[Lomba Senyumku untuk Berbagi] Duka Anak Tetangga


                                                                                                                                 Jul 17, '12 12:19 PM


Tiap kali Aku melewati rumah itu, yang hanya 2 rumah jaraknya dari rumahku, Seorang gadis kecil selalu menatapku dengan tatapan yang tajam. Seperti ada sesuatu yang ingin disampaikan oleh tatapannya itu. Ia dan keluarganya baru saja menempati rumah tetanggaku itu.

Karena kami sering berpapasan, suatu saat ia berani menyapaku. 
"Tanteeee..." Sapanya ramah.
"Eh, baru pindah rumah ya." Tanyaku pada gadis kecil itu. Ia cuma mengangguk pelan.
"Namanya siapa?" Tanyaku lagi.
"Puteri, Tante!" Jawabnya.
"Loh Putri kok nggak sekolah." Aku menatapnya heran. Hari itu Putri dan ketiga adiknya hanya bermain-main di halaman rumah.
"Putri nggak sekolah Tante. Mama nggak punya biaya buat nyekolahin kami." katanya polos.

Dugg.... ada sesuatu yang bergemuruh dalam dadaku. Bagaimana bisa anak kecil itu tidak bersekolah. Bagaimana masa depannya kelak. Ingin sekali Aku berbicara dengan orang tuanya, namun mereka baru saja pindah, ah terlalu lancang rasanya jika Aku menanyai macam-macam tentang anak-anak mereka. Memangnya Aku ini siapa?

Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan rasa tidak nyaman itu terus menggangguku. Ketika suatu hari Aku berani bertandang ke rumahnya, itu pun saat ibu putri melahirkan anaknya yang ke-5. Aku menanyakan segala kepenasaranku. Akhirnya terkuak sudah alasan kenapa anak-anak mereka tidak sekolah.

Mereka sekeluarga sebelumnya tinggal di Pekan Baru, Ketika Nenek Putri yang berada di Batam sakit keras, keluarga itu terburu-buru pindah ke Batam untuk merawat nenek Putri yang sakit sehingga tidak sempat mengurus surat pindah sekolah anak-anak. Selain karena terbentur masalah keuangan, sekolah-sekolah yang ada di Batam pun tidak mau menerima Putri dengan berbagai alasan. Padahal Putri terhenti bersekolah di kelas dua. Itu artinya kalau dia tidak melanjutkan sekolahnya maka SD saja ia tak akan lulus. Masa depan apa yang akan dihadapinya yang bahkan izajah SD saja tidak punya. 

Hikss...Aku sedih. Lalu apa usahaku sebagai tetangga, tanggung jawabku sebagai sesama Muslim? Ah tidak ada. Bukankah fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara? Ternyata tidak juga. Ia yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara pada kenyataannya hanya tanggung jawab orang tuanya saja.Tidak saja negara yang mengabaikannya, sekolah-sekolah saja enggan menerimanya karena kurang lengkapnya data-data dan surat-surat yang dikehendaki oleh sekolah dan birokrasi.

Kami hanya penonton yang hanya bisa menyaksikan sinetron kehidupan asli berlalu di hadapan kami. 


Sabtu lalu aku berusaha menghubungi sebuah yayasan di daerah Batu Aji Batam untuk dapat menerima Putri sebagai siswanya. Sepertinya memang ada harapan walau tetap saja harus menyertakan berbagai persyaratan terutama surat-surat seperti SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu), Buku Rapor, KTP orang tua, dan KK. Semuanya mungkin akan diurus keluarganya dalam minggu-minggu ini. Walau tentu saja mengurus semua itu tidaklah gratis.

Semoga saja Putri dapat bersekolah sebagaimana layaknya anak-anak lainnya.

Sebenarnya di sini ada foto Aku dan Putri, diambil pagi tanggal 17 Juli 2012 saat Putri lagi cuci piring di depan rumahnya. 

Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba Senyumku Untuk Berbagi yang diselenggarakan oleh Kaklist.

Posting Komentar

Halaman ini dimoderasi untuk mengurangi spam yang masuk. Terima kasih sudah meninggalkan komen di sini.

Made with by Lina W. Sasmita