Catper Gunung Pusuk Buhit 1982 mdpl (bagian 2)


Feb 18, '12 2:37 PM 

Setelah melemaskan otot-otot yang tegang dan rapi-rapi mandi, lalu dandan yang cantik, suit..suit.. hmm kami turun ke lobi hotel, sekedar menengok keadaan dan memastikan bahwa kami memang sudah dekat dengan Gunung Pusuk Buhit.

Gunung Pusuk Buhit
Perbukitan menuju Gunung Pusuk Buhit

Semalam di Pangururan Pulau Samosir

Di lobi kami berkenalan dengan seorang Bapak-bapak yang tiba-tiba darinya kami mendapat pencerahan. "Pak memangnya Pangururan itu termasuk kabupaten apa ya?" Tanyaku. "Yaaa... Kabupaten Toba Samosir". Jawabnya. "What?" kami terhenyak kaget. Tepok jidat. Ya ampuun, Jadiii.. kami ada di Pulau Samosir? Pulau di tengah Pulau? Di tengah-tengah Danau Toba itu? Oohh.ho..ho..ho.. kesasar yang kebetulan. Kalau istilah sinetronnya Sengsara membawa nikmat. Tapi...tunggu...tunggu...tunggu... Laah perasaan dari tadi kan nggak melewati hamparan danau Toba yang luas itu. Mobil Sampri yang kami tumpangi itu tetap merayap di aspal dan tak sedikitpun kecipratan air danau, Kok bisa tiba-tiba ada di pulau Samosir? Kami berdua terbengong-bengong. Saling memandang, tak percaya dengan apa yang baru saja didengar.


Selidik punya selidik ternyata pada sisi Barat danau, jarak daratan Sumatera dengan pulau Samosir menyempit, jaraknya hanya selebar sungai dan dihubungkan oleh sebuah jembatan yang tak terlalu panjang. Jadi ketika kami melewatinya pun tak terasa bahwa telah menyebrang ke pulau Samosir.


Si Bapak yang kami tanyai tampak keheranan. Begitu juga rekan-rekannya, mungkin aneh melihat kami perempuan-perempuan muda (sekarang sudah tua hehe..) berdua saja kelayapan ke daerah kekuasaannya. Seakan si Bapak itu hendak bertanya "what the hell brings you here?". Puas tanya ini itu di lobi, kami keluar hotel. Rencananya mau mencari warung makan atau restoran atau apalah namanya sehingga cacing-cacing di perut ini tidak perlu lagi bernyanyi.


Kami berjalan menyusuri tepi jalan di Pangururan. Bingung mau makan dimana. Baru sadar ternyata di Pulau Samosir mayoritas penduduknya beragama Nasrani jadi kemungkinan besar akan susah menemukan rumah makan halal.


Setiap warung makan yang dijumpai selalu kami tanyai ada menu halal tidak. Atau begitu warungnya nampak menjual B2 kami pun langsung cabut ke tempat lainnya. Lelah semakin terasa namun warung Halal tak jua ditemui.


Akhirnya dari jauh Aku melihat seorang Bapak-Bapak yang memakai peci hitam mirip ustadz-ustadz di kampungku. Aku langsung semangat menanyainya, mungkin dia tahu pasti dimana warung halal berada. "Pak maaf mau tanya kalau restoran halal di sini dimana ya?" Dengan antusias si Bapak tadi mengajak kami menyusuri jalan. Laahh kok balik ke hotel tempat kami menginap?


Belum habis rasa penasaran kami, Si Bapak sudah menunjukkan tangannya ke sebuah restoran tepat di samping Lobi Hotel tempat kami menginap. Di kaca restoran itu tertulis bacaan Halal. Halaaahh....sudah putar-putar ke sana kemari ujung-ujungnya yang dicari di situ-situ juga. Kami tertawa geli sambil mengucapkan terima kasih kepada si Bapak peci hitam tadi.


Saat membahas kejadian lucu itu di restoran, tiba-tiba si Ibu pemilik restoran menanyai kami. "Tahu nggak siapa yang mengantar kalian barusan?" "Nggak tau Bu" jawab kami polos. "Yang barusan itu Pak Pendeta" Haaah... kami terbengong-bengong, aduh jadi nggak enak body nih sama si Bapak Pendeta tadi, sudah begitu baiknya menunjukkan restoran Halal buat kami. "Lho...kok Pendetanya pakai peci Bu? Kayak guru ngaji di kampung Saya". Protesku. "Ya memang pendeta di sini begitu, memakai peci". Kata si Ibu. Waaahh tambah lagi Ilmu Pengetahuan Sosialku. Benar kata pepatah Lain ladang lain belalang. Lain lubuk lain pula ikannya. Kalau ladangnya berjauhan belalangnya juga belum tentu sama jenisnya. Ihh apaaa coba? Nggak nyambung banget.


Esok pagi-pagi sekitar jam 8an kami sudah meluncur menaiki kendaraan umum yang penduduk di sini menamainya dengan sebutan BENTOR atau kepanjangan dari BEcak moTOR. Perpaduan sepeda motor dengan becak disampingnya. Sempat terheran-heran dan protes dalam hati. Bentor Becak Motor lalu huruf N nya datang dari mana? Tolong bagi yang tahu dan membaca tulisan ini kasih tahu ya! :)


Bentor yang ditumpangi kami melaju menyusuri jalan aspal sepi di tepi danau Toba. Dari dalam bentor Aku mengamati pemandangan di sekeliling. Betapa luas dan indahnya danau Toba itu.


Matahari pagi memancarkan warna keemasan di atas punggungan bukit. Nun jauh disekeliling danau, bukit-bukit mulai menyibakkan selimut awannya. Tampak jelas lekuk-lekuk punggungan serta jurang-jurangnya yang curam. Lalu semburat sinar mentari di langit membias ke permukaan danau memantulkan warna keperakkan di riak-riak air. Sungguh Pagi yang menakjubkan.


15 menit kemudian Kami diturunkan di pemandian air panas Siogun-ogun. Dari situ pendakian ke gunung Pusut Buhit dimulai. Yes, the journey begin.

Bersambung ke sini :

Catatan Perjalanan Gunung Pusuk Buhit bagian ke-3 (Tamat)

Posting Komentar

Halaman ini dimoderasi untuk mengurangi spam yang masuk. Terima kasih sudah meninggalkan komen di sini.

Made with by Lina W. Sasmita