Jreenggg…suara gitar membahana membelah kesunyian gunung Sinabung. Saya yang dari kecil bercita-cita piawai main gitar, langsung terkesima. Suara gitar di puncak gunung? Itulah suara gitar yang paling indah yang pernah saya dengar.
Saya
segera keluar tenda dan bergabung dengan anak-anak cowok ABG yang
rame-rame gitaran di depan api unggun. Lastri sedari tadi telah
bergabung bersama mereka. Suasana malam yang sempurna yang selalu saya
dambakan ketika kemping atau naik gunung. Gitaran!
Lagu
demi lagu, bait demi bait berganti, tiba-tiba terdengar sebuah lagu
yang membuat hati saya dan Lastri hampir meleleh. Entah punya kenangan
yang sama atau tidak, kami kompak secara tidak sengaja langsung menyukai lagu
tersebut. Bahkan minta diulang berkali-kali. Jadilah lagu tersebut theme song perjalanan kali itu.
Jika itu yang Terbaik (oleh : Ungu)
……………
Jika itu memang terbaik untuk dirimu
Walau berat untukku berpisah denganmu
Hapus sudah air mata, aku mengerti
Ini bukan mauku itu bukan maumu
………….
Seperti
sistem otak kita yang bekerja luar biasa dimana dapat menghubungkan
satu peristiwa dengan peristiwa lainnya hanya dengan mendengar atau
melihat sesuatu, maka itu terjadi pula kepada otak Saya. Ketika
mendengar lagu tersebut entah di radio atau di mobil angkutan dan dimana
saja, ingatan saya langsung terhubung dengan Gunung Sinabung. Bahkan
rentetan urutan peristiwa dari keberangkatan hingga kepulangan
perjalanan ke Sumatera Utara masih terekam baik oleh memori otak saya
hanya dengan mendengarkan lagu tersebut.
Ya
hanya dengan mendengar sebuah lagu ingatan saya selalu terhubung dengan
hal-hal lain. Misalnya saja ketika saya mendengar lagu Asereje yang
dinyanyikan oleh Last Ketchup ingatan saya langsung menuju Gunung
Rinjani di Lombok.
Saat itu kami sedang nge-camp di Plawangan Sembalun. Ketika matahari pagi mulai bersinar sekelompok pendaki dari Jakarta
berjejer berbaris berjemur diri dan tanpa dikomandoi mereka langsung
menari sambil menyanyikan lagu Asereje persis seperti gerakan-gerakan di
vidio klipnya. Pemandangan yang lucu, menggelikan, namun berbekas di
hati. Seandainya dibuat lipsing maka vidio klipnya akan menjadi yang
terbaik saat itu, betapa tidak background para penarinya adalah danau segara anak dan gunung baru jari yang indah itu.
Yup,
balik lagi ke Sinabung. Esok paginya saya terbangun dan begitu membuka
tenda, Masya Allah… pemandangan pintu tenda langsung menuju langit,
bermilyar-milyar bintang masih bertaburan dan berkelap-kelip
mengerdipkan cahayanya. Walau itu sudah pagi, bintang-bintang itu tak
jua beranjak pergi.
Pagi
sekitar jam 10-an kami berdua menuruni Gunung Sinabung dengan berat
hati. Kemping semalam di puncak Sinabung memang terasa kurang. Namun
petualangan kami masih panjang. Sinabung adalah gunung pertama dan awal
perjalanan ini. Selanjutnya kami akan meneruskan pendakian ke Gunung
Sibayak.
****
Kami
baru saja menuruni Gunung Sibayak lalu apa rencana selanjutnya? Sebuah
nomor handphone Saya hubungi. Harapan terakhir untuk mengetahui dari
mana memulai pendakian Gunung selanjutnya yaitu Gunung Sibuatan. Namun
seseorang di sebrang sana
dengan enggan tak mau memberi tahu. Katanya masih banyak harimau turun
dan berkeliaran di gunung itu. Glekk… harapan itu sirna, pupus sudah
segala rencana. Secara berbagai cara telah kami lakukan untuk mencari
tahu. Namun keadaan berkata lain. Sibuatan bagai misteri tak
terpecahkan.
Di sebuah persimpangan jalan di wilayah Kabanjahe, Aku dan Lastri termenung, terpaku. Semua masih berkecamuk dalam otak dan hati. Gunung Sibuatan dimanakah itu? Semua petunjuk yang mengarah ke sana--blank-- haruskah mengakhiri perjalanan sampai di sini atau melanjutkan namun dengan ketidakjelasan tujuan?
Akhirnya
dengan ragu kami memutuskan sesuatu untuk perjalanan ini, dimana
keputusan inilah yang akan mengubah alur petualangan kami ke wilayah
yang bahkan tidak pernah terbersit sekalipun akan sampai di sana. Cerita itu akan menjadi cerita tersendiri di luar kisah ini.
Seperti judulnya, cerita ini adalah tentang Lastri, namun ternyata saya mengambil bagian terbanyak dalam kisah yang ditulis ini. Mungkin agak narsis, tapi ternyata saya baru menyadari bahwa banyak kisah yang seharusnya terekam lewat tulisan yang malah terbiarkan mengendap begitu saja dalam ingatan.
Ya, ini tentang Lastri...
Setelah habis masa kontrak kerjanya di perusahaan Philips Muka Kuning Batam pertengahan tahun 2006, ia lalu memutuskan untuk pulang kampung ke Kisaran Sumatera Utara.
Ada sesuatu yang berubah darinya. Kini ia semakin tergila-gila kepada gunung. Kegagalan kami mendaki Gunung Sibuatan membuatnya terobsesi mencari tahu letak lokasi Gunung Sibuatan berada. Perubahannya hanyalah passion lama yang terpendam yang kini bagai menemukan ruang baginya untuk bertransformasi. Sesuatu yang ternyata menjadi titik awal perubahan dalam dirinya, dalam hidupnya.
Beberapa bulan setelah pulang kampung ia mengirim surat mengabarkan keadaannya di sana. What? surat? Hari genee gitu loo masih surat-suratan? Itulah cara kami paling efektif menyambung komunikasi. Kenapa nggak telpon-telponan saja? Halaah susahnya minta ampun, selain beda operator selular kualitas sinyal yang byar pet sering membuat kami berdua jengkel. Secara Lastri tinggalnya lumayan jauh dari pusat Kota Kisaran.
Surat-surat Lastri mengalir berdatangan bagai cerita hidup tentang perjalanan dan petualangannya. Saya bahagia karena ia membagi ceritanya kepada saya. Kadang saya terkesima ketika membaca suratnya. Ia memang punya bakat menulis yang terpendam.
Dalam surat-suratnya ia bercerita tentang petualangannya ke Taman Nasional Gunung Leuseur, Gunung Sorik Marapi, Gunung Kerinci, Perkemahan Sibolangit, daerah Tongging, dan penelusurannya tentang Gunung Sibuatan ke wilayah-wilayah di Sumatera Utara. Semua ini dilakukannya hanya sendirian.
Masih bersambung....
Posting Komentar
Halaman ini dimoderasi untuk mengurangi spam yang masuk. Terima kasih sudah meninggalkan komen di sini.