indon perasaannya gimanaaaaa gitu. Masih mending dibilang Indo daripada indon. Ee..eh….. emangnya keturunan bule? Maunya!
Setelah semua kumpul, Bart kebagian mengkordinir keuangan untuk sewa guide. Masing-masing kami kena 10 Ringgit. Ya Syukurlah, gak kebayang kalo harus bayar sendiri. Pihak Taman Nasional sendiri telah menetapkan harga yang tetap untuk sewa guide. 1- 3 orang sebesar 70 Ringgit, 4-6 orang 74 Ringgit dan 7-8 orang 80 Ringgit. Biaya lainnya yang harus dibayar saat itu adalah biaya transportasi dari Lapangan parkir depan kantor Taman Nasional(Parks Headquarters (HQ)) ke Power Station (Timpohon gate) pulang pergi sebesar 5 Ringgit.
Pagi itu Kami duduk-duduk di halaman parkir sambil menunggu selesainya pendaftaran yang sedang diproses di ruang guide yang letaknya masih dalam satu atap dengan kantor Taman nasional atau Headquarters (HQ) dan Resepsionis (Sutera Sanctuary Lodges). Mungkin mereka menerapkan sistem pelayanan satu atap sehingga pelayanannya pun terbilang bagus. Rapi, teratur, dan cepat.
Pemandangan gunung Kinabalu dari lapangan parkir |
Di halaman parkir ternyata ramai sekali. Orang-orang hilir mudik ke sana kemari. Dari wajah dan postur tubuhnya mereka kebanyakan orang Eropa. Selain dari mereka tampak juga guide, porter, dan beberapa pendaki dari Semenanjung Malaysia. Beberapa pendaki sibuk membenahi barang bawaan mereka. Sebagian lagi sedang menimbang keril dan daypack di ruang guide. Mungkin sedang mengira-ngira berapa berat beban yang akan dibawa. Ada juga yang sedang luluran suncream, gosok gigi, bahkan menyaring air mentah seperti yang dilakukan Tasman. Ia pun kemudian memperlihatkan botol kecil yang berisi endapan berwarna kuning yang masih beecampur air. "It's iodine". Katanya sambil menerangkan lagi bahwa endapan itu adalah hasil selama dua tahun ia menyaring air. "Bayangkan kalau kita minum ini kita bisa mati " Lanjutnya lagi sambil mengangkat bahunya.
Guide yang bertugas menemani pendakian kami adalah Pak Gampat. Ia tampaknya sudah berusia di atas 40 tahunan. Perawakannya kurus tapi kelihatan kuat. Tidak semua guide mahir berbahasa Inggris. Salah satunya guide kami ini. Sehingga saya pun mendadak bertugas jadi penerjemahnya. Ketika Pakcik Gampat menerangkan tentang aturan dan tata tertib pendakian, semua teman-teman tim malah memandang saya penuh tanda tanya.
Tim Lengkap di Timpohon Gate |
Jalur Tangga |
Para Guide dan porter umumnya adalah suku Dusun dan penduduk sekitar Taman nasional. Beberapa orang diantaranya adalah Profesinal malahan ada yang pernah mendaki Kinabalu lebih dari 700 kali sejak ia berusia 16 tahun. Di sisi lain sebagian orang menilai bahwa guide tidak diperlukan dan tidak berguna. Seorang Guide yang bagus seharusnya mampu memberitahukan tempat-tempat tanaman langka serta pemandangan menarik lainnya. Dan mampu menerangkan segala hal apapun tentang Gunung ini. Sebagian lagi menilai bahwa diwajibkannya pendakian disertai guide tidak lebih dari rasa tanggung jawab sosial Taman Nasional pada penduduk lokal untuk bisa memperoleh manfaat secara finansial dari keberadaannya.
Pak Gampat kemudian membagi-bagikan kertas berisi tentang do(es) and don't(s) alias yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Di antaranya berisi larangan mendaki bagi yang mempunyai penyakit seperti Jantung, hipertensi, asma, radang lambung, anemia, diabetes, epilepsi, radang sendi, hepatitis, kejang, obesitas atau kelebihan berat badan, dan penyakit lainnya yang disebabkan oleh kedinginan, kecapaian, dan ketinggian. Selain itu ia memberikan tanda pengenal yang harus dikalungkan di leher kami dan dikenakan selama masa pendakian. Di tanda pengenal telah tertulis nama masing-masing juga nomor guide yang menyertai kami.
Untuk memulai pendakian Kami menaiki Bis antar jemput dari lapangan parkir HQ ke Power Station. Jaraknya sekitar 4 kilometer dengan waktu tempuh kurang dari 15 menit. Untuk mendaki Kinabalu ada dua jalur yang umum digunakan yaitu jalur Timpohon (Power Station) dan Jalur Mesilau. Namun kami lebih memilih jalur ini karena akses masuk yang langsung dan cepat dari Kota Kinabalu.
Timpohon gate atau Pondok Timpohon adalah titik awal pendakian. Ketinggian tempat ini sekitar 1866 meter diatas permukaan laut. Tidak ada lapangan parkir di tempat ini. Jalan aspal terputus begitu saja. Dari papan Selamat Mendaki kami pun berjalan kaki sekitar duapuluh meter menuju Pondok Timpohon. Di sebelah kanan jalan terdapat papan besar bertuliskan Kinabalu International Climbathon 2004. Di situ ditulis nama-nama pemenang dan rekor kecepatan yang diraihnya. Aku sempat membacanya sekilas. Untuk pemenang pertama laki-laki berasal dari Italia dengan kecepatan 2 jam 45 menit. Sedangkan pemenang wanitanya sekitar 3 jam-an. Lomba lari gunung ini biasa digelar satu tahun sekali.
Di kanan kiri jalan mendekati pondok telah dibangun bangku-bangku tempat duduk melepas lelah para pendaki. Sedangkan di atas pondok terdapat tempat untuk melihat-lihat pemandangan di sekitar situ. Di pondok sendiri telah ada petugas yang melakukan pemeriksaan. Ini adalah sebagai checkpoint pertama sebelum checkpoint selanjutnya di Laban Rata dan Sayat-sayat. Di pondok itupun terdapat warung yang menyediakan makanan seperti mie dan makanan ringan lainnya.
Panjang lintasan menuju puncak sekitar 8,72 Kilometer. Tiap setengah kilometer ditandai dengan sebuah papan beserta peta petunjuk jalur dan shelter. Dari Timpohon Hingga Laban rata terdapat 7 buah shelter masing-masing berjarak tempuh setengah hingga satu jam perjalanan. Shelternya terpelihara dengan baik. Tidak ada coretan dan sampah. Tempat sampah berikut plastiknya telah disediakan disekitar shelter. Tangki-tangki air bersih pun tersedia di setiap shelternya. Jadi kalau kehabisan air tak perlu susah-susah mencari air cukup dari tangki itu saja.
Vegetasi dari Power Station hingga ke Shelter 3 (Pondok Lowii) adalah hutan tropis dengan pohon-pohon tinggi dan tumbuhan yang sangat asri sekali. Jalur yang dilalui pun sangat bagus dengan tangga-tangga kayu yang berpatok besi sebagai penahan. Lebar jalur bisa dilalui oleh 4 hingga 5 orang sekaligus. Parit-parit kecil dibuat di pinggir jalur sehingga kalau hujan turun maka jalur tidak berubah menjadi jalan air.
Shelter pertama bernama Pondok Kandis dengan ketinggian 1981 m. Shelter 2 ( Pondok Ubah) 2059 m Shelter 3 ( Pondok Lowii) 2286 m dan Shelter 4 (Pondok Mempening) 2518 m. Masing-masing berjarak tempuh setengah hingga satu jam.
Dari pondok Lowii ke atas vegetasi mulai berubah. Pohon-pohon mulai mengecil namun usianya ada yang mencapai ratusan tahun. Hutan yang kami lalui banyak ditumbuhi Rhododenron yang berbunga warna warni. Diselingi kepakan burung-burung kecil yang melompat bebas ke sana-kemari.
Saya dan Glenn berjalan cukup pelan. Saya ingin menikmati sekali perjalanan ini. Menikmati indah dan sendunya hutan yang alami.
"Mr.Glenn Kita jalannya pelan saja ya?" Kata Saya membujuk Glenn.
Ia menganggukkan kepala. Sesekali Saya berbicara kepadanya menggunakan bahasa Indonesia karena ia cukup mengerti. Ia bilang pernah
belajar bahasa Indonesia 20 tahun yang lalu di Sidney. Ya ampun...
Untung masih ada kata-kata yang nyangkut
Kami pun beristirahat sejenak di Shelter 5 ( Layang-Layang) 2621 m. Di tempat ini terdapat pondokan khusus pegawai Taman Nasional. Kira-kira 1 jam setengah dari Layang-Layang Kami pun sampai di Pondok Paka 3053 m. Shelter terakhir yang ada di kilometer 5,5 setelah sebelumnya melewati shelter 6 (Pondok Villosa) 2942 m. Pemandangan ke arah puncak pun semakin jelas terlihat. Dari lapangan parkir HQ terdapat sekitar 20 titik tertinggi berjejer di atas Gunung Kinabalu sedangkan semakin ke atas titik-titik tertinggi tersebut semakin berkurang. Ada sekitar 8 buah puncak yang selama ini dikenal. Dengan puncak Low sebagai titik tertinggi 4095 meter di atas permukaan laut.
Nama Kinabalu sendiri adalah sebuah misteri. Namun Asal kata kinabalu yang populer di masyarakat berasal dari bahasa Kadazan "Aki Nabalu" yang berarti tempat kematian yang dihormati/dipuja". Penduduk suku Kadazan percaya bahwa arwah nenek moyang mereka bertempat tinggal di puncak Gunung Kinabalu. Cerita lainnya mengatakan nama gunung ini berasal dari kata "Kina" yang berarti Cina dan kata "Nabalu" yang berarti janda. Legenda suku kadazan mengatakan bahwa dulu terdapat seorang pangeran yang berasal dari Negri Cina yang menaiki gunung untuk mencari mutiara yang sangat besar. Mutiara tersebut dijaga oleh ular naga yang sangat ganas. Pangeran tersebut berhasil mengalahkan ular naga dan mengambil permatanya. Dia kemudian menikahi seorang gadis kadazan, namun ia mengabaikannya dan kembali ke Negri Cina. Istrinya patah hati lalu mengembara ke gunung untuk meratapinya sehingga ia pun berubah menjadi batu.
Sebagaimana tidak adanya catatan penduduk lokal yang mendaki gunung kinabalu, maka kehormatan sebagai pendaki pertama jatuh ke tangan Sir Huge Low. Seorang pegawai pemerintah Inggris dari Labuan (Sebuah pulau kecil di Barat Laut Sabah) yang mencapai plateu pada tahun 1851. (Plateu ini yakni sebuah dataran batu granit yang luas yang agak miring di kawasan puncak Gunung Kinabalu). Dia tidak menaiki puncak tertinggi sebagaimana ditulisnya bahwa titik tertinggi tidak dapat dijangkau kecuali oleh hewan bersayap. Ia pun kembali menaiki gunung Kinabalu pada tahun 1858 beserta seorang kawannya yang bernama St John. Dan untuk menghormati perjalanannya, maka puncak tertinggi, jurang yang sangat dalam, sebuah spesies kantung semar, dan sebuah rhododenron serta beberapa makhluk hidup lainnya dinamai
dengan menggunakan namanya. Dan salah satu puncak yang terletak sebelah barat Low's Peak dinamakan St. John's peak.
Setelah 4 jam 45 menit perjalanan dari power station kami sampai di Laban Rata Resthouse. Waktu itu menunjukkan pukul 1 lewat 25 menit. Dari pelataran Laban Rata ke arah bawah sungguh mencengangkan. Saya berhenti sejenak untuk melihat-lihat. Sungguh indah sekali pemandangannya apalagi saat itu cuaca cukup baik. Setelah puas aku melanjutkan perjalanan karena tempat penginapanku bukan di Laban Rata melainkan di Gunting Lagadan, 50 meter lagi agak ke atas yang ditempuh sekitar 7 menitan.
Penginapan Tim kami terpisah-pisah. Sarah dan Glenn di Waras Hut (3243 mdpl), Steve di Laban Rata (3270 mdpl), sedangkan Tasman, Alaina, Bart dan Florian di Panar Laban (3314 mdpl), cuma beberapa meter saja dari penginapan Saya. Jadi Saya masih bisa bolak-balik bertemu mereka. Maklum di Gunting Lagadan Saya tak punya teman ngobrol.
Di Laban Rata terdapat restoran. Namun harga di sana bisa dua kali bahkan tiga kali lipat harga biasa. Harga bihun goreng yang Saya santap saja mencapai 11 Ringgit. Namun walaupun begitu restorannya cukup ramai sekali. Yang namanya kelaparan tentu tak mengenal kata mahal lagian jarang-jarang di atas gunung kita bisa makan enak seperti itu.
Sorenya Saya, Tasman dan Alaina ngobrol-ngobrol di Sebongkah batu besar di samping Panar Laban sambil menatap awan yang beriring-iringan. Mereka menanyai Saya banyak pertanyaan. Mulai dari Indonesia sampai ke pertanyaan mengapa Saya berjilbab.
"Lina do you know qor'an? It's a holybook for moslem people!" Kata Tasman. Saya kaget mendengarnya. "How do you know that?" Saya balik bertanya. Dia bilang dia ingin sekali membacanya. “Really? It’s great” Jawabku.
"Kamu tahu gak kalo Qur'an itu menerangkan banyak hal. Bintang, bulan, bumi angkasa, galaksi, sayuran, buah-buahan bahkan awal mula terjadinya hujan, Mulai dari pemuaian air laut terbentuknya awan, sampai kondensasi lalu terjadilah hujan”. Kata Saya panjang lebar. Mereka berdua hanya bilang wow… dan bertanya apa ada seri bahasa Inggrisnya. Ada jawab Saya.
"Aku mau beli". Katanya lagi. Setelah maghrib menjelang Saya pun kembali ke penginapan. Sholat dan kemudian tidur pulas dengan selimut berlapis tiga. Hangaattt sekali.
Bagian Keempat
27 Juni 2005
Laban Rata – Summit – Laban rata – Headquarters – Kota Kinabalu
Suara alarm jam membangunkan Saya tiba-tiba. "Jam berapa sekarang?" Saya bertanya spontan ke sumber bunyi alarm itu. "Jam dua". Terdengar jawaban dari tempat tidur bagian atas. Saya pun terbangun lalu buru-buru merapikan tempat tidur. Tiga lapis selimut cukup membuat nyaman tidak kedinginan. Dua selimut tambahan itu Saya peroleh dari tempat tidur sebelah yang kosong dan dari pendaki Kuala Lumpur yang membawa Sleeping bag.
Di luar kamar sudah ramai sekali dengan orang-orang yang hilir mudik ke dapur dan toilet. Di ruang tengah penginapan banyak orang-orang sedang sarapan mie, teh, dan kopi.
Setelah rapi Saya segera menuju ke Panar Laban, yang letak hanya sembilan meter di bawah penginapan Saya. 4 orang dari tim kami Tasman, Alaina, Bart dan Florian menginap di situ. Ternyata mereka semua telah bangun dan sedang membuat sarapan. Hampir setengah jam lebih Kami menunggu guide dan anggota tim lainnya yang menginap di Waras Hut dan Laban Rata. Setelah cukup lama menunggu akhirnya guide kami datang juga, dia bilang kalau Steve dan Sarah terlambat bangun karena sakit.
Akhirnya rombongan kami lengkap sudah. Sebelum berangkat Pak Gampat sebagai guide memberikan pesan kepada kami seandainya dia terlambat kami harus tetap berjalan dan menunjukkan tanda pengenal ke petugas yang berada di Sayat-Sayat. Kemungkinan Dia terlambat sampai puncak karena Kondisi Sarah sejak kemarin memburuk.
"Pinky kamu bawa Lina?" kata Glenn masih sempat-sempatnya nanyain Pinky. "Oh ya.ini dia jawab Saya sambil menunjukkan Si Pinky ke arahnya. "Semoga saja dia kuat sampai ke puncak". Steve menimpali sambil tersenyum.
Waktu menunjukkan pukul tiga pagi saat kami berangkat menuju puncak. Baru saja beberapa meter berjalan langkah kami sudah terhenti karena antrian panjang di depan. " "Waahh Kalo gini terus kapan nyampenya?" Akhirnya Saya terus melaju melewati beberapa pendaki yang berjalan pelan dan terhenti-henti. Sedangkan Tasman dan yang lainnya masih ada di belakang Saya mencoba mencuri-curi jalur menyalip beberapa orang dari antrian panjang yang tiada ujungnya.
Lebih dari 600 orang pendaki yang menuju puncak pagi itu, rata-rata mereka menggunakan headlamp dan senter sebagai penerang jalur. Karena begitu banyak sumber cahaya rasanya Saya tak perlu ikut-ikutan menggunakan senter. Sinar bulan saja sebenarnya sudah cukup jelas untuk menerangi jalur apalagi di sepanjang jalur telah terpasang tali yang sangat kuat terentang sepanjang 2.5 kilometer dari Gunting Lagadan hingga puncak Low (Low's Peak).
Dari Gunting Lagadan hingga ke puncak adalah kawasan batuan yang terbuka. Tidak ada pepohonan. Hanya tanaman rendah saja yang bisa tumbuh di situ. Itu pun sangat jarang sekali. Semakin ke atas jalur pun semakin curam dan ini adalah bagian tersulit yang harus dilewati oleh setiap pendaki.
Saya terus saja melaju, rasa dingin tidak begitu terasa karena seluruh badan ini justru mandi keringat. Namun tiap kali langkah terhenti udara dingin pun mulai menghampiri. Saya terpaksa melaju lagi walau pandangan telah kabur. Sudah dua hari ini mata terasa sakit sejak pagi-pagi berangkat dari Kota Kinabalu. Mungkin gara-garanya membaca buku dari jam 2 hingga jam 5 pagi itu.
Entah jam berapa Saya tiba di Pondok Sayat-Sayat. Saya memperlihatkan tanda pengenal kepada petugas yang berjaga di dalam balik kaca pondok. Ia pun memeriksa kertas yang telah tersusun di mejanya. Di lembaran kertas itu telah tertulis nama-nama seluruh pendaki malam itu. Tiap lembar berarti tiap team atau guide yang menyertainya.Kertas yang berisi nama-nama dari tim kami telah ditemukannya. Ia pun mencentang nama Saya. Ketika melihat ke kertas tersebut ternyata baru Saya saja yang telah sampai di sayat-Sayat. Saya pun bingung antara menunggu atau meneruskan perjalanan.
Akhirnya Saya putuskan untuk terus melangkah. Walau lagi-lagi mata terasa sangat perih. Sesekali memejamkan mata sambil terlentang di hamparan batu miring yang sangat luas. Dan tiap kali buka mata, pemandangan ke arah langit sungguh memukau. Saya hanya berbisik "Subhanallah". Lalu tertatih melangkah lagi. Kilometer 8 telah terlalui. Itu artinya tinggal kurang lebih setengah kilometer lagi untuk tiba di puncak. Jalur pun sudah tidak curam lagi. Hanya hamparan batu berlempeng-lempeng yang sangat luas sekali yang ada di hadapan. Bayangan hitam puncak Low pun telah terlihat. Telah ada sinar senter di puncak itu. Saya semakin mempercepat langkah.
Beberapa pendaki yang satu penginapan dengan Saya menyapa. Ternyata mereka baru sampai di situ padahal mereka berangkat sekitar jam 2-an. Berbasa-basi sejenak lalu dengan semangat 45 melanjutkan perjalanan yang tersisa beberapa ratus meter lagi.
Pukul 5 lewat 14 menit waktu Malaysia akhirnya Saya menginjakkan kaki di ketinggian 4095 meter di atas permukaan laut. "Alhamdulillah Ya Allah" Saya berucap dalam hati. Saat itu matahari belum muncul baru beberapa garis remang-remang saja terlihat di ufuk timur. Guide kami bilang sunrise biasanya muncul sekitar jam 6 pagi. Saya pun duduk di batu bagian utara puncak. Saat itu para pendaki mulai ramai berdatangan memenuhi badan puncak yang sangat sempit. Sesekali sinar blitz kamera menerangi puncak. Para pendaki pun dengan setia menanti detik-detik munculnya Sang raja siang.
Puncak Low sebagai titik tertinggi Gunung Kinabalu merupakan tempat yang sangat sempit bagian sisi timurnya dipagari oleh tiang dan tali karena langsung berhadapan dengan Jurang Low yang sangat curam dan dalam. Sedangkan sisi lainnya bersambung dengan dataran yang miring dan luas. Jurang Low (Low's Gully) telah memisahkan gunung ini menjadi bagian timur dan barat.
Kalau cuaca sangat baik dan langit sangat bersih pemandangan spektakuler dari segala kebesaran dan keanggunan Pulau Borneo akan sangat mencengangkan. Di sebelah barat dan utara Laut Cina Selatan yang berkilauan, di sebelah Timur laut akan terlihat Laut Sulu serta deretan Kepulauan Filipina, di sebelah Timur dan Tenggara, Laut Sulawesi yang menjadi bukti kejayaan dan saksi sejarah rakyat Bugis hingga menjadi bagian dari komunitas rakyat Sabah. Sedangkan di sebelah selatan hamparan permadani hijau dari belantara Pulau Kalimantan yang menyimpan sejuta kekayaan alam.
"Hi…Lina you're a champion". Seru Alaina sambil tepuk tangan.Tasman menyalamiku sambil berkata "Where's your Pinky?" Hahh… Aku hampir lupa, boneka kecil warna pink itu Saya tinggalkan begitu saja di cerukan batu. Rupanya si Pinky jadi bintang pagi itu. Florian dan Tasman bergantian ingin memfotonya.
Setelah puas mengambil foto-foto sunrise, Saya pun mencari-cari tempat yang sepi untuk melaksanankan sholat subuh. Beberapa meter di bawah puncak ada sebuah cekungan dengan bagian bawahnya yang datar cukup untuk Aku berdiri dan sujud. Saya pun bertayamum dan melaksanakan sholat subuh. Dengan tubuh yang gemetar kedinginan Saya bersujud "Subhanallah" begitu nikmatnya sholat di puncak gunung. Tak terasa air mata pun deras mengalir membasahi batuan di tempat sujud itu. Ya Allah inilah yang selama ini Saya cari. Mensyukuri indahnya matahari pagi di puncak tertinggi, mensyukuri nikmat Kebesaran-Mu melalui karya teragung-Mu ini, mensyukuri segala hal yang mana telah Kauberi kesempatan untuk berdiri di sini, tempat yang telah lama Saya impikan.
Matahari pagi pun terus merayap menaiki tangga siang. Kami berdelapan beriringan menuruni plateu yang sangat luas. Puncak Selatan (4032 m) yang hanya terlihat mencuat sedikit saja makin lama makin terlihat jelas. Di sebelah kiri, Low's Gully yang sangat dalam masih berselimut kebisuan dengan seribu misteri di dalamnya. Puncak Victoria (4094 m), Puncak Alexandra (4003 m), Puncak St Andrew (4052m) makin lama makin tak terlihat. Sebelah kiri perjalanan Puncak Ugly Sister (4032 m) Puncak Donkey Ears (4055 m) masih berdiri tegak dengan bayangan sinar mentari pagi.
Puncak Gunung Kinabalu
Saya meletakkan batu vulkanik hitam mengkilat di atas tumpukan bebatuan di sisi kiri jalur plateu yang disusun setiap pendaki yang lewat sambil berkata "Salam dari Gunung Rinjani untuk Kinabalu". Tasman, Alaina, Florian dan Bart menyimak baik-baik ritual yang sedang Saya jalani. Mereka sangat heran sekali melihat perbedaan warna batu Rinjani dengan batuan yang ada di situ. Sangat berbeda sekali. Batuan Kinabalu agak berwarna putih sedangkan yang dari Rinjani sangat hitam mengkilat. Saya mencari-cari batu kecil untuk kemudian menjadi pengganti batu Rinjani untuk Saya bawa pulang. Alaina dan yang lainnya membantu mencarikan.
"Nanti akan kamu letakkan di gunung mana batu dari gunung ini?" Tanya Tasman.
"Mungkin Semeru." Kata Saya. Florian berlari ke arah Saya sambil membawa batu yang sangat besar. "Ini untuk kamu". Saya langsung menjerit. Mana mungkin bawa batu segede gajah begitu bawa diri sendiri saja sudah payah sangat.
Di Gunting Lagadan tampak sepi sekali, belum ada seorang pun yang kembali dari puncak. Aku langsung saja membereskan barang-barang bawaanku dan turun ke Panar Laban. Di sana juga tampak sepi padahal Tasman dan yang lainnya sudah kembali. Pintu pondokkan Panar Laban terbuka. Saya langsung saja masuk namun tiba-tiba terperanjat kaget. Hahhh……malah pada molor.
Hey ayo kita turun! Satu per satu kepala bermunculan dari balik selimut. Bart, Florian, Alaina. Tapiii… tempat tidur Tasman kosong. Lho Tasman kemana? Belum sempat nanya Kepala Tasman muncul dari balik selimut Alaina. Ooohhh…..rupanya….. Ya sudahlah! Aku langsung memburu tempat tidurnya Tasman yang kosong. Bruukk….sleeping bag dan selimutnya membuatku tertidur pulas.
Satu jam kemudian Kami beres-beres kemudian meninggalkan Panar Laban. Tasman dan Alaina sarapan dulu di Laban Rata. Sedangkan Saya, Bart, Florian, Glenn dan Steve turun duluan. Sarah sudah turun sejak tadi pagi. Ia tidak sampai puncak. Kondisinya makin memburuk dan hanya bisa sampai Sayat-sayat saja lalu kembali ke penginapannya di Waras Hut. Guide Kami tetap menyertai team hingga puncak, Sarah tidak mau menunggu dan ia pun langsung turun. Ketika guide kami mencari ke pondokannya ia pun sudah tidak ada. Mungkin langsung turun ke Power Station.
Jam 12 lewat 25 menit Saya tiba di Timpohon gate. Di sana ada bangku untuk duduk-duduk. Saya beristirahat sambil menunggu kedatangan yang lainnya. 15 menit kemudian muncul Florian dengan wajahnya yang merah. Bruukkk…ia langsung membanting tubuhnya ke bangku.
"Lina, You're the best climber today" Katanya. Ahh…masa sich perasaan Saya langsung melayang menuju langit luas….tapi tiba-tiba nyangkut di pohonan… praaakkk…Please dech biasa aja donk!
Glenn muncul di balik pagar Timpohon…Steve… dengan keringat bercucuran. 10 menit kemudian Bart dengan kaki yang diseret. "Dalam pendakian ini kamu paling gak ada masalah. Kami semua punya masalah." Glenn menatap Saya. "Oohhhh… tidakkkk…" Iya lah mereka memang tak terbiasa mendaki gunung karena mereka bukan pendaki. Mereka adalah traveler sejati. Setelah ini mereka belum pulang kampung dulu. Bart dan Florian akan ke Brunei, Steve dan Glenn ke Thailand dan Tasman serta Alaina masih punya berbulan-bulan cuti panjang yang entah kemana akan dihabiskan.
Bis mengantar kami ke Lapangan parkir Headquarters. Saya mengambil barang-barang yang dititipkan lalu berpamit-pamitan dengan Glenn dan Steve. Mereka berdua akan ke Poring Hot Spring. Tak satu pun dari kami yang ingin membeli sertifikat. Ya sudah yang penting kita sudah ke sini. Kata Florian.
Saya, Bart, dan Florian makan siang di warung sebrang pintu masuk Taman nasional. Setelah itu kami menunggu bis jurusan Kota Kinabalu. Florian dan Bart punya jemputan sendiri namun datangnya jam 4 sore. Sedangkan Saya duduk di halte menunggu bis yang datang dari arah Sandakan ketika Tasman dan Alaina melambai-lamabikan tangannya dari kejauhan. Kami semua janji makan malam bersama di Kota Kinabalu. Rupanya kebersamaan selama pendakian ke Puncak Kinabalu masih berbekas hingga turun.
28 Juni 2005
Kota Kinabalu – Johor Baru
Siang itu Saya jalan-jalan di sekitar Kota Kinabalu. Jalan kaki. Walau udara sangat panas namun tak mengurangi semangat menelusuri tiap sudut Kota ini. Dari sebuah toko di bangunan Wisma Merdeka terdengar sebuah lagu yang tak asing lagi di telinga ….. dan bila diriku bertanya pada bintang-bintang…… ooopsss rupanya gak di Indonesia gak di Semenanjung (Malaysia Barat) gak di Sabah ternyata lagi pada demam Peterpan.
Siang itu Saya jalan-jalan di sekitar Kota Kinabalu. Jalan kaki. Walau udara sangat panas namun tak mengurangi semangat menelusuri tiap sudut Kota ini. Dari sebuah toko di bangunan Wisma Merdeka terdengar sebuah lagu yang tak asing lagi di telinga ….. dan bila diriku bertanya pada bintang-bintang…… ooopsss rupanya gak di Indonesia gak di Semenanjung (Malaysia Barat) gak di Sabah ternyata lagi pada demam Peterpan.
Pukul 13.30 di Kamar Borneo Backpacker
"……Kamu tahu gak tiap 10 kelahiran anak lelaki di Inggris dua diantaranya bernama Mohammed. Nama itu sudah menjadi nama favorit bagi para orang tua……." Raine teman sekamar Saya dengan semangat berapi-api menceritakan segala sesuatu yang berhubungan dengan Islam di Inggris.
Setelah ngobrol ngalor-ngidul tiba-tiba saja Saya menatap Raine.
"I really miss my Mother". Kata Saya sambil berurai air mata. Ahh tiba-tiba saja ingin pulang ke Garut. Menikmati indahnya pemandangan sawah yang dibentengi Cikuray dan Papandayan. menerawang Wahangan Cipandai yang meliuk-liuk di bawah bayangan Gunung Guntur sambil duduk di halaman rumah yang teduh melahap habis sambal, lalap serta gurame goreng. Sudah berhari-hari di sini selera makan Saya menghilang. Tak ada makanan yang cocok dengan lidah ini.
"Aku sembahyang dulu ya Raine". Kata Saya sambil segera pergi mengambil air wudhu.
Pukul 23.15 di Senai Airport Johor Baru
Berdiri termangu, bingung mau kemana. Karena sudah terlalu malam. Nelpon ke rumah temannya Kak Leha yang orang Palembang itu tidak diangkat. Seorang sopir taksi menghampiri dan bertanya mau kemana.
Berdiri termangu, bingung mau kemana. Karena sudah terlalu malam. Nelpon ke rumah temannya Kak Leha yang orang Palembang itu tidak diangkat. Seorang sopir taksi menghampiri dan bertanya mau kemana.
"Saya nak cari penginapan atau hotel murah". Kata Saya jujur.
"Wah tak ada. Ada juga hotel, itu pun jauh harus ke Bandar. Tapi kalau Adik mau saya boleh hantar awak ke rumah orang Indon". Saya jadi ragu. Tapi si Bapak sopir taksi itu terus memberikan alasan yang masuk akal. Sebenarnya antara waspada, curiga dan percaya campur aduk jadi satu. Namun Si bapak itu begitu meyakinkan. Sopir-sopir yang lain pun mengiyakan. Saya pun teringat seorang teman Saya yang pernah bilang kalau sopir taksi di sini memang baik-baik.
29 Juni 2005 di Johor Baru
Pukul 07.30 pagi Waktu Johor
Kak Umi mengantarkan Saya hingga Pejabat Pos. Saya tidak begitu hafal dengan tempat itu. Yang jelas dia bilang daerah ini disebut Pejabat Pos. Ia sempat menunjukkan letak Konjen RI yang dekat daerah situ. Ia adalah orang Tulung Agung Jawa Timur yang sudah 10 tahun tinggal di Johor padahal visa dan paspornya sudah lama mati. Heran, kok bisa bertahan begitu lama di negeri orang tanpa rasa ketakutan sedikitpun. Kak Umi adalah orang yang memberi tumpangan tidur tadi malam. Ia baik sekali Setelah membelikan Saya sarapan lalu mengantarkan hingga ke antrian taksi yang membawa Saya ke Pelabuhan Stulang Laut.
29 Juni 2005 di Johor Baru
Pukul 07.30 pagi Waktu Johor
Kak Umi mengantarkan Saya hingga Pejabat Pos. Saya tidak begitu hafal dengan tempat itu. Yang jelas dia bilang daerah ini disebut Pejabat Pos. Ia sempat menunjukkan letak Konjen RI yang dekat daerah situ. Ia adalah orang Tulung Agung Jawa Timur yang sudah 10 tahun tinggal di Johor padahal visa dan paspornya sudah lama mati. Heran, kok bisa bertahan begitu lama di negeri orang tanpa rasa ketakutan sedikitpun. Kak Umi adalah orang yang memberi tumpangan tidur tadi malam. Ia baik sekali Setelah membelikan Saya sarapan lalu mengantarkan hingga ke antrian taksi yang membawa Saya ke Pelabuhan Stulang Laut.
Pukul 12.25 Waktu Batam
Suara adzan dari menara Mesjid Raya Batam Centre semakin jelas terdengar. Alhamdulillah sudah nyampe Batam. Saya berjalan di jembatan layang yang menghubungkan terminal Ferry dengan Mega Mall Batam Centre.
Senangnya bisa kembali ke rumah.
Mbk lina kasih estimasi biaya dan itenary pendakian donk
BalasHapusWah ini pendakian sudah lama banget Mas. jadi belum tahu lagi kondisi di sana bagaimana. Selain itu pengelola penginapan juga sepertinya bukan SSL lagi. Jadi biaya-biaya sudah dipastikan berubah.
Hapushalo mbak salam kenal, boleh tanya waktu mendaki pembayaran ke SSL via apa?
BalasHapuskarena saya liat di web SSL untuk pendaftaran dan pembayaran harus datang ke office nya di Sabah
Waktu itu saya bayar pakai Kartu Kredit. Setahu saya pemegang hak pengelolaan penginapan di sana sudah berubah bukan SSL lagi. Pernah baca ada penyerahan pajak apa gitu. Atau mungkin saya salah baca ya. Kalau mau go show juga gpp, tapi diusahakan bukan week end. Insya Allah ada slot kosong. Pengen ke sana lagi sih sebenarnya.
Hapus