Hunting Foto dan TKW


Apr 2, '06 5:50 PM
for everyone
Sabtu, 18 Maret 2006


“Hallo, assalamualaikum, Ismi ya? Ismi ini Mba Lina, eh hari sabtu sore ada acara nggak?” “Nggak ada Mba memangnya kenapa?” “nggg….. Saya dan Mba Erni ada perlu, boleh pinjam motornya nggak?” Aku sedikit ragu. “Boleh kok Mba, Insya Allah saya gak ada acara. Jam berapa Mba perlunya?” Kata Ismi. Ihhh ternyata dia baik banget mau minjemin motornya. Aku jadi malu sendiri soalnya dia pernah pinjam kamera digital tapi waktu itu aku nggak ngasih. Alasannya tidak untuk dipinjamkan dan kalau dipegang orang lain malah sering rusak. Hiksss bilang aja pelit.


Hari itu aku dan Erni meluncur dengar sepeda motor punya Ismi. Yang bawa tentu saja Erni. Aku biar bagaimana pun tetap trauma bawa motor sendiri. Dari dulu belajar tetap saja jatuh melulu. Pernah satu waktu Erni protes. “Masa sih gak bisa bawa motor, akhwat sekarang tuh harus bisa bawa motor”. Katanya. “Yeee… maksa banget kalau trauma mau gimana lagi coba”. Jawabku. Teman-temanku yang lain pun pada keheranan. Ismi juga pernah nanya. “Masa sih Mba gak bisa bawa motor?”


Sebagian lagi memang mafhum. Temanku Ani pernah berkata “Memang kok Teh cewek Sunda itu rata-rata gak pada bisa bawa motor. Tetanggaku juga begitu. Tapi kalau di Jawa, dari anak-anak kecil pun udah pada bisa bawa motor. Makanya kalau ke sekolah gak bawa motor itu maluuu banget. Kadang sampe bolos sekolah gara-gara nggak dibeliin motor. Bahkan ada anak yang bunuh diri gara-gara malu gak punya motor buat sekolah”. Ani menerangkan panjang lebar. “Hah masa sih… aku terbengong-bengong mendengar keterangan dari Ani. Ah untung saja masyarakat di kampungku dulu memang terbiasa hidup tanpa menggunakan sepeda motor. Kalau pun ada hanya digunakan oleh tukang ojek saja. Lainnya tidak. Seandainya tren bersepeda motor ke sekolah makin marak maka tak sedikit mungkin anak-anak sekolah yang mati bunuh diri.


Sore itu Aku dan Erni asyik berburu foto di kawasan Dam Sei Ladi. Jepret sana jepret sini. Aku tertarik mengambil gambar pohon kering di tepi danau. Sedangkan Erni lebih tertarik pada semut-semut yang antri di tanah. “Cari yang lagi salaman” kataku. Ia pun semakin serius membidikkan kamera digitalnya ke permukaan tanah yang kering kemudian permukaan batu, tebing, dan riak air. “Kalau aku lebih suka memfoto tekstur” katanya.


Tak terasa hari sudah maghrib saat kami meninggalkan Dam Sei Ladi. “Besok kita kemana lagi nih?” Erni menanyaiku. “Jembatan tiga Barelang”. Jawabku singkat. Ya aku baru ingat foto-foto seri Barelangku belum lengkap. Baru jembatan 1 saja. Masih ada 5 jembatan dan 5 pulau lagi yang belum terbidik kameraku. Album edisi Barelangku belum lengkap.


Barelang adalah nama sebuah jalur yang menghubungkan 6 buah pulau di kepulauan Riau. Bermula dari pulau Batam dan berakhir di pulau Galang Baru. Pulau Galang merupakan pulau tempat pengungsian bangsa Vietnam pada masa perang dulu. Di pulau itu masih ada sisa-sisa peninggalan sejarah dan budaya Vietnam yang terawat baik hingga saat ini.


Setelah kami tiba di rumah, Ismi masih tertidur pulas di kamarku. Seharian tadi ia berada di luar hingga kecapain dan dehidrasi. “Aduh Mba capek bangeeet… jam berapa ya sekarang?” kata Ismi sambil meregangkan badannya.Kaget kalau ketiduran sampe maghrib begitu.


Ismi dan Erni sepakat untuk menginap bareng di rumahku. Aku tentu saja senang sekali karena jarang-jarang bisa kumpul-kumpul seperti ini.


Malamnya Aku dan Erni asyik membahas hasil jepretan kamera di Sei Ladi tadi. Sesekali Ismi mengomentari. “Mba, aku nonton dong foto-fotonya?” Kata Ismi. “Lihat bukan nonton” Aku memprotes Ismi. Ia pun hanya mesem saja.


Dari tadi hanphone Ismi berbunyi terus, ia pun serius berbicara dalam bahasa Jawa. “Siapa Is?” kataku. “Ini Mba dari temanku, ia TKW dari Singapura katanya sih lagi cuti terus main ke Batam. Eh boleh kan Mba kalau ia ke sini?” Ismi meminta izinku. “Boleh gak apa-apa kok’ kataku.


Setengah jam kemudian teman Ismi pun datang. “Tari” katanya sambil menyodorkan tangannya ke aku. Ia pun mulai bercerita tentang keberadaannya di Batam. “Lho dari Singapur kok gak bawa barang-barang atau baju ganti. Cuman bawa tas gitu doang?” kataku sambil menunjuk ke tas kecil yang diletakkannya di lantai kamar.“Barang-barang saya dititipin di teman di lancang Kuning Jodoh Mba” Kata Tari. Aku pun segera bangkit dan memberikan baju tidur kepadanya. “Nih pakai ini aja, kalau mau bersih-bersih itu handuknya” kataku sambil menunjuk ke handuk yang ada di jemuran. 


Sebelum tertidur, kami sempat mendengar cerita Tari. Katanya ia sedang cuti karena majikannya sedang liburan ke Australia. Ia pun berniat ke Batam saja ke tempat temannya di daerah Jodoh tapi karena temannya gak ada ia pun main ke Mega Mall Batam Centre. Di Mega Mall ia ketemu Ismi lalu berkenalan. Nah mungkin karena nggak tahu mau kemana lagi maka ia pun menyusul Ismi ke rumah diantarkan oleh seorang cowok yang bekerja di Pelabuhan Batam Centre. Cowok itu adalah pacarnya di kampung dulu. Sudah tujuh tahun tidak bertemu. Katanya dulu tidak pernah ada kata putus di antara mereka. Tari ke Singapura dan Cowoknya entah kemana. Ia pun sempat kaget bisa dipertemukan dengannya di Batam. Ah dunia ini memang sempit. 


Minggu, 19 Maret 2006

Setelah sholat subuh, aku pun sibuk menyiapkan sarapan buat Erni, Ismi dan Tari. Tapi sebelum sarapan siap, Ismi dan Erni sudah ngacir duluan. Pulang ke rumah masing-masing. Tari yang masih lelap tidur aku bangunin. “Ri sarapan dulu nih.” Aku meletakkan teh manis di bufet kamar. Ia hanya mengangguk dan tertidur lagi. Mungkin kecapaian.


Sekitar jam sepuluhan, Ismi datang lagi ke rumah. Ia menanyakan tujuan Tari selanjutnya. Mau kemana. Tari nampak kebingungan. “Aku mau nunggu temanku yang tadi malam nganterin aku ke sini, eh aku mau cari bule dulu buat wawancara, tapi nanti aku mau ke Batu Ampar ke tempat temanku juga.” Katanya ngebingungin. “Ya udah kalau mau nunggu temannya ya di sini aja dulu sampe temannya jemput” kataku. Tari pun kelihatan senang dengan keputusanku. Ismi pun akhirnya pulang.

Karena teman yang ditunggunya tidak datang juga, Tari mengajakku untuk mengantarnya ke Mega Mall Batam Centre. Katanya sih mau cari bule. Dia dapat tugas dari guru bahasa Inggrisnya di kedutaan untuk mewawancarai bule atau orang asing yang datang ke Batam. Walaupun agak malas aku berangkat juga. “Teh gak ada acara kan? Teteh Ikhlas kan nolong saya?” kata-kata itu terus saja ia ucapkan ketika aku mengiyakan untuk mengantarnya ke Mega Mall.


Sebelum memasuki Mega Mall Tari mengajakku ke Pelabuhan Batam Centre. Ia mencari temannya yang semalam mengantarkannya ke rumah. Namanya Hari. Katanya ia bekerja sebagai securiry di pelabuhan.


“Ayo mau minum apa Teh?” Kata Tari sambil duduk di kursi kantin pelabuhan. Kami baru saja sampai. “Teh obeng aja deh. Kalau Kamu?” Aku balik bertanya. “Saya teh manis dingin aja”. Katanya polos. “Yee…. Sama aja itu mah. Teh obeng itu ya teh manis juga.” Kataku sambil tertawa. Pelayan kantin pun ikut tersenyum-senyum.Teh manis kalau di Batam disebutnya memang teh obeng.


Beberapa saat kemudian cowok yang bernama Hari muncul dan bergabung bersama kami. Tari langsung memperkenalkannya sama Aku. Kami pun bercerita panjang lebar. Tiba-tiba tangan Tari menunjuk ke arah belakangku. “Teh cowok itu yang kemaren megang-megang Aku waktu keluar dari pelabuhan.” Kata Tari sambil melirik ke arah cowok yang duduk di sudut kantin. Ia mengenakan seragam security. “Harusnya kamu gampar aja langsung. Cowok kurang ajar kayak gitu" aku mendengus kesal. Hari melirik ke arah cowok tadi. “Oh dia temanku. Dia itu orangnya baik kok” kata Hari membelanya. “Iya sama kamu baik tapi sama orang lain belum tentu.” Penjahat yang jahat banget sekalipun tetap saja gak jahat ke semua orang. Bisa saja dia masih baik sama orang tuanya. Tapi sama orang lain kan nggak. Orang dikatakan jahat itu ya ketika dia berbuat jahat pada seseorang, entah siapa ia.” Kataku dengan nada tinggi. Lumayan sewot juga, kok bisa-bisanya dia belain cowok itu. Merasa diperhatikan akhirnya cowok itu pun berlalu pergi. 


Setelah puas ngobrol akhirnya kami menuju Mega Mall. Berjalan melalui jembatan layang yang menghubungkan pelabuhan dengan Mega Mall yang hari minggu itu penuh sesak. Di kanan kiri jembatan layang, anak-anak remaja tanggung berpakaian nyentrik dengan bangganya mengisap rokok sambil memamerkan kemahirannya memainkan asap rokok. Seakan mereka berbicara “nihh gue walau sekecil ini udah pandai ngabisin duit nyokap bokap buat beli rokok.” Duhhh aku malah bertanya-tanya “Apa orang tuanya juga bangga ya punya anak sekecil itu udah pandai merokok?”


Tari menyeret lenganku. “Itu teh ada bule.” Katanya sambil berlari-lari ngejar bule yang melintas di hadapan kami. Lalu ia pun cas cis cus menanyainya. Bule itu langsung pergi. “Ah sombong banget ya.” Tari mengeluh. Berkali-kali ia terus mencobanya. Namun aneh banget gak ada satu pun bule yang mau meladeni. Paling-paling menjawab “Sorry I’m in Hurry”. Atau hanya menatap sangar sama kami kemudian berlalu pergi. “Hah memanglah bule-bule sombong”. Tak ayal aku pun jadi kesal sendiri. Hari dengan sabar mengikuti kami. Setelah hampir setengah jam, Hari pamitan pulang. Kayaknya ia kecapean karena baru pulang kerja. 


Di lantai dasar Mega Mall sedang ada kontes Dance. Pesertanya anak-anak remaja. Terlihat orang-orang menontonnya dengan seksama. Memperhatikan liuk tubuh anak-anak itu. Duhh pakaiannya itu. Ah Aku selalu gak nyaman berada di keramaian. Bawaannya pengen cabut terus. Cuci mata, belanja, nongkrong di mall, sama sekali bukan duniaku. Entah kenapa Aku selalu risih berada di tempat-tempat seperti ini. “Ah.. seandainya ada mall di tepi hutan.” Aku mulai berkhayal.


“Ri Teteh harus pulang jam tiga nih soalnya ada janji sama Erni. Kamu mau ikut pulang gak?” Kataku saat melongokkan kepala ke lantai dasar tempat kontes Dance. “Saya nanti sajalah soalnya mau ke teman yang di Batu Ampar itu” katanya. Akhirnya Aku pulang setelah memberinya petunjuk kalau nanti ia pulang sendiri. "Bilang aja Genta satu ya" kataku menyuruhnya untuk nanti bilang ke sopir angkutan untuk diturunkan di perumahan tempat tinggalku.


Sore itu Aku dan Erni memang janjian mau hunting foto lagi. Sesuai kesepakatan kemarin tujuan hari ini adalah ke Jembatan tiga Barelang. Sebuah Jembatan yang menghubungkan pulau Tonton dan Pulau Setoko.


Malam aku mulai resah. Si Tari nggak pulang hingga esok harinya. Tari kemanakah dirimu. Tahu apa sih kamu tentang Batam. Bisa saja namamu mendadak muncul di koran dan memberitakan penemuan mayat seorang TKW....atau hiyyyy aku mulai bergidik. Di Batam apapun bisa terjadi. Tingkat orang meninggal karena dibunuh bisa mengalahkan tingkat kelahiran. Dan aneh jarang sekali terungkap. Padahal mungkin saja dapat diungkap. Ahh anak orang kok nggak pulang-pulang sih. Aku pun sibuk sendirian.


Esok sorenya Tari pulang dengan membawa cerita pilu. "Teh Saya nyasar terus naik ojeg dari Batam Centre tapi diturunin entah dimana. Orang itu bilang ini sudah nyampe ke Genta satu padahal di Nagoya" katanya sambil memelas. "Ya ampun kamu bayar berapa dek?" aku langsung menanyainya. "duapuluh lima ribu" katanya. Hah.... aku terbelalak. "Dasar tukang ojek kurang ajar semoga saja....eh nggak deh... ya semoga saja dia sadar" emosiku langsung meledak. "Nah udah tau kan apa Teteh bilang jangan mudah percayaan sama orang kalau di Batam" aku mulai memarahinya. Padahal entah anak siapa itu yang jelas aku kaget. Huh kalau saja terjadi apa-apa. Bisa saja tukang ojek itu mengantarnya ke rumah lacur atau ke diskotik atau menjualnya ke germo-germo seperti yang dialami gadis terlantar lainnya di Batam. Andai dia tahu, harusnya dia bersyukur Allah masih melindunginya dari perbuatan jahat sesama manusia.

Posting Komentar

Halaman ini dimoderasi untuk mengurangi spam yang masuk. Terima kasih sudah meninggalkan komen di sini.

Made with by Lina W. Sasmita