File MP for everyone |
Di suatu pagi tanggal 18 Mei 2011, pagi yang cukup sunyi ketika sebuah sms masuk ke handphoneku. "Innalillahiwainnailaihi
rojiun. Telah berpulang ke Rahmatullah Nurul Fithroini (nurul f huda),
18 Mei 2011 pkl. 03.15 di RSUD Dr.Sardjito Yogya. Akan di makamkan di
Purworejo. Keluarga besar Huda." isi sms itu mengagetkanku.
Masih tak percaya dengan kalimat yang kubaca tadi, aku mengulangnya
berkali-kali. Kubaca baik-baik kata demi kata namun isinya tetap sama.
Mengabarkan tentang seseorang yang aku kagumi, aku hormati, dan aku
sayangi telah meninggal dunia. Sahabat, guru, kakak, teman curhat, dan
rekan diskusi terbaik.
Ya
Allah Mbaaak... Air mataku meleleh tak terbendung. "Secepat itukah
dirimu pergi?" Aku meratap sendiri. Kebersamaan dengannya beberapa tahun
silam berkelebatan dalam ingatan. Beberapa janji yang belum terpenuhi
seakan menagih untuk ditepati. Aku menyesal telah melewatkan beberapa
kesempatan untuk menemuinya di saat-saat ia sehat maupun sakit. Saat ia
di Batam, di Jakarta, bahkan saat detik-detik kematian menjemputnya di Jogjakarta.
Hatiku
terguncang memikirkan Fathin dan Azizah buah hati dan cahaya mata Mbak
Nurul. Anak-anak yang cerdas persis seperti Uminya. Dengan siapa kelak
mereka menjalani masa-masa pertumbuhan? Tak terbayang betapa pedihnya
hati Fathin dan Azizah yang baru berusia 9 dan 8 tahun ketika
menyaksikan Uminya meninggal. "Ya Allah tabahkanlah hati kedua anak
ini". Aku berdoa lirih, namun air mata sudah tumpah ruah sedari tadi.
Berhari-hari,
ketika tiada seorang pun di rumah, aku masih juga menangis. Terkadang
takut seandainya suami dan tetangga mengetahuinya, aku lari ke kamar
mandi, memutar kran kencang-kencang, mengalirkan air deras-deras lalu
terisak-isak menangis sambil mencuci muka.
Nurul
F. Huda, sosok yang selama ini senantiasa aku kagumi dan ingin aku
tiru. Seorang penulis: novelis, cerpenis, kolumnis dengan ratusan karya
berupa cerpen, novel, essai, yang tersebar di media seperti majalah,
koran dan tentu saja berpuluh-puluh buku yang telah tersebar di
toko-toko buku nasional.
Semangatnya dalam menyebarkan kebiasaan gemar membaca dan menulis kepada masyarakat sungguh tak ada habisnya. Ia tidak pernah sombong dan menjaga jarak kepada para penggemarnya jika dimintai tanda tangan atau berfoto bersama.
Semangatnya dalam menyebarkan kebiasaan gemar membaca dan menulis kepada masyarakat sungguh tak ada habisnya. Ia tidak pernah sombong dan menjaga jarak kepada para penggemarnya jika dimintai tanda tangan atau berfoto bersama.
Gaya
bicaranya yang lugas, terus terang namun padat, berisi, dan mengena,
menginspirasi aku untuk terus memperbaiki cara bicara dan komunikasi aku
terhadap orang lain.
Intensitas
ibadahnya yang rajin telah memacuku untuk melakukan hal serupa. Aku
sering mendapatinya sedang melaksanakan sholat Duha ketika pagi-pagi
berkunjung ke rumahnya. Atau menjumpainya sedang melaksanakan solat
Rawatib menjelang dan sesudah sholat dzuhur.
Lagi...Gayanya dalam mendidik anak-anak, senantiasa aku ingat dan aku rekam dalam memori. Sungguh, caranya berkomunikasi, mendongeng,
memarahi, memuji, bercanda dengan anak-anaknya, banyak yang aku tiru.
Bahkan jauh sebelum aku menikah, aku sudah mempunyai konsep terarah
dalam mendidik anakku kelak darinya. Hingga... sekarang, saat anakku itu
telah terlahir, aku merawat dan mendidiknya seperti konsep yang
diam-diam kuamati dalam kesehariannya dulu.
Ia
mengilhamiku begitu banyak ide. Ia bagai sumur ilmu yang tak
habis-habisnya untuk digali, karena itu dengan berbagai alasan aku
sering berkunjung ke rumahnya, sekedar untuk meminjam atau mengembalikan
buku-bukunya. Terlebih kalau urusan meeting organisasi Forum Lingkar
Pena (FLP) Batam yang sering diadakan di rumahnya, aku dipastikan jarang
absen.
Ah...Aku begitu merasa kesepian ketika dirinya memutuskan untuk pindah ke Jakarta. "Bukankah Batam tempat yang seru untuk berbuat kebajikan kan
Mbak?" Pertanyaan itu tak pernah aku lontarkan. Aku hanya merekam
kata-katamu lewat kameraku saat Engkau pamit kepada kami, teman-teman
FLPmu.
Saat
aku merindukannya, seringkali aku bertanya dalam hati, Kapan kita
diskusi lagi tentang bagaimana mengelola rumah baca kita, bagaimana agar
anak-anak di sekitar tempat tinggal kita gemar membaca dan memperoleh
akses yang mudah ke perpustakaan. Bagaimana agar anak-anak menyukai
menulis dan mempunyai karya lalu bisa menerbitkannya? "Itu
diskusi-diskusi kita dulu kan Mbak?"
Dirimu lebih memilih mengembangkan bisnis bersama suami dengan hijrah ke Jakarta. Dan dengar apa katamu? Ya, "Semoga kepindahan ke Jakarta ini menjadi langkah awal dalam memperbaiki diri". "Lillahi wa rosul". katamu lagi.
Dua tahun berlalu, setelah kepindahan ke Jakarta
aku dipertemukan lagi dengannya dalam acara Launching bukunya yang
berjudul "Sembari Mencari Kutu" yang kami gelar di Mesjid Raya Batam
Centre. Namun ada yang lain dengannya, badannya tampak kurus, wajahnya
pucat, dan aura semangatnya tidak menggebu-gebu lagi. Ada apa denganmu Mbak?
Sehingga akhirnya selesai acara, ketika kita duduk melingkar, tumpahlah
segala uneg-uneg yang selama bertahun-tahun tertutup rapat. Cerita itu
mengalir dari bibirmu. Bagai petir di siang bolong, Aku masih tak
percaya dan tak pernah menyangka. Ternyata suami tercinta, Ayah dari
anak-anakmu yang cerdas itu, rela menceraikanmu demi wanita lain. Meraih
obsesinya untuk beristri lebih dari satu.
Aku
menangis Mbak. Aku menangis. Saat itu di depanmu, mataku pun
berkaca-kaca. Sekuat tenaga aku bendung air mata ini agar tidak tumpah.
Bukankah dirimu pun tampak tegar saat menceritakannya pada kami? Saat
kita duduk melingkar berdiskusi lagi, saat Engkau berkata sambil
mengangkat bahu "we have been divorced". Semua dari kami terpukul, tapi
dirimu tetap tegar.
Yang
dirimu khawatirkan hanyalah Abah dan Ibu serta keluarga besar yang
sangat terlukai dengan perceraian ini. Abah dan ibu. Dirimu lebih
memikirkan mereka daripada memikirkan kondisi kesehatanmu yang makin
menurun.
Oya,
Abah dan Ibu! Jadi teringat saat mereka berlibur ke Batam, dan Aku
sedang berkunjung ke rumah Mbak. Abah dan Ibu menanyaiku macam-macam.
Mereka begitu berwibawa, namun
ramah, dan menyenangkan. Obrolan-obrolan denganku mengalir begitu
lancar. Ah Aku kagum kepada Abah dan Ibu. Pantas saja dirimu setegar
itu. Betul kata Pak Cahyadi Takariawan, Yang memberi Kata Pengantar di
bukumu yang berjudul Hingga Detak Jantungku Berhenti, yang mengatakan
bahwa Abah adalah universitas kehidupan yang memberikan ilmu,
pengetahuan, pemahaman dan keyakinan akan sebuah jalan hidup.
Kini
Engkau telah tiada, meninggalkan jejak yang takkan terhapus waktu, dan
tak lekang oleh zaman. Karya-karyamu tetap ada menemani kami. Dan dua
jundi kecilmu, aku yakin senantiasa mendoakanmu agar mendapatkan tempat
terbaik di sisi-Nya. Insya Allah!
Oya Mbak...ada satu kabar gembira yang baru saja kuterima dari adikmu Intan. Katanya
Fathin baru-baru ini pulang membawa piala karena ia juara tiga
olympiade mata pelajaran Teknologi se DIY dan Jawa Tengah. Aku menangis.
Aku menangis lagi Mbak...tapi kali ini aku menangis bahagia. Mungkin di
sana,dirimu pun tersenyum bahagia.
Akhir
kata, semoga kita dipertemukan kelak ya Mbak, kelak di Surga-nya. Aku
bersaksi kepada Allah bahwa Mbak adalah orang yang baik lagi taat
kepada-Nya.
Selamat jalan Mbaak... Selamat tidur yang panjang Bidadari biruku.
Posting Komentar
Halaman ini dimoderasi untuk mengurangi spam yang masuk. Terima kasih sudah meninggalkan komen di sini.