Kampung Naga |
Pagi-pagi buta, tepat jam 4 dini hari saya dan keluarga telah berkendaraan menuju Bandara Husen Sastra Negara, Bandung. A Ahmad, sepupu saya yang mengemudikan kendaraan, memacu mobil dengan kecepatan tinggi. Ngebutnya minta ampun. Ngeri-ngeri sedap deh. Bikin sport jantung. Untung saja kanan kiri jalan belum terlihat apa-apa. Hanya gelap-gulita. Sesekali bayangan pohon-pohon tinggi berkelebatan seperti lesatan ninja. Syukurnya lagi jalan yang dilalui begitu mulus sehingga tidak begitu banyak guncangan yang terasa. Namun rasa-rasanya jalan yang kami lalui bukan jalan biasa yang ditempuh kebanyakan orang kalau hendak bepergian ke Bandung. Saya sempat terheran-heran karena tidak hafal dengan jalan tersebut.
Satu jam kemudian, saat fajar di ufuk mulai terlihat, dan kehidupan mulai berdetak, perlahan saya mulai mengenali lokasi yang kami lintasi. Ternyata kami menempuh jalur alternatif Garut - Bandung melalui pegunungan di sekitar Kawah Kamojang. Jalan yang tembus hingga Kecamatan Majalaya lanjut ke Kecamatan Ibun, lalu Kecamatan Bale Endah, Bandung. Dari Bale Endah saya tidak menghafal lagi jalan. Hati sudah tenang karena tiba di Bandung masih pagi-pagi sekali. Berarti waktu untuk check in belum dibuka.
Setelah berpisah di Bandara dengan suami dan anak tercinta, saya berniat mengunjungi Kampung Naga di Tasikmalaya. Kebetulan suami juga sudah mengizinkan. Sedangkan A Ahmad sudah cabut kembali ke Garut sejak kami tiba di bandara tadi. Jadi, saya ke Bandung ini hanya mengantar Bang Ical dan Chila saja ke bandara, karena kalau saya sendiri masih punya cuti beberapa hari lagi dan pesawat yang akan saya naiki pun bukan dari Bandung tapi dari Jakarta. Begini enaknya gak enaknya dapat tiket pesawat gratis. Enak bisa jalan-jalan dan pulang kampung gratis, nggak enaknya cuma dapat gratis sendirian gak sekeluarga :D *Kemaruk.
Dua warga Kampung Naga |
Sudah hampir setengah jam saya berdiri di tepi jalan di dekat
Terminal Cicaheum Bandung demi menunggu bis jurusan Tasikmalaya, tapi
tak satu pun yang lewat. Kebanyakan bis jurusan Bungbulang dan
Pameungpeuk Garut. Padahal hari sudah terik dan perut mulai keroncongan
minta diisi. Sambil menunggu bis, mata saya melirik kanan-kiri mana tau
ada rumah makan atau warteg di sekitar situ. Namun sayang yang ada
hanyalah penjual buah-buahan. Duuuh...mana panas minta ampun. Kemarau
bulan Oktober yang seharusnya sudah memasuki musim penghujan masih saja
garang.
"Kamana Bu?" seorang kondektur turun dari sebuah bis.
"Ka Tasik." Jawab saya.
"Ka Garut yuk!"
"Alim ah, ka Tasik wae,"
"Ka Garut wae atuh,"
"Laah saya kan dari Garut, masa balik lagi ke Garut," idiiih maksa banget sih. Saya cemberut. Belum tau dia kalau saya ini juteknya minta ampun kalau lagi bete gitu.
15 menit kemudian muncullah bis jurusan Tasikmalaya.
"Tasik ya? Lewat ke Kampung Naga nggak?" agak ragu saya bertanya. Ragu karena jalur ke Tasik dari Bandung ada dua, nah saya tidak tahu jalur yang dipakai menuju Kampung Naga yang sebelah mana. Lagian lupa googling sebelum berangkat tadi.
Si kondektur bis langsung mengiyakan dan memaksa saya naik. Saat di dalam bis saya mendekati sopir lalu bertanya apa betul bis tersebut melewati Kampung Naga. Ia menjawab tidak dan menyarankan saya naik bis yang jurusan Singaparna. Laaah? Tadi si kondekturnya bilang.... Arghrrrr....tega banget ya dia bohongin orang demi uang yang nggak seberapa.
Saya minta diturunkan di situ juga. Si kondektur ngotot menahan saya.Urusan turun mah gampang katanya. Dia nanya lagi saya mau kemana. Padahal udah jelas mau ke Kampung Naga. Eh dia malah menyarankan saya ikut ke Tasik dulu lalu dari Tasik balik lagi ke kampung Naga. Ih...enak di elo gak enak di gua dong. Rugi waktu. Setelah bersitegang akhirnya si kondektur memberi jalan yang sedari tadi ia halangi. Saya pun melompat keluar bis. Syukurlah belum jauh-jauh amat.
Plang Penunjuk Kampung Naga |
Bis Diana menuju Singaparna datang. Setelah memastikan bis tersebut melewati Kampung Naga, saya duduk di salah satu bangkunya dan mencoba untuk tidur. Namun tetap tidak bisa. Kondektur bis mendekat dan menagih ongkos sebesar 35 ribu rupiah. Kepadanya saya berpesan untuk diturunkan di Kampung Naga.
Bis melaju dan memasuki daerah Garut, bukan menuju Tasikmalaya. Laaah..kok bisa? Walau sedikit bingung saya tetap berprasangka baik. Tetap tenang dan memilih untuk membaca buku. Bis pun melaju memasuki kawasan Terminal Guntur Garut. Berhenti sekitar satu jam setengah menunggu tambahan penumpang. Ya ampuuun, bisa kering di dalam bis saya. Namun tetap mencoba bersabar walau lapar. SMS dari Bapak berdatangan menanyakan dimana posisi sekarang. Duh bingung jawabnya. Masa harus jawab di Terminal Guntur Garut. Ngapain? Ngetem? Mending pulang aja ke rumah sekalian. Ah saya balas saja sedang di jalan menuju Tasikmalaya.
Saat menunggu bis penuh, tukang batagor di pinggir jalan menawarkan jualannya. Saya langsung pesan satu porsi. Lumayan buat ganjal perut. Hilir-mudik pedagang asongan dan peminta-minta menghiasi pemandangan dalam bis. Gambaran khas kehidupan ekonomi masyarakat garis bawah sekilas terekam di sini. Bagaimana seorang bapak bertahan berjualan air mineral dan tissue demi keluarganya. Bagaimana seorang pengamen dengan suara pas-pasan meraup koin dan recehan demi mendapat penghasilan. Bagaimana si pincang dan si buta menengadah meminta sedekah. Rupa-rupa wajah yang terus tercerna dalam benak dan ingatan.
Jam setengah empat sore bis mulai melaju. Memasuki kecamatan Cilawu, masih di Kabupaten Garut. Jalan ini searah dengan jalur transportasi menuju pendakian ke Gunung Cikuray menggunakan jalur Dayeuh Manggung. Selepas Cilawu bis memasuki Kecamatan Salawu, Tasikmalaya. Pemandangan di sebelah kiri jalan semakin memanjakan mata. Aliran sungai Ciwulan begitu tenang menyusuri kelokan lembah-lembah di antara perbukitan yang dihiasi pesawahan.
Gerbang Masuk ke Kampung Naga |
Kampung Naga
Sekitar jam setengah lima sore itu, saya diturunkan di sebuah gerbang tanpa tulisan apa pun.Kata kondektur bis, kami sudah sampai di perhentian menuju Kampung Naga. Tinggal jalan kaki ke bawah sekitar 15 menit maka sudah tiba di kampung adat tersebut. Sebuah tiang bertuliskan "Kampung Naga" terlihat di sebrang jalan. Plang yang sama yang saya lihat 15 tahun lalu saat bolak-balik interview dan medical check up di Tasikmalaya untuk keberangkatan perdana saya ke Batam.
Saya memasuki area lapangan parkir. Suasana sepi dan lengang begitu terasa. Hanya ada beberapa orang yang sedang berjalan menuju ke arah berlawanan dengan saya. Di tepi parkiran terdapat tugu Kujang, senjata khas suku sunda, setinggi kurang lebih 5 meter. Di dekat tugu tampak seorang bule sedang bersalaman dengan seorang laki-laki paruh baya yang mengenakan iket, topi khas orang sunda. Sambil menyalami lelaki tadi, bule tersebut menyelipkan sejumlah uang ke telapak tangannya. Saat berpamitan, ia mengucapkan kata terima kasih dalam bahasa Indonesia yang nyaring dan jelas.
Saya mendekati laki-laki paruh baya tadi. Menanyakan apakah ia warga kampung Naga atau bukan, karena saya akan memintanya untuk menemani berkeliling. Ia pun memperkenalkan diri sebagai pemandu tamu. Namanya Mang Ajen. Ia dan beberapa warga Kampung Naga memang telah ditunjuk dan disiapkan untuk menjadi pemandu. Jadi tak heran jika ia langsung cair kepada setiap tamunya.
Mesjid di kampung Naga |
Setelah perkenalan singkat kami, Mang Ajen mengajak saya menyusuri jalan kecil yang sudah conblok. Menyebrangi selokan kecil yang berair jernih namun deras, lalu menuruni sengked, tangga batu kali yang meliuk-liuk unik mengikuti kontur jalan. Dari jalanan yang bertangga ini Kampung Naga sudah mulai tampak. Hati saya langsung jatuh cinta. Melihat atap-atap rumah dari ijuk yang berbaris rapi. Pemandangan yang padu dengan undakan pesawahan dan liukan sungai Ciwulan. Memandangnya di kejauhan saja membuat saya sangat antusias.
Kampung Naga terletak di sebuah lembah. Berada tepat di daerah aliran Sungai Ciwulan yang hulunya berada di Gunung Cikuray. Wilayah Kampung Naga dibatasi oleh hutan larangan, sungai, sawah dan selokan kecil. Jadi tidak boleh mendirikan lagi bangunan di luar garis wilayah yang sudah ditentukan. Pamali katanya.
Jalan antara rumah penduduk |
Kampung Naga terdapat 113 bangunan berupa rumah, mesjid, balai adat, lumbung, lisung (tempat menumbuk padi). Penduduknya terdiri dari 108 kepala keluarga dan atau 314 jiwa. Kampung Naga dipimpin oleh seorang ketua adat yang disebut Puhun. Dalam menjalankan aktifitas kemasyarakatannya Puhun dibantu oleh dua orang. Satu orang yang bertanggung jawab mengurusi masalah administrasi pemerintahan, seperti dalam hal pembuatan KTP atau lainnya sedangkan satu lagi, Lebe, berfungsi sebagai tokoh agama, peminpin upacara-upacara keagamaan dan doa-doa yang digelar oleh penduduk.
Sesekali saya berhenti untuk mengambil foto. Pemandangan barisan rumah-rumah
beratap ijuk diantara hamparan pesawahan membuat hati terasa damai dan nyaman. Ingatan
saya kembali menerawang ke masa kecil dulu, saat masyarakat di kampung saya di Garut masih memiliki rumah panggung seperti ini. Rumah khas sunda, peninggalan adat istiadat yang
kini telah tergantikan dengan rumah-rumah gedong berdinding semen dan batu
bata.
Perlahan namun pasti rumah-rumah panggung telah berganti. Tembang dan
kesenian degung malah telah lebih awal menghilang dari budaya kami. Yang
tersisa dari adat peninggalan karuhun
hanyalah bahasa sunda itu sendiri. Bahasa yang juga mulai terancam
kelestariannya karena semakin sedikit digunakan. Sedih.
Saya dan Mang Ajen berbicara akrab dalam bahasa sunda. Rasanya seperti sudah kenal
lama saja dengannya. Begitu pun saat saya diajak berkeliling menyusuri
sudut-sudut Kampung Naga saya bertemu dan berkali-kali berbincang dengan warga.
Di sebuah rumah, yang beralas palupuh
saya disambut dengan sajian rengginang dan teh pahit hangat. Si ibu pemilik rumah yang
ternyata kakak kandung Mang Ajen menyambut saya dengan segala ramah-tamahnya.
Dilihat dari kebersihan kampungnya, saya menilai bahwa
penduduk Kampung Naga sudah sadar betul akan potensi yang dimiliki oleh kampung
mereka. Terlihat dari halaman setiap rumah yang bersih dan terawat. Tidak
tampak sampah sedikit pun.
Berbagai Kerajinan Penduduk |
Di golodog (teras rumah dari bambu) beberapa rumah terdapat berbagai macam kerajinan tangan untuk dijual. Seperti cobek, ulekan, hiasan gantungan, lonceng, yang terbuat dari kayu. Ada juga peralatan dapur seperti bakul, hihid (kipas), dan lainnya.
Tak lupa saya juga menyempatkan diri untuk membeli oleh-oleh khas Kampung Naga yaitu Gula merah yang dibungkus daun aren. Harganya 20 ribu rupiah per bungkus. Selain itu saya juga membeli mainan untuk Chila berupa perlengkapan dapur mini yang terbuat dari anyaman bambu. Seperti bakul-bakulan dan kipas-kipasan. Sayang mainannya ketingal di Garut, tidak terbawa ke Batam.
Anak-anak bermain badminton |
Senja mulai tiba. Anak-anak Kampung Naga asyik bermain badminton di halaman mesjid. Sebagian anak lagi duduk-duduk di tepi sungai Ciwulan. Bermain rumput dan wayang-wayangan. Masa kecil yang murni, indah, dan bermakna. Tidak terganggu oleh arus zaman dan modernisasi. Tidak ada gadget atau televisi yang akan memalingkan wajah mereka dari alam. Terlebih di sini tidak ada listrik. Bukannya pemerintah tidak peduli, namun sebagian besar masyarakatnya menolak untuk dialiri listrik. Mang Ajen bilang takut kebakaran karena seluruh bangunan terbuat dari bahan-bahan yang mudah terbakar.
Setelah mengisi daftartamu saya kemudian berpamitan kepada Mang Ajen. Semoga suatu waktu nanti saya dapat berkunjung kembali ke sini. Karena sepertinya saya begitu berat meninggalkan kampung Naga. Ada separuh raga yang terasa tertinggal di sana. Lebay :D
masih natural banget yah, lumayan bgt buat hideaway dari ibukota :-)
BalasHapusBetul Mbak, saya langsung jatuh hati. Pengen banget punya rumah kayak gitu. Sederhana dan menyatu dengan alam.
Hapusbtw kenapa disebutnya kampung naga yo mbak lina?
BalasHapusIya lupa pula saya tanya sama pemandunya :D, Peer deh buat saya nanti kalau ke sana lagi.
Hapusimpian saya dan teman teman yg belum terealisasi, mengunjungi keindahan ini. bakal jadi target wisata tahun baru nih :D. semoga terlaksana
BalasHapusIya semoga terlaksana Mbak/ Mas :D dekat dan mudah diakses kok.
HapusInternews tentang kampung naga ini sering kami putar diradio kami di Wonosari, Gunungkidul, DIY, tentang bagaimana kehidupan masyarakatnya yang bener menyatu dengan alam, tentang bagaimana melestarikan alam, tentang bagaimana alam sudah menyedian semua untuk kebutuhan masyarakat dan tentang bagaimana kehidupan mereka yang jangan sampai mengundang bencana alam datang. Dan sekarang tersaji dalam sebuah tulisan disertai gambar2 yang waoww...
BalasHapusmakasih mbak Lina W. Sasmita
semoga daerah kami bisa meniru warga disana tentang bagaimana memperlakukan alam
salam...
Mbak/Mas Hana Caraka iya semoga tulisan yg tidak seberapa ini bermanfaat. Kehidupan di sana benar2 harmoni dengan alam bahkan saya menginginkan kehidupan yang seperti itu. Makanya langsung jatuh cinta dengan kampung ini.
Hapuswah menarik :)
BalasHapusboleh nginep ga ya, mba di kampung naga?
iya.. boleh nginep nggak ya, semalem atau dua malem gitu... :)
HapusUntuk orang lokal Indonesia kata Mang Ajun, guide yg mengantar saya, boleh2 saja asal seizin ketua adat (puhun) tapi untuk orang asing (luar negeri) tidak boleh
Hapussaya pernah ke sana, tapi barus ampe pintu gerbangnya aja. Kapan-kapan, ah :)
BalasHapusSayang banget itu mbak. Padahal saya jauh2 dari Batam sengaja pengen ke tempat ini loh :)
Hapusada ya kampung naga hehe saya baru tahunya buah naga hihi
BalasHapusIya ada sudah sejak lama mbak :)
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusAduh, jadi pengen ke sana. :') Indah banget...
BalasHapusIndah dan menyatu dengan alam mbak Wulan.
HapusCantiknya.... Makasih teteh dibuatin artikelnya.. Sayang ya ga nginep. Pengen tau seharian mereka teh ngapain aja heehehehe.. Apalagi kalo pas ada perhelatan ya..kayaknya seru..
BalasHapusIya Teh Rima sami2 :) betul sayang bgt gak nginep. Padahal pengen merekam kehidupan mereka sehari-hari. Makasih bnyk sudah mampir ke blog saya :D
HapusPengen juga deh kesini.
BalasHapusIya mbak, sempatkan sekali saja ke sini, kita akan dapat perspektif lain akan kehidupan dengan kesederhanaan.
HapusWhoaaa kita ambil foto yg sama di tangga yg samaaa. Beda waktu aja, cakep ituu sawahnya meuni hejooo. :D
BalasHapusIya sempet bengong pas lihat angle tangga di blognya Mak Noe sama persis kecuali sawahnya yang difoto sy sudah ditanam :D
BalasHapusngeliat tulisan ini mengembalikan ingatan untuk kesini. Satu akar dengan masyarakat Baduy sepertinya ya. Banyak hal yang sama.
BalasHapusIya Mak Donna, memang satu karuhun.
BalasHapusItu keren banget pemandangannnya haduh jadi pengen nyasar kesana
BalasHapus