Surat
Lastri yang pertama datang di awal tahun 2006
Ia
mengabarkan bahwa ia trekking ke Taman Nasional Gunung Leuseur
sendirian. Ia disangka dan terus disangka mahasiswa oleh petugas TNGL
di sana. Walau sudah mati-matian menjelaskan bukan mahasisiwa. Ia
tetap dituduh Mahasisiwa atau dosen yang rendah hati. Secara yang ke
sana hanyalah para peneliti luar negeri dan para akademisi. Semua
orang tidak percaya bahwa ia hanyalah orang biasa-biasa. Ia bercerita
tentang gunung Kemiri dan Bandahara di sekitar TNGL. Tak lupa
menyelipkan foto salah satu gunung itu sebagai bukti.Saya Cuma ngiler
baca tulisannya dan salut atas keberaniannya menjelajah sendirian.
Gunung Leuseur adalah rencana petualangan kami lainnya yang tertunda.
Surat
kedua Maret 2006
Ia
mengabarkan sedang merintis usaha sendiri di rumahnya. Lastri juga
marah karena pada balasan surat yang pertama Saya mengabarkan bahwa
Agustus 2006 Saya akan mendaki Gunung Daik di Pulau Lingga. “Serius
nih mau ke Daik? Kenapa nggak dari dulu waktu Aku masih di Batam Teh?
Curang nih Teteh.” Tulisnya
di surat itu. Ia juga mengabarkan bahwa akan melakukan trip ke Gunung
Kerinci dan Gunung Dempo. Ia pun membeli Atlas dan setiap menjelang
tidur ia membaca dan memandangi petanya. Haha…mungkin sekalian
berharap mimpi mendaki gunung-gunung di Indonesia kale ya. Wah kalau
Saya mimpi naik gunung? males rasanya. walau hanya mimpi tetep saja
badan terasa capek.
Surat
ketiga, Desember 2006
“Tadinya
sich emang marah berat, soalnya Teteh udah lupa ngebalas suratnya.
Tapi sekarang gak jadi dech. Trus kapan mau wedding partynya Teh? Oya
kalau misalnya jadi sama Bang Ical honeymoonnnya ke gunung mana
teh?” Glekk….itu
dia yang bikin pusing. Urusan sama si dia di tahun ini tambah
runyam. “Rencana
ke Daik kan udah dari dulu jamannya Aku masih di Batam, tapi kenapa
baru naik sekarang? Teteh curang nih”. Seperti
suratnya yang terdahulu Ia pun masih tetap nggak terima kalau Saya
naik ke Gunung Daik tanpanya.
Surat
keempat, Januari 2007
“Jadi
sekarang ceritanya Teteh lagi badmood gara-gara Bang Ical nunda-nunda
gitu? Sabar aja Teh, mungkin Bang Ical pengen benar-benar siap lahir
batin kalau nanti hidup berumah tangga. Jangan diburu-buru ntar Bang
Icalnya malah kabur lagi”. Haha….panjang
lebar Lastri nyeramahin tentang kekecewaanku sama si dia. Dan ia pun
bercerita masih penasaran sekali dengan Gunung
Sibuatan. Dimanakah
berada? Waduh sebuah keinginan yang belakangan malah berubah jadi
obsesi. Katanya ia akan berangkat untuk survey Gunung Sibuatan.
Surat
Kelima, April 2007
Ia
bercerita telah melakukan solo tarveling dalam pencarian mengenai
letak gunung
Sibuatan.
Ia memulainya dari daerah bernama Tongging di sisi danau Toba “Aku
melihat sederetan gunung-gunung yang mengelilingi danau dan yang
menarik perhatianku, ada satu gunung yang kelihatan lebih tinggi dari
gunung-gunung di sekitarnya. Waktu kutanya ke salah satu pekerja
penginapan, katanya itu hanyalah gunung biasa seperti gunung
lainnya”. Sampai
di sini, pencarian panjangnya belum membuahkan hasil. Wahai Gunung
Sibuatan,
Dapatkah kau mendengar suara hatinya? Seseorang telah merindukanmu
bertahun-tahun lamanya?
***
Juli
2007 Saya menikah dengan seeorang yang pernah diceritakan sebelumnya.
Lastri yang memang jauh di Kisaran Sumatera Utara hanya mengirimkan
sms ucapan selamat, namun begitu mengharukan bagi Saya. “Bahagia
banget jadi teteh dapat soulmate impian sama-sama pendaki. Honeymoon
ke gunung Teh? , pastinya Aku mo ngucapin Congratulation buat teteh
dan Bang Ical, semoga bahagia sampai aki dan nini”. Aku
hanya terpekur membaca smsnya. Iya, Aku harus bersyukur bahwa
skenario-Nya sesuai harapanku dulu. Seseorang itu adalah lelaki yang
menyukai gunung.
Surat
keenam, Maret 2008
Ia
mengisahkan perjalanannya ke daerah Mandailing Natal dimana di sana
terdapat Gunung Sorik Marapi. Dengan ketinggian 2.145 mdpl.Namun
karena ia hanya sendiri, perempuan pula, penduduk setempat tidak
mengijinkannya untuk mendaki gunung. Ia diterima baik oleh kepala
Desa dan warga, yang cuma mengijinkannya trekking di sekitar kaki
gunung saja. Gunung ini sempat menjadi optionterakhir
kami saat gagal mendaki Sibuatan, namun karena akses ke sana belum
kami ketahui, akhirnya kami skip dulu. Mungkin suatu
saat nanti. Dan Lastri sendiri melanjutkan rencana itu.
Surat
ketujuh, Agustus 2008
“Ini
hasil survey mencari keberadaan gunung
Sibuatan dan
info dari beberapa teman di Medan yang udah pernah kesana. Simak ya :
Hari
sabtu tepatnya tanggal 16 Agustus pukul 06.30 pagi Aku berangkat
menuju Silalahi. (karena menurut peta atlasku Silalahi adalah yang
terdekat dengan Sibuatan). Dingin, ngantuk (karena bangun pagi),
sendiri, dan sedikit khawatir menemani perjalananku kali ini. Sampai
di Silalahi pukul 15.30 setelah menempuh perjalanan 7 jam dengan
beberapa kali ganti angkutan, Aku lewat Siantar) Walau Aku bawa
peralatan namun karena gak ada lokasi camping ground akhirnya cari
penginapan, dapat yang 70.000 per malam.
Setelah
istirahat sebentar di penginapan, Aku memutuskan untuk jalan-jalan di
sekitar PLTA yang baru beroperasi + 2 tahun. Tetapi
di sepanjang pinggiran danau Toba tidak terlihat ada gunung yang
tinggi. Akhirnya Aku telpon temanku di Medan yang udah pernah ke
sana. Menurut dia walau tidak mengatakan secara jelas dia naik ke
sebuah tempat tinggi, dingin, tertutup, sakral, dan sering diadakan
ritual. Di sana dia melihat begitu banyak edelweis yang bertaburan
bagai padang rumput. Ia menyebutnya “Surga Dunia” karena pesona
keindahannya. Ia juga bilang siapapun yang pernah ke sana DILARANG
memberitahukan kepada orang lain. Itu sudah seperti perjanjian tidak
tertulis (Berbeda dengan catatan anak Mapala lainnya yang
memperbolehkan tempat itu dikunjungi siapa pun. Nah loh mana yang
benar?
Waktu
di daerah Merek Aku melihat sebuah gunung di kejauhan posisinya di
sebelah kanan jalan seperti kata temanku. Sepertinya Aku tahu jalan
masuknya. Temanku bilang gunung itu memang sakral, misterius, dan
luar biasa indahnya. So, apa Teh Lina dan Bang Ical masih niat untuk
menuntaskan “S” yang ketiga?
Sepulang
dari sana Aku semakin penasaran dan bertekad harus ke sana lagi. Tapi
untuk sendirian ke sana kayaknya gak mungkin banget. So, Aku tunggu
janji Teteh dan Bang Ical untuk sama-sama mengunjungi Sibuatan dan
membuktikan semua yang mereka katakan.”
Panjang
lebar cerita di suratnya Lastri. Dan itulah surat terakhirnya, karena
sepanjang 2009 – 2011 tak ada lagi surat-suratnya yang datang. Ia
sesekali hanya berkirim sms dan telpon. Di tahun 2009 ini pun ia
berkelana lagi sendirian menyambangi gunung Kerinci di Jambi untuk
kedua kalinya.
Tahun
2010 saat ia sedang dalam perjalanan petualangannya, ia berkenalan
dengan seorang lelaki. Walau lelaki tersebut bukan sesama pendaki
gunung seperti yang selama ini didambakannya, Lastri menerima
pinangan lelaki tersebut untuk menikahinya.
Betapa
bahagianya Saya mendengar kabar tersebut. Lastri Menikah!
Ya....Akhirnya penantian panjang itu berakhir juga.
Pertengahan
tahun 2011 ia mengabarkan bahwa ia sedang hamil. Dan sedang menanti
kehadiran sang buah hati. Saya ber-azzam akan membuat surprise untuk
mengunjunginya kelak kalau ia sudah melahirkan bayinya.
10
Oktober 2011 Aku megirim sms kepadanya.“Gimana
kabarnya, sudah lahiran belum?”Balasan
smsnya sungguh mengagetkanku.“Sudah
Teh dua malam yang lalu, tapi anakku meninggal pas lahir. Perempuan
cantik Teh…..” ada
rona kepedihan dalam tulisan sms-nya.
Meninggal?
Innalillahi…”Kalau
boleh tahu meninggalnya karena apa? Siapa tahu bisa jadi pelajaran
buat ibu-ibu hamil lainnya” Dengan
bahasa sehalus mungkin Aku mengirim sms lagi. Khawatir ia akan
terusik. Tak lama balasannya sampai.“Tenaga
yang Aku keluarin cuma nyangkut di leher gak sampe perut, jadi pas
mau keluar kepala anakku lama sangkut di lubang, tambah lagi pas
keluar lehernya kelilit tali ari-ari sampe 3. Dari 6 bulan posisi
anakku sering sungsang di perut teh, lahirnya normal.”
Berhari-hari
Aku masih mengingat dan mengkhawatirkan Lastri. Sungguh cobaan yang
sangat berat. Betapa sedih dan terpukulnya dia. Seorang calon ibu
yang dengan susah payah selama 9 bulan menanti kelahiran bayinya.
Makan, tidur, berjalan, dan segala aktivitasnya selama 9 bulan hanya
tercurah untuk menjaga bayi dalam kandungannya dalam posisi nyaman
lalu….begitu si jabang bayi lahir ia menyaksikan bahwa bayinya
meninggal. Segala perjuangannya berakhir dengan kekecewaan. Aku pun
sempat meneteskan air mata, tak kuasa menahan sedih. Pyuuhh...
bagaimana dengan Lastri? seperti apa hancur hatinya.
Akhirnya
kukirim lagi sms kepadanya “Semoga
Allah segera menggantinya dengan anak yang lebih cantik
lagi”. Yah…Semoga
Lastri segera mendapatkan penggantinya agar ia tidak terlalu merasa
kehilangan. Tak berani membayangkan seandainya apa yang terjadi
kepada Lastri terjadi kepada Saya juga, Saya segera bangkit dan
memeluk putri Saya yang tengah asyik bermain. Menghujaninya dengan
pelukan dan ciuman. "Ya
Allah panjangkanlah usia anakku, beri ia kesehatan dan keberkahan
dalam hidupnya."
Selesai.
Awal dari tulisan-tulisan tentang seri "Catatan Tentang Seorang Kawan" ini dibuat setelah Saya menerima sms Lastri tentang anaknya yang meninggal. Menyelesaikannya hampir 3 bulan. Sebuah prestasi menulis yang luar biasa "malasnya". Namun akhirnya karena takut keburu pergantian tahun diantara kesibukan kerja yang luar biasa repotnya yang terkadang mencuri-curi waktu kerja demi menulis, dengan susah payah selesai juga. LEGAAAA...
Semoga Lastri Senantiasa Berbahagia di Kisaran sana.
Posting Komentar
Halaman ini dimoderasi untuk mengurangi spam yang masuk. Terima kasih sudah meninggalkan komen di sini.