Gunung Ledang |
Beberapa waktu yang lalu, saya dan suami
melakukan perjalanan dan pendakian ke Gunung Ledang yang terletak di Negara
bagian Johor Malaysia.
Dalam sejarah dan legenda masyarakatnya ternyata gunung ini mempunyai
keterikatan batin dengan kerajaan Majapahit, bahkan Putri Gunung Ledang yang
dipercaya masyarakat sebagai penguasa Gunung ini disebut-sebut berasal dari
Pulau Jawa.
Pada awalnya kami tidak terlalu antusias untuk
mendaki gunung tersebut karena ketinggiannya yang hanya 1276 meter di atas
permukaan laut (mdpl) berada jauh di
bawah gunung-gunung yang ada di Indonesia
yang ketinggian rata-rata di atas 2000 mdpl. Bahkan dengan Gunung Daik Pulau
Lingga Kepri sekalipun masih kalah tinggi.
Namun betapa terkejutnya kami setelah tiba di
lokasi pendakian, tepatnya di Taman Negara Johor Gunung Ledang atau dikenal juga dengan sebutan Taman
Hutan Lagenda. Betapa tidak, gunung yang hanya setinggi 1276 mdpl ini ternyata memiliki
berbagai fasilitas lengkap mulai dari Pusat pengunjung, penginapan, pondokan,
mushola, toilet, bahkan tapak-tapak kemah, dan areal memasak yang terawat, rapi
dan bersih. Dengan gunung yang hanya setinggi itu pemerintah Negara Bagian
Johor mampu memaksimalkan keberadaannya
sehingga menjadi aset yang mampu menghasilkan pendapatan bagi negara.
Ada hal yang cukup menarik untuk diambil
pelajaran dari pendakian ke Gunung Ledang. Salah satunya mengenai penanganan
masalah sampah. Manajemen Taman Negara menerapkan aturan yang ketat kepada para
pendaki yang akan mendaki gunung ini. Sebelum mendaki kita diwajibkan mengisi formulir yang mendata seluruh
barang yang akan dibawa ke atas yang akan berpotensi menjadi sampah, baik
bungkus makanan & minuman, baterai kamera, obat-obatan P3K, sepatu, sandal,
pakaian, bahkan pakaian dalam sekalipun dihitung dan dijumlahkan berapa potong.
Selain itu dikenakan deposit sampah sebesar 50 Ringgit bagi setiap kelompok
pendaki. Cukup mahal namun benar-benar efektif untuk membuat takut para pendaki
jika membuang sampah sembarangan di dalam kawasan gunung. Jika ada sampah 1
potong saja tertinggal di gunung dan kita tidak dapat membuktikan sampah tersebut dibawa turun maka
uang 50 ringgit atau setara dengan Rp. 135.000 akan hangus tak kembali.
Hasilnya,
jangan ditanya. Di sepanjang jalur pendakian menuju puncak gunung ini tidak terlihat sampah sedikit pun. Bersih
dan menyejukkan mata. Seandainya saja di negara kita bisa seketat itu
penanganan kebersihan gunungnya, mungkin ekosistem gunung-gunung di Indonesia
akan tetap terjaga sampai saat ini.
Berbeda dengan pengelolaan sampah di Gunung Kinabalu yang terletak di Negara Bagian Sabah, pengelolaan sampah di Gunung Ledang lebih kepada pendekatan preventif sehingga tidak ada sampah yang singgah terlebih dahulu di gunung namun langsung dibawa turun kembali oleh para pendaki. Selain dapat menghemat biaya angkut sampah, tindakan pencegahan ini juga akan memberi pelajaran berharga bagi para pendaki untuk lebih menghargai dan mencintai kebersihan gunung.
Adapun
pengelolaan sampah di Gunung Kinabalu cenderung lebih maju, di sepanjang jalur pendakian
dan pondokan gunung disediakan tempat-tempat sampah yang diberi polybag. Sampah-sampah tersebut dibawa
turun oleh para porter setiap hari yang kemudian diangkut oleh truk-truk sampah
setiap 2 atau 3 hari sekali. Begitu juga sampah yang diproduksi langsung oleh
tubuh manusia tidak terbuang sembarangan di sepanjang jalur pendakian namun
telah disediakan toilet yang bersih di setiap shelter lengkap dengan fasilitas air bersih dan tissue gulung.
Rupanya Negara bagian Sabah pun tidak mau tanggung-tanggung dalam mengurus
Gunung yang telah dinobatkan oleh UNESCO sebagai salah satu dari Tapak Warisan
Dunia (World Heritage Site) yang
harus dijaga kelestarian dan keberadaannya dari kepunahan dan kerusakan.
Memang dalam urusan urus mengurus gunung saja
rupanya kita perlu banyak belajar dari negeri jiran Malaysia. Jangan dulu dibandingkan
dengan gunung kebanggaan Malaysia Gunung Kinabalu (4095 mdpl) yang pernah diklaim negeri ini
sebagai gunung tertinggi di Asia Tenggara (padahal yang tertinggi adalah Gunung
Cartendz Pyramid 4884 mdpl yang terletak
di Papua Indonesia).
Dari Gunung Ledang saja, manajemen pengelolaan gunung kita jauh tertinggal.
Marilah kita perhatikan kondisi gunung-gunung yang ada di Pulau Sumatera dan
Jawa betapa sampah yang berserakan telah menjadi pemandangan yang biasa bagi
setiap pendaki. Bahkan setiap pendaki yang datang ke gunung adalah salah
seorang penyumbang sampah untuk gunung yang dikunjunginya.
Seorang teman saya pernah berkomentar pedas
mengenai kondisi Gunung Gede di Bogor Jawa Barat yang merupakan gunung paling
sering didaki di Indonesia.
Ia bilang Gunung Gede sudah seperti Bantar Gebang, sampah berserakan
dimana-mana. Walaupun banyak volunteer yang
kerap kali mengadakan acara Bersih Gunung, namun permasalahannya tetap sama
sampah kembali hadir di gunung untuk waktu-waktu seterusnya. Lain lagi dengan Gunung Ciremai, masih di Jawa Barat, di sepanjang jalur pendakian terutama jalur Linggar Jati, maaf, air kencing
yang dibungkus plastik dan botol minuman
bergelantungan di pohon-pohon seperti halnya kelelawar.
Di Gunung Rinjani Pulau Lombok yang terkenal dengan
keindahan Danau Segara Anak, sampah terus bertambah bagai rerumputan yang
tumbuh di savana. Tidak adanya tempat pembuangan sampah menjadikan para pendaki
seenaknya saja membuang sampah di sepanjang jalur pendakian. Walau tentu tidak semua karena masih saja ada para pendaki yang secara
sadar membawa turun kembali sampah-sampah yang ia bawa.
Tak
jauh bedanya Gunung Kerinci di Jambi, Gunung Sibayak & Sinabung di Sumatera
Utara, Gunung Slamet, Sindoro & Sumbing di Jawa Tengah, Gunung Bromo, Semeru,
Arjuno & Welirang di Jawa Timur, semua mempunyai catatan yang memilukan
tentang sampah. Bahkan Gunung Daik yang ada di Pulau Lingga Kepri pun
menanggung permasalahan yang sama. Di sepanjang jalur pendakian masih saja ditemukan sampah-sampah plastik
makanan ringan, permen, dan plastik mie instant.
Di
Kepulauan Riau sendiri terdapat beberapa gunung yang sebenarnya berpotensi besar
dijadikan sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Gunung Daik di Pulau
Lingga (1776 mdpl) dan Gunung Ranai di Natuna (1035 mdpl). Namun hingga
saat ini masih belum terkonsep dengan jelas bagaimana manajemen dan pengelolaan
gunung-gunung tersebut. Padahal kedua-duanya mempunyai
daya tarik dan karakteristik sendiri yang unik.
Tahukah Anda dengan sebuah pantun berikut?
”Pulau Pandan Jauh di tengah
Gunung Daik
bercabang tiga
Hancur badan
dikandung tanah
Budi baik dikenang
jua”
Dari
pantun melayu yang penuh makna ini saja, Gunung Daik sudah sangat dikenal oleh
masyarakat Malaysia dan Singapura. Saya pernah membaca sebuah blog pendaki dari Kuala Lumpur yang berencana mendaki Gunung Daik. Di dalam blognya ia mengutip pantun di atas dan
menceritakan bahwa pantun tersebut sudah dikenalnya sejak lama, sejak ia dalam
buaian, sejak ia kanak-kanak. Betapa lama keinginannya terpendam untuk bisa berkunjung
ke Gunung Daik yang melegenda, Gunung Daik yang bercabang tiga.
Lain
halnya dengan Gunung Ranai Natuna. Keberadaannya sangat strategis, yakni
menjadi salah satu titik tertinggi untuk memandang gugusan pulau-pulau di
sekitar Laut Cina Selatan sungguh akan menjadi daya tarik luar biasa bagi para backpacker,
pendaki, wisatawan, dan para penjelajah alam bebas.
Dengan
diberkahinya negeri ini dengan rangkaian gunung-gunung yang bertaburan dari
ujung Aceh hingga ujung Papua, tentu saja tidak menjadikan kita menganggap hal
itu biasa saja lalu menyia-nyiakan keberadaannya. Pemanfaatan dan pelestarian alam
yang maksimal seperti halnya pengelolaan gunung-gunung di negara tetangga kita Malaysia, tidak saja
akan menghasilkan keuntungan yang besar bagi daerah namun juga bagi negara, dan
tentunya akan menjadi warisan alam tak
ternilai bagi generasi anak cucu kita kelak. Walau ada pepatah mengatakan ” takkan lari gunung dikejar” namun jika kita tidak bisa menjaga
kelestariannya dari sekarang masih bisakah generasi mendatang menyaksikan
keanggunan dan kemegahan gunung-gunung yang ada sekarang? Bukankah bencana
longsor di lereng-lereng gunung sedang marak terjadi akhir-akhir ini?
Nemu tulisan lama ini. Sayang dibiarkan mengendap, sekedar buat mengingat-ingat saya posting saja deh.
Tulisan ini juga pernah dipublikasikan di Harian Batam Pos pada tahun 2008.
Subhanallah. Pada hal itu gunung tak seberapa bagi pendaki tapi luar biasa penanganannya dan menjaga kelestariannya. Nggak ada sampaghyang sangat mengganggu mata. Semoga Indonesia bisa mencontoh kebaikan negara tetangga :)
BalasHapusIya Mbak, gunungnya nggak seberapa tinggi tapi pengelolaannya maksimal. Kita harus banyak belajar dari mereka
BalasHapusLuar biasa memang negara tetangga dalam hal menangani sampah, pernah mendaki ke Kinabalu dan benar-benar terpesona sama serentetan peraturan ketat namun membuat gunung dan alamnya benar-benar bersih dan alami. semoga pengelola di Indonesia bisa belajar, bukan hanya sekedar menarik bayaran mahal tanpa kelola yang layak.
BalasHapusIya Mbak, kadang heran kenapa hal yang baik begitu kita tidak bisa menirunya. Contoh dan teladan sudah banyak diajarkan negara-negara lain tapi kenyataannya kita tetap berkutat pada permasalahan yang sama. Pembuangan sampah di gunung yang menjadi-jadi dan tidak terkelola.
HapusKadangggg kita memang harus belajar dari negeri tetangga yah mbak.
BalasHapusaku pengen deh ngedaki gunung disana. namun apa daya, pasangan yang pas diajak kesana belum nemu **ehh curhat***
Aku yang pingin naik gunung belum keturutan. Apalagi sampai ke gunung negeri tetangga.
BalasHapus