“Aku hanya ingin bercerita pada rinai hujan
yang datang di keremangan, pada kabut yang menelikungi pemandangan, pada
kuncup-kuncup cantigi yang merah berseri di Plawangan, juga pada edelweis yang tersembunyi di balik
jurang-jurang”
![]() |
| Cover Antologi Cerpen Jatuh di hatimu |
Kabut
semakin pekat menelikungku dengan kebimbangan yang sangat. Akankah aku
menghentikan langkah ini? Sementara badai semakin kencang bergemuruh
menampar-nampar dinding tebing yang terjal. Menggemakan kegalauan ke dalam hati
seiring dengan ritme jantung yang semakin berdetak cepat. Peluh pun tak lagi
bercucuran karena luruh terserap hawa dingin yang membekukan.
Aku
menghela nafas panjang. Pyuh… bayang-bayang seseorang selalu datang menghantui.
Mengintai menembus alam sadarku. Menguntit mengikuti langkah-langkahku yang
semakin meninggi. Berpuluh-puluh helaan nafas panjang telah kulakukan namun
semakin lama peristiwa itu semakin berkelebatan muncul dan menyakitkan.
Sepanjang perjalanan menuju puncak gunung ini, tubuhku berguncang hebat.
Tangisan terhambur pilu, walau air mata sudahlah mengering sejak satu jam yang
lalu. Menangis, menangis dan terus menangis. Melepas sedih yang menghimpit
ruang-ruang di sanubari. Untung saja aku hanya sendiri melewati jalur curam
ini.
Sebuah
email, serangkaian tulisan dari
seseorang yang telah mengakhiri hubungan kasih denganku berkelebatan
memenuhi benakku. Email itu dikirim 3 bulan yang lalu namun terus menerorku
setiap saat. Aku mencoba berdamai dengan peristiwa itu, melupakannya dengan
terus mendaki dan mendaki gunung. Menyalurkan energi kemarahan, kekecewaaan,
dan sakit hati dengan melepasnya di ketinggian. Di puncak-puncak gunung yang
beku, dingin, namun romantis.
Dear My Savanna,
Mungkin ini akan menolongmu untuk membuat suatu keputusan.
Apakah kamu mempunyai pandangan tentang siapa saja yang sangat berarti bagimu? Bahwa ada seorang pria yang mencintai dua wanita pada saat bersamaan tetapi ia tak tahu mana yang lebih ia cintai. Seseorang memberitahu dia. Tanyakan pada dirimu sendiri pertanyaan ini. Saat kamu sedih, wanita mana yang ingin kamu berbagi kesedihan dengannya? Kalau kamu memikirkan wanita itu pertama kali, maka dialah yang lebih kamu cintai.
Ada banyak orang dimana kamu dapat berbagi kesenangan yang kamu punya, namun bagaimana pun juga tidak banyak orang yang mau berbagi beban kesedihan hidup denganmu. Pada siapa kamu menceritakan kesedihanmu, maka dia yang akan menjadi seseorang yang dekat dan paling mengerti akan dirimu.
Tentu saja Aku senang jika ada orang yang mau berbagi kebahagiaan denganku. Dan ketika aku bersedih, dia tetap berada di sisiku dan menentramkan kesedihanku. Dengan begitu aku dapat percaya bahwa wanita tersebut menempati posisi penting di hatiku. Kalau kamu sedih siapa yang pertama kali kamu fikirkan?
Kini, aku memanggilmu teman! Kata yang singkat, terlalu banyak perasaaan di dalamnya. Selama bertahun-tahun jalinan ini terhubung dan sekarang aku hanya ingin mengisinya dengan tali persahabatan.
Di setiap hubungan percintaan tentu akan menemukan muaranya. Sementara aku hanya ingin bermuara pada satu wanita. Dan kamu adalah delta yang pernah kujumpai sesaat sebelum mencapai muara itu.
Semoga keputusan ini membuatmu lebih mengerti akan sikapku belakangan ini.
Salam,
Ben
Mungkin ini akan menolongmu untuk membuat suatu keputusan.
Apakah kamu mempunyai pandangan tentang siapa saja yang sangat berarti bagimu? Bahwa ada seorang pria yang mencintai dua wanita pada saat bersamaan tetapi ia tak tahu mana yang lebih ia cintai. Seseorang memberitahu dia. Tanyakan pada dirimu sendiri pertanyaan ini. Saat kamu sedih, wanita mana yang ingin kamu berbagi kesedihan dengannya? Kalau kamu memikirkan wanita itu pertama kali, maka dialah yang lebih kamu cintai.
Ada banyak orang dimana kamu dapat berbagi kesenangan yang kamu punya, namun bagaimana pun juga tidak banyak orang yang mau berbagi beban kesedihan hidup denganmu. Pada siapa kamu menceritakan kesedihanmu, maka dia yang akan menjadi seseorang yang dekat dan paling mengerti akan dirimu.
Tentu saja Aku senang jika ada orang yang mau berbagi kebahagiaan denganku. Dan ketika aku bersedih, dia tetap berada di sisiku dan menentramkan kesedihanku. Dengan begitu aku dapat percaya bahwa wanita tersebut menempati posisi penting di hatiku. Kalau kamu sedih siapa yang pertama kali kamu fikirkan?
Kini, aku memanggilmu teman! Kata yang singkat, terlalu banyak perasaaan di dalamnya. Selama bertahun-tahun jalinan ini terhubung dan sekarang aku hanya ingin mengisinya dengan tali persahabatan.
Di setiap hubungan percintaan tentu akan menemukan muaranya. Sementara aku hanya ingin bermuara pada satu wanita. Dan kamu adalah delta yang pernah kujumpai sesaat sebelum mencapai muara itu.
Semoga keputusan ini membuatmu lebih mengerti akan sikapku belakangan ini.
Salam,
Ben
Tak
kuasa menahan tangis, mataku mulai mengembun. Email itu seperti menamparku lalu
melemparkanku ke sebuah jurang yang curam. Benarkah? Benarkah dia memutuskan
hubungan kasih denganku karena wanita lain? Wanita yang tiba-tiba muncul di
kehidupannya dan telah menyingkirkan aku dari hatinya hanya dalam beberapa
bulan saja? Wanita yang menurutnya selalu ada di sampingnya saat ia senang dan
sedih. Tidak seperti aku yang jauh di seberang pulau, terpisah lautan
beratus-ratus mil jaraknya, yang tidak melihatnya setiap saat, dikala ia senang pun dikala ia bersedih.
Perlahan
rasa sakit itu membawa lamunanku melayang pada awal-awal pertemuan dengannya.
Di sana , tepat
satu tahun yang lalu, di Gunung Kerinci. Di sebuah titik tertinggi Pulau
Sumatera, aku dan dia berjabat tangan saling mengucapkan selamat karena hampir
bersamaan menjejakkan kaki di titik ketinggian 3.804 meter di atas permukaan
laut. Walau tidak mengenal satu sama lain, kami lekas menjadi akrab dan
tiba-tiba saja begitu dekat. Berbagi tawa sambil memandang bersama matahari
terbit di tepi cakrawala. Menyongsong pagi dengan jepretan kamera, melompat,
benyanyi, dan berlari-lari. Bahkan mengikrar janji tahun depan tepat di tanggal
pertemuan itu akan mendaki bersama ke Gunung Rinjani di Pulau Lombok .
Dan
di sinilah aku setahun kemudian. Tersaruk-saruk di kerasnya medan pasir Rinjani. Bukan membawa harapan
dan kebahagiaan namun membawa luka dan kepedihan yang sengaja ingin kuadukan
kepada pelukan alam. Yang ingin kukalungkan kepada tingginya gunung-gunung dan tebing-tebing
yang terjal agar semua kesedihan ini tak lagi menjadi beban yang menggangu masa
depanku.
Jarak
pandang semakin menipis hanya kurang dari dua meter. Aku hanya bisa berjalan
mendaki perlahan dengan badan condong ke depan. Dua langkah naik, satu langkah
turun. Empat langkah naik, dua langkah turun. Dalamnya pasir vulkanik membuat
langkah seakan tak pernah berubah. Namun perlahan seiring kabut yang mulai
menebal, aku tiba di puncak tertingginya.
“Ini
puisi untukmu Vanna, kamu baca di puncak sana
saja ya!” Kata Inggit subuh tadi, sambil menunjukkan jemarinya ke arah puncak
Rinjani yang hanya tampak siluet.
“Ini bukan
puisi karanganku, tapi puisi karya temanku, pas kubaca kayaknya cocok buat kamu
yang lagi galau habis!” lanjutnya sambil tersenyum lalu menyelipkan secarik
kertas ke dalam kantong daypack-ku.
Awalnya, kami beriringan berjalan, susul menyusul. Namun perlahan
terpisah-pisah karena perbedaan kecepatan dan kemampuan beradaptasi dengan
terjalnya medan
pendakian.
Secarik kertas
yang terselip di daypack, kubuka
perlahan. Sebuah puisi tanpa judul.
Hanya ingin berdiri di sisimu
Sampai kurasa pahitnya luka
Kerap kucoba bertahan dalam badai dingin
Dengan sisa keyakinan yang meletihkan
Karena keinginan sederhana selalu mengikuti
Mengintai di antara lembah pinus dan misteri kabut
Hasrat itu kubisikkan untuk puncak tertinggi
Ungkapan sepi seorang pemimpi di musim ini
Kutitipkan buku harian pada batu-batu
Dengan serakan jiwa yang kujalin menjadi tarian hidup
Aku tak ingin terbang sendiri
Dalam sebentuk dongeng pengantar tidur,
Sebelum syair-syair menjadi usang
Dalam satu keputusasaan yang panjang
“Inggiiiit…” aku berteriak memanggil Inggit. Namun hanya gema yang terulang menembus
kepekatan kabut siang. Tangisku pecah seketika. Betapa puisi ini mewakili seluruh
kegalauanku saat ini. Seluruh kesedihan-kesedihan yang kututup rapat dari
teman-temanku yang lainnya dan hanya kubagi kepada Inggit saja.
Beberapa
saat kemudian Kris teman satu tim pendakianku datang. Dengan wajah yang
sumringah ia segera menyalamiku. Mengucapkan selamat karena kami berdua telah
mencapai puncak terlebih dahulu dibanding yang lain. Namun sesaat kemudian kami
hanya duduk mematung. Termenung menyimak suara alam yang terasa begitu megah
namun sekaligus menakutkan. Deru badai yang menghempas tebing-tebing bagaikan
nyanyian alam yang semakin lama semakin mengeras dan mengganas.
Kris
mencuri-curi pandang ke arahku. Menatap
heran kepada wajahku yang masih berderai air mata. Ia lalu mendekat.
Mengulurkan slayer merah dengan tangan kanannya.
“Kamu
baik-baik saja kan ?”
Tanyanya. Aku menggeleng perlahan. Sungguh suasana seperti ini membuat hatiku
bertambah pedih dan teriris. Kenangan akan pertemuan dengan Ben di puncak
gunung semakin berkelebatan. Dan jujur, aku sedang tidak baik-baik saja.
“Kalau
boleh berbagi, kamu bisa cerita tentang apa saja. Aku rela jadi tong sampah kok.”
Canda Kris. Matanya yang bening begitu tajam menatapku. Sial, kenapa hati ini
terasa begitu damai melihat sorot matanya itu.
“Maaf,
untuk saat ini aku belum bisa cerita”. Jawabku pelan sambil menunduk malu. 10
menit berselang Rimbas dan Bimo teman satu rombongan pendakian dengan kami
datang disusul beberapa kelompok pendaki lainnya. Semua terlihat sangat
kelelahan. Medan pasir yang curam serta kabut tebal ternyata cukup ampuh untuk
membuat nyali dan semangat para pendaki drop
seketika. Namun wajah-wajah mereka terlihat bahagia karena telah menginjakkan
kaki di puncak. Setengah jam kemudian barulah Inggit dan Akil - dua orang terakhir dari tim pendakian kami
tiba. Tak kuasa menahan haru, aku segera menyongsong Inggit. Memeluknya dan
berbisik untuk berterima kasih atas puisinya.
Kabut
semakin menebal menyelimuti seluruh kawasan puncak. Sementara kilat mulai
menyambar-nyambar begitu dekat. Jarak pandang semakin merapat dan ruang gerak
di puncak semakin menyempit. Aku tetap terdiam. Sementara yang lain sudah
beranjak menyisir gigiran puncak yang memanjang.
“Vanna,
ayo kamu jalan duluan.” Kris berdiri di hadapanku. Kini ia yang bertugas
menjadi sweeper, orang terakhir dari
tim kami yang memastikan tidak ada
anggota tim yang tertinggal di belakang.
“Maaf
Kris, aku masih menunggu seseorang di sini. Kalian turun duluan aja!” Jawabku
pelan.
“Apa?
Kamu mau nunggu di sini dalam cuaca seperti ini? Gila kamu, bisa-bisa kamu
gosong terkena petir. Kris melotot menatapku.
“Aku
di sini sampai jam 12 siang saja gak lama cuma 1 jam lagi kok.” Aku ngotot
bertahan di puncak.
“Ya
ampun nih cewek bandel amat ya, ya udah deh aku temenin. Ntar kamu kenapa-napa
siapa pula yang mau tanggung jawab.” Kris akhirnya mengalah.
Setengah
jam berlalu, tak ada tanda-tanda seorang pendaki pun yang akan datang. Kris
menatapku iba. Aku begitu gelisah. Entahlah menurut feeling-ku Ben akan datang ke tempat itu.
“Kamu
sebenarnya lagi nunggu siapa sih, cowok kamu ya?” Tanyanya penasaran. Aku
menggeleng.
“Mantan.”
Jawabku pendek. Kris hanya melongo mulutnya membentuk hurup O. Kami sedang termenung ketika sebuah gelegar
petir terdengar memekakkan telinga.
“Tiaraaaap,”
teriak Kris. Sebuah kilat mendatar menyambar tepat beberapa centi di atas
kepalaku. Kaget disertai syok, aku dan Kris langsung tiarap, namun belum hilang
kekagetan itu, tiba-tiba hujan es menderas berjatuhan. Mirip gula pasir yang
ditaburkan. Bergemeletuk berbenturan dengan bebatuan. Semakin lama hujan
semakin lebat. Tidak ada pilihan lain kecuali
kami harus segera cabut meninggalkan tempat itu, kembali ke tenda di
bawah sana , di
Plawangan Sembalun yang jaraknya sekitar 2-3 jam perjalanan dari puncak
Rinjani.
Melihat
gelagat alam yang kurang bersahabat itu, setengah berlari kami menuruni kawasan puncak. Walau tetap harus berhati-hati karena di kanan kiri jurang menganga.
Belum lagi kabut serta hujan yang
memperpendek jarak pandang.
Beberapa
kelompok pendaki lainnya yang baru saja mendekati puncak terlihat kebingungan.
Mereka terhenti di beberapa cerukan batu. Terlihat menunggu hingga hujan reda.
Beberapa orang terlihat linglung dengan mata menatap tanpa berkedip. Badan
mereka kaku tampak seperti robot.
“Hei
kalian gak turun ya?” Tanyaku pada mereka.
“Lagi
nunggu hujan reda Mbak. Kami tetap akan ke puncak nanti.” Jawab seseorang di
antara kerumunan pendaki yang berteduh di cerukan batu yang kami lewati.
“Puncak
bukan segalanya Bung, lihat teman-temanmu sudah hampir hipotermia begitu.” Aku
menatap ke arah kerumunan pendaki yang menggigil kedinginan. Huh dasar egois
fikirku. Terkadang obsesi seseorang menuju puncak gunung kerapkali mengabaikan
faktor-faktor keselamatan nyawa teman-teman pendaki lainnya.
Seseorang
berdiri menyeruak dari kerumunan pendaki yang tadi berteduh di cerukan batu.
Wajahnya basah kuyup oleh derasnya air hujan. Aku yang belum awas masih belum
mengenalinya. Namun segera tersadar ketika seseorang yang berdiri itu memekik
dan memanggil namaku.
“Savanna,
kemana saja dirimu?” Tanyanya ia seperti mengenaliku. Aku mendekatinya perlahan
lalu menutup mulut karena hampir saja berteriak kaget.
“Ben?
Kamukah itu?” Aku menatapnya gembira namun tiba-tiba aku tersadar bahwa dia
sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi denganku. Rasa itu harus kubuang jauh-jauh walau tak dapat
kupungkiri bayangnya kerap menghantui setiap gerak dan langkahku di gunung ini.
“Iya ini aku, kamu kemana aja?” Jawab Ben canggung. Matanya yang bulat berkilat-kilat oleh
butiran air hujan. Namun belum sempat aku menjawab, sebuah suara memanggilnya
untuk kembali.
“Siapa
sih Ben, teman kamu ya?” Tanya seorang perempuan terdengar samar di keriuhan
hujan. Ben membalikkan badannya.
“Bukan,
bukan teman tapi Savanna yang kuceritain tempo hari.” Jawab Ben datar. Sebuah
keributan terjadi di cerukan tempat Ben dan kawan-kawannya berteduh.
“Ben
cepat ke sini si Ria pingsan nih.” Sebuah suara memanggil Ben.
“Vanna, aku mau bicara. Tapi nggak di sini, situasinya kurang tepat, tunggu aku nanti
sore di Plawangan Sembalun ya.” Cerocos Ben sambil segera berlalu. Aku hanya
mengangguk lalu secepat kilat berlalu.
“Ria
ayo bangun Ria!” Kawan-kawan Ben mengguncang-guncangkan tubuh seorang perempuan
yang terduduk kaku menyandar ke dinding batu. Matanya terpejam. Ponco yang
dikenakannya terlihat kusut dan basah kuyup. Ben segera menghampirinya, ia tak tampak
kaget.
“Segera
bawa turun, nanti kalau kenapa-napa kalian bakal nyesel.” Teriak Kris yang
datang di belakangku.
Beberapa
orang dari kelompok Ben tampak berdiskusi. Mereka akhirnya memutuskan untuk
turun, tidak jadi ke puncak dan terpaksa harus bergantian menggendong Ria karena dia belum
tersadar juga.
Rombongan
Ben baru tiba di Plawangan Sembalun menjelang sore. Aku dan Inggit yang tiba
terlebih dahulu segera menyambut mereka. Walau tidak begitu kenal namun kami
merasa perlu menolong satu-satunya perempuan di rombongan itu. Tubuh Ria
dibaringkan di tenda. Aku dan Inggit segera mengganti pakaiannya yang basah
kuyup. Membaluri perut dan punggungnya dengan minyak kayu putih. Melapisinya
dengan pakaian ganti yang kering dan jaket
TNF lalu menyelimutinya
dengan sleeping bag dua lapis.
Beberapa saat Ria tampak siuman, matanya berkaca-kaca.
“Makasih
ya! Sudah menolongku.” Katanya sambil tersenyum.
“Gak
usah difikirkan, sudah kewajiban kita kan
saling tolong-menolong. Jawabku sambil menyangga kepalanya ketika meminumkan
teh hangat ke mulutnya.
“Kamu
Savanna kan ?
Semoga kamu mendapatkan lelaki yang lebih baik dari Ben ya.” Ria menatapku
lugu. Sudut-sudut matanya tampak
mendanau.
“Memangnya
kamu tau Aku siapanya Ben?” Tanyaku keheranan.
“Tentu
saja tahu. Aku tahu kamu sebaik Ben mengetahui kamu. Dia cerita tentang
semuanya. Dari awal bertemu kamu di Gunung Kerinci hingga memutuskan kamu
melalui email.” Jawabnya. Dug… jantungku berdegup kencang. Ada luapan emosi yang mendadak memenuhi
ruangan hati ini.
“Semenjak
keluar SMA lima
tahun lalu kami sudah saling mencintai. Dan pendakian ke gunung ini adalah
hadiah darinya untuk lima
tahun kebersamaan kami. Walau di pertengahan tahun ia mulai mengkhianatiku, tapi aku tidak marah. Aku tetap menunggunya untuk kembali karena aku terlanjur
mencintainya.” Lanjutnya lagi. Mendadak ada yang mengembun di mataku namun
sekuat tenaga aku tahan. Ah, akhirnya aku tahu perempuan yang telah merebut
hati Ben itu.
“Semoga
hubungan kalian berakhir indah, maafkan aku ya telah beberapa saat mengganggu
hubungan kalian.” Jawabku sambil menggenggam tangannya yang sedingin es.
Melihat
kondisinya sudah berangsur membaik, aku dan Inggit berpamitan. Beberapa orang
temannya kemudian masuk sambil mengucapkan terima kasih kepada kami.
Dari
kejauhan kulihat Ben dan teman-temannya tengah sibuk memasak mempersiapkan
makan malam. Sedangkan teman-teman satu timku tak kalah sibuknya mereka sedang
memanaskan kopi susu dicampur jahe di kompor Trangianya Kris.
“Ini
Van, minum dulu.” Kris memberiku secangkir kopi susu yang menguarkan aroma
jahe.
“Cewek
tadi udah baikan ya?” Tanya Kris. Aku menggangguk perlahan sambil duduk di
mulut tenda. Hancur rasanya mengetahui siapa sesungguhnya yang membuat Ben
memutuskanku. Perempuan itu memang cantik. Kulitnya putih, matanya bulat, dan
berhidung mancung. Sementara aku? Ah ya... selalu insecure dengan hidung mungilku ini. Pantas saja Ben memutuskan aku demi
perempuan itu. Walau kata Inggit masih lebih cantikan aku, tetap aja hati ini menahan
rasa cemburu yang luar biasa. Mungkin saja Inggit berkata begitu karena ingin
menghiburku. Ada
perih yang kian menganga namun aku yakin seiring berjalannya waktu, luka itu
akan sembuh dengan sendirinya. Yang kubutuhkan hanyalah berlalunya waktu.
Malam
merayap senyap. Bintang-bintang mulai bermunculan. Aku terduduk di sebongkah
batu besar diantara hamparan tenda-tenda yang temaram diterangi lilin, portable
lamp dan lampu senter. Hatiku sedikit terhibur dengan cuaca yang mulai
bersahabat setelah guyuran hujan tadi
siang hingga sore. Khusuk berdo’a dan berharap semoga cuaca tidak
berubah hingga esok saat kami melanjutkan perjalanan menuju Danau Segara Anak.
“Sendirian aja?” Seseorang menyapa dari arah belakang. Aku membalikkan badan. Ben berdiri
tegak. Dug… jantungku seperti tercerabut dari tempatnya. Ada gemuruh yang ingin segera kutumpahkan ke
hadapannya.
“Eh, iya. Mmm... oh ya Ben, aku pengen nanya sesuatu, tolong dijawab jujur. Mengenai email itu….”
Kataku sambil mengatur nafas sebentar untuk melanjutkan pertanyaan dengan perlahan. Namun belum pun sempat aku meneruskan
ucapan, tiba-tiba sebuah suara memanggil Ben dari tendanya.
“Ben,
kesini sebentar!”
“Duh
ganggu aja tuh Si Dion.” Gerutu Ben. Aku hanya menghela nafas panjang, rupanya rasa penasaranku masih akan bertahan
hingga entah kapan.
“Van,
tendamu sebelah mana, nanti aku ke sana ?”
Ben menatap lekat ke arahku. Sial sorot matanya menusuk hingga ke ulu
hati. Aku mengarahkan telunjuk ke arah utara.
“Tuh
sebelah sana di
bawah pohon cemara, tenda doom
yang warnanya merah.” Jawabku sambil berdiri. Ben segera
berlalu. Bayangannya segera menyelinap ke balik tenda-tenda.
Gelap
semakin beranjak pekat, suara gitar dan harmonika berpadu di keheningan malam
yang tenang. Lagu 11 Januarinya Gigi
mengalun dari tenda lainnya di ujung Plawangan Sembalun. Seperti
mengiringi tidurku yang kurang lelap. Beberapa kali aku terbangun. Aku yakin
tak salah dengar, Ben tadi bilang akan mendatangi tendaku.
“Ben,
kenapa tidak datang?” Bisikku pelan. Hatiku kian resah, bolak-balik keluar
masuk tenda. Sedangkan Inggit yang sudah jatuh tertidur beberapa jam lalu, tampak lelap dalam sleeping bag-nya.
Tak merasa terganggu dengan berisiknya resleting tenda yang terus-terusan terbuka dan tertutup.
“Vanna… tidurlah!
Besok kita akan berangkat ke danau pagi-pagi banget.” Suara Kris dari tenda
sebelah. Aku mendadak menghentikan gerak tanganku yang sedang meraih resleting
tenda. Terpaksa aku beringsut ke samping Inggit dan merebahkan badan.
Pagi
telah menjelang. Begitu membuka tenda aku terhenyak kaget. Nun jauh di bawah sana terbentang Danau Segara
Anak yang berwarna hijau tosca. Semenjak datang ke Plawangan, danau tersebut selalu
tertutup kabut dan baru tampak jelas di pagi ini. Semua mata memandang takjub.
Rimbas, Bimo, dan Inggit bahkan sudah sejak tadi termenung di tepi tebing yang
menghadap ke arah danau. Rupanya mereka sudah tidak sabar ingin segera turun. Kris
dan Akil bahkan sudah selesai melipat
tenda. Hanya menyisakan beberapa mangkuk plastik yang berisi sarapan kami.
“Pagi
Vanna! Lelap banget nih tidurnya putri yang semalam menunggu-nunggu pangerannya tapi gak
datang-datang.” Canda Kris. Mukaku memerah seketika. Duh kenapa sih Kris ini, selalu awas akan setiap gerak-gerikku. Aku
hanya berguman dalam hati sambil merapikan isi tenda.
“Halo
met pagi, Ben sudah bangun?” Kataku kepada seorang pendaki yang sedang sibuk menyiapkan
sarapannya. Aku ingat dia yang kemarin bergantian dengan Dion membopong Ria
dari puncak Rinjani.
“Oh
belum, belum bangun. Ada pesan?”
“Mmm…. gak
ada. Bilang aja tadi Vanna nyariin gitu. Makasih ya!” Aku berlalu pergi. Mendadak
separuh semangatku menguap entah kemana. Aku berjalan perlahan mengikuti
rekan-rekan satu tim yang sudah beranjak pergi menuju Danau Segara Anak. Menunduk memperhatikan sepatu gunung yang setia menjadi teman dalam setiap perjalanan mendaki gunung seperti ini.
Sore
yang sendu di Danau Segara Anak. Kami berenam duduk santai di depan tenda yang
menghadap ke tepi danau. Menyaksikan para pendaki lainnya yang hilir mudik
beraktivitas. Air danau yang berwarna hijau tosca membuat takjub siapa saja
yang berada di sana .
Begitu lembut dan membius untuk berlama-lama memandangnya. Gunung Baru jari
yang memerah di tepi danau menambah berwarnanya lukisan alam di sini. Tebing-tebing
puncak yang mengitari danau tampak kokoh menjaganya.
Aku
memandangi tenda-tenda di sekitar danau. Indah berwarna-warni. Tiba-tiba
pandanganku tertuju pada sebuah tenda di ujung sebelah kiri deretan tenda-tenda
yang menghadap ke tepi danau. Tak mungkin salah, tenda itu begitu lekat dalam
ingatan. Tenda dome berwarna
kuning tepat di bawah pohon pinus
di ujung camping ground.
Kugamit tangan
Inggit, menyeretnya agar ia mengikutiku. Kami mendekati tenda kuning itu. Degup
jantungku mendadak tak beraturan. Lamat-lamat kudengar gelak tawa seorang
perempuan dari dalam. Aku dan Inggit sempat menghentikan langkah namun rasa
penasaran begitu menggebu-gebu hingga tetap menyeret langkahku untuk terus
mendekat.
Pintu tenda tidak
diresleting, sedikit terbuka dan tergerak-gerak oleh angin yang lumayan
kencang. Aku dan Inggit mencondongkan badan sambil merendahkan kepala ke arah
pintu tenda.
“Halo
ada orang ya…” Teriak Inggit.
“Cari siapa?” Suara seorang perempuan menjawab. Inggit melirikku cepat.
“Yakin
ini? Bisik Inggit ke telingaku. Aku mengangguk perlahan.
“Masuk
aja!” Suara serak seorang laki-laki terdengar familiar di telinga. Tangan kiriku menyingkap
pintu tenda dan tiba-tiba saja aku terhenyak, menahan nafas sambil refleks menutup mulut. Di
dalam tenda kuning itu Ben sedang duduk
telanjang dada. Seorang perempuan cantik sedang memijit-mijit punggungnya.
Aku
segera melepas pintu tenda. Berbalik arah dan berlari sekencang-kencangnya. Air
mata yang sejak malam tadi tertahan telah tumpah tanpa terbendung lagi. Inggit
segera mengikutiku.
Ben terlihat kaget. Ia tak
menyangka yang datang adalah aku. Dengan tergopoh-gopoh ia segera mengenakan T-shirtnya lalu keluar tenda dan berlari menyusul. Dalam sekejap saja, ia telah menjejeri langkah kami
yang berlari menjauh dari tendanya.
“Savanna,
Savanna... tunggu! Tunggu!”
“Abang
Ben… siapa mereka?” Teriak perempuan yang tadi bersama Ben.
“Hah... abang?” Gerutuku dalam hati dipenuhi rasa cemburu.
“Bentar
ya Din. Abang ada perlu dulu.” Balas Ben.
“Sudahlah
Ben, stop! Stop! Jangan ikuti kami!” Bentak Inggit.
“Hey, aku cuma mau bicara sama Vanna, bukan kamu Nggit!
“Sama
saja, kamu harus berhadapan denganku dulu. Sudahlah mau apalagi? bukankah kamu
yang sudah mutusin dia? Sudah cukup kamu membuat dia menderita. Inggit terlihat
garang, lalu menunjuk-nunjuk muka Ben dengan amarah yang luar biasa.
Aku
terlanjur syok, perempuan itu bukan Ria. Lalu dimana dia sehingga Ben
berani-beraninya menghianatinya kembali. Berdua-duaan di dalam tenda bersama
perempuan lain.
“Vanna,
dengerin aku dulu.” Ben berteriak sekencang-kencang sambil membuntutiku. Mengagetkan semua orang
yang ada di sekitar danau. Karena takut ia berteriak lagi, aku berhenti dan membalikkan badan.
“Kalau
kamu bertanya perempuan tadi itu siapa, dia itu adikku. Dia memang sudah di
sini sejak dua hari yang lalu. Menunggu pulang bareng aku. Tadi aku lagi minta
dikerokin. Kalau gak percaya ayo ikut aku ke tenda!” Tanpa menunggu
persetujuanku, Ben segera menarik tanganku menuju tendanya.
“Nih
kenalin adik aku, namanya Indri.” Kata
Ben.
“Terus
Ria bagaimana?” Aku menatap bingung ke arah Ben.
“Kamu
tahu, Ria itu sudah lama ngejar-ngejar aku, bahkan semenjak SMA. Dia tega
nge-hack email aku dan menghapus seluruh kontak di hapeku. Kalau dia tidak
mengancam mau bunuh diri, aku tak kan
pernah mau temenan sama dia lagi. Dia juga memaksa ikut mendaki ke Rinjani. Tadi
malam dia sudah nge-drop karena overdosis jadi teman-teman melarikannya segera
ke Desa Sembalun, di sana
dia akan mendapat perawatan. Percayalah Vanna…. demi bertemu kamu ini, aku rela
tidak jadi berangkat ke Inggris untuk melanjutkan studiku.” Ben panjang lebar
menerangkan. Sesekali ia menatap adiknya seperti meminta bantuan untuk
meyakinkan Aku. Indri tampak mengangguk-anguk tanda menyetujui setiap perkataan
Ben.
Aku
masih terlalu syok dengan berbagai kejadian yang beruntun ini, namun menatap sorot mata Ben yang
tulus, aku yakin tidak ada kebohongan di sana . Namun email itu siapa yang buat? Kenapa gaya bahasanya begitu mirip dengan gaya bahasa Ben saat berkomunikasi denganku via email? Seandainya Ria yang menulis, feel-nya tentu akan beda. Pertanyaan-pertanyaan itu tetap berkelindan dalam pikiran. Tak sempat aku ungkapkan.
“Maafkan aku ya Ben, berarti selama ini kamu nggak pernah mutusin aku kan ?” Aku menatapnya. Ben menggelengkan
kepalanya.
“Bagaimana aku bisa mutusin kamu Vanna, jika setiap saat selalu terbayang wajah kamu? Janji di Rinjanilah satu-satunya harapan bisa ketemu kamu lagi setelah semua usaha dan cara aku tempuh buat ngehubungin kamu gagal.” Ben
menatap lekat ke arahku. Aku hanya berurai air mata antara sedih, haru, dan bahagia.
Inggit dan Indri yang dari tadi hanya menyimak, tiba-tiba saja memelukku. Tepuk tangan dan siulan para pendaki yang berada di sekitar tenda Ben tiba-tiba saja menggema ke seluruh penjuru danau. Ben hanya senyum-senyum malu.
"Cium... cium... cium...” Teriakan kompak para pendaki makin kurang ajar, hahaha. Aku menggelengkan kepala ke arah Ben.
“Rinjani,
terima kasih.” Ucapku lirih sambil memandang Danau Segara Anak yang beriak-riak
tertiup angin.
***
Cerpen di atas adalah karya saya sendiri, telah terbit dan masuk dalam antologi pilihan di buku berjudul Jatuh di Hatimu yang cover-nya saya cantumin di atas. Namun hingga saat ini saya belum menerima satu eksemplar pun sebagai bukti terbit yang akan dikirim penerbit. Entahlah, sudah bosan mengingatkan penyelenggara dan me-mention penerbitnya di twitter.
Catatan: Pada November 2025, beberapa bagian kecil pada tulisan cerpen di atas, telah saya edit untuk memperbaiki penulisan agar lebih nyaman dibaca. Selamat menikmati!

keren cerpennya mba...saya suka karena seolah2 sedang berada di rinjani sebab deskripsinya jelas...aih kapan ya bisa naik gunung....mba ajak2 donk :D
BalasHapushihi makasih Uni Ana, ini ada kisah sayanya juga tapi hanya sekian persen saja.
HapusWah cerpennya bagus mba. Dipanjangin aja jd novel. Itu penerbit benar2 ga ngasih bukti terbit ya?
BalasHapusIya Mbak. Nggak tau nih penyelenggaranya juga nggak ngabarin lagi. Terbit pun nggak bilang-bilang. Kayaknya ini yang temannya Nyi PeDe itu deh.
HapusWah, novel rinjani. Berasa ada disana saya Mbak setelah membaca ^^
BalasHapusBukan novel mbak ini buku antologi. Dan tulisanku yang ini nyempil di sana.
Hapusbaca cerpen ini aku bisa berkhayal sedang ada di Rinjani mbak. Sayang banget ya kalau bukti terbitnya belum ada sampai sekarang padahal isinya bagus begini
BalasHapus