Sebuah Monolog
Ketika cinta tumbuh dalam diam, aku kerap menatapmu teramat dalam
Sedalam kawah-kawahmu, sedalam jurang-jurangmu, dan sedalam lembah-lembahmu yang gelap itu
Ketika cinta berpadu dengan waktu, aku kerap berbaring dalam pelukmu
Peluk yang gigil, yang menyublim dalam beku, dalam selimut kabut dan rona jingga lembayungmu
Diantara kuncup-kuncup edelweis yang kian mekar dan ligar
Diantara rimbun cantigi yang bertajuk pucuk dan mengakar jalar
Diantara batang-batang hutan mati yang menghitam karena terbakar
Dan diantara untaian galaksi bima sakti yang menyala berpendar-pendar
Aku tegak, menyesap udara lembab
Menengadah dan berserah di Pondok Saladah
Aku tegak, menyimak belaian angin yang dingin
Yang mengalun di Tegal Alun
Suatu senja, 25 tahun yang silam, seorang gadis kecil duduk termenung di tepi kebun sambil menatap lekat pada sebuah sosok tinggi nun jauh di depan sana. Lembayung terlihat jingga di balik awan. Matanya berkilat-kilat oleh semangat. Bergumul akan rasa yang entah apa namanya. Hanya saja rongga dadanya terasa sesak. Sesak yang menyimpan rindu dendam. Rindu yang kian hari kian memburu. Seperti luapan sungai yang membuncah. Seperti gelembung balon yang akan pecah. Rindu yang bertalu padu pada puncak-puncak berbatu.
Kemarau dan Sirnanya Langit Biru
Kemarau panjang, kebakaran hutan, dan polusi kendaraan bermotor, membuat warna langit akhir-akhir ini selalu pucat pasi. Pemandangan ke sekitaran pun tampak hazy.
Seperti pada penerbangan Batam – Jakarta awal Oktober 2014 lalu, aku menyaksikan betapa langit tak seindah penerbangan-penerbangan di bulan dan tahun sebelumnya. Padahal sesungguhnya aku teramat merindukan birunya langit dan jernihnya udara diantara gumpalan mega-mega.
Sudah lima hari aku berada di tempat kelahiranku di Garut. Tempat bertautnya segala kenangan dan rindu. Rindu pada masa kecil dulu. Pada puncak-puncak berbatu dan langit yang kerap berwarna biru. Yang bertudungkan helaian awan cirrus yang berlapis titik-titik beku.
Pada batas pandang, hanya gunung dan gunung yang saling bertautan, saling bersambungan. Gunung Guntur, Cikuray, dan Papandayan. Kini, perlahan semua berubah. Kemarau membuat hutan-hutan terbakar musnah. Mengotori udara, menjadikan langit tak sejernih dan sebiru dahulu.
Di hari keenam aku berada di kampung halaman, semesta seakan mendukung gerak langkah kaki dan keinginanku. Langit membiru dan udara tampak cerah, secerah hatiku saat menatap ke arah barat daya. Sosok Gunung Papandayan begitu indah memanjang. Yang bertaut bergandengan dengan Gunung Puntang.
Menuju Sang Kekasih
Seperti pada penerbangan Batam – Jakarta awal Oktober 2014 lalu, aku menyaksikan betapa langit tak seindah penerbangan-penerbangan di bulan dan tahun sebelumnya. Padahal sesungguhnya aku teramat merindukan birunya langit dan jernihnya udara diantara gumpalan mega-mega.
Sudah lima hari aku berada di tempat kelahiranku di Garut. Tempat bertautnya segala kenangan dan rindu. Rindu pada masa kecil dulu. Pada puncak-puncak berbatu dan langit yang kerap berwarna biru. Yang bertudungkan helaian awan cirrus yang berlapis titik-titik beku.
Pada batas pandang, hanya gunung dan gunung yang saling bertautan, saling bersambungan. Gunung Guntur, Cikuray, dan Papandayan. Kini, perlahan semua berubah. Kemarau membuat hutan-hutan terbakar musnah. Mengotori udara, menjadikan langit tak sejernih dan sebiru dahulu.
Di hari keenam aku berada di kampung halaman, semesta seakan mendukung gerak langkah kaki dan keinginanku. Langit membiru dan udara tampak cerah, secerah hatiku saat menatap ke arah barat daya. Sosok Gunung Papandayan begitu indah memanjang. Yang bertaut bergandengan dengan Gunung Puntang.
Menuju Sang Kekasih
Selepas berpamitan kepada kedua orang tuaku, aku menaiki ojek menuju Pasar Simpang, Bayongbong. Tak berselang 20 menit aku sudah tiba di pertigaan Pasar Simpang. Dari pertigaan ini aku menaiki angkutan kota (angkot) jurusan Cikajang. Kurang dari 15 menit kemudian, aku diturunkan di sebuah pertigaan lagi. Tapi kali ini di Cisurupan.
Pertigaan yang menjadi gerbang masuk menuju Kawasan Gunung Papandayan. Sebuah Gapura bertuliskan "Selamat Datang di Kawah Papandayan" terpampang di mulut jalan. Deretan ojek motor berjejer rapi di samping jalan. Beberapa mobil bak terbuka juga terparkir di sana. Siap sedia mengantarkan rombongan yang hendak berwisata ke kawah Papandayan.
Pertigaan Cisurupan dilalui oleh berbagai angkutan seperti angkutan pedesaan (angped), angkot, elf dan minibus. Kendaraan-kendaraan yang datang dari kecamatan sekitar, juga angkutan umum yang berasal dari Garut Kota dan Bandung. Tak heran lokasi ini sangatlah ramai karena mudah terjangkau.
Saat melangkahkan kaki memasuki pertigaan, seorang tukang ojek menyapaku. Ia menawarkan jasa ojeknya dengan ongkos 40 ribu rupiah. Duh ini sih kemahalan. Aku lantas menawarnya menjadi 30 ribu rupiah. Deal, ia pun sepakat dengan harga yang aku tawar.
“Kalau naik mobil colt bak, sewanya 200 ribu rupiah Teh.” Kata tukang ojek menerangkan.
“Kok sendirian Teh?” tanyanya.
“Gak apa-apa, sudah biasa kok A.” Jawabku pura-pura agar tak menimbulkan efek negatif di fikirannya. Padahal sudah 4 tahun lalu aku terakhir kali ke sini. Jadi kurang tepat kalau dibilang sudah biasa.
“Udah sering ya kesini?” tanyanya lagi.
“Udah, mungkin belasan kali,” Jawabku.
Pertigaan yang menjadi gerbang masuk menuju Kawasan Gunung Papandayan. Sebuah Gapura bertuliskan "Selamat Datang di Kawah Papandayan" terpampang di mulut jalan. Deretan ojek motor berjejer rapi di samping jalan. Beberapa mobil bak terbuka juga terparkir di sana. Siap sedia mengantarkan rombongan yang hendak berwisata ke kawah Papandayan.
Pertigaan Cisurupan dilalui oleh berbagai angkutan seperti angkutan pedesaan (angped), angkot, elf dan minibus. Kendaraan-kendaraan yang datang dari kecamatan sekitar, juga angkutan umum yang berasal dari Garut Kota dan Bandung. Tak heran lokasi ini sangatlah ramai karena mudah terjangkau.
Saat melangkahkan kaki memasuki pertigaan, seorang tukang ojek menyapaku. Ia menawarkan jasa ojeknya dengan ongkos 40 ribu rupiah. Duh ini sih kemahalan. Aku lantas menawarnya menjadi 30 ribu rupiah. Deal, ia pun sepakat dengan harga yang aku tawar.
“Kalau naik mobil colt bak, sewanya 200 ribu rupiah Teh.” Kata tukang ojek menerangkan.
“Kok sendirian Teh?” tanyanya.
“Gak apa-apa, sudah biasa kok A.” Jawabku pura-pura agar tak menimbulkan efek negatif di fikirannya. Padahal sudah 4 tahun lalu aku terakhir kali ke sini. Jadi kurang tepat kalau dibilang sudah biasa.
“Udah sering ya kesini?” tanyanya lagi.
“Udah, mungkin belasan kali,” Jawabku.
Kali ini aku menjawab jujur. Semenjak kelas 4 SD hampir tiap tahun aku bertandang ke Papandayan. Entah sekedar trekking biasa, bermain-main di kawah, atau kemping bersama adik, kakak, dan sepupu-sepupuku. Namun semenjak merantau ke Batam intensitas pertemuanku dengan Papandayan semakin berkurang.
Ojek pun melaju di jalanan aspal yang agak rusak. Beberapa puluh meter kemudian jalanan berubah berupa bebatuan kerikil. Jalan aspal ini sedang dalam perbaikan. Beberapa bagian dicor karena tanahnya tidak stabil. Aku bersyukur dalam hati. Akhirnya jalan yang rusak parah ini diperbaiki juga. Rupanya pemerintah daerah Garut mulai memberi perhatian kepada sarana publik yang satu ini. Terlebih Gunung Papandayan merupakan lokasi wisata yang cukup terkenal di kalangan masyarakat Indonesia. Ojek berhenti di pintu masuk lapangan parkir.
Tepat di sebelah kiri portal parkiran, terdapat pos jaga. Aku memasuki pos dan membeli karcis seharga 5.000 rupiah. Pada sabtu – minggu tarif masuk menjadi 7.500 rupiah. Harga yang masih terbilang murah untuk kantong pelajar, mahasiswa dan backpacker. Tak heran jika sabtu minggu gunung ini ramai oleh pendaki-pendaki muda asal Jakarta, Bekasi,dan Bandung. Petugas pos jaga menanyaiku kenapa datang sendiri. Aku sendiri bingung menjawabnya. Sebenarnya memang tidak ada kawan yang bisa diajak.
Belasan tahun hidup di perantauan, aku sudah tidak mempunyai teman main lagi. Apalagi teman mendaki gunung. Teman-temanku rata-rata sudah menjadi ibu rumah tangga semua. Sudah tidak tertarik lagi akan hal-hal seperti ini. Sedangkan aku sendiri walaupun sudah berkeluarga masih sangat beruntung karena bersuamikan sesama penyuka gunung. Ia selalu mendukung dan menemaniku jika aku mendaki ke gunung mana pun. Sayangnya, kali ini suami dan anak semata wayangku yang kerap menjadi parner mendaki, sudah lebih dulu pulang ke Batam karena urusan kerja dan sekolah.
Camp David, 10 Oktober 2014
Ojek pun melaju di jalanan aspal yang agak rusak. Beberapa puluh meter kemudian jalanan berubah berupa bebatuan kerikil. Jalan aspal ini sedang dalam perbaikan. Beberapa bagian dicor karena tanahnya tidak stabil. Aku bersyukur dalam hati. Akhirnya jalan yang rusak parah ini diperbaiki juga. Rupanya pemerintah daerah Garut mulai memberi perhatian kepada sarana publik yang satu ini. Terlebih Gunung Papandayan merupakan lokasi wisata yang cukup terkenal di kalangan masyarakat Indonesia. Ojek berhenti di pintu masuk lapangan parkir.
Tepat di sebelah kiri portal parkiran, terdapat pos jaga. Aku memasuki pos dan membeli karcis seharga 5.000 rupiah. Pada sabtu – minggu tarif masuk menjadi 7.500 rupiah. Harga yang masih terbilang murah untuk kantong pelajar, mahasiswa dan backpacker. Tak heran jika sabtu minggu gunung ini ramai oleh pendaki-pendaki muda asal Jakarta, Bekasi,dan Bandung. Petugas pos jaga menanyaiku kenapa datang sendiri. Aku sendiri bingung menjawabnya. Sebenarnya memang tidak ada kawan yang bisa diajak.
Belasan tahun hidup di perantauan, aku sudah tidak mempunyai teman main lagi. Apalagi teman mendaki gunung. Teman-temanku rata-rata sudah menjadi ibu rumah tangga semua. Sudah tidak tertarik lagi akan hal-hal seperti ini. Sedangkan aku sendiri walaupun sudah berkeluarga masih sangat beruntung karena bersuamikan sesama penyuka gunung. Ia selalu mendukung dan menemaniku jika aku mendaki ke gunung mana pun. Sayangnya, kali ini suami dan anak semata wayangku yang kerap menjadi parner mendaki, sudah lebih dulu pulang ke Batam karena urusan kerja dan sekolah.
Camp David, 10 Oktober 2014
Aku melangkahkan kaki dengan semangat. Birunya langit dan jernihnya udara pagi seakan ucapan selamat datang dari Papandayan untukku. Kuhela nafas dalam-dalam seraya menatap tebing cadas yang menjadi pemandangan utama gunung ini dari kejauhan. Aroma khas Papandayan yang telah kukenali, membangkitkan syaraf-syaraf memori yang tersimpan rapi dalam ingatan. Bau belerang bercampur getas pohon-pohon cantigi yang mengitari, seakan diorama yang terputar kembali ke masa lalu.
Papandayan bagaikan magnet yang terus menerus menarikku untuk datang dan datang lagi. Hingga akhirnya kudaulat ia menjadi kekasih pertama. Kekasih yang memancarkan cinta. Dan cinta yang pertama kali menggetarkan dada. Membuat jantung berdegup lebih kencang dan fikiran melayang tak tenang, Cinta itu telah menjalin ulir ketakjuban dan kerinduan jauh di dalam nurani. Dan harus kuakui, cinta itu tak pernah melemah hingga hari ini. Cinta pertama yang akan tetap bersemi di sanubari.
Matahari mulai meninggi, namun sinarnya belum terlalu garang. Aku melangkah dengan tenang. Menyusuri jalur berbatu di area kawah seorang diri. Asap yang terus menerus keluar dari kepundan, belerang serupa bedak bayi yang kuning-kemuning, anak-anak sungai yang mengalirkan air hangat, satu per satu tertangkap retina dan terputar kembali dalam memori. Menyatu menjadi gambar kolase dan melengkapi rekaman data dalam ingatan.
Suara deru sepeda motor membuatku menjauh, menepi dari jalur. Seorang penduduk desa di sekitar Gunung Papandayan melintas menggunakan sepeda motornya. Dua karung hasil bumi berupa kentang ia angkut di depan dan belakang jok. Dengan penuh waspada ia mengendalikan laju kendaraan di jalur kawah layaknya seorang crosser. Menurutku dialah sebenarnya yang layak menyandang gelar crosser atau off roader. Jalur kawah ini amat berbahaya. Curam dan terjal. Namun mampu ia lewati. Mungkin perjalanan menegangkan tersebut dilakoninya karena terpaksa demi mencari penghidupan. Jalan terjal berliku dan berbatu adalah salah satu tantangan setiap hari yang harus ia hadapi. Pemandangan ini pun segera kuabadikan. Dengan hati-hati kuarahkan kamera kepadanya.Klik.
Setengah jam kemudian aku tiba di perbatasan menuju hutan mati. Jika belok kanan aku akan menyusuri jalur lebar menuju Pondok Saladah yang kini diberi nama jalur menuju Hubber hoet. Ah apa pula itu? Nama yang terdengar aneh bagi orang sunda sepertiku. Kenapa tidak memberi nama yang berbau-bau sunda saja ya? Ah pada siapa aku bertanya. Jalur ke kanan ini adalah jalur lama yang biasa ditempuh untuk menuju Pondok Saladah. Sebagian jalurnya terpotong di tengah-tengah terkena longsoran sewaktu Papandayan meletus terakhir kalinya. Sedangkan penduduk lokal menggunakan jalur ini sebagai lalu lintas menuju kebun teh Cileuleuy di Pangalengan – Bandung.
Aku tergoda untuk menaiki jalur baru. Jalur tebing cadas di hadapan. Tebingnya langsung menghubungkan kawah dengan hutan mati. Setelah berkutat di jalur yang lumayan licin karena banyak kerikil, 15 menit kemudian aku tiba di hutan mati. Pemandangan di hutan mati sungguh menakjubkan. Sangat eksotis. Batang pohon-pohon cantigi yang menghitam dan abu-abu tegak berdiri antara hidup dan mati. Sudah belasan tahun pohon-pohon ini tidak lapuk tidak pula tumbuh bertunas.
Hutan ini seperti musium pengawetan karena menyimpan ratusan dan mungkin ribuan pohon sebagai saksi sejarah. Aku terpukau, menatap takjub pada para saksi sejarah ini. Saksi yang menjadi korban dan tidak pernah bisa menyelamatkan diri dari gempuran aliran lava pada letusan tahun 2002 silam. Hampir setengah jam aku berada di hutan mati. Mengamati, menikmati, dan menghayati arti semua ini. Arti kecintaan ini. Arti kerinduan ini. Arti kehidupan dan arti kehadiran aku di muka bumi ini.
Aku terus bersyukur kepada-Nya atas kesempatan ini. Kesempatan menikmati indahnya bumi pertiwi dalam keadaan sehat dan damai. “Papandayan, aku di sini, aku di sini…” Bisikku lirih. Ada haru membuncah. Ah, getar dan rasa itu selalu sama dari masa ke masa. Dan aku selalu menganggapmu kekasih pertama. Kekasih yang selalu setia menanti aku kembali. Toilet Pondok Saladah Dari hutan mati, aku mengikuti jalur yang mengarah ke Pondok Saladah. Rumpun-rumpun edelweis yang dilalui sedang mekar dengan indahnya. Dari jauh tampak Pondok Saladah mulai berubah. Pondok-pondok yang entah untuk apa mulai bermunculan di sekeliling. Menjadikan pemandangan alami di sini sedikit terganggu.
Beberapa orang laki-laki tampak sedang memaku kayu pada beberapa tiang pondokan itu. Di Pondok Saladah terdapat tanaman Saladah yang biasa dijadikan lalapan oleh kami orang Sunda. Di daerah Garut, Saladah ini tumbuh liar di sumber mata air Jamban di Bayongong, dan dibudidayakan. Biasa dijual segar di pasar-pasar. Mungkin karena itu pulalah tempat ini disebut Pondok Saladah.
Sewaktu kemping bersama sepupu-sepupu di Pondok Saladah, kami sengaja membawa sambal dan memetik saladah langsung dari tepian sungai kecil di sekitar lokasi kemping. Rasanya krenyes dan segar. Beberapa tenda terlihat di sela-sela batang pohon cantigi yang mengitari lapangan Pondok Saladah. Sebagian penghuninya kebanyakan sedang berada di Tegal Alun, Sebuah tegal atau lapangan berupa hamparan savana edelweis yang begitu luas yang berjarak satu jam perjalanan dari Pondok Saladah. Saat kulangkahkan kaki menuju area bertuliskan toilet, aku terkejut, surprise.
Di sana telah terdapat tiga toilet yang dicat hitam berbentuk drum ukuran besar. Didalamnya telah dilengkapi oleh kloset jongkok, gayung, dan bak air yang mengalir tanpa henti. Sungguh, ini merupakan ide brilian untuk menjaga kebersihan gunung dari para pendatang yang jahil. Jahil karena buang kotoran sembarangan. Ide menjaga kebersihan gunung dengan membangun toilet seperti ini patut diapresiasi.
Ide cemerlang yang direalisasikan oleh para mahasiswa ITB. Dengan adanya toilet tersebut aku menyaksikan sendiri, di sekitar Pondok Saladah tidak terdapat sampah kotoran manusia yang tercecer di semak-semak seperti yang pernah kutemui di Gunung Semeru dan Gunung lainnya di Indonesia. Berhampiran dengan toilet terdapat pancuran untuk mengambil air wudhu dan keperluan mencuci atau membersihkan wadah-wadah kotor. Di sebelahnya lagi ada pondok yang difungsikan sebagai mushola.
Sedangkan air bersih mengalir melalui selang-selang yang dialirkan dari sumber mata air di sekitar perbukitan yang mengitari Pondok Saladah. Menuju Tegal Alun Saat ragu berdiri di jalur menuju Tegal Alun, Aku bertemu dua orang pendaki dari Tasikmalaya. Ketika aku mengajak mereka untuk naik bersama mereka mengangguk setuju. Sebelum berangkat ke Tegal Alun kami makan siang terlebih dahulu.
Segelas pop mie, sebatang coklat dan secangkir kopi cukup mencairkan suasana canggung diantara kami karena baru saling mengenal. Selesai makan siang, kami mengemasi semua barang. Termasuk sampah-sampah yang ditemui di sekitar tempat duduk kami. Sampah-sampah dimasukkan ke dalam kantong untuk dibawa turun. Hutan mati kembali terlewati. Rekahan cadas yang sesekali membelah jaur kami lompati.
Vegetasi berubah menjadi hutan cantigi. Kuncup-kuncupnya sedang merah berseri. Kurang dari satu jam, kami memasuki canopi hutan cantigi yang rapat. Daaan…beberapa saat kemudian hamparan padang edelweis tampak di hadapan. “Aaaaah….” Ruli, pendaki dari Tasikmalaya berteriak kencang.
Salah satu keinginan yang ia pendam sejak beberapa tahun silam, yakni mengunjungi Tegal Alun, tercapai sudah. Tinggal satu lagi harapan yang belum dilaksanakannya, berfoto saat duduk di hamparan rumput sambil minum kopi Sunyi sepi menyelimuti. Hembus angin seakan terhenti. Pohon-pohon cantigi di hutan larangan berbaris rapi seakan membuat formasi.
Dan damai pun bersemi dalam hati. Aku larut dalam alunan sunyi Tegal Alun. Belaian lembut kesunyian yang melenakan. Hanya ingin berbaring terlentang menatap awan-awan yang beriringan. Memberi noktah-noktah putih pada langit yang biru tenang.
Jam setengah tiga siang, kami turun ke Pondok Saladah dan pulang melalui jalur Pos Hubber Hoet. Begitu jalur berakhir dan menemui jalan lebar, di ujung jalur terdapat sebuah warung yang menjual beberapa makanan ringan. Sebuah pos lapor & Jaga berdiri di sebrangnya. Entah berita baik atau tidak. Namun aku kurang setuju ketika terlalu banyak bangunan-bangunan permanen yang berdiri di kawasan ini.
Setelap Ruli dan temannya melapor, kami meneruskan perjalanan dan melintas jalur kawah. Saat kami berada di jalur yang melintasi kawah-kawah aktif. sebuah sepeda motor terdengar di belakang. Seorang warga kembali melintas menggunakan sepeda motornya. Ia menempuh jarak belasan kilometer dari Bandung melalui hutan rapat, savanna Tegal Panjang, dan kawah Papandayan yang terjal dan berbahaya. Meleng sedikit sepeda motor bisa terjungkal ke dalam kawah atau jurang dan sungai-sungai kecil yang dilintasinya.
Aku kerap dibuat takjub oleh penduduk lokal di sini. Aku menyebut mereka para pelintas batas. Terkadang juga mereka berjalan kaki dengan membawa hasil bumi seperti sayuran dan buah-buahan dan barang kebutuhan pokok seperti beras. 3 tahun lalu aku bertemu rombongan pelintas batas di lokasi ini dari kakek hingga cucunya. Dari yang tua hingga bayi.
Kami tiba di Lapangan parkir Camp David sekitar jam setengah lima sore. Aku langsung berpamitan kepada Ruli dan temannya. Mereka berdua tidak langsung pulang tapi menuju sebuah kolam air panas di sekitar Camp David. Kolam yang baru dibangun sekitar 5 bulan yang lalu. Alhamdulillah walaupun sudah sore, aku masih bisa mendapatkan ojek yang sedang menunggu penumpang di Camp David.
Dengan menawar ongkos sebesar 20 ribu rupiah, 20 menit kemudian aku sampai di Cisurupan. Selanjutnya naik angkot menuju pasar simpang dan pulang ke rumah dengan naik ojek kembali.
***
Di sebuah ujung kampung, aku menatap lekat pada sosok anggun itu. Mangintip, membidik melalui jepretan kamera. Seperti de javu. Aku pernah seperti ini dulu. Tiba-tiba bayangan gadis kecil yang duduk termenung di tepi kebun berkelebat dalam benak. Ia seakan tersenyum menatapku. Kami sama-sama menatap sosok sama. Yakni gunung indah, tempat bernaungnya kawah-kawah, tempat memantulnya cahaya lembayung senja.
Sosok itu, dialah Gunung Papandayan.
Biaya-Biaya:
– Ojek dari rumah – Pasar Simpang PP: 20.000
– Angkot Pasar Simpang – Cisurupan : 10.000
– Ojek dari Cisurupan – Camp David: 50.000
– Karcis Masuk: Rp. 5000
Total biaya yang aku keluarkan sebesar: Rp. 85.000
Rute Kendaraan:
Papandayan bagaikan magnet yang terus menerus menarikku untuk datang dan datang lagi. Hingga akhirnya kudaulat ia menjadi kekasih pertama. Kekasih yang memancarkan cinta. Dan cinta yang pertama kali menggetarkan dada. Membuat jantung berdegup lebih kencang dan fikiran melayang tak tenang, Cinta itu telah menjalin ulir ketakjuban dan kerinduan jauh di dalam nurani. Dan harus kuakui, cinta itu tak pernah melemah hingga hari ini. Cinta pertama yang akan tetap bersemi di sanubari.
Matahari mulai meninggi, namun sinarnya belum terlalu garang. Aku melangkah dengan tenang. Menyusuri jalur berbatu di area kawah seorang diri. Asap yang terus menerus keluar dari kepundan, belerang serupa bedak bayi yang kuning-kemuning, anak-anak sungai yang mengalirkan air hangat, satu per satu tertangkap retina dan terputar kembali dalam memori. Menyatu menjadi gambar kolase dan melengkapi rekaman data dalam ingatan.
Suara deru sepeda motor membuatku menjauh, menepi dari jalur. Seorang penduduk desa di sekitar Gunung Papandayan melintas menggunakan sepeda motornya. Dua karung hasil bumi berupa kentang ia angkut di depan dan belakang jok. Dengan penuh waspada ia mengendalikan laju kendaraan di jalur kawah layaknya seorang crosser. Menurutku dialah sebenarnya yang layak menyandang gelar crosser atau off roader. Jalur kawah ini amat berbahaya. Curam dan terjal. Namun mampu ia lewati. Mungkin perjalanan menegangkan tersebut dilakoninya karena terpaksa demi mencari penghidupan. Jalan terjal berliku dan berbatu adalah salah satu tantangan setiap hari yang harus ia hadapi. Pemandangan ini pun segera kuabadikan. Dengan hati-hati kuarahkan kamera kepadanya.Klik.
Setengah jam kemudian aku tiba di perbatasan menuju hutan mati. Jika belok kanan aku akan menyusuri jalur lebar menuju Pondok Saladah yang kini diberi nama jalur menuju Hubber hoet. Ah apa pula itu? Nama yang terdengar aneh bagi orang sunda sepertiku. Kenapa tidak memberi nama yang berbau-bau sunda saja ya? Ah pada siapa aku bertanya. Jalur ke kanan ini adalah jalur lama yang biasa ditempuh untuk menuju Pondok Saladah. Sebagian jalurnya terpotong di tengah-tengah terkena longsoran sewaktu Papandayan meletus terakhir kalinya. Sedangkan penduduk lokal menggunakan jalur ini sebagai lalu lintas menuju kebun teh Cileuleuy di Pangalengan – Bandung.
Aku tergoda untuk menaiki jalur baru. Jalur tebing cadas di hadapan. Tebingnya langsung menghubungkan kawah dengan hutan mati. Setelah berkutat di jalur yang lumayan licin karena banyak kerikil, 15 menit kemudian aku tiba di hutan mati. Pemandangan di hutan mati sungguh menakjubkan. Sangat eksotis. Batang pohon-pohon cantigi yang menghitam dan abu-abu tegak berdiri antara hidup dan mati. Sudah belasan tahun pohon-pohon ini tidak lapuk tidak pula tumbuh bertunas.
Hutan ini seperti musium pengawetan karena menyimpan ratusan dan mungkin ribuan pohon sebagai saksi sejarah. Aku terpukau, menatap takjub pada para saksi sejarah ini. Saksi yang menjadi korban dan tidak pernah bisa menyelamatkan diri dari gempuran aliran lava pada letusan tahun 2002 silam. Hampir setengah jam aku berada di hutan mati. Mengamati, menikmati, dan menghayati arti semua ini. Arti kecintaan ini. Arti kerinduan ini. Arti kehidupan dan arti kehadiran aku di muka bumi ini.
Aku terus bersyukur kepada-Nya atas kesempatan ini. Kesempatan menikmati indahnya bumi pertiwi dalam keadaan sehat dan damai. “Papandayan, aku di sini, aku di sini…” Bisikku lirih. Ada haru membuncah. Ah, getar dan rasa itu selalu sama dari masa ke masa. Dan aku selalu menganggapmu kekasih pertama. Kekasih yang selalu setia menanti aku kembali. Toilet Pondok Saladah Dari hutan mati, aku mengikuti jalur yang mengarah ke Pondok Saladah. Rumpun-rumpun edelweis yang dilalui sedang mekar dengan indahnya. Dari jauh tampak Pondok Saladah mulai berubah. Pondok-pondok yang entah untuk apa mulai bermunculan di sekeliling. Menjadikan pemandangan alami di sini sedikit terganggu.
Beberapa orang laki-laki tampak sedang memaku kayu pada beberapa tiang pondokan itu. Di Pondok Saladah terdapat tanaman Saladah yang biasa dijadikan lalapan oleh kami orang Sunda. Di daerah Garut, Saladah ini tumbuh liar di sumber mata air Jamban di Bayongong, dan dibudidayakan. Biasa dijual segar di pasar-pasar. Mungkin karena itu pulalah tempat ini disebut Pondok Saladah.
Sewaktu kemping bersama sepupu-sepupu di Pondok Saladah, kami sengaja membawa sambal dan memetik saladah langsung dari tepian sungai kecil di sekitar lokasi kemping. Rasanya krenyes dan segar. Beberapa tenda terlihat di sela-sela batang pohon cantigi yang mengitari lapangan Pondok Saladah. Sebagian penghuninya kebanyakan sedang berada di Tegal Alun, Sebuah tegal atau lapangan berupa hamparan savana edelweis yang begitu luas yang berjarak satu jam perjalanan dari Pondok Saladah. Saat kulangkahkan kaki menuju area bertuliskan toilet, aku terkejut, surprise.
Di sana telah terdapat tiga toilet yang dicat hitam berbentuk drum ukuran besar. Didalamnya telah dilengkapi oleh kloset jongkok, gayung, dan bak air yang mengalir tanpa henti. Sungguh, ini merupakan ide brilian untuk menjaga kebersihan gunung dari para pendatang yang jahil. Jahil karena buang kotoran sembarangan. Ide menjaga kebersihan gunung dengan membangun toilet seperti ini patut diapresiasi.
Ide cemerlang yang direalisasikan oleh para mahasiswa ITB. Dengan adanya toilet tersebut aku menyaksikan sendiri, di sekitar Pondok Saladah tidak terdapat sampah kotoran manusia yang tercecer di semak-semak seperti yang pernah kutemui di Gunung Semeru dan Gunung lainnya di Indonesia. Berhampiran dengan toilet terdapat pancuran untuk mengambil air wudhu dan keperluan mencuci atau membersihkan wadah-wadah kotor. Di sebelahnya lagi ada pondok yang difungsikan sebagai mushola.
Sedangkan air bersih mengalir melalui selang-selang yang dialirkan dari sumber mata air di sekitar perbukitan yang mengitari Pondok Saladah. Menuju Tegal Alun Saat ragu berdiri di jalur menuju Tegal Alun, Aku bertemu dua orang pendaki dari Tasikmalaya. Ketika aku mengajak mereka untuk naik bersama mereka mengangguk setuju. Sebelum berangkat ke Tegal Alun kami makan siang terlebih dahulu.
Segelas pop mie, sebatang coklat dan secangkir kopi cukup mencairkan suasana canggung diantara kami karena baru saling mengenal. Selesai makan siang, kami mengemasi semua barang. Termasuk sampah-sampah yang ditemui di sekitar tempat duduk kami. Sampah-sampah dimasukkan ke dalam kantong untuk dibawa turun. Hutan mati kembali terlewati. Rekahan cadas yang sesekali membelah jaur kami lompati.
Vegetasi berubah menjadi hutan cantigi. Kuncup-kuncupnya sedang merah berseri. Kurang dari satu jam, kami memasuki canopi hutan cantigi yang rapat. Daaan…beberapa saat kemudian hamparan padang edelweis tampak di hadapan. “Aaaaah….” Ruli, pendaki dari Tasikmalaya berteriak kencang.
Salah satu keinginan yang ia pendam sejak beberapa tahun silam, yakni mengunjungi Tegal Alun, tercapai sudah. Tinggal satu lagi harapan yang belum dilaksanakannya, berfoto saat duduk di hamparan rumput sambil minum kopi Sunyi sepi menyelimuti. Hembus angin seakan terhenti. Pohon-pohon cantigi di hutan larangan berbaris rapi seakan membuat formasi.
Dan damai pun bersemi dalam hati. Aku larut dalam alunan sunyi Tegal Alun. Belaian lembut kesunyian yang melenakan. Hanya ingin berbaring terlentang menatap awan-awan yang beriringan. Memberi noktah-noktah putih pada langit yang biru tenang.
Jam setengah tiga siang, kami turun ke Pondok Saladah dan pulang melalui jalur Pos Hubber Hoet. Begitu jalur berakhir dan menemui jalan lebar, di ujung jalur terdapat sebuah warung yang menjual beberapa makanan ringan. Sebuah pos lapor & Jaga berdiri di sebrangnya. Entah berita baik atau tidak. Namun aku kurang setuju ketika terlalu banyak bangunan-bangunan permanen yang berdiri di kawasan ini.
Setelap Ruli dan temannya melapor, kami meneruskan perjalanan dan melintas jalur kawah. Saat kami berada di jalur yang melintasi kawah-kawah aktif. sebuah sepeda motor terdengar di belakang. Seorang warga kembali melintas menggunakan sepeda motornya. Ia menempuh jarak belasan kilometer dari Bandung melalui hutan rapat, savanna Tegal Panjang, dan kawah Papandayan yang terjal dan berbahaya. Meleng sedikit sepeda motor bisa terjungkal ke dalam kawah atau jurang dan sungai-sungai kecil yang dilintasinya.
Aku kerap dibuat takjub oleh penduduk lokal di sini. Aku menyebut mereka para pelintas batas. Terkadang juga mereka berjalan kaki dengan membawa hasil bumi seperti sayuran dan buah-buahan dan barang kebutuhan pokok seperti beras. 3 tahun lalu aku bertemu rombongan pelintas batas di lokasi ini dari kakek hingga cucunya. Dari yang tua hingga bayi.
Kami tiba di Lapangan parkir Camp David sekitar jam setengah lima sore. Aku langsung berpamitan kepada Ruli dan temannya. Mereka berdua tidak langsung pulang tapi menuju sebuah kolam air panas di sekitar Camp David. Kolam yang baru dibangun sekitar 5 bulan yang lalu. Alhamdulillah walaupun sudah sore, aku masih bisa mendapatkan ojek yang sedang menunggu penumpang di Camp David.
Dengan menawar ongkos sebesar 20 ribu rupiah, 20 menit kemudian aku sampai di Cisurupan. Selanjutnya naik angkot menuju pasar simpang dan pulang ke rumah dengan naik ojek kembali.
***
Di sebuah ujung kampung, aku menatap lekat pada sosok anggun itu. Mangintip, membidik melalui jepretan kamera. Seperti de javu. Aku pernah seperti ini dulu. Tiba-tiba bayangan gadis kecil yang duduk termenung di tepi kebun berkelebat dalam benak. Ia seakan tersenyum menatapku. Kami sama-sama menatap sosok sama. Yakni gunung indah, tempat bernaungnya kawah-kawah, tempat memantulnya cahaya lembayung senja.
Sosok itu, dialah Gunung Papandayan.
Biaya-Biaya:
– Ojek dari rumah – Pasar Simpang PP: 20.000
– Angkot Pasar Simpang – Cisurupan : 10.000
– Ojek dari Cisurupan – Camp David: 50.000
– Karcis Masuk: Rp. 5000
Total biaya yang aku keluarkan sebesar: Rp. 85.000
Rute Kendaraan:
- Dari Jakarta, Bekasi, Cianjur: Naik bis menuju Terminal Guntur. Dari Terminal Guntur naik angkot warna biru jurusan Cikajang. Minta diturunkan di Cisurupan tepat di sebrang gapura yang akan memasuki kawasan Wisata Kawah Papandayan. Dari sana dilanjutkan naik ojek menuju Kawah Papandayan.
- Dari Bandung: Naiklah Elf atau minibis (biasa disebut mikrolet) jurusan Bandung – Bungbulang, atau Bandung-Pameungpeuk. Minta diturunkan di Cisurupan.
- Dari Jawa Tengah, seperti Madiun, naik kereta menuju Cibatu, dari Cibatu naik angkot menuju Terminal Guntur. Dari terminal Guntur naik angkot jurusan Cikajang,
wow,monolognya bagus bangetttt
BalasHapusHihi...iseng mbak Han :D
Hapus