File pindahan dari Blog Multiply
Saya dan Lastri berencana kemping di sebuah Pulau
yang berbatasan langsung dengan Singapura. Sebuah pulau kecil yang tak
berpenghuni. Sudah lama sering dijadikan lokasi kemping anak-anak
Cumfire. Kalau sudah bosan kemping di hutan, pelariannya ya ke pulau
ini. Penduduk sekitar situ menyebut pulau ini Pantai Indah.
Baca cerita sebelumnya di tulisan: Catatan tentang seorang kawan.
Sesuai namanya, pantainya memang indah, walau sempit dan sebagian tertutup lumut namun sangat pas buat menyendiri. Apalagi
kalau malam hari, suasana sepi diselingi deburan ombak, dihiasi bias
bintang dan kerlap-kerlip Singapura di kejauhan makin menambah sendu
suasana hati. Yang lagi kesepian seperti saya, kemping ditempat ini bisa
termehek-mehek. Berharap kalau si ganteng yang jalan bareng ke Gunung
Ciremai itu menemani. Uhuy so romantic gitu.
Kami ke sana tentu ada alasannya, di samping karena lagi kere ditambah lagi
tidak ada cuti tersisa, jadilah merayakan Agustusan di Pulau itu.
Secara ke sana ongkosnya cuma 5 ribu rupiah saja dari Pelabuhan Sekupang
Batam. Selain itu kemping kali ini menjadi obat kangen saya dan Lastri
yang jarang ketemu karena masing-masing sibuk kerja. Oow.
Mei 2005, Lastri ikut mendaki Gunung Talamau di Pasaman Sumatera Barat bersama Bang Hendri Agustin. Gunung Talamau adalah Gunung tertinggi di Sumatera Barat yang sangat indah karena dihiasi 13 telaga di areal puncaknya.
Semula
dia sangat tidak pede karena katanya nggak enak kalau tidak ada saya. Memangnya makanan! Ya mau gimana lagi saya emang ada rencana lain
yang waktu itu nggak sempat bilang-bilang sama Lastri.
Lastri pun berangkat naik pesawat Batam-Padang. Ia janjian ketemuan dengan Bang Hendri dan kawan-kawan lainnya di Kota Padang. Huh senangnya bisa melepas anak satu itu. Akhirnya berani keluar kandang sendiri hehe.
Juni 2005 saya mendaki gunung Kinabalu di Sabah Malaysia. Rencana pendakian sudah dibuat sejak Mei sebelumnya, sehingga pendakian ke gunung Talamau pun saya absen mengingat
budget yang pas-pasan. Namun karena takut tidak jadi, makanya saya tidak
bilang siapa-siapa. Yah daripada malu mending diam dulu ya kan? Pulang dari Kinabalu saya buat laporan resmi kepada Lastri. Walaah yang ada dia malah ngambek.
Untuk
mengobati kekesalannya gak diajak ke Kinabalu, akhirnya Agustus 2005
kami mendaki gunung-gunung di Sumatera Utara. Awalnya kami bertiga
bersama Nurdiana, namun karena ada sesuatu hal seperti sudah pernah
ditulis di sini Nurdiana pun batal ikut. Rencananya
mau triple S. Sinabung, Sibayak, dan Sibuatan. Namun ternyata info
tentang S yang ketiga sangat-sangat minim. Sibuatan?
Berbagai
usaha untuk mencari tahu mulai dari browsing, googling, chatting, dan
ing ing yang lainnya tak satu pun membuahkan hasil. Apakah diantara
jutaan pendaki di Indonesia belum pernah ada yang ke gunung itu sehingga sangat-sangat susah mencaritahunya? Entahlah. Ada pun teman yang tahu tapi tidak mau ngasih tau. Weeyy teman macam apa tuh?
Bahkan
di tempat kerjaku yang mayoritas pekerjanya orang Batak saja tak satu
pun yang tahu. Oalah, bingung bin panic, ya sudahlah go show saja siapa
tahu di sana ada yang ngasih tahu. Toh masih ada 2S Sinabung Sibayak yang jadi prioritas utama.
Baru-baru ini saja, aku tahu bahwa ada juga orang Jakarta yang pernah ke sana, sila baca di gunungbagging.com Thanks ya Bang Daniel, usahamu memang pantas diberi 10 jempol. Wah seandainya Lastri tahu pasti senang sekali.
Dengan menaiki Kapal Kelud kami menempuh perjalanan Batam - Medan (Pelabuhan Belawan) selama
22 jam. Sampai di sana dijemput oleh teman-temannya Lastri yang ngajak
muter-muter dulu di Kota Medan. Setelah itu mereka mengantarkan kami ke
Brastagi, kota yang terdekat dengan titik daki ke gunung Sinabung.
Ringkas cerita kami berdua tiba di Danau Lau Kawar titik daki ke gunung Sibuatan. Wow takjub, di sana
sudah banyak ratusan tenda pendaki yang berjejer memenuhi areal tepi
danau. Persis seperti jambore pramuka. Alhamdulillah rame, padahal
sempat deg-degan juga, secara kami cuma cewek berdua yang kurang ilmu, pengalaman dan keberanian.
Pendakian
Sinabung emang bikin gempor. Apalagi sampai di Tanjakan cinta, hadeeuh
sedap banget. Nafas ngos-ngosan, kaki cantengan, pinggang
serasa patah-patah pokoknya kumplit plit segala penderitaan. Sudah gitu
nenteng ransel yang guede-guede banget. Persis kura-kura ninja kesasar.
Namun
begitu sampai di puncak pemandangannya luar biasa spektakuler. Kompleks
puncak yang luas memberi kebebasan untuk melihat view ke bawah 360
derajat. Seketika capek dan pegal-pegal hilang dalam ingatan, walau
terasa senut-senut tak begitu dihiraukan karena terlalu senang sudah
dapat terbebas dari penderitaan.
Malamnya
tenda kami penuh didatangi tamu-tamu anak ABG yang nge-fans sama
kami. Halah jadi selebriti dadakan. Di antara segerombolan cowok-cowok
pendaki di puncak itu sepertinya kami tidak melihat perempuan lain
kecuali kami berdua. Jadilah kami yang tercantik segunung Sinabung.
.
.
Dengan
antusias, anak-anak ABG itu nanya-nanya inilah itulah sampai capek
menjawab pertanyaannya. Waduh nggak ada yang tua dikit apa biar Lastri
bisa ngeceng gitu? Padahal Lastri mendambakan pasangan hidup seorang
pendaki gunung. Sayangnya
nggak ada. Rata-rata yang mendaki ke situ anak-anak SMA paling banter
mahasiswa. Walaaah masih di bawah umur semua, secara kami ini sudah
mendekati usia tante-tante.
Melihat anak-anak SMA itu mendaki Ya ampyun kasihan amat. Ada yang naik gunung cuma pakai sendal jepit sama kaos oblong doang. Ada
yang nggak bawa jaket, banyak juga yang nggak bawa air, makanan, sama
tenda . Jadilah tidur umplek-umplekan, impit-impitan sampe badan mereka kaku
karena susah bergerak.
Malam itu juga sekalian deh kami ceramahin habis-habisan. Safety itu perlu, dan nyaman itu kudu. Terlalu menganggap mudah mendaki gunung juga tidak baik. Alam tidak bisa ditebak seandainya terjadi cuaca buruk bagaimana? Naik gunung itu untuk bersenang-senang namun bagaimana mau senang jika pulang-pulang malah sakit parah bahkan bisa kehilangan nyawa.
Malam itu juga sekalian deh kami ceramahin habis-habisan. Safety itu perlu, dan nyaman itu kudu. Terlalu menganggap mudah mendaki gunung juga tidak baik. Alam tidak bisa ditebak seandainya terjadi cuaca buruk bagaimana? Naik gunung itu untuk bersenang-senang namun bagaimana mau senang jika pulang-pulang malah sakit parah bahkan bisa kehilangan nyawa.
Anak-anak
itu manggut-manggut memandang kami seperti ke guru ngaji. Tanpa
membantah tanpa menyela. Rupanya kata mereka memang belum tahu kok. Ooo
begitu ya? Tepuk jidat.
Masih bersambung ke tulisan ini: Part 3
Posting Komentar
Halaman ini dimoderasi untuk mengurangi spam yang masuk. Terima kasih sudah meninggalkan komen di sini.