Catper Gunung Sinabung 15-17 Agustus 2004 Bagian-2

16 Agustus 2004

Waktu menunjukkan jam sepuluh kurang beberapa menit saja ketika kami tiba di shelter 1. Setelah beberapa saat istirahat, Aku dan Lastri melanjutkan perjalanan.

Serombongan cowok seumuran anak-anak SMA yang beberapa di antaranya telah mengenal Lastri di Lau Kawar mengikuti kami dan beberapa diantaranya main balap-balapan untuk duluan sampai di puncak. Sebagian lagi masih setia mengikuti kami. Walaupun begitu tampaknya tidak ada yang bersedia dijadikan porter padahal mereka mendaki dengan berlenggang saja tanpa membawa apa-apa. Semua hanya menyemangati kami yang kelelahan dengan beban di punggung.

Pukul sebelas kami sampai di shelter 2. Sepanjang perjalanan tadi jalurnya lumayan bersih. Dan hampir-hampir tidak ada sampah. Cuaca pun sangat bersahabat. Tidak panas tidak pula mendung. Aku sangat menikmati perjalanan tadi kecuali kebisingan anak-anak cowok yang menyertai kami. Aku cepat-cepat beranjak lagi dan menapaki jalur sendirian. Aku begitu tidak menyukai keramaian jadi sebisa mungkin aku terus menyendiri dan sesekali berhenti untuk memastikan Lastri tetap di belakangku.

Perjalanan ke shelter 3 kami tempuh dalam waktu 50 menit. Hutan Sumatera beserta rangkaian bukit barisan mulai tampak sedikit-demi sedikit. Lau Kawar beserta perkampungannya semakin jelas terlihat. Di shelter ini kami bertemu dengan seorang turis asal Belgia yang ditemani seorang guide. Kami berbincang-bincang sebentar. Aku melihat bahwa ia begitu antusias dan senang sekali berada di di Pulau Sumatera. Dia bilang negeri ini begitu indah sekali. Suaranya menggebu-gebu dan sesekali menggeleng-gelengkan kepala ketika menceritakan kesenangannya berada di Bukit Lawang. Aku menjadi penasaran dengan Bukit Lawang setelah mendengar cerita dia.

Pukul 13:30 kami tiba di shelter 4. beberapa saat beristirahat sebelum melewati tanjakan patah hati. Sidik, teman Lastri pernah bercerita tentang asal-usul pemberian nama tanjakan Patah Hati. Ceritanya membuat kami tertawa terkekeh-kekeh. Namun aku jadi ingat bahwa Bang Harley High Camp memberi julukan lain untuk tanjakan ini. Tanjakan patah-patah. Tapi memang benar, membuat pinggang rasanya patah-patah. Apalagi ditambah dengan beban yang kami bawa. Bukan patah-patah lagi malahan serasa potong-potong. (apa bedanya coba?).

Menurut Perkiraan, satu jam saja melewati tanjakan ini maka kami sudah bisa mencapai puncak. Tapi kenyataan berkata lain. Tanjakan ini begitu panjang sekali atau mungkin karena gaya kura-kura menjadi pilihan kami sehingga dua jam setelah itu kami baru sampai di puncak. Dan rombongan anak-anak cowok yang sedari tadi mengikuti kami masih tetap menyemangati ketika kami banyak berhenti di bebatuan.

Tanjakan Patah Hati. Tanjakan itu begitu terjal, kering dan terbuka, kalau meleng sedikit bisa saja menyebabkan patah-patah yang lainnya. Patah tulang, patah kaki dan yang pasti patah semangat.

Segera setelah mencapai area sekitar puncak, kami mendirikan tenda dibantu oleh beberapa orang yang tanpa diminta berdatangan menawarkan bantuan. Setelah tenda berdiri kami langsung masuk dan tanpa menawari orang-orang disekitar yang berkeliaran juga para tetangga di tenda sebelah, kami makan siang dengan nasi bungkus yang telah dibeli di sebuah warung di Lau Kawar.

Menjelang senja, setengah berlari-lari aku dan beberapa tetangga naik ke puncak untuk mengabadikan sunset. Namun kabut tebal dan angin kencang menghalangi mentari yang hendak pergi. Setengah jam aku menungguinya namun tetap saja kabut terlalu tebal untuk menampakkan kepergian mentari. Yaaah gagal melihat sunset.

Malam pun menjelang. Beberapa orang berinisiatif untuk membuat api unggun gabungan karena begitu banyak tenda yang hendak menyalakan api unggun sendiri-sendiri. Dan api unggun pun menyala. Kami tetap saja di tenda. Entah kenapa aku merasa enggan berada di luar. Lastri pun mungkin berfikiran begitu karena setelah beberapa saat berada di dekat api unggun ia kembali ke tenda.

Beberapa orang yang masih penasaran dengan kami akhirnya berkunjung ke dalam tenda. Selain beralasan meminta obat karena masuk angin beberapa diantaranya beralasan karena di tendanya teman-teman mereka sedang bermain judi. Mereka meminta aku bercerita tentang beberapa alasan mengapa kami suka mendaki gunung. Satu orang diantaranya tampak sangat antusias sekali. Kata Lastri ia berminat besar dengan hobby ini. Tanpa upacara pengukuhan, Lastri langsung mengangkatnya menjadi adik angkat hehe.

Karena aku malas dan enggan bercerita tentang diriku sendiri, akhirnya aku mencari-cari cerita yang berhubungan dengan pendakian gunung. Aku menceritakan tentang buku Into Thin Air saja ke mereka. Walaupun begitu tampaknya mereka begitu terpukau dengan cerita di balik tragedi pendakian ke Gunung Everest itu.

Setelah lelah bercerita, akhirnya kami keluar dari tenda, suara gitar dan nyanyian di sekitar api unggun cukup menarik untuk diikuti. Mereka begitu senang dengan kehadiran kami karena sedari tadi mereka terus memanggil-manggil kami untuk keluar tenda. Sebenarnya rada geer juga sih, serasa jadi artis “Most Wanted” gitu loh J. Aku langsung request lagu-lagu kesukaanku. Dari mulai lagu-lagu Padi, Slank, Dewa, dan Iwan Fals. Sangat menyenangkan melihat mereka menyanyi begitu baik dan fasih. Cocok kalau dibuat sebuah grup band baru rasanya bukan cuman tampang tapi suara mereka memang sangat luar biasa.

Setelah sekitar pukul sebelas malam aku langsung cabut duluan dan masuk tenda. Mengenakan syal, sarung tangan, kaos kaki, membungkus diri dengan sleeping bag, lalu mendekap si Pinky boneka kesayanganku untuk akhirnya tertidur pulas. Sedang Lastri masih asyik dengan lagu-lagu request-nya yang belum kelar.

17 Agustus 2004
Pagi itu ketika kubuka pintu tenda, Aku terpukau beberapa saat. Subhanallah Ya
Allah, gumamku lirih. Langit tepat berada di hadapanku. Bintang-bintangnya
bertaburan bagai rangkaian mutiara alam raya. Aku beberapa kali menarik nafas.
Mengamati bintang itu satu-satu dan mencari-cari dimanakah bintang yang selalu
aku tandai tiap bulan Agustus tiba.


Bintang….
Berbisik padamu di pagi ini
Bahwa aku di puncak ini
Sejati di hati kepada langit beserta isi
Serengkuh hasrat untuk mencoba merasakan
Sebentuk jiwa yang mencari dan kehausan
Damaimu dan segala keindahanmu
Terima kasihku kepada kabut
Telah memberimu ruang untuk kupandang
Walau sebentar saja sebelum ia kembali membungkus puncak ini
Karena hadirmu begitu menyejukkan ruang hatiku
Bintang terang di langit yang sebentar lagi terang
Hihi…ini puisis ngaco yang sempat langsung terekam dalam notes kecil bersampul barbie yang saat itu kubawa-bawa.

Turun dari Puncak kami bertemu dengan Alex dan Bang Sulman Tumanggor yang saat itu telah lama menunggu di Lau Kawar.

Sore harinya kami segera menuju ke desa di kaki gunung Sibayak dengan dihantar oleh Bang Sulman. Rencananya keesokan harinya baru akan mendaki gunung Sibayak berdua saja seperti ke Sinabung. Alex dan Bang Sulman tidak bisa menemani berhubunga kerjaan mereka yang tidak bisa ditinggalkan.

Kami disewakan sebuah villa oleh Bang Sulman. Duh sebenarnya malu karena telah merepotkannya.Namun karena ia pun tampak senang melakukannya, kami pun sangat berterima kasih kepadanya.

Setelah dirasa selesai Bang Sulman pun pulang. Sementara Aku dan Lastri segera meluncur ke kolam renang air panas dan puas berendam di sana. Kolam renang yang berisi air belerang yang langsung dialirkan dari Gunung Sibayak.

Sejenak bisa beristirahat sambil mengobati segala pegal dan nyeri-nyeri karena habis turun gunung dengan berendam di air panas. Alhamdulillah malamnya bisa tidur pulas ditambah hawa pegunungan yang dinginnya minta ampun membuat kami semakin menarik selimut rapat-rapat. Duh nyamannya :)

Jangan Lupa baca cerita sebelumnya :
Catatan Perjalanan Gunung Sinabung Bagian Pertama



10 komentar :

  1. Wah, serunya mendaki Sinabung ya, Mbak. Aku belum pernah tuh, baru juga menaklukkan puncak Sibayak. :)
    Trims for share pengalaman serunya, Mbak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Mbak, Alhamdulillah seru. Apalagi dapat menikmati langit yang bertaburan bintang dengan begitu dekat rasanya sesuatu banget :) Makasih sdh berkunjung kemari.

      Hapus
  2. keren banget mbaaa... ayo dibukukan mbak, pengalaman2nya mendaki gunung, pasti seru

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pengennya begitu Mbak tapi bingung mulai darimana :)

      Hapus
  3. pengen merasakan perjalanan seperti itu. Seumur-umur belum pernah mendaki gunung.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ayo atuh Mas Mendaki :) Bersedia jadi guide hehe

      Hapus
  4. Top deh emak perkasa ini, masih nyimpan catatan lamanya beserta foto2nya pula :)
    Eh, gambar Barbie? hihihi ... gak papa ... kesan perkasa dan gambar Barbie cocok kok :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe...waduuh tutup muka maluuu. Saya ini perkasa apaan badan aja kurus kering begini :D

      Hapus
  5. Waahh... tahun 2004 itu aku tinggal di kuala lumpur ikut suamiku yg penelitian disana dan kamu jalan2 naik sinabung...mantap banget euy.. ayo lina dibukukan ceritanya..seru seru

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waaah coba kita kenal sejak lama ya Mbak qiqi apa hubungannya ya.

      Hapus

Halaman ini dimoderasi untuk mengurangi spam yang masuk. Terima kasih sudah meninggalkan komen di sini.

Made with by Lina W. Sasmita