Kemping di Pulau Mubut Batam

Pulau Mubut
Pasir Putih Pulau Mubut Darat
Pulau Mubut terletak di kawasan Barelang – [Batam Rempang Galang]. Berada tepat di sisi timur Pulau Rempang dan dapat dijangkau dengan menggunakan perahu motor (pompong) dari desa terdekat di Pulau Rempang yakni Desa Sembulang.

Pulau Mubut terbagi menjadi dua pulau yakni Mubut Darat dan Mubut Laut. Pulau Mubut Laut dihuni oleh penduduk sedangkan Pulau Mubut Darat tidak ada penghuninya.

Saat itu saya dan ketiga teman jalan-jalan saya, Erni, Ipung, dan Melan menjatuhkan pilihan untuk mengunjungi Pulau Mubut Darat.  Alasannya karena pulau ini memiliki pantai dengan pasir putih yang lumayan panjang.

Kami berempat  memutuskan untuk tidak mengajak seorang pun laki-laki dalam petualangan kali ini. Selain ingin menguji adrenalin sebagai F3 alias Fun and Fearless Female, kami memang ingin terbiasa bepergian tanpa laki-laki. Bukan apa-apa sih, kalau saja kita cebur-ceburan mandi di air laut terus dipelototin laki-laki aduh rasanya gimana gitu. Yang pasti risih dan salah tingkah. Apalagi sebagian kami berjilbab.
           
Dari Batam kami menaiki bis Damri jurusan Sembulang. Bis Damri ini melayani rute Pasar Jodoh (di Pulau Batam) – Sembulang (di Pulau Rempang) dari pagi hingga sore menjelang maghrib saja, jadi kalau kemalaman siap-siap saja harus menginap karena sudah tidak ada lagi kendaraan.


Perjalanan Menuju Pulau Mubut


Dari Sembulang kami menaiki perahu motor (pompong) ke Pulau Mubut darat dengan membayar 50 ribu rupiah untuk satu pompong. Setelah 15 menit yang menegangkan tetapi menyenangkan, kami tiba di Pulau Mubut. Erni lalu berbicara kepada tekong pompong untuk menjemput kami keesokan hari sekitar jam 10 atau jam 11 siang. Ia pun langsung menyetujuinya.         

Pemandangan pertama yang terlihat adalah hamparan pasir putih yang lembut dan bersih meliuk mengikuti garis pantai. Kami melompat-lompat saking senangnya. Jarang-jarang menginjakkan kaki di pasir selembut ini. Di Pulau Batam saja hanya sedikit pantai berpasir putih. Itupun telah banyak dikuasai oleh berbagai resort dan hotel berbintang. Nggak ada lagi yang gratisan seperti ini.

Garis Pantai Desa Sembulang
Kami segera mencari lokasi untuk mendirikan tenda. Lalu didapati dua pohon kelapa  yang berjejer berhampiran. Dahan dan buahnya sudah hilang. Lumayan bisa buat mengikatkan tali tenda dan membuat jemuran baju. Ohya jangan mendirikan tenda tepat di bawah pohon kelapa yang ada buahnya ya teman, bisa-bisa tendanya kejatuhan kelapa. Tentu saja liburan bukannya menyenangkan malah menyakitkan karena kepala benjol-benjol tertimpa buah kelapa.hehe.

Setelah rapi mendirikan tenda tiba gilirannya mengisi perut yang mulai keroncongan. Menu makan siang sederhana saja, nasi bawa dari rumah ditambah udang goreng, telur dadar, sambal, dan lalapan. Namun karena makannya di tepi pantai, diiringi semilir angit laut yang melenakan, Alhamdulillah makan siang terasa nikmat sekali sehingga makanan-makanan itu pun ludes berpindah tempat ke perut kami. Sebagai hidangan penutup, Ipung memetikkan beberapa buah kelapa muda yang dengan mudah didapat dari pohon kelapa yang miring dan hampir roboh karena akarnya tergerus ombak.           

Di pulau ini tidak ada sumber air. Untuk keperluan masak kami membawa beberapa botol air mineral ukuran besar. Untuk keperluan sholat, kami wudhu menggunakan air laut. Sedangkan untuk buang air kecil menggunakan air laut dan tissue basah. Untuk buang air besar? Wuaah… kami tetap menjaga sedemikian rupa agar tidak buang air besar hingga keesokan harinya. Masih belum berani dan cukup ngeri buang hajat sembarangan.

Sore menjelang. Air laut mulai surut. Saya, Erni, dan Ipung berjalan menyusuri pantai yang mengering. Melan asyik membaca buku di depan tenda. Entah buku apa yang dibacanya karena kami terlalu sibuk mengamati berbagai hewan kecil yang melompat-lompat keluar dari dalam lumpur.

Ketika berjalan makin jauh ke tengah, kami dikagetkan dengan penemuan seekor kepiting berukuran besar. Yes, saatnya berburu. Saya, Erni, dan Ipung histeris mengejar-ngejar kepiting tersebut. Mencoba berbagai cara untuk menangkapnya. Sadar dalam bahaya si kepiting segera bersembunyi di balik batu. Kami pun terus memburunya. Namun si kepiting telah siap siaga dengan capitnya. Apapun yang kami pakai untuk menangkapnya segera ia cabik dan robek-robek. Keasyikan mengejar si kepiting besar, kami tidak menyadari ternyata di sekeliling telah bermunculan kepiting-kepiting lainnya. Datang entah dari mana. Lalu kami bertiga menyebar. Mencoba menangkap kepiting lainnya yang muncul dari berbagai arah. Namun tak satu pun berhasil. Huh payah, sepertinya harus merubah strategi supaya perburuan ini berhasil. Baca cerita makan kepiting.
           
Setelah beberapa lama frustasi karena tidak berhasil juga, lalu kami berfikir ulang. Mencoba mengumpulkan ide-ide cemerlang dari ketiga kepala ini. Beberapa saat kemudian “Tiing…” sebuah ide dari kepala Ipung muncul. Ia segera melepas sendal yang dipakainya, lalu dengan sigap menjepitkan sepasang sendal ke seekor kepiting hingga tak berdaya. Ide yang cemerlang. Kami segera menirunya. Melepas sendal lalu mulai berburu kepiting yang muncul di sana sini. Sesekali menjerit dan berteriak karena takut tercapit. Beberapa saat kemudian satu kantong keresek penuh kepiting telah kami dapatkan. Hore!   

Menghabiskan Malam di Pulau Mubut

Setelah sholat Isya, kami asyik makan kepiting rebus hasil buruan tadi sore. Fresh from nature. Gratis lagi. Sungguh nikmat luar biasa. Di pasar harga kepiting lebih dari 35 ribu rupiah per kilogramnya. Sedangkan di pulau ini, hanya diperlukan keberanian dan sepasang sendal jepit saja untuk mendapatkannya. Ah, kali ini Saya benar-benar merasakan betapa kayanya Indonesia itu.

Pulau Mubut
Lilin-Lilin yang Kami Tanam di Bibir Pantai

Malam semakin larut, Kami berjalan dalam keremangan. Suara ombak yang pecah mendesah memecah kebisuan malam dengan ritme berubah-ubah. Seperti nada-nada dalam alunan musik klasik yang melompat-lompat dinamis. Bau khas laut menguar dalam kelembapan udara malam. Lampu nelayan berkelipan di tengah laut. Mencoba peruntungan. Menjemput rejeki dengan memamerkan cahaya lampu kepada sotong dan cumi-cumi yang penasaran. Sementara langit gelap sempurna, sehingga cahaya lampu semakin menarik hewan-hewan cephalopoda tersebut untuk mendatanginya.   

Waktu telah menunjukkan sekitar jam sebelas. Kami masih di luar tenda. Bercengkrama di tepi pantai. Berlarian sepuasnya. Berteriak sekencang-kencangnya. Melepas penat dan beban dalam fikiran. Mumpung tak ada orang lain yang  melihat dan mendengarkan. Hanya kami, berempat saja sahut-sahutan mengalahkan deburan ombak yang mulai pasang.


Puas berteriak-teriak kami kembali ke tenda mengambil setumpuk gelas plastik bekas air mineral dan beberapa bungkus lilin yang telah dipersiapkan dari rumah.Gelas-gelas plastik kami bolongi. Kemudian ditanam di pasir. Lilin-lilin kami nyalakan dan diletakkan di dalamnya sehingga  terlindung dari hembusan angin yang kencang atau terkena cipratan air laut. Gelas-gelas plastik dan lilin  disusun berjajar dengan jarak masing-masing sekitar satu meter. Posisinya mengikuti kontur pantai yang meliuk. Hasilnya wow... sungguh indah luar biasa. Cahayanya bagai bintang bertaburan, namun bukan di langit. Kali ini bintang jatuh berkelipan di tepi pantai.

Kami berempat berbaring di pasir putih diantara lilin-lilin itu. Hening. Memandang ke langit kelam, meresapi belaian angin, menyimak  bisikan ombak, dan mensyukuri keberadaan kami di sini, di pulau ini. Sesuatu yang mungkin tidak akan pernah terjadi lagi di kemudian hari.

Lilin-lilin telah padam sedangkan lampu-lampu nelayan masih menyala di kejauhan. Kami beralih masuk ke tenda. Tertidur lelap dalam kehangatan malam yang nyaman. Menyemai mimpi bersama hembusan angin dan deburan ombak yang kian pasang.

Suara Adzan subuh lamat-lamat terdengar. Matahari perlahan merayapi batas laut dan langit. Burung-burung camar mulai melayang-layang. Pagi menjelang.

Setelah sholat subuh, beres-beres, masak, dan sarapan, Saya dan Ipung menceburkan diri ke air laut yang hangat. Erni menyusul kemudian. Melan lagi-lagi tidak ikut dalam kehebohan kami bertiga.

Pulau Mubut
Tiga cahaya lilin

berenang, kami segera berkemas. Memberesi semua peralatan dan perlengkapan. Mengepak barang-barang ke dalam daypack sambil menunggu pompong yang akan menjemput. Namun jam demi jam telah terlewati. Matahari sudah meninggi. Si penjemput belum juga datang. Kami semua menjadi panik. Bagaimana kalau pompong tidak datang. Akankah kami terdampar di pulau ini?

Sudah lelah menunggu. Di kejauhan, di tengah laut  tampak seorang nelayan sedang asyik mengikat jala ke tonggak-tonggak kayu yang telah terpasang. Kami berteriak-teriak memanggilnya. Namun ia tak mendengarnya. Suara kami kalah keras dengan deburan ombak. Tak habis tenaga, kami terus berteriak lagi hingga lelah mulai terasa. Tidak juga berhasil. Bruk... Saya dan Ipung menghempaskan diri ke pasir. Huhuhu... kami terdampar di pulau ini. Wajah Saya memucat. Beberapa saat, kami mencoba berteriak lagi. Inilah usaha terakhir kami.

"Paaaaakkk.......tolooooong!"  Teriak kami bersamaan. Si Nelayan akhirnya menoleh. Lalu mengarahkan pompongnya  ke arah kami. Alhamdulillah, Finally kami tidak jadi terdampar di Pulau Mubut.

-----

Update Terbaru (Desember 2015)

- Ongkos dari Sembulang ke Pulau Mubut Pulang Pergi Rp: 20.000 per orang

- Transportasi perahu motor/Pompong yang bisa dihubungi silahkan telpon Pak Dorman warga Pulau  Mubut Laut di Nomor 0812 7782529 

36 komentar :

  1. Wah asyik sekali ya, Mbak petualangannya.. Kalau sudah berjiwa petualang gitu kayaknya gak ada takutnya ya meski di pulau asing, hehe.. *menunggu kisah petualangan yang lain :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Takut sih iya Mbak, tapi ini memang lagi nekat. Nah kalau nekatnya rame-rame malah jadinya berani haha

      Hapus
  2. ternyata batam memang nggak ada habisnya ya kak :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Embeeer....bayangkan 305 pulau lebih Yud. Nggak habis-habis buat di-explore

      Hapus
  3. Waaaa a. ..seruuuuuuu kuadratttt.... asyik banget jika pergi berdua saja dengan suami...duh... honey moon jilid sekian tuh... ihhhh.... seruuuuuu... ngiriiiii

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haha...berdua sama suami di pulau sepi duh takut saya mah. Takut didatangi perompak mbak :D

      Hapus
  4. Keren banget nih kalian, asik tapi bikin deg-degan jugak loh. Untung ya ada nelayan deket situ, bisa2 ada tim pencari menggeruduk ke pulau tak berpenghuni, hihihi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak, udah panik juga sih, Alhamdulillah masih ada nelayan yang mancingnya dekat-dekat pulau ini

      Hapus
  5. Iiih.. sayang waktu itu kita belum kenal ya, teh... Aku belum pernah ke Mubut. Cakep juga ya nanem lilin kayak gitu di pasir pantai...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kayaknya udah kenal deh. Tapi belum kopdar. Baru saling mengunjungi di MP.

      Hapus
  6. Itu liat cahaya lilin malem2 gitu, duh romantiiss amaat yaa suasananyaa :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Banget Mak Noe. Mendadak pengen nyanyi ...Serasa dikau di sisi... *halah :D

      Hapus
  7. kok bisa gak dijemput kak ? apa yang punya pancung lupa ya ?? wah pengalaman ngeri ngeri menyenangkan juga ya...
    mandiri tanpa lelaki dan berani...salut deh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itu dia sampai sekarang masih teka-teki hihihi. Kenapa nggak dijemput. Untung saja belum dibayar pancungnya :D

      Hapus
  8. Perjalanan seperti ini menjadi kenangan yang gak pernah hilang... bener2 bikin saya menjadi nafsu buat jalan lagi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul banget, malah terus saja terkenang-kenang.

      Hapus
  9. asiiknyaaa petualangannya ya mba... baru tahu kalau air laut pagi hari malah hangat ya.. *pingin nyobaaa*

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nggak ngerti juga sih mbak, Tapi pas nyoba di salah satu sisi laut pulau ini airnya hangat gitu.

      Hapus
  10. Membayangkan kecemasan kalian saat penjemput tdk datang dan kalian teriak2. Heuheu. Lilinnya apik tenan teh :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Neng. Pulaunya kosong melompong nggak ada orang lain lagi selain kami. Terus kami mau ngapain lagi kalau lama-lama di sana. Takut malah, hehe. Iya ini lilin terbawa kenangan terus.

      Hapus
  11. serunyaaa..iya, enakan jalan dengan geng cewek semua a mba..lebih bebas..:)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul Mbak, bebas merdeka mau jumpalitan sekalian juga :D

      Hapus
  12. Kenapa pompongnya tidak jadi datang, mbak?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kurang tau mbak. Kita aja bertanya-tanya. Padahal sudah janji.

      Hapus
  13. saya tertarik pas baca pasar jodoh, itu kenapa bisa awalnya dinamakan pasar jodoh ya mbak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihi..iya saya juga dulu udah cari tahu kenapa dinamakan Pasar Jodoh, tapi belum menemukan jawabannya Mbak Lidya. Orang-orang Batam banyakan nggak tau juga. Penasaran hingga saat ini :D

      Hapus
  14. Sedih memang mbak ya, kalau ada tempat kece dengan pasir lembut dikuasai banyak resort, jadina kita nggak bisa mneikmati, untung masih ada secuil tempat yang bisa kita dinikmati gratis.

    Cocok untuk Candle light dinner, tanpa lampu.. cukup lilin, hening dan romantis

    BalasHapus
  15. mbak lina, boleh minta contact number orang mubut?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haha sudah dibalas langaung sama penguasa Pulau Mubut.

      Hapus
  16. Aaaaahhhh.. Lilinnya romantis bingit teh.. Melting jadinya.. Tp Kalo g sempat g ada nelayan.. Tamatlah sudah -______-

    BalasHapus
  17. Wow iyah lilin2nya kerennn, kita mix nanti sama lampionnn, cusss teh lina nge camp lagi kesini....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haha belum sempat kemping-kemping lagi Sad.

      Hapus
  18. Maaf mau nanya biaya kapal pompong ke pantai mubut darat sekarang berapa ya? harga terbaru september 2016 mohon informasi nya karena minggu depan kami Mau kesana...

    BalasHapus

Halaman ini dimoderasi untuk mengurangi spam yang masuk. Terima kasih sudah meninggalkan komen di sini.

Made with by Lina W. Sasmita