Menyiapkan Dana Pendidikan bagi Si Kecil

                                                                                                                               Jun 13, 2012 - 3:58 PM
Tulisan ini disalin dari blog Multiply saya yang sudah dihapus.


      Ketika lulus SMA tahun 1998, Saya mengurung diri di kamar berhari-hari. Langit sepertinya akan runtuh mengingat cita-cita Saya untuk melanjutkan sekolah ke jenjang perguruan tinggi pupus sudah. Bukan karena Saya bodoh atau tidak lulus seleksi ujian namun karena  ketidakmampuan ekonomi keluarga kamilah penyebab utamanya.

      Yang paling menyesakkan hati Saya adalah ketika Bapak meminta maaf karena tidak bisa menyekolahkan Saya ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan berurai air mata Bapak berkata,
     
      "Lin, Bapak minta ma’af  karena tidak sanggup menyekolahkan Kamu."
      
      Saya menangis pedih. Hati siapa yang tidak terenyuh dan tersentuh mendengar seorang bapak meminta maaf kepada anaknya gara-gara tidak bisa menyekolahkan. Saya ingat betul nenek selalu bercerita bahwa dulu Bapak adalah anak yang pintar namun karena kondisi ekonomi kakek yang tergolong tidak mampu, akhirnya Bapak tidak melanjutkan sekolahnya. Saking ingin sekolah, Bapak pernah kabur ke luar kota berkali-kali. Namun itu tak merubah kondisi. Keinginannya tetap tidak terpenuhi.

       Saya sangat sedih Bapak mengalami kekecewaan ini dua kali. Pertama saat dulu ketika ia sendiri ingin melanjutkan sekolah dan kedua kekecewaan  karena tidak bisa menyekolahkan Saya sebagai anaknya. Dari hal ini Saya mengambil kesimpulan bahwa jika dibiarkan terus maka tidak menutup kemungkinan anak-anak Saya pun nantinya akan seperti itu juga. Saya bertekad untuk memutus rantai ini. Merubah kondisi yang akut menjadi sedikit lebih baik.
   
     
Saya tidak pernah menyesali lahir dari keluarga yang kurang mampu, karena Saya sadar di balik semua ini tentu ada skenario Yang di Atas yang belum Saya pahami sepenuhnya. Ada hikmah besar yang mungkin telah Allah siapkan untuk Saya kelak jika cita-cita dibarengi dengan ikhlas dan ikhtiar. Berangkat dari hal tersebut, Saya tidak lantas berdiam diri menyesali terus apa yang terjadi. Rencana masa depan harus segera dibuat, karena masa depan saya sepenuhnya adalah tangung jawab Saya sendiri. Merah putihnya masa depan bergantung pada usaha yang dilakukan sekarang. Menyemangati diri dengan motto pendidikan adalah investasi masa depan,  pemutus rantai kemiskinan, Saya bertekad akan tetap kuliah dengan atau tanpa biaya dari orang tua sekali pun.
   
    
  7 bulan setelah lulus SMA, Saya mendapat pekerjaan di luar pulau sehingga mengharuskan Saya pergi merantau keluar dari Pulau Jawa. Sungguh merupakan hal berat pergi jauh meninggalkan kedua orang tua dan kampung halaman. Apalagi Saya seorang perempuan dan lahir ke dunia sebagai bagian dari Suku Sunda yang tidak dikenal sebagai perantau sebagaimana suku-suku lainnya di Indonesia. Katakanlah Suku Jawa,  Minang, dan Batak yang begitu dikenal baik sebagai Suku para perantau.  Terlebih lagi dalam menjalani hidupnya orang-orang Sunda mempunyai prinsip"Bongkok ngaronyok" yang artinya biar sampai tua dan bongkok pun asal tetap berkumpul dengan keluarga.

      
Dari hasil jerih payah bekerja selama dua tahun akhirnya Saya bisa menabung. Hasil tabungan itu Saya gunakan untuk biaya kuliah. Kuliah sambil bekerja di perusahaan yang mempekerjakan Saya sejak pertama kali merantau. Alhamdulillah, 5 tahun kemudian Saya lulus sebagai Sarjana Ekonomi di salah satu Universitas di Pulau Batam dengan hasil yang cukup memuaskan.

      Ketika berumah tangga, Saya dengan suami sudah merencanakan jika kelak mempunyai anak, maka prioritas kami yang utama adalah memikirkan bagaimana agar anak-anak  mendapatkan pendidikan yang maksimal. Agar kekecewaan yang pernah Saya alami dulu dan ternyata suami juga pernah mengalaminya, tidak terulang kepada anak-anak kami kelak. Maka, yang perlu dibenahi dari awal adalah perencanaan finansial pendidikan bagi calon anak-anak kami. Sebagaimana kita ketahui bahwa semakin hari biaya pendidikan anak semakin tinggi malah menurut artikel di laman web BCA menyatakan bahwa biaya pendidikan seiring laju inflasi untuk itu menyiapkan dana pendidikan anak sejak dini amatlah penting.

      Salah satu teman Saya mengatakan bahwa sisi baiknya Presiden Suharto adalah beliau tidak meninggalkan anak-anaknya dalam keadaan miskin. Dan Saya setuju sekali dengan pendapatnya. Semoga Saya juga kelak tidak meninggalkan anak-anak yang miskin, lemah dan tidak berpendidikan sehingga hidupnya patut dikasihani. Sebuah hadist riwayat Bukhari-Muslim mengatakan ”Sesungguhnya kamu tinggalkan keturunanmu dalam keadaan cukup adalah lebih baik daripada engkau tinggalkan mereka miskin meminta-minta kepada orang lain.” Alangkah bahagianya jika kita sebagai orang tua pergi meninggalkan dunia ini dengan terlebih dahulu menyaksikan putra-putri kita hidup makmur sejahtera dalam kecukupan.

     Ketika anak kami lahir, kami telah menyiapkan berbagai rencana untuknya. Termasuk rencana pendidikannya. Salah satunya adalah dimana ia akan bersekolah juga seberapa besar kira-kira biaya yang akan kami sisihkan tiap bulannya untuk tabungan pendidikannya. Tanpa sadar ternyata bayi kami sering menyimak  perbincangan mengenai ini, sehingga kata “Sekolah” begitu lekat dalam ingatannya. Saat menginjak  usia 2 tahun 5 bulan anak Saya sudah ingin bersekolah, dan itu murni keluar dari mulut lucunya.


      Demi mewujudkan berbagai rencana tersebut, Saya memanfaatkan layanan perbankan dan beberapa produk perbankan. Di antaranya mengikuti program Asuransi Jiwa, Asuransi Pendidikan Anak, Jaminan Hari Tua, menyisihkan sebagian uang gaji bulanan untuk menabung, juga mengikuti apa yang disampaikan oleh Safir Senduk dalam bukunya Rahasia Menjadi Kaya Sebagai Seorang Karyawan yakni dengan memiliki harta produktif seperti emas koin.
   
      Untuk kemudahan transaksi Saya memanfaakan mesin ATM BCA serta layanan m-BCA pada handphone selular Saya.   2  produk dan layanan ini sangat bermanfa’at sekali karena menghemat waktu dan biaya. Bayangkan saja, dulu Saya sering mengantri sejak jam 5 subuh hanya untuk mengambil nomor antrian pembayaran rumah KPR. Sedangkan bank-nya sendiri baru buka jam 07.30 pagi. Dengan transfer langsung dari mesin ATM BCA atau m-BCA waktu yang sedemikian lamanya bisa dipangkas habis.
Hanya tinggal pergi ke ATM BCA yang banyak tersebar di sekitar tempat tinggal Saya, atau kalau malas keluar rumah tinggal memencet keypad handphone maka transaksi selesai dilakukan kurang dari satu menit. Yang terpenting dari kedua layanan ini dapat melakukan transfer dana bagi tabungan pendidikan anak Saya. Selain itu Saya juga bisa mengecek saldo sehingga segera mengetahui apakah gaji sudah ditransfer perusahaan atau belum. Keuntungan lainnya yakni dapat melakukan pembayaran kartu kredit, Listrik, PBB serta pembayaran lainnya. Benar-benar menjadi solusi perbankan yang sangat bermanfaat bagi Saya yang telah 14 tahun menjadi salah satu nasabah BCA.

      Perlahan namun pasti kami mulai menabung. Tabungan disisihkan karena kami ingin membuka sebuah usaha mandiri yang tidak bergantung kepada orang lain. Menjadi bos bagi diri kami sendiri.
Robert T. Kiyosaki dalam bukunya Rich Dad Poor Dad  halaman 94 mengatakan “Uruslah bisnismu sendiri” selanjutnya ia juga mengatakan "Pergumulan finansial seringkali secara langsung merupakan hasil dari orang yang bekerja sepanjang hidup mereka untuk orang lain. Banyak orang tidak akan memiliki apapun pada akhir hari-hari kerja mereka.” Sungguh ironi dan semoga Saya kelak ketika sudah tak bekerja lagi tidak seperti apa yang disebutkan oleh Robert T. Kiyosaki tadi. 

     Merujuk kepada Teori Hirarki Kebutuhan - Abraham Maslow yang menyatakan tingkat kebutuhan manusia memiliki tingkatan (hirarki) dari kebutuhan yang paling dasar hingga yang paling tinggi, kami merasa kebutuhan paling dasar kami telah terpenuhi dan sekarang sedang menuju proses pemenuhan kebutuhan selanjutnya. Adapun hirarki kebutuhan tersebut adalah sebagai berikut :

1.    Kebutuhan fisiologis atau dasar
2.    Kebutuhan akan rasa aman
3.    Kebutuhan untuk dicintai dan disayangi
4.    Kebutuhan untuk dihargai, dan
5.    Kebutuhan untuk aktualisasi diri

      Kami sekarang sedang berusaha mewujudkan tingkat kebutuhan yang kedua, yakni kebutuhan akan rasa aman. Karena adanya kebutuhan inilah kami mengikuti berbagai program asuransi untuk perlindungan dan proteksi, asuransi pendidikan anak, menabung, dana pensiun, dan lain-lain.
   
      Demi pemenuhan kebutuhan rasa aman akan masa depan kami telah merencanakan dan memetakan hidup 10 hingga 30 tahun ke depan. Dalam peta perjalanan 5 hingga 10 tahun ke depan terangkum target dimana kami telah memulai dan menjalani usaha sendiri. Sehingga 20 - 30 tahun kemudian kami telah dapat menikmati hasilnya. Memang Allah-lah yang berkehendak pada apa dan bagaimana kami kelak, namun apapun yang terjadi dengan rencana-rencana tersebut setidaknya kami telah berusaha mengarahkan hidup ke jalan yang lebih baik.
      Bos Saya pernah mengatakan alangkah kasihannya kita jika kelak umur sudah tua, miskin pula. Saya terus mengingat ucapannya tersebut sebagai motivasi dalam menjalani hari-hari agar tetap fokus ke depan. Jangan sampai di usia tua menyusahkan orang lain atau anak-anak kita sendiri yang tentunya sudah mempunyai kehidupan sendiri-sendiri.

     Saya dan suami bercita-cita bahwa di saat usia tua nanti kami telah mencapai kebebasan finansial sehingga masa tua tidak direpotkan oleh masalah-masalah ekonomi lagi. Kami dapat menikmati usia tua dengan tenang, berbuat kebajikan sebanyak-banyaknya kepada sesama, atau melakukan traveling keliling dunia, mengunjungi tempat-tempat yang selama ini kami dambakan.
    
***
Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba "Berbagi Cerita bersama BCA".

Posting Komentar

Halaman ini dimoderasi untuk mengurangi spam yang masuk. Terima kasih sudah meninggalkan komen di sini.

Made with by Lina W. Sasmita