[Local Flavour] Batam The Archipelagic City

Pulau Batam
Apa yang terlintas pertama kali di fikiran rekan-rekan jika mendengar kata Batam? Hmm... Saya jadi penasaran seperti apa sih tanggapan rekan-rekan terhadap kota yang telah Saya tinggali selama kurun waktu 15 tahun ini? Kota yang telah membesarkan Saya hingga dapat mandiri menghidupi diri sendiri semenjak lulus SMA dan bahkan hingga sekarang berumah tangga. Kota yang telah Saya anggap sebagai kampung halaman kedua setelah tempat kelahiran Saya di Garut, Jawa Barat.



Baiklah, mari kita mengenal Batam lebih dekat lagi. Dekat dalam artian mengenal kota ini dalam standar kedekatan menurut pandangan dan pengetahuan Saya sebagai salah seorang warganya.


Dahulu, tahun 1999 sewaktu Pesawat Bouraq Airline yang Saya tumpangi terbang rendah dan akan mendarat di Batam, hampir seluruh permukaan pulau ini tertutupi oleh hijau dan lebatnya hutan. Perasaan Saya begitu campur aduk, antara seram namun juga senang. Seram jika seandainya Saya dan teman-teman satu angkatan ditempatkan di tepi hutan oleh perusahaan yang merekrut kami untuk bekerja.


Bukan khawatir yang tak beralasan karena sepanjang perjalanan dari Bandara Hang Nadim menuju Kawasan Industri Batamindo, (tempat dimana kami akan tinggal selama dua tahun kedepan) hanyalah terhampar hutan, rawa, dan semak belukar. Dalam hati bertanya-tanya kenapa tidak ada perkampungan seperti halnya kita menikmati perjalanan di Pulau Jawa? Walaupun antar kota antar provinsi yang selalu ditemui adalah hamparan sawah dan perkampungan penduduk. Sedangkan di sini dua-duanya baik itu sawah maupun perkampungan tidak ada sama sekali. Sehari-hari hidup di kampung yang dikelilingi sawah rasanya aneh sekali mendapati sepanjang perjalanan hanyalah pepohonan dan rimbunnya ilalang. Sepintas lalu terlihat danau (dam), pohon bakau, dan sungai-sungai kecil. Membuat suasana asing sekaligus mendebarkan.


Di balik rasa seram dan khawatir, saya merasa senang karena seumur-umur belum pernah masuk ke hutan. Ini bisa menjadi kesempatan berharga bagi Saya untuk mengenal hutan lebih dekat lagi seperti yang pernah Saya bayangkan sewaktu kecil. Tidak takutkah Saya kepada harimau atau beruang di sana? Pertanyaan itu Saya sudah tau jawabnya. Tentu tidak ada! Harimau Sumatera telah hampir punah begitu juga beruangnya. Yang Saya takutkan hanyalah ular, lipan, atau kalajengking.


Karena keinginan kuat masuk ke hutan itu begitu tertancap dalam ingatan, baru sebulan saja tinggal di Batam, Saya sudah kelayapan keluar masuk hutan, yang ternyata ada di sekeliling Kawasan Industri Batamindo. Namun karena suasana di dalam kawasan sangat ramai dan aman. Suasana seram hutan tidak begitu terasa. Hanya ketika menjelang pagi-pagi, saat Saya dan teman-teman berangkat kerja, sering mendapati segerombolan monyet-monyet yang turun ke halaman dormitory memungut makanan sisa dari tempat sampah. Tak ayal monyet-monyet itu menjadi bahan tontonan para karyawan dan penghuni dormitory. Yang hatinya terenyuh mereka melemparkan makanan dan kacang-kacangan ke arah monyet-monyet tersebut.


Bertahun-tahun hidup di Batam, Saya menyaksikan berbagai pembangunan kian pesat dan terjadi dalam segala bidang. Salah satunya adalah pembangunan kawasan-kawasan industri yang bermunculan hampir di setiap penjuru pulau. Tidak lagi Kawasan Industri Batamindo yang memegang kendali perputaran uang pulau ini, namun telah terpecah-pecah menyebar ke kawasan-kawasan lainnya. Tak kurang dari 27 kawasan industri ringan dan berat telah dibangun dan beroperasi hingga kini. Dan ini belum termasuk perusahaan-perusahaan shipyard perusahaan galangan kapal yang juga tersebar hampir di setiap pesisir pulau mulai dari Kawasan Kabil, Batu Ampar, Tanjung Riau, Sekupang, dan Tanjung Uncang.


Kawasan-kawasan industri tersebut dipenuhi oleh puluhan perusahaan multinasional yang bergerak di bidang elektronik dan komputer, garmen, mebel, alat-alat kesehatan, industri kimia, dan lain sebagainya. Keberadaan perusahaan-perusahaan ini menimbulkan dampak sosial yang luar biasa dimana hukum ekonomi supply dan demand kerap berlaku. Banyaknya perusahaan-perusahaan yang membutuhkan tenaga kerja menyebabkan melonjaknya penduduk Batam. Baik bertambah secara kelahiran maupun karena dampak migrasi dari daerah lainnya. Pada tahun 1970 Batam hanya berpenduduk sekitar 6000 jiwa, namun hanya dalam tempo 40 tahun saja kini di tahun 2013 penduduk Kota Batam sudah melebihi 1,15 juta jiwa. Hampir 192 kali lipat sebelumnya. Woow, Fantastic!


Di sini, di Pulau ini, Saya melihat semua orang begitu giat membangun dalam berbagai bidang. Larut dalam hentak pembangunan yang terus-menerus berkelanjutan hingga sekarang. Ratusan ribu orang bekerja siang dan malam mencari penghidupan dan memberi nafas kepada kehidupan itu sendiri. Mendenyutkan nadi perekonomian kota, memberi kontribusi berarti bagi perekmbangan negeri.


Semakin bertambahnya penduduk juga menyebabkan multiplier effect lainnya. Perumahan-perumahan bertebaran dimana-mana. Bak cendawan di musim hujan. Muncul di sana hadir di sini. Tak pelak lagi menimbulkan dampak negatif terhadap keberadaan hutan. Perlahan namun pasti kini hutan-hutan mulai menghilang dari pandangan mata. Tergantikan oleh mesin-mesin dan alat berat yang bekerja siang dan malam menebang pepohonan, memangkas bukit, menghancurkan bebatuan, dan meratakan tanah.


Sejenak kemudian lalu muncullah barisan rumah dan deretan ruko (rumah toko) hampir di setiap pelosok pulau. Berbagai kucuran kredit kepemilikan rumah pun ditawarkan dengan gencar di pusat perbelanjaan serta media massa. Bagi mereka para pendatang yang kurang beruntung, atau yang tidak mau rugi membayar sewa rumah, banyak yang mendirikan rumah liar (ruli) di tepi-tepi hutan, di lahan kosong milik pemerintah, atau di samping perumahan-perumahan yang telah dibangun.


Yang paling mencengangkan dari Batam adalah laju pertumbuhan ekonominya yang tinggi. Bahkan melebihi tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan. Tingginya perputaran uang dan derasnya aliran valuta asing ke pulau ini menyebabkan Bank Indonesia menempatkan kantornya perwakilannya di Pulau Batam. BI hadir dalam misinya memperlancar peredaran uang rupiah dan menjaga peranan rupiah tetap dominan di wilayah Batam dan sekitarnya.


Dahulu, peredaran dollar Singapura sempat mengkhawatirkan. Transaksi-transaksi yang terjadi seperti di pasar atau pusat perbelanjaan pernah menggunakan mata uang ini. Bahkan Saya juga pernah membayar ongkos ojek menggunakan dollar Singapura. Hehe. Bukan karena gaya-gayaan sih, tapi memang uang rupiahnya tidak punya. Dan kejadian lucunya lainnya, Saya dan 2 orang teman pernah ditilang polisi gara-gara naik motor bertiga. Pak polisi minta damai di tempat namun sayangnya di dompet hanya ada uang 5000 rupiah. Dalam hati berkata sepertinya gak sopan banget ya kalau nyogok cuma 5000 perak. Lalu Saya aduk-aduk dompet lagi eh syukurnya ada dollar Singapura nominal 5 dollar. Cuma segitu-gitunya :) Herannya Pak polisi mau saja dikasih uang 5 dollar itu. #glek!


Secara geografis, kedekatannya dengan negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia cukup berdampak pada banyaknya kunjungan turis manca negara terutama yang berasal dari kedua negara tersebut. Bahkan ada pameo di masyarakat Singapura dan Johor Malaysia, kalau mau cari istri lagi pergilah ke Batam. Kamu bisa dapat 2 atau 3 istri. Atau kalau ada lelaki Johor/Singapura yang hendak berlibur ke Batam dibilang mau nengok istri keduanya di sini. Waduh jadi itu image yang tertanam di mereka tentang Batam :)


Selain Jakarta dan Bali, Batam adalah kota ketiga di Indonesia yang paling banyak didatangi oleh turis luar negeri. Meskipun pengelolaan tempat-tempat wisata belum maksimal namun akses yang sangat dekat dengan Singapura tak urung menuai berkah bagi para pelaku wisata di sini.


Jarak yang hanya 45 menit ditempuh dengan naik kapal ferry ke Singapura membuat warga Batam banyak yang sudah terbiasa bolak-balik ke sana. Liburan, belanja berbagai keperluan untuk berdagang, berobat, dan lainnya. Tukang kantin di tempat Saya bekerja kalau beli piring saja ke Singapura. Nggak heran lagi. Jadi kalau orang-orang Jakarta dan lainnya begitu bangga dengan status pernah jalan-jalan ke Singapura atau Malaysia, di sini mah sudah biasaaaa... gak masuk hitungan keren lagi. #HuhSombong :D Iya dong! Bahkan ada teman Saya yang bolak balik Singapura sampe 3 kali sehari kayak minum obat loh. *Ya iyalah dia itu kan nakhoda kapal. Hehe.


Yang paling membuat saya berdecak kagum bukan dari hiruk-pikuk pembangunan itu. Namun justru lebih kepada wilayahnya yang terdiri dari ratusan pulau. Hanya dari satu kota setingkat kabupaten saja ternyata meliputi sekitar 373 Pulau yang berada dalam satu naungan Pemerintah Kota Batam. Woow. Koprol! Dari itu Batam layak bila disebut sebagai archipelagic city, kota kepulauan.


373 pulau? Duuuh... apa nggak surga itu ya buat para pecinta laut dan penyuka jalan-jalan? Saya merasa rugi seandainya sudah ditempatkan Allah ditakdirkan melewati perjalanan hidup di sini terus nggak kemana-mana. Padahal negeri ini begitu luas dan kaya, banyak khazanah, kisah, cerita, dan perjalanan para penduduk lokal, nelayan, serta suku laut yang sangat luar biasa untuk diungkap. Begitu melimpahnya kekayaan alam termasuk ekosistem hutan bakau, pesisir dan pantai juga biota laut yang terkandung di dalamnya yang unik, khas, yang belum sepenuhnya terungkap dari wilayah ini.


Saya sangat antusias dan bersemangat untuk mengangkat semua itu ke permukaan. Walau Saya bukan siapa-siapa. Saya hanyalah manusia biasa, ibu rumah tangga biasa, dan pekerja biasa di kota ini. Yang perlahan namun pasti, telah dan akan mengunjungi satu demi satu pulau-pulau itu mencoba menggali makna nasionalisme, mencintai negri dengan caranya sendiri.

13 komentar :

  1. Wah saya jadi tahu tentang batam yang tadinya cuma tau namanya doang. Sayang ya hutannya jadi terkikis, tapi serem juga kalau ularnya terus pindah ke pemukiman warga seperti disini jg begitu. Indonesia saja sudah luas dan kaya akan wisata, buat apa ke LN yaa??

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pernah beberapa kali ularnya masuk ke pemukiman Looh Mbak Vina, ular sanca tp cpt tertangkap warga. Kalau yg di hutan2 biasa ketemu yg kecil2 saja. Alhamdulillah selama keluar masuk hutan blm pernah digigit ular (mdh2an jgn sampai deh...jauh-jauh..hiy) cuma pernah kena serangan umum tawon qiqiqi...tmn saya pada benjol2 mukanya untung dah sy mah cpt2 tiarap klo gak, udah babak belur nih muka :D

      Hapus
  2. Meski aq bukan warga batam tapi aq tetap menganggap batam spesial, kota n dinamikanya unik, dan entah kenapa pula novel2ku setting nya banyak batam meski aq jarang kesana, hehe:-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Mbak Saya yang baca novel2 Mbak Lyta aja sampe seneng kegirangan bgt :) Idiiih gue hafal ini tempat, mulai dari Graha Pena, Nagoya, Batam Centre. Love your Novel pokoknya mah ^_^*

      Hapus
  3. wah kita sama tinggal di batam

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal Em, tinggal di Batam belah mana ya? mana tau melipir ke situ hehe.

      Hapus
  4. Saya pernah ke Batam sekali, Mba. :) Sekitar tahun 2008 kalo ga salah, Batam tuh asyik banget ya, tapi panas. Sama seperti Aceh kalo menurut saya temperaturnya.

    Trims postingannya, Mba, jadi tau lebih banyak deh tentang Batam. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Mbak panasnya masih sampai sekarang nggak hilang2 :) bikin hitam bin ireng bin hideung. Sekali berangkat ke warung saja klo pas siang2 yg cm bbrp langkah dari rumah langsung gosong muka saiyah haha,,,*Hiperbola bgt :D

      Hapus
  5. saya suka liat foto hutannya mbak, adhem :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Emang adem banget Mbak Dwi nongkrong di tepi sungai ini sambil menikmati semilir angin dan secangkir teh hangat. #Hmm... jd pengen ke sana lg :D

      Hapus
  6. BATAM, Bila Anda Tiba Akan Menangis atau Bila Anda Tabah Akan Menang :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe...iya kefikiran juga mau nulis plesetan kpenjangan kata Batam yang ini, eh kelupaan udah keburu diposting, mau dirubah takut tanggal posting berubah :)

      Hapus
  7. Dari 373 pulau..kira2 sdh berapa pulau yg dikunjungi teh selama menetap di batam ??

    BalasHapus

Halaman ini dimoderasi untuk mengurangi spam yang masuk. Terima kasih sudah meninggalkan komen di sini.

Made with by Lina W. Sasmita