Tulisan ini disalin dari Blog Multiply.com yang sudah tutup
Catatan perjalanan ini aku buat untuk mengenang kembali masa-masa kebersamaan aku dengan Lastri dalam berpetualang. Sedikit banyaknya mungkin dapat berguna bagi rekan-rekan yang haus akan petualangan ke luar daerah, atau yang ingin mengunjungi gunung Pusuk Buhit yang kurang begitu dikenal oleh masyarakat. Sehingga jalur ke sini bisa saja dibilang "The roadless traveller". So nggak berlama-lama, simak petualangan kami ya :
Awal Perjalanan Menuju Gunung Pusuk Buhit
Kami berdiri terpaku di tepi jalan Kabanjahe. Sebuah kota kecil di Provinsi Sumatera Utara. Tujuan kami sebenarnya adalah Gunung Sibuatan, namun karena minimnya informasi maka akhirnya kami memilih opsi terakhir yakni mengunjungi gunung lainnya yang bernama Gunung Pusuk Buhit yang direkomendasikan oleh rekan kerjaku yang berasal dari daerah sekitar sana.
Bukannya kami tidak berusaha. Sungguh kami telah kehabisan cara untuk mendapatkan informasi yang jelas mengenai keberadaan Gunung Sibuatan saat itu. Dari internet, komunitas pecinta alam, rekan-rekan kerja yang berasal dari Sumatera Utara, tetangga, bahkan sopir angkot dan tukang ojek sekali pun sudah kami tanyai. Hasilnya nihil. Ya sudahlah, Gunung Sibuatan biarlah tetap menjadi misteri bagi kami.
Namun sungguh petualangan ini tetap harus berlanjut. Waktu yang tersisa untuk perjalanan kami sekitar 5 hari lagi sayang kalau disia-siakan dengan langsung pulang ke Batam.
Jadilah kami memasang badan dan melambai-lambaikan tangan di tepi jalan. Berusaha menyetop sebuah angkutan umum yang menuju ke Pangururan. Sebuah wilayah yang bahkan kami saja tak begitu yakin ada dimana. Nama angkutan itu "Sampri" nama yang aneh buat Sebuah angkutan. Pantasnya Sampri itu nama seseorang semisal Supri, Jufri, atau Andri :)
Sudah lupakanlah nama si Sampri atau Jufri itu, sekarang angkutan umum itu telah melaju meninggalkan Kota Kabanjahe. Selanjutnya memasuki daerah Sumbul Kabupaten Dairi. Sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan yang luar biasa indahnya.Padang-padang rumput terhampar luas, dimana sapi dan kerbau merumput dengan damainya. Herannya Nggak rebutan nggak berantem gitu lho hehe… Selanjutnya hamparan sawah menguning membuat gradasi yang kontras dengan hijau hutan, biru gunung dan putihnya awan di kejauhan.
Di sebuah persimpangan, mobil berhenti, Aku menatap ke depan. Hatiku berdegup kencang. Di sana terlihat sebuah gunung yang tinggi yang begitu megah dan anggun, muncul begitu saja di antara gumpalan awan yang memanjang. Begitu mistis dan menggetarkan. "Masih ada harimau turun di sana". Suara seseorang di ujung telpon terngiang lagi di telinga. Ia saja yang berkali-kali ke sana enggan memberi tahu kami. Padahal beberapa bulan sebelumnya ia baru saja mengantar pendaki-pendaki dari Kuala Lumpur mendaki ke Gunung Sibuatan. Jadi ada apa sesungguhnya? Aku dan Lastri hanya menahan sesak di dada. Tak tahu mesti berbuat apa. Gunung Sibuatan seperti ditutupi untuk pendaki haram semacam kami.
Di dalam Sampri, masih di simpang jalan itu, Aku dan Lastri saling memandang. Itukah Gunung Sibuatan? Kami saling berbisik. Tidak ada yang tahu. Bahkan penumpang angkutan ini pun sepertinya tidak tahu. Kami pun sudah lelah bertanya-tanya jadi biarlah nasib yang menentukan kemana kami akan menuju. Akankah mobil ini lurus menuju kesana atau berbelok ke kiri? Papan penunjuk jalan bertuliskan Lurus ke Sidikalang dan belok kiri ke Kabupaten Dairi. Hatiku berharap-harap cemas semoga saja mobil ini bergerak lurus mengarah mendekati gunung itu.
Sopir Sampri kemudian masuk dan menyalakan mesin mobil. Pelan-pelan Sampri melaju dan...tadaaaa…ternyata mobil belok ke kiri. Kami menghela nafas panjang huuuh.... selamat tinggal gunung yang mistis, ternyata kami tidak berjodoh dengannya.
Fikiran kami masih tertinggal di gunung mistis tadi namun beberapa penumpang yang mulai memperhatikan keberadaan kami sibuk bertanya ini itu. Ibu-ibu yang duduk di dekatku pun mulai menanyai kami macam-macam. Semua penumpang heran melihat dua perempuan muda dengan ransel segede gaban jauh-jauh dari negeri antah berantah duduk manis di angkutan umum di wilayah mereka :) dan katanya mau naik gunung pula. ihh...kurang kerjaan.
Kami memanfaatkan moment itu dengan menanyai penumpang mengenai gunung Pusuk Buhit. Gunung yang menjadi pilihan terakhir kami dalam petualangan ini. Semua penumpang antusias saling bersahutan memberi penjelasan. Aku mulai merasa senang ternyata orang-orang batak di sini begitu ramah dan baik hati. Jauh dari kesan selama ini yang cenderung mengidentikkan orang Batak dengan perilaku kasar dan keras.
Gunung Pusuk Buhit dikenal sebagai gunung dimana orang Batak bermula. Asal-usul orang Batak adalah dari gunung ini. Jadi kami patut bangga bahwa kami yang bukan orang Batak akan menginjakkan kaki di gunung ini. Aku memikirkan apakah Si raja minyak Poltak juga sudah pernah naik gunung ini atau belum?
Sesaat kemudian Kami melewati wilayah-wilayah yang ternyata namanya familiar buat Saya. Karena nama-nama wilayah ini seperti nama belakang rekan-rekan kerja yang berasal dari Sumatera Utara. Sebutlah salah satunya yang paling Saya ingat adalah Hutagalung. Fikiranku langsung melayang ke Artis cantik Nadya Hutagalung. Aku senang ternyata aku telah melewati kampung nenek moyangnya si Nadya. Belum tentu dia juga pernah ke sana kan? Hehehe...
Sore itu kami melewati Tanjung Beringin, Parbuluan Kabupaten Toba Samosir. Layaknya sopir pribadi Aku minta mobil diberhentikan untuk mengabadikan pemandangan yang sangat indah. Jalanan yang mengular menyisir perbukitan diselingi pohon – pohon pinus membuat diri ini terasa bukan berada di negeri sendiri. Liku jalan dan hamparan danau Toba serta pemandangan Pulau Samosir di sebrangnya menyuguhkan pemandangan yang spektakuler. Seluruh penumpang tidak ada yang protes, semua berlomba ingin menyenangkan kami para pendatang yang tak tahu malu.
Pukul 5 lewat 30 menit kami tiba di Pangururan. Kami diberhentikan di tengah-tengah Kota kecil ini dimana terdapat patung kepala kerbau (entah sapi) tepat di tengah-tengah persimpangan jalan raya kota ini. Kepala kerbau ini mungkin sebagai land mark atau penanda daerah ini.
Setelah itu kami langsung mencari penginapan. Tak jauh dari Patung Kepala kerbau ada sebuah hotel yang murah meriah. Namanya Hotel Wisata. (nama yang nggak kreatif untuk sebuah hotel kan?) Saat itu tahun 2004 sewa kamar dengan tempat tidur twin bed hanya 22 ribu rupiah. Murah banget! Kami bagi dua masing-masing cuma bayar 11 ribu perak saja. Padahal lokasinya strategis, fasilitasnya lumayan lengkap dan bersih. Kalau banyak hotel kayak gini bisa – bisa nggak pulang-pulang deh bawaannya pengen jalan terus.
Dan… begitu masuk kamar kami langsung merebahkan badan bobo manis di kasur yang empuk. Mmm…nyamannya!!
Bersambung ke sini :
sekarang sibuatan udah jelas jalurnya kaka. .
BalasHapusudah ada warga situ yang mengelola registrasi masuk ke sibuatan. . kak
Iya terima kasih informasinya. Beberapa teman juga sering ada yang mengajak ke sana.
Hapus