Catatan Perjalanan Gunung Sinabung 15-17 Agustus 2004

Tulisan ini pernah diposting di Milis Highcamp pada tanggal 25 Agustus 2004 dan diedit seperlunya. Niatnya mendokumentasikan catatan-catatan perjalanan yang tercecer di berbagai media untuk dikumpulkan di blog ini.

Aku dan Lastri

Siang itu ba’da sholat dzuhur Aku dan Lastri duduk-duduk di teras mushola pelabuhan Belawan Medan, setelah hampir 20 jam terombang ambing mengarungi Selat Malaka dengan menaiki kapal penumpang Kelud. Rasanya senang sekali bisa melewati selat yang sangat terkenal itu. Selat yang menjadi salah satu saksi sejarah peradaban barat memasuki kawasan Asia Tenggara. Perjalanan lewat laut ini kami pilih karena beberapa alasan, selain karena lebih ekonomis juga karena begitu banyak hal akan kami saksikan lewat perjalanan laut dan darat. Hematku begitu banyak hal yang kusaksikan maka akan begitu banyak hal yang kurasakan. Lebih banyak melihat berarti lebih banyak tahu. Lebih banyak menyaksikan berarti lebih banyak juga kita akan mengerti dan mungkin akan lebih banyak mengambil manfaatnya. Ternyata benar, perjalanan laut ternyata begitu sangat menyenangkan.

Sedari tadi kami sibuk sekali dengan benda yang namanya handphone. Selain sms-an dengan Alex dan Bang Sulman (Teman komunitas High Camp yang tinggal di Medan), kami juga sedang menunggu teman Lastri yang akan menjemput dan mengantarkan kami ke Brastagi. Bang Sulman baru saja telpon dan tampaknya masih kebingungan antara pekerjaannya yang super sibuk dengan memilih waktu yang tepat untuk bertemu kami. Beberapa menit kemudian Alex telpon ia juga masih ragu menentukan tempat bertemu. Pekerjaannya tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Akhirnya ia menyepakati untuk menyusul dan bertemu di Puncak Gunung Sinabung malam tujuh belasan nanti. Namun beberapa saat kemudian Lastri menjerit… wah ternyata pulsanya jadi anjlok kena roaming. He..he…he. kufikir kenapa-napa.

Sidik teman Lastri yang ditunggu-tunggu akhirnya muncul juga. Ia datang bersama teman kostnya yang bernama Ucok. Singkat cerita setelah berputar-putar keliling kota Medan, mobil yang kami tumpangi akhirnya melaju ke arah Brastagi. Sidik dan Ucok akhirnya setuju mengantarkan kami sampai Lau Kawar. Desa terakhir yang menjadi titik awal pendakian ke Gunung Sinabung.

Bak seorang guide, tanpa diminta Sidik menerangkan tempat-tempat yang kami lewati, seperti daerah Sibolangit, Bandar Baru, Taman Hutan Raya (Tahura), Pabrik Aqua sampai akhirnya dia berkisah tentang legenda terbentuknya Danau di Lau Kawar.

Alkisah hiduplah seorang nenek yang tinggal di puncak gunung Sinabung. Nenek tidak begitu menyukai keramaian. Makanya ia mengasingkan diri di gunung. Ia mempunyai sebuah keluarga di kaki gunung yaitu anak dan beberapa orang cucu. Pada suatu waktu keluarganya mengadakan kenduri. Lalu keluarga itu mengutus seorang cucu untuk mengantarkan makanan ke nenek yang ada di puncak gunung. Di tengah jalan cucu tersebut kelaparan lalu memakan makanan dan ikan yang hendak ia berikan ke neneknya. Dan betapa murkanya nenek setelah melihat bahwa ikan yang dikirimkan keluarga untuknya hanya tinggal tulangnya saja. Tanpa basa-basi nenek menampar cucunya. Karena tamparan itu maka terbentuklah danau Lau Kawar yang kalau dilihat dari atas gunung, danau itu berbentuk telapak tangan yang ujung-ujungnya menjari. 

“Jadi itu Teh, asal-usulnya Lau Kawar menurut masyarakat sekitar." Sidik mengakhiri ceritanya. Aku hanya berfikir betapa kuatnya ya nenek itu bisa tinggal sendirian di puncak Sinabung. Dan betapa saktinya sampai-sampai tamparannya membentuk sebuah danau. Ah namanya saja Legenda. Boleh percaya boleh tidak. Tapi kalau benar hal tersebut terjadi berarti pendakian gunung itu dipelopori oleh nenek tadi. Wah hebat ya. Rupanya Sidik tahu juga kalau Aku menyukai hal-hal yang berbau cerita Legenda makanya ia semangat sekali bercerita.

Jam setengah delapan malam mobil yang kami tumpangi akhirnya tiba di Lau Kawar. Dan betapa terkejutnya aku. Lebih dari seratus tenda berdiri di daerah situ. Begitu gegap gempita. Ketika kami datang tidak ada pemeriksaan kedatangan, tidak ada pencatatan dan tidak ada pungutan. Rupanya petugas sedang keliling sehingga lupa masih begitu banyak rombongan yang lolos dari penjagaanya. Kamipun langsung memasuki area camp-camp yang begitu sesak. Mencari celah sedikit diantara ratusan tenda untuk mencoba mendirikan tempat berteduh nanti. 

Baru saja tenda berdiri, hujan deras mengguyur daerah sekitar Lau Kawar. Sidik dan Ucok segera pamit. Mereka tidak bisa menemani kami karena harus mengikuti perkuliahan esok harinya.Tinggallah kami berdua. Serasa menjadi anak hilang Lastri pun segera meluncur ke tetangga. Berhangat-hangat ria di api unggun dan sekaligus bersilaturahmi (maksudnya sih berkenalan).

Aku hanya menikmati kesendirian di tenda. Di antara riuh rendahnya suara gitar, suara orang menyanyi, tertawa, bercerita dan bahkan berteriak-teriak. Menyepi di keramaian, merangkai bait-bait do'a dan puisi yang entah apa judulnya. Tapi sayup kudengar sebuah lagu diiringi gitar dengan begitu sendu dan khidmat. Air mataku tanpa terasa menetes. Lagu itu lagu yang telah begitu lama tak terdengar dan tak pernah dinyanyikan. Ya seingatku hanya dinyanyikan sewaktu upacara bendera saja. Sebuah nyanyian tentang “Lagu Syukur”.

Di sudut lain sebuah suara menyentuhku lagi, walaupun terkesan asal-asalan namun begitu dalam terasa, “Proklamasi kami putra-putri Indonesia bersumpah akan menjaga kelestarian alam ini demi masa depan anak dan cucu kami….. " Akhirnya aku tertidur pulas setelah beberapa saat memikirkan ternyata masih ada rasa cinta negri di hati para anak-anak remaja yang memenuhi Lau Kawar.

Esok paginya setelah mandi dan sholat, aku keliling ke area perkemahan mencari pemandangan yang bagus untuk diambil fotonya sambil terus berhitung. Rasanya capek sekali sudah seratus satu lebih tenda-tenda itu aku hitung ternyata masih banyak lagi yang belum terhitung. Akhirnya Aku nyerah.

Beberapa orang yang berkenalan dengan Lastri tadi malam mendekati dan menyapaku ramah. Tampaknya mereka begitu heran karena kami berasal dari tempat yang jauh dan hanya pergi mendaki berdua saja. “Kok berani sih cuman berdua?” pertanyaan itu yang selalu muncul dalam setiap perbincangan.

Aku menangkap objek yang bagus untuk aku ambil gambarnya. Seorang nenek yang sedang mengais botol-botol bekas minuman di sela-sela tenda-tenda. Rupanya kehadiranku diketahuinya ia langsung menitipkan sekarung botol-botol minuman itu kepadaku. Aku terbengong-bengong. "Bu...bu..." Aku memanggilnya, ia tetap berlalu pergi. Dan aku masih saja terbengong-bengong dengan sekarung botol-botol minuman di hadapanku.

Setelah sarapan dan packing ulang sekitar pukul 9 pagi kami memulai pendakian ke Gunung ini. Setiap orang yang kami lewati menatap kami dengan penuh keheranan. Orang hilir mudik hanya bersandal jepit, berbaju T-Shirt dan celana jeans tanpa ransel tanpa makanan dan hanya sedikit saja bekal minum. Aku dan Lastri hanya geleng-geleng kepala saja ketika segerombolan cowok-cowok yang menuntun cewek-cewek mendahului kami. Bukan apa-apa, hanya saja kami fikir terlalu menganggap mudah sekali naik gunung dengan berstyle seperti itu. Hasilnya ternyata mudah ditebak begitu banyak yang tumbang di tengah jalan dan akhirnya mengundurkan diri dari pendakian. Terutama para cewek-cewek yang dituntun cowok-cowok tadi. Ternyata kami dan mereka saling berprasangka. Mereka juga sangat heran dengan dandanan kami terutama dengan bawaan kami di punggung ini.

Bersambung ke sini:
Catatan Perjalanan Gunung Sinabung Bagian dua

1 komentar :

  1. Sip sudah jadi tapi masih edit paragrafnya, copas dari milis itu lompat2an paragrafnya ternyata :)

    BalasHapus

Halaman ini dimoderasi untuk mengurangi spam yang masuk. Terima kasih sudah meninggalkan komen di sini.

Made with by Lina W. Sasmita