Mengenang Nurul F. Huda

                                                         Sep 22, '11 6:23 PM
File MP for everyone
Di suatu pagi tanggal 18 Mei 2011, pagi yang cukup sunyi ketika sebuah sms masuk ke handphoneku. "Innalillahiwainnailaihi rojiun. Telah berpulang ke Rahmatullah Nurul Fithroini (nurul f huda), 18 Mei 2011 pkl. 03.15 di RSUD Dr.Sardjito Yogya. Akan di makamkan di Purworejo. Keluarga besar Huda." isi sms itu mengagetkanku. 

Masih tak percaya dengan kalimat yang kubaca tadi, aku mengulangnya berkali-kali. Kubaca baik-baik kata demi kata namun isinya tetap sama. Mengabarkan tentang seseorang yang aku kagumi, aku hormati, dan aku sayangi telah meninggal dunia. Sahabat, guru, kakak, teman curhat, dan rekan diskusi terbaik.

Ya Allah Mbaaak... Air mataku meleleh tak terbendung. "Secepat itukah dirimu pergi?" Aku meratap sendiri. Kebersamaan dengannya beberapa tahun silam berkelebatan dalam ingatan. Beberapa janji yang belum terpenuhi seakan menagih untuk ditepati. Aku menyesal telah melewatkan beberapa kesempatan untuk menemuinya di saat-saat ia sehat maupun sakit. Saat ia di Batam, di Jakarta, bahkan saat detik-detik kematian menjemputnya di Jogjakarta.

Hatiku terguncang memikirkan Fathin dan Azizah buah hati dan cahaya mata Mbak Nurul. Anak-anak yang cerdas persis seperti Uminya. Dengan siapa kelak mereka menjalani masa-masa pertumbuhan? Tak terbayang betapa pedihnya hati Fathin dan Azizah yang baru berusia 9 dan 8 tahun ketika menyaksikan Uminya meninggal. "Ya Allah tabahkanlah hati kedua anak ini". Aku berdoa lirih, namun air mata sudah tumpah ruah sedari tadi.

Berhari-hari, ketika tiada seorang pun di rumah, aku masih juga menangis. Terkadang takut seandainya suami dan tetangga mengetahuinya, aku lari ke kamar mandi, memutar kran kencang-kencang, mengalirkan air deras-deras lalu terisak-isak menangis sambil mencuci muka.

Nurul F. Huda, sosok yang selama ini senantiasa aku kagumi dan ingin aku tiru. Seorang penulis: novelis, cerpenis, kolumnis dengan ratusan karya berupa cerpen, novel, essai, yang tersebar di media seperti majalah, koran dan tentu saja berpuluh-puluh buku yang telah tersebar di toko-toko buku nasional.

Semangatnya dalam menyebarkan kebiasaan gemar membaca dan menulis kepada masyarakat sungguh tak ada habisnya. Ia tidak pernah sombong dan menjaga jarak kepada para penggemarnya jika dimintai tanda tangan atau berfoto bersama.

Gaya bicaranya yang lugas, terus terang namun padat, berisi, dan mengena, menginspirasi aku untuk terus memperbaiki cara bicara dan komunikasi aku terhadap orang lain.

Intensitas ibadahnya yang rajin telah memacuku untuk melakukan hal serupa. Aku sering mendapatinya sedang melaksanakan sholat Duha ketika pagi-pagi berkunjung ke rumahnya. Atau menjumpainya sedang melaksanakan solat Rawatib menjelang dan sesudah sholat dzuhur.

Lagi...Gayanya dalam mendidik anak-anak, senantiasa aku ingat dan aku rekam dalam memori. Sungguh, caranya berkomunikasi,  mendongeng, memarahi, memuji, bercanda dengan anak-anaknya, banyak yang aku tiru. Bahkan jauh sebelum aku menikah, aku sudah mempunyai konsep terarah dalam mendidik anakku kelak darinya. Hingga... sekarang, saat anakku itu telah terlahir, aku merawat dan mendidiknya seperti konsep yang diam-diam kuamati dalam kesehariannya dulu.

Ia mengilhamiku begitu banyak ide. Ia bagai sumur ilmu yang tak habis-habisnya untuk digali, karena itu dengan berbagai alasan aku sering berkunjung ke rumahnya, sekedar untuk meminjam atau mengembalikan buku-bukunya. Terlebih kalau urusan meeting organisasi Forum Lingkar Pena (FLP) Batam yang sering diadakan di rumahnya, aku dipastikan jarang absen.       

Ah...Aku begitu merasa kesepian ketika dirinya memutuskan untuk pindah ke Jakarta. "Bukankah Batam tempat yang seru untuk berbuat kebajikan kan Mbak?" Pertanyaan itu tak pernah aku lontarkan. Aku hanya merekam kata-katamu lewat kameraku saat Engkau pamit kepada kami, teman-teman FLPmu.

Saat aku merindukannya, seringkali aku bertanya dalam hati, Kapan kita diskusi lagi tentang bagaimana mengelola rumah baca kita, bagaimana agar anak-anak di sekitar tempat tinggal kita gemar membaca dan memperoleh akses yang mudah ke perpustakaan. Bagaimana agar anak-anak menyukai menulis dan mempunyai karya lalu bisa menerbitkannya? "Itu diskusi-diskusi kita dulu kan Mbak?"

Dirimu lebih memilih mengembangkan bisnis bersama suami dengan hijrah ke Jakarta. Dan dengar apa katamu? Ya, "Semoga kepindahan ke Jakarta ini menjadi langkah awal dalam memperbaiki diri". "Lillahi wa rosul". katamu lagi.

Dua tahun berlalu, setelah kepindahan ke Jakarta aku dipertemukan lagi dengannya dalam acara Launching bukunya yang berjudul "Sembari Mencari Kutu" yang kami gelar di Mesjid Raya Batam Centre. Namun ada yang lain dengannya, badannya tampak kurus, wajahnya pucat, dan aura semangatnya tidak menggebu-gebu lagi. Ada apa denganmu Mbak?

Sehingga akhirnya selesai acara, ketika kita duduk melingkar, tumpahlah segala uneg-uneg yang selama bertahun-tahun tertutup rapat. Cerita itu mengalir dari bibirmu. Bagai petir di siang bolong, Aku masih tak percaya dan tak pernah menyangka. Ternyata suami tercinta, Ayah dari anak-anakmu yang cerdas itu, rela menceraikanmu demi wanita lain. Meraih obsesinya untuk beristri lebih dari satu.

Aku menangis Mbak. Aku menangis. Saat itu di depanmu, mataku pun berkaca-kaca. Sekuat tenaga aku bendung air mata ini agar tidak tumpah. Bukankah dirimu pun tampak tegar saat menceritakannya pada kami? Saat kita duduk melingkar berdiskusi lagi, saat Engkau berkata sambil mengangkat bahu "we have been divorced". Semua dari kami terpukul, tapi dirimu tetap tegar.

Yang dirimu khawatirkan hanyalah Abah dan Ibu serta keluarga besar yang sangat terlukai dengan perceraian ini. Abah dan ibu. Dirimu lebih memikirkan mereka daripada memikirkan kondisi kesehatanmu yang makin menurun.

Oya, Abah dan Ibu! Jadi teringat saat mereka berlibur ke Batam, dan Aku sedang berkunjung ke rumah Mbak. Abah dan Ibu menanyaiku macam-macam. Mereka begitu berwibawa,  namun ramah, dan menyenangkan. Obrolan-obrolan denganku mengalir begitu lancar. Ah Aku kagum kepada Abah dan Ibu. Pantas saja dirimu setegar itu. Betul kata Pak Cahyadi Takariawan, Yang memberi Kata Pengantar di bukumu  yang berjudul Hingga Detak Jantungku Berhenti, yang mengatakan bahwa Abah adalah universitas kehidupan yang memberikan ilmu, pengetahuan, pemahaman dan keyakinan akan sebuah jalan hidup.

Kini Engkau telah tiada, meninggalkan jejak yang takkan terhapus waktu, dan tak lekang oleh zaman. Karya-karyamu tetap ada menemani kami. Dan dua jundi kecilmu, aku yakin senantiasa mendoakanmu agar mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya. Insya Allah!

Oya Mbak...ada satu kabar gembira yang baru saja kuterima dari adikmu Intan.  Katanya Fathin baru-baru ini pulang membawa piala karena ia juara tiga olympiade mata pelajaran Teknologi se DIY dan Jawa Tengah. Aku menangis. Aku menangis lagi Mbak...tapi kali ini aku menangis bahagia. Mungkin di sana,dirimu pun tersenyum bahagia.

Akhir kata, semoga kita dipertemukan kelak ya Mbak, kelak di Surga-nya. Aku bersaksi kepada Allah bahwa Mbak adalah orang yang baik lagi taat kepada-Nya.

Selamat jalan Mbaak... Selamat tidur yang panjang Bidadari biruku.

Posting Komentar

Halaman ini dimoderasi untuk mengurangi spam yang masuk. Terima kasih sudah meninggalkan komen di sini.

Made with by Lina W. Sasmita