Antara Saya dan Air Asia


Saya dan Air Asia
Berada di ketinggian sebuah gunung yang berselimut gumpalan kabut, menyesap hawa dingin di antara hembusan angin, menikmati aroma khas daun pinus dan mencumbui kuncup-kuncup merah cantigi, atau berlari-lari kecil bak penari India di hamparan padang edelweis, adalah salah satu kerinduan yang kerap menyambangi benak saya. Kerinduan yang bertalu, berpadu, layaknya candu.

Maka, jika kerinduan itu singgah, selalu saja apa pun yang dilakukan serba salah. Segalanya menjadi payah. Makan tak enak tapi tidur sangatlah nyenyak. Sure! Tidur yang nyenyak karena mimpi berada di ketinggian sebuah gunung :D

Kerinci, Rinjani, Semeru, Kinabalu? Entahlah suara batin itu kerap menyambangi alam sadar saya. Kinabalu, kinabalu, kinabalu? Kini nama itu yang terus terngiang-ngiang dalam fikiran.

Bagaimana saya bisa ke sana? Bagaimana agar perjalanannya murah meriah? Bagaimana supaya mudah? Nah, pertanyaan-pertanyaan itulah yang mulai mengalahkan pertanyaan terberat dalam hidup saya saat itu. Kapan nikah?

Maka mulailah pencarian saya. Bukaaan, bukan pencarian jodoh. Tapi pencarian infromasi mengenai Gunung Kinabalu dan pesawat apa yang bisa mengantarkan saya ke Kota Kinabalu.

Saya terlonjak gembira ketika mendapati tiket promo Air Asia seharga nol ringgit alias nol rupiah. Sumpeh Lo? Iya, rasanya mendadak ingin koprol tujuh putaran, tujuh belokan, dan tujuh turunan. Dapat nol rupiah itu rasanya seperti ditraktir langsung oleh Tony Fernandes si bosnya Air Asia. Namun naas bagi saya. Ketika menghubungi Pihak Pengelola penginapan (hostel) di Taman nasional Kinabalu, pada minggu-minggu tersebut seluruh penginapan sedang full booked. Arrrgghh…gak jadi koprol.


Baiklah, saya terus mencari dan mencari tanggal terbaik. Ya gak apa-apa barangkali suatu saat ke depan situasi seperti ini dibutuhkan untuk mencari tanggal terbaik pernikahan. Kesannya jadi lebih berpengalaman. Dezig! Kenapa mikirin kawin mulu sih.


Juni 2005 adalah saat bersejarah bagi saya dengan menapakkan kaki di Gunung tertinggi di Malaysia. Melalui Johor saya terbang menggunakan Air Asia ke Kota Kinabalu. Karena saya tinggal di Batam, tidak ada penerbangan langsung dari Batam menuju Kota Kinabalu, maka saya menyebrang terlebih dahulu ke Johor dengan menaiki kapal ferry.

2005? Waaah itu sudah lama kali kakaaak. Betul memang sudah lama, bahkan Air Asia Indonesia saja baru berumur satu tahun. Masih bayi  dan masih lucu-lucunya. Namun momen perdana saya bersama Air Asia tersebut mampu mengubah hidup saya bahkan hingga sekarang.

Kenapa saya berani bilang kalau Air Asia punya peran dalam mengubah hidup saya? Ini bukan ascap atau alis apalagi ahok. Nah istilah apa pula itu? Maksudnya bukan asal ucap dan asal tulis. Kalau Ahok? semua sudah tau siapa dia :D

Sedikitnya ada 5 alasan kenapa Air Asia bisa mengubah hidup saya. Kenapa lima? Ya kalau saya ingat saya buat 10 alasan biar angkanya sama dengan Ulang Tahun Air Asia Indonesia :D

Saya di antara bule-bule :D
  1. Air Asia mengubah saya menjadi pemberani. Saya berangkat sendirian ke luar negeri tanpa ditemani siapa pun. Padahal saya aslinya orang udik yang jauh dari peradaban kota yang kadang kalau kemana-mana meski ajak teman. Merantau ke Batam pun rame-rame bertigapuluh orang dengan teman. Entah karena tampang unik eh udik itu pula saat melintas imigrasi di Johor, si petugas melihat saya agak-agak gimanaaa gitu. “Awak sendiri keh?” Tanyanya ragu. Berkali-kali pasport saya dibolak-balik. Mungkin dikiranya saya TKI ilegal. Tapi ketika saya menyerahkan kertas print out tiket penerbangan Air Asia, dia mengizinkan saya lewat. Aaah Leganya. Peluk-peluk pesawat Air Asia.


  1. Air Asia mengubah saya menjadi PeDe alias Percaya Diri level 10. Saya merasa sejajar dengan orang-orang bule. Aslinya saya memang inferior kalau menghadapi bule. Bahkan mungkin sama dengan kebanyakan orang Indonesia lainnya. Kalau ketemu bule suka banget manggil begini “mister, mister, ayo foto.” Nah saat di Kinabalu kebanyakan yang mendaki itu bule dan jadilah saya orang Indonesia satu-satunya diantara tim pendaki yang dibentuk dadakan. Dari delapan anggota tim, 7 orang diantaranya adalah bule –bule dari Australia, Inggris, Kanada, Swiss, dan Swedia. Saat itu dunia serasa terbalik. Bule-bule malah yang minta foto sama saya. Ciyeee. Pede saya pun naik ke level 15. Sudah begitu, dari kedelapan anggota tim tersebut ternyata saya yang lebih dahulu mencapai Puncak Kinabalu. Saat turun pun saya lebih dahulu tiba di Timpohon Gate, titik daki pertama. Karenanya bule-bule sepakat menjuluki saya The Champion. Aw..aw..awkward moment banget deh.
 
Suami saya di puncak Gunung Kinabalu
  1. Saat sudah menikah, ehmm…menikah juga akhirnya :D, Air Asia membuat saya lebih care dan romantis kepada suami. Ketika suami ulang tahun, saya ingin menghadiahi sesuatu yang takkan hilang dalam ingatannya. Sesuatu yang spesial di ulang tahunnya yang ke-32. Karena dia suka mendaki gunung juga, maka si dia saya hadiahi tiket Air Asia PP Johor-Kinabalu. Agar dia juga merasakan sensasi puncak Kinabalu seperti saya dahulu. Saya sendiri nggak ikut karena punya bayi. Senang rasanya melihat foto-foto dia berada di puncak Kinabalu plus bule-bule yang menyertainya :D

Adik saya di Marina, Singapura

  1. Air Asia membuat saya lebih sayang kepada adik. Adanya tiket Bandung - Singapura dan promo-promo yang murah membuat saya berfikir sayang sekali tiket murah begini tidak dimanfaatkan. Saya tawarkan kepada adik, maukah dia jalan-jalan ke Singapura? Dengan haqqul yakin adik saya menjawab mau. Jelas mau dong, gratiiiis. Dan pada November 2013 silam adik saya menikmati moment pertamanya berangkat ke luar negeri. Aaah… bahagianya melihat dia begitu antusias jalan-jalan di Singapura. Kami mengobrol, bercanda, makan, dan jalan-jalan bersama. Hal yang tidak pernah saya lakukan dengan dia sebelumnya. Semenjak itu, hubungan saya dan adik menjadi lebih baik lagi. Lebih dekat dan lebih bermakna.

  1. Air Asia membuat saya lebih perhatian kepada saudara lainnya. Masih di saat promo tiket Air Asia dari Bandung – Singapura tiba-tiba saya teringat dengan sepupu saya. Dia kerap berdiskusi tentang masalah kuliah dan masa depannya. Sepertinya dia sedang bosan dan monoton. Jadi ketika saya tawari tiket Air Asia ke Singapura untuk sekedar refreshing dia pun langsung mengiyakan. Saya bertemu dengannya di sana. Ah bahagia mendengar ide-idenya, semangatnya yang menyala-nyala, dan proyek-proyek masa depan yang akan dijalaninya. Dia mendadak begitu terinspirasi dengan kemajuan Singapura.
    Sepupu saya di depan Gedung Parlemen Singapura

Begitulah, bahagia itu sederhana. Menyaksikan orang-orang terdekat dapat mengecap kebahagiaan karena hadirnya saya. Terima kasih Air Asia, engkau telah mengubah saya dari seorang yang acuh, cuek, dan kurang perhatian menjadi sebaliknya.

Happy Anniversary ke-10 Air Asia Indonesia.

7 komentar :

  1. Saya blm pernh naik AA mbk...sukses yaaa :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Coba kalo ada bisa ditulis. Makadih mbak Hanna :) doain saya biar ke Nepal Gratis.

      Hapus
  2. Sayang di Batam ga ada Air Asia lagi ya teh.... Padahal dulu sempat jalan rame-rame ama temen kantor gara-gara ada promo Air Asia tujuan Batam-Jakarta.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Padahal jalurnya ramai kok. Kata temen yang pengelola Tour and Travel sih biasalaaah persaingan bisnis. Dulu saya sama adik juga pernah pulang pake AA Batam-Jakarta cuma 100 ribu doang.

      Hapus
  3. Ya ampyuuun kenapa? Laah bukannya tiket sudah dibeli Nan. Tadinya mau nitip oleh-oleh buat temen di Kota Kinabalu. Oya postingan dikau yang ini ane udah baca dari pertama posting juga :D

    BalasHapus
  4. Semoga menang yah...udah ada hasilnya belum sih?

    BalasHapus
  5. berminat ikut lomba blog ?

    Refiza Souvenir menyelenggarakan blog competition bagi para bloggers. Tuliskan semua hal tentang souvenir Islami dan dapatkan hadiah menarik dari Refiza, pendaftaran telah di perpanjang hingga 18 Agustus 2015. syarat dan ketentuan klik www.refiza.com/blogcompetition2015/

    BalasHapus

Halaman ini dimoderasi untuk mengurangi spam yang masuk. Terima kasih sudah meninggalkan komen di sini.

Made with by Lina W. Sasmita