Kemping di Pulau Lampu Batam bag 4

Hujan rintik-rintik pun telah reda.  Chila bersiap-siap dengan kostum baju renangnya. Ia dan Saya mulai menceburkan diri ke air laut yang ternyata "hangat" sodara-sodara. Sebenarnya Saya gak akan berenang tapi karena Chila itu tipe anak jail,  saya didorongnya hingga terjerembab masuk ke air laut. Byuuur basah. Nah kalau udah begitu jadinya terlanjur basah. *Sambil Nyanyi lagu Meggi Z Terlanjur basah ya sudah mandi sajalah.... :D

Sementara pasukan yang lain asyik memancing. Doedy, Gozi, Mas Walid, Riki dan Doni serius menunggu ikan-ikan menyambut pancingannya. Para kru cewek  setia menemani para pemancing sambil menempatkan ikan-ikan yang lumayan banyak ke tempat yang lebih besar lagi. Yihaaa...jadi deh bakar-bakar ikannya.

Pulau Lampu
Saya dan Chila Berendam :D

Hampir satu jam setengah berenang dan bermain-main pasir. Bibir Chila sudah membiru seperti abis ditabokin. Ealah tuh anak nggak mau naik juga. Tetep betah berendam di air laut. Duh Chil kalau kita ini ikan, bukan manusia, udah bunda suruh deh kamu berenang ke dasar lautan :D Hayo naik-naik udah maghrib! Sambil malas-malasan karena tidak rela, akhirnya Chila bersedia pulang ke tenda.

Maghrib menjelang, setelah sholat bergantian sebagian menyalakan api unggun untuk membakar ikan dan merebus gonggong (siput khas wilayah Kepri). Si Ayah memasak air di Trangianya sambil mempersiapkan mie, teh, dan kopi.

Setelah makan malam, kami semua berangkat lagi ke arah pantai. sebagian melanjutkan mancingnya, sebagian tidur-tiduran di terpal yang digelar di pantai. Sedangkan Chila ditemani Tri dan Dinda asyik berburu umang-umang yang mulai berkeliaran.  Wow...ternyata dunia malam di pantai ini begitu hidup.  Puluhan bahkan ratusan umang-umang serta binatang lainnya mulai keluar dari peraduan mereka. Mencoba mengisi malam dengan mencari makan atau hanya sekedar berpindah-pindah cangkang seperti yang dilakukan sebagian besar umang-umang
Chila asyik berceloteh, walau agak-agak takut untuk memegang umang-umang namun ia sangat antusias memperhatikan hewan-hewan mungil itu merayap di pasir putih.

Menjelang jam 10 kami semua kembali ke tenda. Kami kemudian mengobrol ngalor-ngidul di depan tenda sambil ngemil gonggong serta snack lainnya. Namun menjelang tengah malam hujan mulai membesar kami segera masuk ke tenda masing-masing. Segera berbaring berharap mata akan segera terpejam. Namun hujan yang makin membesar malah membuat tenda para cowok kebanjiran. Dan mereka tidur dalam genangan air. Hehe...seandainya mereka ikan tentu tidak masalah tidur dalam genangan itu namun mereka adalah makhluk-makhluk omnivora yang ternyata setelah lewat tengah malam mulai terkena hawa dingin sehingga pada kelaparan. Jadilah gozi dan kawan-kawan sepertinya terdengar sedang sahur dadakan.

Sementara di dalam tenda mungil keluarga kami, Chila mulai resah dan gelisah karena tenda perlahan basah sah sah :) Chila mulai menyebutkan satu persatu keluhannya. Rambut gatal lah, sempit lah, berisik hujan lah. Daaan... yang paling menggelikan serta gak masuk dalam perhitungan saya saat berangkat adalah Chila mendadak minta guling. Huhuhu....mau kemana nyari guling  di pulau kosong tanpa penghuni seperti ini. Hikss Chila Chila maafkan emakmu ini Nak. Bunda gak tau kalau ternyata Chila gak bisa tidur gara-gara gak ada guling.

Puncaknya, menjelang dini hari dari sekian keluhan-keluhannya itu Chila menangis minta pulang. Hwaaa...padahal ini sudah kami wanti-wanti semenjak dari rumah, dan akhirnya terucap jualah. Mungkin telah berjam-jam kata itu Chila simpan supaya tak terucap namun karena semakin dirasakannya semakin tak kuat saja kata-kata "Pulang" meluncur jua dari mulutnya.

Berkat bujuk rayu serta berbagai trik Ayah Bundanya Alhamdulillah akhirnya Chila gak rewel lagi. Dia gak minta pulang lagi. Umang-umanglah yang berjasa mendiamkan Chila karena setelah obrolan tentang umang-umang, Chila pun tidur pulas bahkan hingga lewat dari jam 7 pagi. *Love umang-umang.

Pagi hari setelah sholat subuh, Saya, Dinda, dan Selvi berjalan ke arah tengah-tengah pulau untuk mencari keberadaan mercu suar. Seharian kemarin Bang Ical, Doedy, serta yang lainnya telah memutari pulau namun tak ada tanda-tanda mercu suar di pulau ini. Namun karena keyakinan akan keberadaannya maka kami memberanikan diri menyusuri jalan setapak di antara rimbun semak-semak untuk menelisik keberadaan mercu suar ini.

Jalanan Menuju Mercu Suar
Tak berapa lama jalan lengang dan lebar pun telah nampak dan di ujung jalan itu terlihat tangga dengan batu-batu berwarna hitam tersusun rapi. Persis seperti susunan dinding-dinding batu rumah-rumah jaman Belanda.

Perlahan kami pun tiba di ujung tangga, ternyata di atas sana terdapat mercu suar yang lumayan tinggi.  bertuliskan kalimat dalam bahasa Belanda yang berbunyi :

FABRIEK VOOR DE MARINE EN HET STOOMWEZEN 1886

yang kira-kira artinya Mercu Suar ini dibuat untuk kepentingan kelautan.

1886? Waaks... kami terkejut semua. Uuuh lamanyaaaa. 

Saya memandang sekeliling. Beberapa bangunan dengan paralon dan pipa-pipa air berjejer rapi di sekitar mercu suar. Rupanya berfungsi sebagai penampung air hujan yang dijadikan sumber air untuk kebutuhan sehari-hari para penunggu mercu suar.

Membayangkan bagaimana mercu suar ini dibangun pada masa itu tentu butuh waktu yang sangat lama untuk menyelesaikannya. Bagaimana mengangkut bahan-bahan bangunan dengan kapal dan perahu-perahu tradisional ke tempat jauh dan terpencil seperti ini.

Karena takut Chila terbangun dan kecarian, akhirnya Saya putuskan untuk cepat-cepat kembali ke tenda. Namun begitu tiba di tenda, ya ampun Chila masih bobo manis dan pulasnya, luar biasa! sampai bunyi apapun di sekitarnya tak jua mengganggunya dalam lelap. Ya sudahlah Chil Bunda tinggal ngelayap dulu deh :)

Karena takut kesiangan akhirnya setelah pulang berburu cangkang kerang, Chila Saya bangunkan, dan dengan baju tidurnya dirangkap dengan life jacket dia meluncur ke tepi laut, langsung nyebur. sesekali memaksa saya untuk menemaninya berenang, namun karena tak ada lagi pakaian kering saya tetap bergeming untuk tidak nyemplung ke laut. Dengan wajah cemberut dan merengek-rengek Chila terus mengajak saya berenang. Namun akhirnya dia pun menyerah Chila terpaksa berenang ditemani tante-tante yang baik hati, bergantian menemaninya berenang. Kus, Lia, Dinda, dan Tri siapa saja yang didekatnya saat itu tak sungkan Chila memanggil dan meminta ditemani untuk bermain-main dalam ombak. Saya hanya memperhatikannya dari tepi sambil mempersiapkan sarapan.

Sambil main pasir Chila saya suapi bubur instan. gak nyangka ternyata makannya lahap sekali. Mungkin efek berenang yang menguras energi dan cepat membuat perut kosong hingga tak terasa hampir habis buburnya Chila makan sendiri. Tersisa sedikit saja dan seperti biasanya bundanya menyelesaikan tugas akhir yakni membersihkan makanan hingga tuntas habis dengan cara memindahkannya ke perut sendiri :).

Si Ayah berserta yang lainnya ternyata penasaran juga dengan foto-foto sebagai bukti otentik keberadaan mercu suar, walau pada awalnya ngenyek, tak percaya namun setelah wujud mercu suar tampak di dalam foto barulah pasukan cowok-cowok meluncur ke sana. Hmmm...puas rasanya karena kami para perempuan telah lebih dulu menginjakkan kaki di mercu suar. Yihaaa.

Saya masuk ke tenda untuk mengambil handuk dan pakaian Chila yang kering namun betapa kagetnya begitu si ayah yang baru pulang dari mercu suar memanggil dan dan mengatakan ada missed call hingga berkali-kali. Begitu dicek dilayar hp tampak tulisan Kapal Sri Galang 7 kali missed call.  Hadoooh kenapa sepagi ini sih Pak. 

Baru saja mau beranjak ke pantai, tiba-tiba hp berbunyi. Tekong Sri Galang itu rupanya yang menelpon. Dia bilang sedang akan menuju ke tempat kami. Yaaaah masih betah sudah mau pulang juga. Sayang sekali. Gak puas rasanya menikmati pulau kosong yang permai ini.

Benar saja tak lebih dari 15 menit kemudian bunyi mesin kapal mulai memenuhi ruang dengar kami. dan tiba-tiba hening karena Sang Tekong sudah mematikan mesinnya. Pasukan akhirnya pontang-panting segera packing dan menyelesaikan urusan yang belum selesai seperti bersih-bersih dan ganti baju. Waduh serba buru-buru begini. Gak enak banget deh kalau ditungguin begitu.

Jam 9 lewat seperempat akhirnya kami meluncur meninggalkan Pulau Lampu. Tak lupa bersih-bersih sampah dan membawanya pulang. Alhamdulillah teman-teman sudah sadar akan kebersihan walau tetap saja Aku yang cerewet buat ngumpulin sampahnya hihi. sekali-kali jadi senior agak tegas dikit walau gak semua teman-teman bergerak untuk opsih ngambilin sampah.

Sebelum menuju Sembulang kami mampir dulu ke Pulau Karas, setidaknya teman-teman pernah singgah dan menginjakkan kaki di tanah Melayu yang satu ini. Saya, suami, dan Chila menyempatkan sekalian mampir ke rumah Pak Jamil, mertuanya tetangga sebelah rumah di Batam. Namun sayang nenek sama Kakek Jamil lagi tak ada di rumah, hanya ada dokter Anggit saja, dokter magang yang ditugaskan di Pulau Karas.

Oya, pada kunjungan pertama saya ke Pulau Karas saya memfoto sebuah rumah unik. Ketika suami melihat foto tersebut ia begitu penasaran sehingga saat itu waktu digunakan untuk mengunjungi rumah unik tersebut. 

Kurang dari setengah jam kami kembali ke kapal dan langsung menuju Sembulang. Kabar dari Tekong kapal Sri Galang bahwa kami sengaja dijemput pulang jam segitu karena mengejar Damri yang jam 11, namun begitu tiba di Sembulang hingga jam 1 siang Damri tak jua datang. Hwaaaa... kami terdampar di Sembulang. 

Akhirnya Saya coba menelpon sopir damri, dia bilang  masih di Pasar Jodoh yang jaraknya kurleb 2 jam perjalanan dari Sembulang, dia masih muter-muter nyari solar yang gak dapat-dapat. Udah gitu damri yang satunya lagi masih belum beroperasi. Yaaah... kami mendadak lemas. Namun apa daya ya sudahlah daripada bete lebih baik mengisi waktu dengan makan siang di warung yang terletak di pelantar Sembulang. Namanya .... Alhamdulillah masakannya enak dan nendang di perut.
Selesai makan siang kami segera meluncur ke mesjid Sembulang untuk menunaikan sholat dzuhur lalu kembali lagi ke tempat  semula. Sebagian menghabiskan waktu dengan cara tidur-tiduran, sebagian narsis berfoto ria sebagian lagi jalan-jalan mengukur jalan, ada juga yang ngobrol namun sudah tak tentu arah,  sedangkan Saya cukuplah bermain-main dengan Chila yang hari ini cukup ceria berlari-lari ke sana kemari.

Jam tiga lewat beberapa menit Damri yang ditunggu akhirnya tiba. Kami serempak berteriak, dan langsung merangsek masuk. Alhamdulillah di dalam bis bangku-bangku masih kosong. Tak menunggu berapa lama, Saya dan Chila yang duduk berdampingan sudah pulas tertidur hingga jembatan I. Mendekati kawasan Tembesi baru tersadar ketika ada yang membangunkan. Alhamdulillah terasa nikmatnya tidur di bis dalam keadaan capek begini. Duh rasanya masih pengen melipat lagi bulu mata, apa daya lampu merah Simpang Tembesi sduah terlihat. Akhirnya Saya dan Chila turun. Tri juga ternyata ikut turun di sana karena rumahnya tidak di dormitory seperti kebanyakan teman-teman Cumfire lainnya, melainkan di Batu Aji juga.

Si Ayah yang kembali ke Batam dengan mengendarai motor ternyata telah stand bye di pinggir jalan menyambut kami dengan senyuman kecil. Makasih semuanya ya sampai ketemu di even lainnya. Saya melanbaikan tangan ke arah teman-teman dalam bis.

Motor yang kami tumpangi meluncur menuju kawasan Batu Aji menyusuri Jalan Raya Letjen Suprapto yang padat oleh kendaraan. Ketika medekati daerah Merapi Subur ada 2 motor beriringan tepat di depan kami, dan tiba-tiba saja braaaak.... motor yang ada di depan kami terjatuh karena menghindari motor lainnya yang akan berbelok ke sebelah kanan. Spion, pecahan penutup ban, serta material lainnya beterbangan di depan kami. Karena motor yang laju kami tidak sempat menyaksikan kondisi si pengendara itu bagaimana. Kami juga tak mungkin menolong sementara di belakang kendaraan melaju dengan berbagai kecepatan. Innalillahi.... kami bergidik. Alhamdulillah masih terlindungi, seandainya Si Ayah tak dapat mengendalikan kendaraannya nyaris saja kami bisa menabrak motor yang terjatuh tadi.

Alhamdulillah masih dilindungi oleh-Nya.

"Makanya Bunda Aku nggak ngijinin naik motor ke Sembulang, ya kayak gitu, bahaya. " Si Ayah nyeletuk di sela-sela konsentrasinya mengendalikan laju motornya.


Tamat.

Jangan lupa baca postingan sebelumnya ya di Catatan Perjalanan Pulau Lampu Part-3








2 komentar :

  1. pernah ngeliat juga rumah alang-alang kayak gitu.. tapi di mana ya?? yang jelas masih di Batam sini juga kok... *mikir keras...

    BalasHapus

Halaman ini dimoderasi untuk mengurangi spam yang masuk. Terima kasih sudah meninggalkan komen di sini.

Made with by Lina W. Sasmita