Pacaran Ala ABG Batam

Di suatu siang yang terik, di sebuah mobil angkutan jurusan Pasar Jodoh – Dapur Duabelas beberapa penumpang tampak kelelahan dan kegerahan. Cuaca di Batam memang aneh dan kadang sulit ditebak. Di kala Pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, dan Indonesia bagian lainnya dilanda banjir, udara Batam sangat panas terik. Seakan mentari sepenuh hati menyinari.


Aku duduk di bangku bagian tengah mobil angkutan itu. Di sebelah kananku duduk seorang pemuda berusia kira-kira 20 tahunan . Di belakangku ada 3 orang pelajar SMU yang baru pulang sekolah. 1 cowok dan 2 orang cewek berjilbab. Layaknya penyiar radio 2 cewek ABG itu bercerita ngalor ngidul tentang teman dan pacar-pacarnya.


Semula aku tidak terlalu ambil pusing dengan obrolan mereka, “Biasalah cerita ABG” fikirku. Namun lama kelamaan obrolan itu begitu menggangguku. Bahkan pemuda yang duduk di sebelahku pun berkali-kali menengok ke belakang seolah tak percaya. Benarkah yang diceritakan mereka itu.


Aku berusaha untuk tidak menengok ke belakang namun suara hatiku berkata sungguh aku harus menghentikan obrolan itu. Hatiku miris bahkan teriris, emosiku meledak, naluri perempuanku terusik, bisikan-bisikan di hati bergumul menjadi kebimbangan. STOP! Suara hatiku membentak sisi sadarku. Aku pun perlahan menoleh ke belakang menatap penuh iba pada kedua gadis berjilbab itu. Wajah-wajah mereka yang polos tanpa beban membuatku takut menatap masa depan generasi ini.


Betapa tidak, simak obrolan mereka ini :

…..…………………………..
…..…………………………..
ABG A : Dia tuh emang cowok baik banget, dia ngejaga banget Siska. Dia nggak
pernah buat macam-macam sama Siska. Paling cuman pegang tangan aja.
ABG B : Iya aku lihat juga dia jaga Siska banget………….
ABG A : ……………………………………
ABG B : ……………………………………
ABG A : …………………………………...
ABG B : Aku waktu SMP pacaran sama ….. trus sama si…… abis gitu sama …… tapi
dia pindah ke Pekan Baru jadi aku nggak pernah berhubungan lagi sama dia.
Jadinya aku sama ……
ABG A : Kalo Aku dulu sama si ….terus ……. habis dari dia sama ……. Putus sama dia
lanjut sama…… jomblo dua hari , jadian sama…… putus sama …… sekarang
sama……
.........…………………………
..........…………………………
ABG A : Aku pernah juga sih dicium tapi dikit aja paling cuman mmmmuacchh….
ABG B : Aku juga sih dicium tapi bentar aja sama si ….. ya muuuuachh, mmuachh, mmuach gitu
ABG A : Cium bibir gitu sih, cuman mmmuach..mmmuach…
…………………………….
dan selanjutnya dan selanjutnya.


Dua remaja itu bercerita tanpa beban, seakan pacaran dan
ciuman adalah suatu kewajaran yang menjadi kepantasan, Ia
lupa dengan jilbab yang dikenakannya, apakah ia tidak tahu?
Mengapa mereka berani mengumbar aib itu. Mengapa begitu
bangga bercerita tentang dosa-dosa. Ah jadi ingat lagunya Ebiet
G. Ade. Hatiku berkecamuk dengan berbagai pertanyaan.


Pemuda yang duduk di sebelahku terlihat risih. Ia duduk dengan
gelisah. Seakan pendengarannya tadi terus menghantui
fikirannya.


Aku berkali-kali menghela nafas, menatap jilbab putihku yang
menjuntai ke pangkuanku. Jilbab ini dan jilbab mereka sama
putihnya. Sebagai sesama muslimah adalah kewajibanku
untuk mengingatkannya. Aku mengumpulkan keberanian untuk
bicara, Ya Allah kuatkan aku.


Aku pun menoleh ke belakang, dan …


“Ade…sebelumnya Kakak minta maaf. Ade kan berjilbab ya, tidak sepantasnya Ade bicara seperti itu. Seharusnya Ade malu. Tidak seharusnya mengumbar obrolan seperti itu. Itu aib lho kenapa diumbar di tempat umum, kakak saja yang mendengarnya merasa risih. Kakak sedih banget bener…. “ Aku berhenti sejenak menahan tangis. “Jangan kan dilihat dari kacamata Islam, dilihat dari adat kita saja sebagai orang Melayu, seharusnya kalian nggak boleh bercerita seperti itu di tempat ramai apalagi ini di angkutan umum. It’s a……OK! Aku tersedak kehabisan kata-kata……


Dua remaja berjilbab itu terpaku dan hanya berkata “Oh maaf ya Kak”, “Iya, iya”, “So what”.


Aku memutar pandanganku ke depan. “Simpang Bus Camp kiri ya Bang”. Ciiittt suara rem terdengar bagai keluhan. Mobil pun berhenti di halte persimpangan tempat mangkalnya bis Damri sehingga orang-orang sering menyebutnya Simpang Bus Camp.


Aku melompat keluar mobil. Lalu berjalan perlahan menyebrangi lampu merah. Ya Allah betapa sok pahlawannya Aku tadi, betapa sok sucinya Aku, betapa sok pintarnya Aku, betapa sok alimnya Aku, mencoba menceramahi anak-anak ABG tadi yang mungkin dosanya masih sedikit dibanding Aku. Lihat saja usianya terpaut jauh dariku. “Setidaknya itu untuk mengingatkan kamu sendiri Lina”. Bisik hati kecilku. “Ya” Jawabku. Anggap saja ini mengingatkanku untuk tetap menjaga amanah ini, sebuah keta’atan yang dirupakan dengan jilbab ini, sebagai tanda ketaqwaan dan identitasku sebagai seorang muslimah. “Kamu mengingatkan dirimu sendiri untuk menjaganya”. Bisik hati kecilku. “Dan sepantasnya kita saling mengingatkan”. Aku mencoba meyakinkan hatiku lagi.

Di tepi jalan Aku berdiri termenung, “Ya Allah berikan kemampuan kepadaku untuk menjaganya. Tetapkan jilbab ini melekat di badanku hingga ajal tiba. Hingga jika menghadap di pengadilanmu tiada Engkau tanya tentang mengapa Aku tidak berjilbab, mengapa aku tidak seperti orang beriman, yang jika diseru oleh Allah dan Rasulnya ia segera menjawab

“Sami’na wa ato’na” “Kami dengar dan kami patuh”, “Kami dengar dan kami ta’at”.

Tanpa tawar menawar, tanpa adu argumen, tanpa beribu alasan, tanpa logika, dan tanpa keterbatasan. Ia mutlak Karena ia wahyu dari-Mu yang Maha Tinggi. Bukankah Engkau mengenalkan Aku dengan jilbab ini sejak dulu sewaktu aku anak kecil yang serba ingin tahu. Mencoba merengkuh keta’atan itu hanya dengan mendengar sekilas saja tentang wajibnya mengenakan jilbab bagi perempuan muslim. Walau tanpa didasari ilmu waktu itu akupun segera berjilbab. Maka berikan kekuatan agar aku bisa menjaganya. Allohumma Amien.

Posting Komentar

Halaman ini dimoderasi untuk mengurangi spam yang masuk. Terima kasih sudah meninggalkan komen di sini.

Made with by Lina W. Sasmita