Bulan
tinggal separuh, mengambang, merenangi langit malam yang tenang. Debur ombak
yang terhempas ke tepi pantai seakan mengiringi isak tangisku yang tertahan. Lampu-lampu
nelayan di kejauhan berkelipan bagai sinar bintang-gemintang yang luput datang.
Suasana sendu itu sungguh membiusku untuk tetap bergeming dalam hening. Terdiam
dalam remang malam. Merenungi arti hadirku di sini, di The Bay Bali ini.
Suasana TheBayBali. Sumber foto dari the baybali.com |
Sungguh
Aku tak meragukan rasa yang selama ini kusimpan dan kupendam. Meski beribu
tanya kerap berkelindan. Haruskah kupertahankan? Layakkah kuperjuangkan?
Sementara dia, seseorang yang kumimpikan siang dan malam, seseorang yang
menjadi harapan akan masa depan, seseorang yang semenjak pertama kali kumelihatnya
di tempat ini satu tahun lalu, enggan untuk sekedar menemuiku di sini. Di The Bay Bali ini. Tempat dimana pertama
kali rasa itu bersemi dalam diam.Berpendar dan menjalar memenuhi petala alam
sadar.
“Hai
apa kabar…” seseorang menyapaku dari belakang.
“Vanya
ya?” tanyanya langsung terucap ketika aku membalikkan badan. Dug, seakan ini
terakhir kalinya jantungku berdegub kencang.
“Glenn?”
tanyaku ragu. Ia mengangguk perlahan sambil mengulum senyuman. Aaaah senyumnya
itu, mirip sekali. Bayangan seseorang segera datang dalam benakku.
“Maaf, Sammy nggak bisa datang katanya, padahal aku telah mengabarinya kalau kamu menginap di sini.” Ucap Glenn sambil menyisir rambut cepaknya dengan jemari.
“Maaf, Sammy nggak bisa datang katanya, padahal aku telah mengabarinya kalau kamu menginap di sini.” Ucap Glenn sambil menyisir rambut cepaknya dengan jemari.
“Iya gak apa-apa.”
Aku menengadahkan kepala, berharap air mata ini tidak jatuh lagi. Lalu memaksakan
diri untuk tersenyum ke arahnya. Senyum getir menahan irisan sembilu di hati. Senyum
yang mengiringi sebuah kalimat bahwa aku telah dikhianati.
Aku
terus memaksa Glenn bercerita apa yang sesungguhnya terjadi pada Sammy sehingga
ia terus-terusan menghindariku akhir-akhir ini. Kutelpon ia selalu saja tidak
ada. Hand phone-nya telah lama ganti nomor, Face book dan twitternya juga
deaktif. Namun yang kutahu dari Glenn, bahwa telah ada perempuan lain yang kini
mengisi hari-harinya.
“Sudah
makan?” Glenn bertanya lagi. Aku menggeleng. Ya, aku mendadak kehilangan rasa
lapar ketika tiba di Bandara Ngurah Rai Bali siang tadi. Sebelum Glenn segera
datang dan mengantarkanku ke sebuah hotel cantik di tepi laut Nusa Dua, The Bay
Bali.
“Ayo makan dulu.
Ini makanan yang kamu idamkan semenjak tahun lalu. Jauh-jauh dari Jakarta katanya mau
nyicip makanan lezat ini.” Sambil tertawa Glenn menuangkan nasi ke piringku.
Derai tawanya tetap menyihirku seperti semula. Ia memiliki derai tawa yang sama
seperti Sammy. Suara batin menegurku. Glenn bukanlah Sammy.
***
Senja merambat petang. Ini hari
terakhirku di sini. Sengaja Aku memajukan jadwal penerbanganku esok hari agar
secepatnya meningggalkan tempat ini. Sungguh tak ada lagi yang perlu kulakukan.
Selain melewatkan satu malam di sini menunggunya untuk terakhir kalinya. Cukup
sudah aku takkan pernah melakukan hal konyol apa pun, dan berkorban apa pun
demi seorang laki-laki kecuali ia adalah ayahku sendiri.
Sehelai daun dadap laut jatuh ke pangkuan. Sebuah kenangan sekejap
membayang dalam ingatan. Ah, dedaunan ini mengantarkanku pada petemuan itu. Di
saat aku dan dia duduk berdua menyaksikan matahari tenggelam ke dalam lautan.
“Apa pun yang terjadi kamu mau kan
menemuiku di sini lagi.Kalau bisa pas tanggal 5 Juli di hari ulang tahunku.”
Ucapnya. Aku hanya menganggukkan kepala.
“Kalau ada apa-apa dengan hubungan kita bagaimana?” Tanyaku ragu.
“Aku takkan pernah meninggalkanmu. Tak sedikit pun terbersit dalam
benakku untuk berhenti menyayangimu.” Ucapnya perlahan.
“Kalau kamu tidak datang bagaimana?”
“Aku akan menuliskan surat
untukmu di sini.”
Seketika aku terhenyak. Iya, dia pasti meninggalkan sesuatu untukku di
pohon ini. Perlahan aku telusuri. Aku ingat di cerukan antara dahan-dahan yang
rendah dia akan meningggalkan pesan untukku. Bukan email, tidak pula inbox face
book atau twitter. Melainkan sebuah pesan yang akan ditulis oleh tangannya
sendiri.
“Jika cintaku tak bertepi, maka
bangunkanlah sebuah dinding agar ia tetap terbendung dalam hatimu. Di antara
dahan, ranting, dan daun-daun yang kerap menemaniku di sini, selalu ada pilu
yang membawaku mengingatmu. Aku tetap ingin bertemu denganmu walau sekejap
saja. Walau lelaki itu telah menjadi bagian dari hidupmu. Tunggu aku di sini, 5
Juli 2013 saat pasang menjelang. Saat purnama menampakkan sinarnya.”
Aku gemetar memegang surat
yang terbungkus plastik bening itu. Plastik yang terselip di cerukan dahan pohon
sehingga tak seorang pun tahu ia ada di situ.
“Hmmm….” Suara deheman suara itu menyentak lamunanku.
“Sammy, eh
Glenn?” Aku terkejut bukan main dan segera menyembunyikan surat itu ke balik saku bajuku.
“Nanti malam aku akan menjemputmu untuk berkeliling
Kuta. Mau kan ?”
Aku menggeleng perlahan. Aku terpaksa berbohong lagi tidak enak badan. Sungguh
aku penasaran apa yang tengah terjadi antara Sammy dan Glenn. Sehingga Sammy
berfikiran Aku telah menjalin hubungan dengan Glenn.
***
Purnama semakin cemerlang. Deru angin mulai mengencang. Perlahan Aku
menuju pohon dadap laut di tepi pantai. Sebuah bayangan membeku dalam
keremangan. Berat langkahku semakin tak beraturan. Dan belum pun sampai di
tujuan Aku sudah roboh terjatuh di pasir. Energiku terkuras habis setelah
hampir dua hari tidak makan. Hanya minum itu pun sesekali.
Bayangan itu segera mendekat.
“Vanya?” Jeritnya memanggil namaku. Lalu ia memapahku untuk menuju pohon
dadap laut tempat semula ia berdiri menanti.
“Selamat Ulang tahun ya. Kamu nggak sama Nita?” Tanyaku sambil terduduk.
Nita? Enggak, dia itu kan
teman kantorku. Memangnya kenapa?
“Bukannya dia itu kekasihmu yang baru, kemarin dia menelponku agar tidak
mengganggumu. Glenn pun cerita demikian. Kabarnya bulan depan kalian akan
menikah.” Ucapku perlahan.
Sammy terkejut. Vanya Aku tidak pernah dekat perempuan manapun kecuali
kamu. Bukannya kamu juga sudah jadian sama Glenn?
“Jadian sama Glenn, kata siapa?” Aku
tersentak kaget.
“Jadi… ini pasti terjadi
kesalahan.Aku tidak pernah berhenti untuuuk…ah sudahlah ternyata begitu banyak
orang yang tidak setuju dengan hubungan kita.” Suara Sammy tertahan. Aku pun
sudah lelah dengan berbagai hal dan kejadian belakangan ini. Aku hanya ingin
mendengar suaranya saja.
“Aku takkan berhenti mencintaimu,
aku takut kehilanganmu lagi. Maukah kamu menikah denganku?” Sammy menatapku.
Tangisku pecah seketika. Tangis
bahagia. Setelah semua simpang siur yang selama ini terjadi aku hanya butuh
kepastian bahwa dia masih mencintaiku dan…dan bahkan mengajakku untuk menikah.
Aku bahagia. Sesederhana dan secepat itu. Ya bahagia itu sederhana,
ketika cintamu berbalas dan semesta mulai memberikan restunya. Seperti angin
yang mulai terhenti berhembus. Seperti bulan yang mulai terang menyinari dan
seperti ombak yang selalu membasuhi pesisir pantai.
“Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti
Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali& Get discovered!
Posting Komentar
Halaman ini dimoderasi untuk mengurangi spam yang masuk. Terima kasih sudah meninggalkan komen di sini.