Mengenal Sekilas Keragaman Indonesia

Secara etimologi kata Indonesia berasal dari dua suku kata yaitu Indus (bahasa Latin) yang berarti Hindia dan Nesos (BahasaYunani) yang berarti kepulauan. Dengan gabungan dua suku kata di atas, Indonesia dimaknai sebagai kepulauan yang terletak di Hindia. Berdasarkan definisi tersebut, maka Saya akan memulai tulisan ini.


Semenjak kelas 4 Sekolah Dasar, Saya sangat menyenangi sebuah buku yang hampir setiap saat Saya pelajari. Bahkan menjelang tidur pun tak luput Saya baca-baca. Buku tersebut adalah atlas, yakni buku yang berisi peta suatu wilayah atau tempat. Saat itu, Saya begitu bersemangat menghafal seluruh isi atlas termasuk pulau demi pulau yang berjajar menjadi gugusan yang membentuk sebuah negara bernama Indonesia. Saya kagum dan terheran-heran betapa luas dan banyaknya pulau-pulau yang berada di wilayah negara Indonesia itu.


Ketika mengamati kepulauan di Indonesia yang satu warna, benak Saya mengatakan seharusnya pada peta ini terbentuk sebaran pola warna yang berbeda yang menyatakan perbedaan negara. Seperti halnya jika kita melihat perbedaan warna peta pada negara-negara di benua Eropa, Amerika, Afrika dan Asia Tengah.


Memandang peta tersebut, rasanya tidak mungkin ada sebuah negara yang terbentang dari timur ke barat dengan belasan ribu pulau di dalamnya. Terentang dengan jarak sejauh 5000 km melintasi 3 zona waktu yang berbeda yang didiami oleh lebih dari 300 etnis yang berbeda pula. Lalu dijejali dengan jumlah penduduk yang lebih dari 230 juta jiwa. Sungguh sesuatu yang mustahil dan luar biasa.


Namun, tidaklah demikian kenyataannya. Sejarah telah membuktikan bahwa para pendiri bangsa ini telah meletakkan dasar-dasar yang sangat jelas bahwa daratan yang pada faktanya terpisah-pisah membentuk pulau-pulau adalah merupakan satu kesatuan dengan lautan. Bukan merupakan suatu penghalang. Laut tidak diartikan sebagai pemisah pulau-pulau namun senantiasa dimaknai dengan kalimat “Pulau-pulau dihubungkan oleh lautan”. Maka dikenallah istilah wawasan nusantara. Sebuah konsep bagi wawasan kebangsaan yang cukup mapan. Dengan wawasan itu pula para pendiri negara ini menyatakan dengan bulat bahwa bentuk negara ini adalah “Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Bagi Saya, kalimat itu terus terang terdengar gagah, menggugah, dan membuat hati kecil ini begitu bangga.


Hingga di sini Saya baru mempunyai kesimpulan sementara bahwa jawabannya yang memungkinkan untuk sesuatu yang Paling Indonesia adalah seperti isi dari sebuah lagu nasional yang sering kita nyanyikan dahulu ketika bersekolah, yaitu “Dari Sabang sampai Merauke.”


Dari Sabang sampai Merauke berjajar pulau-pulau

Sambung-menyambung menjadi satu itulah Indonesia
Indonesia tanah airku aku berjanji padamu
Menjunjung tanah airku tanah airku Indonesia

Jajaran, gugusan pulau-pulau yang terbentang dari timur hingga barat, yang tersebar dari Sabang sampai Merauke itulah yang menurut otak saya yang Paling Indonesia. Bagaimana tidak, Indonesia adalah nomor satu sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Mengalahkan negara kepulauan apapun di belahan benua manapun.

Rasanya belum puas, Saya masih ingin menemukan hal lainnya yang lebih layak lagi disebut Paling Indonesia. Saya masih ingin mengatakan bahwa dari 6 derajat Lintang Utara yang kemudian melintasi Khatulistiwa hingga melewati 11 derajat Lintang Selatan, dari rimbunnya hutan hujan Sumatera dan Kalimantan hingga luasnya padang sabana & steppa di kedua Nusa Tenggara, dari kedalaman Laut Banda hingga ketinggian Pegunungan Jaya Wijaya, dan dari barat yang bercirikan zoogeografis Asia hingga ke timur yang bercorak zoogeografis Australasia, dimana Garis Wallace-Weber di antara keduanya, dari jajaran pulau-pulau tersebut terdapat berbagai macam flora dan fauna, tersebar keanekaragaman hayati yang berlimpah ruah yang patut kita syukuri.


Katakanlah si belang Harimau Sumatera yang kini populasinya kurang dari 500 ekor saja, lalu Badak Bercula Satu yang hanya muncul satu-satu, Orangutan yang habitatnya semakin terkungkung oleh kebun sawit, Burung Maleo yang unik karena memiliki telur lima kali lebih besar dari ukuran telur ayam yang kemudian jika menetas sudah bisa langsung terbang. Ada si totol Hiu Paus (Rhincodon typus) atau Gurano Bintang yang selalu bermain-main di bagan-bagan nelayan di teluk Cendrawasih. Atau sang survivor si Komodo yang baru didaulat menjadi salah satu dari The New 7 Wonder of Nature. Betapa fauna-fauna tersebut telah memperkaya negara karena keunikannya masing-masing. Dan semua fauna itu layak dicap sebagai Paling Indonesia.


Adapun dari 300 etnis yang mendiami sebaran pulau-pulau di Indonesia, dengan menggunakan lebih dari 700 bahasa daerah sungguh merupakan hal yang rumit dan tidak mudah dalam berkomunikasi. Namun lagi-lagi semua kerumitan itu dipermudah dengan adanya satu bahasa yakni bahasa Indonesia. Ketiga kalinya Saya ingin mengatakan bahasa Indonesia adalah yang Paling Indonesia.


Namun, lagi-lagi semakin Saya mencari, menggali, mengidentifikasi, dan bahkan mulai mengenali sesuatu yang Paling Indonesia maka hati yang paling dalam semakin mempertanyakan, benarkah? sehingga semakin tidak menemukan jawaban. Batin Saya semakin berkata “ketika kamu menemukan jawaban yang satu maka akan semakin memarginkan hal lainnya yang sebenarnya patut menjadi yang Paling Indonesia”.


Dari paparan di atas, kemudian Saya mengais-ngais ingatan, memeras otak dan menarik kesimpulan mengenai apa yang “Paling Indonesia”. Dengan interpretasi dan persepsi masing-masing, alangkah damainya jika sesuatu yang Paling Indonesia tersebut tetap menjadi keragaman dalam tataran fikiran kita masing-masing. Tentu tidak sebatas batik, komodo, burung maleo, reog ponorogo. Atau bahkan angklung, kapal pinisi, candi borobudur, upacara ngaben, Pulau Dewata atau lainnya. Semua yang unik dan yang menarik dari negeri in tentu bagian dari yang Paling Indonesia.

Huh, akhirnya dengan lega Saya bisa berkata bahwa yang Paling Indonesia itu tiada lain adalah Bhineka Tunggal Ika.

Posting Komentar

Halaman ini dimoderasi untuk mengurangi spam yang masuk. Terima kasih sudah meninggalkan komen di sini.

Made with by Lina W. Sasmita